MASA DEPAN PROMOSI KESEHATAN

Juli 07, 2017 Mashuri Mashar S.KM 0 Comments




Sebagai salah satu bagian dari ilmu kesehatan masyarakat, promosi kesehatan (Promkes) memiliki cara tersendiri dan berbeda. Meski begitu promosi kesehatan tidak kehilangan daya tariknya. Ambillah contoh; salah satu tujuan  promkes yang berhubungan dengan perubahan prilaku.

Saat berbicara soal perubahan prilaku, ihwal paling mendasar adalah mengajak masyarakat untuk berkesadaran hidup sehat. (special untuk kata “berkesadaran” tentu harus digarisbawahi, ditebalkan dan dibuat miring. Karena kesadaran akan berhubungan dengan kondisi berkelanjutan)

Tentu saja ini  bukan tanpa kendala yang berarti. Selain karena kesadaran itu sendiri inheren dalam diri manusia, juga karena kesadaran manusia berhubungan dengan segala hal diluar dirinya. Entah itu tercipta karena pola asuh dalam keluarga hingga pengaruh lingkungan sekitar.

Disinilah peran seorang sarjana kesehatan masyarakat yang spesifik dalam lingkup promosi kesehatan menemui tantangan pertamanya.  

Sebelum jauh melangkah, dan dalam rangka mendedah secara utuh promosi kesehatan, ada baiknya tulisan ini saya buka dengan mengurai sedikit sejarah promosi kesehatan. Dari beberapa referensi, promosi kesehatan pertama kali resmi dilafazkan secara global pada awal abad 20 atau tepatnya di tahun 1986 dalam Konfrensi International promosi kesehatan di Otawa.

Jika secara resmi dunia mengakui keberadaan promosi kesehatan sejak tiga dasawarsa yang lalu, bagaimana dengan sejarah promosi kesehatan di Indonesia ?

Efektifnya, praktek promosi kesehatan sebenarnya sudah mulai dilakukan oleh Tirto Adhi Soerjo (1880 – 1918). Meski sebagai pribumi beliau secara tidak sadar melakukannya, tetap saja upaya untuk penyebarluasan informasi seputar masalah kesehatan serta berbagai bentuk penanganan dan pencegahannya yang dimuat pada  berbagai koran menjadi peletak awal prinsip promosi kesehatan di Republik ini.

Ambillah contoh tulisan beliau  yang berjudul “Obat-obat jang Perloe Disimpan di Rumah”, dimuat dalam koran Soenda Berita  No. 11 dan No. 13, tahun II, 5 Mei 1904 dan No 22 Mei 1904 (sumber: Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo, I:BOEKOE, 2008). Ditulisannya, beliau sudah memperkenalkan pentingnya jenis-jenis obat yang wajib ada dirumah. Yang saat ini lebih popular dengan istilah kotak obat atau kotak P3K (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan).

Atau tulisan lainnya yang berjudul “Hal Air Minoeman” yang dimuat dalam koran Poetra Hindia, No 17, Tahun II, 1 Juli 1909  (Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo, I:BOEKOE, 2008). Yang mana, beliau banyak bercerita ihwal air. Baik kualitas maupun kuantitasnya. Dan menariknya, tulisan beliau tersebut sudah memperkenalkan metode pengolahan air sebelum dikonsumsi. Entah itu metode penyaringan hingga merebus.

Bahkan beliau juga sudah memperkenalkan metode pengendapan material fisik pada air keruh sehingga layak minum jauh hari sebelum metode purin disebarluaskan. (Sebelum membahas lebih jauh, ingatkan saya untuk mengulik tulisan Tirto Adhi Soerjo yang berhubungan dengan kesehatan pada kesempatan lain) 

Dan lagi-lagi informasi diatas tentu saja bisa menjadi pembanding pada sejarah  promosi kesehatan di republic ini yang katanya baru dimulai di tahun 1997. Seperti sering diucap oleh para pengajar di ruang-ruang kuliah kampus atau sekolah tinggi pencetak sarjana kesehatan masyarakat di Indonesia.
Pertanyaannya kemudian, jika sejak awal abad 19 promkes sudah berbicara soal peyebarluasan informasi yang massif, bagaimana dengan arah promkes saat ini?

Jika masyarakat ditanya; apa itu promosi kesehatan ? saya yakin dan percaya jawabanya adalah penyuluhan kesehatan (saja). Jawaban tersebut tentu saja tidak bisa kita persalahkan. Karena secara jamak masyarakat kita – atau bahkan tenaga kesehatan–  masih kurang paham sepenuhnya apa yang dimaksud dengan promosi kesehatan itu sendiri. Mereka tidak mengetahui bahwa promosi kesehatan itu berbicara juga soal mempengaruhi arah kebijakan kesehatan (Advocacy). Atau fungsi promosi kesehatan yang sejatinya mampu menciptakan kondisi lingkungan sehat (Bina Suasana).

Promosi Kesehatan hari ini

Setelah kita mengetahui sejak kapan kaum pribumi di republik ini mencurahkan perhatiannya terhadap upaya-upaya promosi kesehatan, ada baiknya pandangan kita alihkan pada kondisi promosi kesehatan hari ini. Secara umum, jika kita lebih jeli melihat penyebab minimnya pengaruh bentuk promosi kesehatan terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat dimulai dari basis data/informasi yang masih kurang. Baik kuantitas maupun kualitas.

Ambillah contoh angka kepemilikan jamban yang sehat.

Jika kita bertanya kepada petugas kesehatan (Nakes) dari pihak pemerintah, informasi kepemilikan jamban untuk saat ini  masih terbatas pada akses. Ini tentu saja tidak keliru, namun jika hanya sebatas akses saja belum cukup. Karena berpadunya kata “jamban” dan kata “sehat”, selain persoalan akses juga terkait kondisi didalamnya. Apalagi dengan diawali dengan kata kepemilikan.

Maksud saya, jamban yang juga bagian integral dari sebuah rumah harus dipahami secara utuh. Bukan saja terbatas pada pengetahuan dan pentingnya menggunakan jamban, tapi kualitas jamban yang seharusnya juga menjadi perhatian. Termasuk didalamnya bentuk bangunan atas dan atau bangunan bawah dari jamban itu sendiri.

Karena ketika kata “jamban” bertemu kata “sehat” apalagi diawali dengan kata “kepemilikan”, dalam bayangan saya akan terpampang jumlah kepala keluarga yang memiliki jamban lengkap. Mulai dari kualitas fisik kloset, kuantitas air yang cukup, fasilitas cuci tangan pakai sabun, hingga bentuk tangki tinja yang kedap air. Dan sialnya, kondisi ideal tersebut belum merata disini (baca:Indonesia).

Dilain pihak, tenaga kesehatan yang berperan terhadap peningkatan kepemilikan jamban sehat masih diisi oleh pengetahuan yang bersifat tehnis (saja). Dalam artian, disaat konsep jamban sehat sudah ideal yang didapat lewat bangku-bangku perkualiahan ternyata tidak diikuti dengan bentuk penyampaian yang terang-benderang dilapangan.

Dilain pihak, jika kita mengacu pada informasi yang tertuang pada PERMENKES No. 3 Tahun 2014, pengetahuan yang bersifat tehnis dari tenaga kesehatan tersebut bermula. Yang mana, titik tekan aturan itu pada akses terhadap jamban saja. Informasi tersebut bukan bertolakbelakang dengan bentuk dari jamban sehat. Karena jika mengacu pada konsep jamban sehat dari KEMENKES (2004), sejatinya penampungan tinja harus kedap air. Dalam artian bukan hanya dinding penampungan tinja saja yang mengalami pengerasan, alas dari penampungan tersebut juga harus  mengalami pengerasan (Azwar, 1990).

Dan bagi saya, tantangan seorang promosi kesehatan menjadi bertambah.

Masa Depan Promosi Kesehatan

Kita tinggalkan sejenak pembicaraan seputar minimnya pengetahuan jamak ihwal promosi kesehatan atau perbedaan titik kisar dari sejarah promosi kesehatan di Indonesia dan mari berbicara masa depan promosi kesehatan.

Tema ini menjadi menarik karena dua penyebab. Penyebab pertama, perkembangan budaya manusia yang kian cepat. Dan kedua, karena perkembangan manusia yang tentu saja  diikuti dengan perkembangan jenis penyakit.

Berbicara soal perkembangan manusia, sebenarnya sudah pernah diingatkan oleh Fedrich H. Kanfer dalam karyanya; Personal Control, Social Control, dan Altruism: Can society survive the age of Individualism? Pada tahun 1979 dan  Gerald Klermen dalam karya; The Age of Melancholy tahun 1979. Bahwa yang tersisa dari era modern sebagai salah satu bagian perkembangan manusia adalah kecemasan, keterasingan, kekerasan, egoisme, dan depresi.

Berangkat dari peringatan Kanfer dan Klermen tadi, pertanyaan lanjutannya ialah bagaimana seharusnya promosi kesehatan berperan dan bagaimana bentuknya di era modern atau meminjam istilah Yasraf Amir Piliang era Hypermodernitas.

Jika dahulu penyebarluasan informasi atau jamak dikenal dengan kata penyuluhan, dimana lebih sering dilakukan dengan cara mengumpulkan orang dan informasinya hanya berdasarkan keinginan tanaga kesehatan saja sebagai penyampai pesan tanpa secara aktif melibatkan masyarakat untuk menggali kebutuhannya terlebih dahulu. Kedepannya cara ini bisa dipastikan sudah tidak efektif lagi. Selain karena kegiatan tersebut menyita waktu bagi masyarakat, juga karena permasalahan mendasar soal efektifitas pesan yang belum tentu tercapai melalui metode tersebut.

Saya bayangkan, penyebarluasan informasi kedepannya lebih banyak dilakukan oleh teknologi dan bukan lagi manusia. Misalnya, suatu saat akan ada E-Promkes yang berbasis android. Selain karena kemudahaan aksesnya yang tidak terikat ruang dan  waktu, alih fungsi alat atau metode penyebarluasan informasi ini juga jauh lebih efektif. Dalam artian, masing-masing orang akan berselancar dan mencari informasi yang sesuai kebutuhannya. Coba bandingkan dengan cara konvensional penyuluhan.

Sangat tidak efektif bukan?

Selain masalah efektif-tidaknya sebuah pesan, alih cara penyebarluasan informasi tadi jauh lebih murah dibandingkan metode konvensional selama ini. Dimana saat ini alokasi anggaran belanja kesehatan hanya habis untuk belanja pegawai atau  kegiatan demi kegiatan yang jika ditelisik lebih dalam masih jauh api dari panggang, untuk hal terciptanya masyarakat yang sehat dan berkesadaran. Ini tentu saja kita belum berbicara soal  kegamangan peran masing-masing tenaga kesehatan yang terjadi di tingkat terbawah tempat pelayanan kesehatan dalam hal ini Puskesmas. Dibandingkan dengan memakai E-Promkes yang cukup dengan mengupdate informasi dan membiayai kuota ruang dalam dunia maya, tugas dan peran promosi kesehatan sudah berjalan.

Kira-kira mana yang lebih murah?

Dilain pihak saat masalah promosi kesehatan ditarik lebih jauh pembahasannya tentu saja menjadi lebih tehnis. Contohnya media penyampaian. Jika mengacu pada bentuk, secara garis besar penyampaian pesan kesehatan terbagi atas dua. Yang pertama secara langsung dan kedua secara tidak langsung. Untuk bentuk pertama biasanya dalam bentuk penyampaian dalam tatap muka. Entah itu penyuluhan, seminar, talkshow atau bahkan pelatihan.

Dan, bentuk kedua menggunakan perantara. Entah itu brosur, pamphlet, X-banner bahkan iklan layanan masyarakat.  Ironisnya untuk bentuk promosi kesehatan yang terakhir ini masih masih jarang membuat masyarakat tertarik. Sehingga jangan kaget jika besaran biaya yang dihabiskan untuk sebuah media promosi kesehatan tidak berbanding lurus dengan peningkatan jumlah masyarakat yang mengubah prilaku tidak sehat menjadi prilaku sehat. Apatah lagi jika diharapkan secara sadar melakukan itu.

Berangkat dari beberapa kondisi diatas, menurut hemat saya belum terlambat kiranya untuk menelisik kembali bagaimana keadaan promosi kesehatan dalam beberapa dekade kedepannya. Dan sekali lagi, ini masih erat hubungannya dengan peran berbagai pihak di dalamnya.

Kita bisa mulai dengan mengidentifikasi apa yang menjadi permasalahan kesehatan didalam masyarakat. Tentu saja bentuk kegiatannya adalah memperbaiki segala bentuk informasi/data yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat. Karena jika mau jujur, permasalahan informasi/data masih merupakan momok tersendiri. Salah satu bentuknya misalnya perbedaan angka yang bersumber dari masing-masing instansi terkait. Dan sialnya, masing-masing instansi tersebut menganggap informasi/data yang mereka milikilah yang tervalid.

Setelah permasalahan informasi/data teratasi, tentu saja bisa melangkah pada tahapan berikutnya ialah penyusunan strategi promosi kesehatan yang akan dijalankan. Khusus untuk tahapan ini dibutuhkan kerjasama yang kuat antara berbagai lapisan kelembagaan. Baik lembaga pemerintah maupun lembaga masyarakat. Karena akan berhubungan dengan tahapan selanjutnya terkait implementasi dilapangan. Lagi-lagi kata kuncinya adalah komitmen.

Selebihnya tinggal bentuk monitoring dan evaluasi dari tahapan implementasi yang akan dijalankan. Karena tanpa proses monitoring dan evaluasi semua tahapan sebelumnya akan menjadi sia-sia. Ditahap inilah kemudian proses pembelajaran dan adaptasi dari segala bentuk perkembangan masyarakat yang diikuti dengan perkembangan penyakit  bisa terjadi.

Pertanyaan lanjutnya kemudian bagaimana memulainya ?



*Disclaimer: Sumber gambar https://www.slideshare.net