Tampilkan postingan dengan label EPID. Tampilkan semua postingan

Merisak itu Penyakit yang Menular


Sebagai salah satu negara yang dilalui oleh garis khatulistiwa, Indonesia tentunya memiliki hanya dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Dan kedua musim tersebut juga memberi dampak pada sebaran penyakit yang mendominasi kejadian yang terlapor dalam sebuah fasilitas kesehatan seperti puskesmas. Secara terperinci tentang penyakit itu dengan terang benderang dijelaskan dalam sebuah tinjauan Epidemiologi.

Kali ini saya tidak akan menyoal tentang berbagai sebaran dan bentuk penyakit-penyakit negara tropis, selain karena sudah berlimpahnya itu, juga karena ternyata pembahasan epidemiologi penyakit hanya berkutat pada dua kelompok besar yaitu penyakit yang menular dan penyakit tidak menular. Walau dari dua kategori besar tersebut, semuanya hanya oleh bentuk penyakit fisik saja.

Padahal, bagi saya, penyakit bukan hanya yang penyakit fisik saja. Banyak juga penyakit prilaku yang sedang tersebar di tengah masyarakat kita belakangan ini. Salah satunya yang akan saya bahas adalah merisak yang kata dasarnya adalah risak.

Jika mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, risak (ri·sak/ v ) adalah mengusik; mengganggu: mereka tidak putus-putusnya ~ ku dengan berbagai-bagai olok-olokan. Artinya ketika dalam bentuk aktif dengan awalan me-, risak, tidak jauh berbeda dengan kata bully atau membully yang pasti merupakan kata saduran, namun apakah sudah masuk dalam bahasa Indonesia, itu yang saya belum ketahui. Makanya kali ini saya hanya menggunakan kata risak daripada bully. Ngomong-ngomong apa betul kalo hak paten pengelolaan Kamus Besar Bahasa Indonesia online sudah dialihkan pada waralaba toko buku terbesar di Indonesia?

Siapa Yang Terkena

Sebelum menjawab salah satu instrumen epidemiologi deskripsi, ada baiknya kita lihat hubungan risak dengan sebuah penyakit yang menular hubungannya dengan prilaku. Sekali lagi ini untuk mencoba masuk dalam dua kelompok besar Epidemiologi tadi.

Ditengah arus informasi yang lebih menyerupai badai belakangan ini, memiliki sebuah akun media sosial kiranya tidak berlebihan jika dikategorikan sebagai sesuatu yang wajib hukumnya. Dan sekali lagi ini membuktikan bahwa slogan corgito ergo sum sudah sangat tidak relevan sekarang. Salah satunya karena untuk menjadi seorang manusia yang utuh, bukan saja lagi kemampuan berfikir yang dibutuhkan, namun juga kemampuan untuk lebih menjadi di dunia maya itu sendiri.

Belakangan orang-orang yang aktif di dunia maya disatukan dalam kata netizen, net mengacu pada makna kata internet dan akhiran izen merujuk pada kata citizen-masyarakat.

Dan diantara dampak buruk dari kepemilikan media sosial tadi adalah salah satunya kebiasaan risak yang semakin menggejala diantara kita belakangan ini. Terlepas dari berbagai hal yang melatari merisak, tetap saja dampaknya secara psikis tidak terhindarkan. Belum lagi jika itu akhirnya berdampak secara fisik. Disinilah letak persoalannya, kenapa hingga risak/merisak menurut saya adalah sebuah penyakit prilaku. Dan sialnya, risak/merisak ini ternyata penyakit yang menular.

Sehingga dari kondisi diatas, risak/merisak cenderung diderita oleh mereka yang memiliki akun media sosial tadi, setidaknya godaan untuk merisak itu sendiri.

Bagaimana Hal Tersebut Terjadi

Dari beberapa kasus risak/merisak di media sosial belakangan ini, setidaknya ada beberapa hal yang melatari terjadinya risak/merisak itu sendiri. Yang pertama adalah adanya hubungan relasi kuasa antara subyek yang melakukan risak/merisak dan obyek yang dirisak, misalnya hubungan senior-yunior, dosen-mahasiswa, tuan-budak, dan lain-lain. Parahnya keberadaan dunia maya belakangan ini mampu mengurai hubungan relasi kuasa secara kasat mata tadi. Maksudnya, dalam dunia maya kita mampu menyusun ulang kedirian kita secara sepihak, dan bisa jadi itu sama sekali tidak mewakili diri kita sebenarnya.

Sehingga jangan kaget ketika ada saja sosok netizen yang begitu liberal namun di dunia nyata adalah seorang yang sangat fundamental. Sekali lagi ini semakin jika dunia maya memperjelas tingkat ketercerabutan kedirian kita, selain menjadikan kita anti sosial di dunia nyata tentunya.

Karena sudah terjadi proses penyusunan ulang kedirian kita, semakin mengafirmasi diri untuk melakukan risak/merisak itu sendiri, walau dengan serampangan tentunya.

Yang kedua, konten dari risak/merisak itu sendiri senantiasa berhubungan dengan kepentingan moral orang kebanyakan, atau dengan kata lain sangat berhubungan dengan konsep baik-buruk orang kebanyakan. Selain karena konsep moral tadi yang sangat mungkin membuat orang lain terenyuh bahkan mampu mengundang keprihatinan, konsep baik-buruk versi orang kebanyakan kemudian menjadi sebuah kesepakatan tidak tertulis yang absolut kebenarannya.

Karena absolut, akhirnya kebanyakan dari pelaku risak/merisak akhirnya secara sadar mematikan nalarnya untuk sekedar melakukan sebuah cek dan ricek mulai dari apa,bagaimana, dan kenapa informasi awal tersebut terjadi. Dan akhirnya risak/merisak itu terjadi.

Dan yang terakhir, risak/merisak itu sendiri dilakukan dalam rangka pembuktian kedirian untuk semakin menjadi dalam keberadaanya di dunia maya itu sendiri.

Dimana Kejadiannya

Saat ini, risak/merisak sudah terjadi baik didunia nyata maupun didunia maya. Entah dari zaman kapan untuk konteks dunia nyata, kondisinya akhirnya tidak berubah dari waktu-kewaktu dalam hubungannya dengan kualitas kerusakannya. Misalnya secara psikis, korban risak/merisak tentunya mengalami goncangan psikologis dahsyat yang bisa jadi kita sendiri sebagai orang luar tidak mengetahuinya. Atau hingga berdampak pada hilangnya nyawa dari orang terdekat korban risak/merisak tadi. Masih ingat dengan kejadian ayah sonya yang meninggal konon karena tertekan anaknya dirisak bukan?

Apapun itu, akhirnya yang paling terasa kemudian adalah prilaku risak/merisak yang terjadi di dunia maya. Ini paling terasa karena pengaruh dari risak/merisak di dunia maya itu sendiri akhirnya mampu menembus batas geografi dalam hitungan detik. Dan parahnya ada saja pihak/orang yang dengan sewenang-wenang secara sadar melakukan risak/merisak.

Disinilah risak/merisak itu menjadi sebuah fenomena yang menarik. Karena walau risak/merisak bukan hanya didunia maya, tetap saja merisak didunia maya dampaknya jauh lebih terasa dibanding di dunia nyata karena hanya terikat ruang dan waktu pada saat/kondisi itu saja.

Berapa Jumlah Orang Yang Terkena(Mengidap)

Karena adanya hubungan relasi kuasa didalamnya dan dunia maya mampu mengurai itu dalam tingkat terendah, maka jumlah pelaku risak/merisak antara dunia nyata dan dunia maya mengalami perbedaan yang siginifikan. Siginifikan, karena jika pelaku risak/merisak didunia nyata bisa dihitung, maka pelaku risak/merisak didunia maya menjadi hampir tidak terhitung atau sulit dihitung. Dan parahnya lagi, media sosial menjadi agent penyebaran prilaku risak/merisak itu sendiri.

Disinilah kausa jumlah yang terkena/pengidap dari penyakit risak/merisak itu sendiri menjadi sulit untuk diukur. Karena hanya bermodalkan sebuah akun media sosial dan hasil konstruksi ulang diri di dunia maya serta ketertundukan pada konsep moral absolut dari sebagian besar orang tadi akhirnya risak/merisak itu berpotensi untuk dilakukan. Dan lacurnya, disaat bersamaan masih saja orang yang merasa dengan risak/merisak mampu memberikan efek jera.

Iya, lacur karena tanpa sebelumnya mencoba memakai nalar untuk melihat informasi itu secara menyeluruh diawal, masih ada saja orang yang beranggapan dengan merisak, merasa dirinya menjadi laksana seorang pahlawan, atau lebih tepatnya menurut saya pahlawan kesiangan. Apalagi jika pelaku merisak memiliki sederet gelar akademis yang mumpuni, sangat memprihatinkan bukan?

*

Salah satu paling mutakhir dari risak/merisak ialah kriminalisasi yang menimpa seorang guru BK SMP Raden Rachmad. Konon, beliau melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibawah umur yang merupakan muridnya sendiri. Sontak kejadian ini memancing perhatian para netizen tadi, dan sebagian besar justru menyalahkan si murid tadi karena membawa hal ini ke ranah hukum.

Mungkin apa yang dialami guru tadi cukup memprihatinkan, ditengah kondisi pendidikan kita yang masih dalam tahap bongkar pasang ini-ganti pemerintahan ganti sistem pendidikan-, jika kata carut marut terlampau kasar untuk dipersandingkan dengan kata sistem pendidikan itu sendiri.

Namun tunggu dulu, sebelum kita menjatuhkan rasa prihatin yang membuncah kepada sang guru karena akhirnya harus berlebaran di balik jeruji, ada baiknya kita melihat jauh apa yang melatari kejadian tersebut.

Dari penelusuran terbatas informasi terkait itu, ada beberapa hal yang perlu saya sampaikan disini. Pertama, tidak sepenuhnya tepat jika keprihatinan kita terlalu membuncah pada sang guru. Karena laku kekerasan itu terjadi adalah akibat dari sang murid (dengan temannya) tidak mengikuti shalat dhuha berjamaah yang dilakukan di sekolah. Nah, pertanyaan lanjutnya adalah, sependek yang saya ketahui bukankah shalat dhuha masuk dalam kategori shalat yang hukumnya sunnah. Atau lebih jauh lagi, atas dasar apa kemudian sebuah ibadah yang hukumnya sunnah tadi menjadi sebegitu wajib dilakukan pada sebuah sekolah umum seperti SMP Raden Rachmad sehingga pantaslah kemudian dia (guru BK) menghukum murid yang tidak mengikuti shalat dhuha berjamaah tadi. Atau jangan-jangan dalam kurikulum sistem pendidikan kita sudah memasukkan ibadah yang hanya milik salah satu agama mayoritas di Indonesia menjadi sebuah mata pelajaran wajib. Kalo ini betul, sebegitu mengecewakan kinerja mantan Rektor Paramadina itu.

Tentunya bukan juga berarti bahwa apa yang dilakukan oleh murid atau lebih tepatnya orang tua murid tadi adalah tepat dengan melaporkan kepihak berwajib apa yang menimpa anaknya. Karena disinilah juga letak persoalan lain dari sistem pendidikan kita dewasa ini. Disaat kita sebagai orang tua menyerahkan anak kepada sebuah institusi pendidikan, ternyata tidak diikuti oleh sebuah konsep penyerahan yang menyeluruh namun bertanggungjawab.

Maksud saya, ketika kita percaya bahwa sekolah kemudian mampu menjadi tempat untuk menjadikan peserta didik menjadi lebih manusiawi, bukankah sebaiknya juga diikuti dengan terbangunnya sebuah komunikasi yang aktif dan setara antara orang tua siswa dengan pihak sekolah. Dan bukankah ini adalah salah satu guna dari berdirinya persatuan orang tua murid di sebuah sekolah.

Kedua, ini berhubungan dengan meme yang beredar belakangan berisi gambar bekas cubitan dengan foto murid yang sama sedang merokok. Bagi saya sebuah kekeliruan yang fatal untuk memakai logika jika-maka pada hubungan antara kriminalisasi guru tadi dengan prilaku sang murid diluar sekolah. Karena dua hal tadi sangat berbeda konteksnya, atau terlalu serampangan kita akhirnya jika membenarkan hukuman cubitan tadi karena akibat prilaku diluar sekolah dari sang murid. Lagi-lagi setelah kita ketahui bersama penyebab dari hukuman itu hanya karena tidak mengikuti shalat dhuha berjamaah disekolah dan bukan karena menyebarkan foto prilaku murid diluar sekolah tadi.

**

Dus, kondisi tadi akhirnya terakumulasi dari berbagai bentuk tindak risak/merisak yang belakangan justru lebih banyak menghiasi beranda akun media sosial kita. Dan kita-netizen- sekali lagi masih banyak yang tidak terlebih dahulu mencari tahu namun secara sadar terlibat aktif dalam risak/merisak sang murid tadi, dan dengan keprihatinan yang berlebihan kepada sang guru.

Tanpa bermaksud mengecilkan peran seluruh guru yang ada di Indonesia, sekali lagi titik tekan saya ada pada prilaku risak/merisak yang cenderung merusak serta penyakit yang menular. Karena sebelumnya sebagian dari kita tidak berusaha menggunakan nalar yang obyektif untuk melihat sebuah informasi secara berimbang.


Nah, Apakah anda sudah merisak hari ini?atau anda justru korban risak orang lain?