MASA DEPAN PROMOSI KESEHATAN
Sebagai salah satu bagian dari
ilmu kesehatan masyarakat, promosi kesehatan (Promkes) memiliki cara tersendiri
dan berbeda. Meski begitu promosi kesehatan tidak kehilangan daya tariknya. Ambillah
contoh; salah satu tujuan promkes yang berhubungan
dengan perubahan prilaku.
Saat berbicara soal perubahan prilaku,
ihwal paling mendasar adalah mengajak masyarakat untuk berkesadaran hidup
sehat. (special untuk kata “berkesadaran” tentu harus digarisbawahi, ditebalkan dan dibuat miring. Karena kesadaran akan
berhubungan dengan kondisi berkelanjutan)
Tentu saja ini bukan tanpa kendala yang berarti. Selain
karena kesadaran itu sendiri inheren dalam diri manusia, juga karena kesadaran
manusia berhubungan dengan segala hal diluar dirinya. Entah itu tercipta karena
pola asuh dalam keluarga hingga pengaruh lingkungan sekitar.
Disinilah peran seorang sarjana
kesehatan masyarakat yang spesifik dalam lingkup promosi kesehatan menemui
tantangan pertamanya.
Sebelum jauh melangkah, dan dalam
rangka mendedah secara utuh promosi kesehatan, ada baiknya tulisan ini saya
buka dengan mengurai sedikit sejarah promosi kesehatan. Dari beberapa
referensi, promosi kesehatan pertama kali resmi dilafazkan secara global pada
awal abad 20 atau tepatnya di tahun 1986 dalam Konfrensi International promosi
kesehatan di Otawa.
Jika secara resmi dunia mengakui
keberadaan promosi kesehatan sejak tiga dasawarsa yang lalu, bagaimana dengan sejarah
promosi kesehatan di Indonesia ?
Efektifnya, praktek promosi
kesehatan sebenarnya sudah mulai dilakukan oleh Tirto Adhi Soerjo (1880 –
1918). Meski sebagai pribumi beliau secara tidak sadar melakukannya, tetap saja
upaya untuk penyebarluasan informasi seputar masalah kesehatan serta berbagai
bentuk penanganan dan pencegahannya yang dimuat pada berbagai koran menjadi peletak awal prinsip
promosi kesehatan di Republik ini.
Ambillah contoh tulisan
beliau yang berjudul “Obat-obat jang Perloe Disimpan di Rumah”, dimuat
dalam koran Soenda Berita No. 11 dan No. 13, tahun II, 5 Mei 1904 dan No
22 Mei 1904 (sumber: Karya Lengkap Tirto
Adhi Soerjo, I:BOEKOE, 2008). Ditulisannya, beliau sudah memperkenalkan
pentingnya jenis-jenis obat yang wajib ada dirumah. Yang saat ini lebih popular
dengan istilah kotak obat atau kotak P3K (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan).
Atau tulisan lainnya yang
berjudul “Hal Air Minoeman” yang
dimuat dalam koran Poetra Hindia, No
17, Tahun II, 1 Juli 1909 (Karya Lengkap
Tirto Adhi Soerjo, I:BOEKOE, 2008). Yang mana, beliau banyak bercerita ihwal
air. Baik kualitas maupun kuantitasnya. Dan menariknya, tulisan beliau tersebut
sudah memperkenalkan metode pengolahan air sebelum dikonsumsi. Entah itu metode
penyaringan hingga merebus.
Bahkan beliau juga sudah
memperkenalkan metode pengendapan material fisik pada air keruh sehingga layak
minum jauh hari sebelum metode purin disebarluaskan.
(Sebelum membahas lebih jauh, ingatkan saya untuk mengulik tulisan Tirto Adhi
Soerjo yang berhubungan dengan kesehatan pada kesempatan lain)
Dan lagi-lagi informasi diatas
tentu saja bisa menjadi pembanding pada sejarah promosi kesehatan di republic ini yang katanya
baru dimulai di tahun 1997. Seperti sering diucap oleh para pengajar di
ruang-ruang kuliah kampus atau sekolah tinggi pencetak sarjana kesehatan
masyarakat di Indonesia.
Pertanyaannya kemudian, jika sejak
awal abad 19 promkes sudah berbicara soal peyebarluasan informasi yang massif,
bagaimana dengan arah promkes saat ini?
Jika masyarakat ditanya; apa itu
promosi kesehatan ? saya yakin dan percaya jawabanya adalah penyuluhan
kesehatan (saja). Jawaban tersebut tentu saja tidak bisa kita persalahkan.
Karena secara jamak masyarakat kita – atau bahkan tenaga kesehatan– masih kurang paham sepenuhnya apa yang
dimaksud dengan promosi kesehatan itu sendiri. Mereka tidak mengetahui bahwa
promosi kesehatan itu berbicara juga soal mempengaruhi arah kebijakan kesehatan
(Advocacy). Atau fungsi promosi kesehatan yang sejatinya mampu menciptakan kondisi
lingkungan sehat (Bina Suasana).
Promosi Kesehatan hari ini
Setelah kita mengetahui sejak
kapan kaum pribumi di republik ini mencurahkan perhatiannya terhadap
upaya-upaya promosi kesehatan, ada baiknya pandangan kita alihkan pada kondisi
promosi kesehatan hari ini. Secara umum, jika kita lebih jeli melihat penyebab
minimnya pengaruh bentuk promosi kesehatan terhadap peningkatan derajat
kesehatan masyarakat dimulai dari basis data/informasi yang masih kurang. Baik
kuantitas maupun kualitas.
Ambillah contoh angka kepemilikan
jamban yang sehat.
Jika kita bertanya kepada petugas
kesehatan (Nakes) dari pihak pemerintah, informasi kepemilikan jamban untuk
saat ini masih terbatas pada akses. Ini
tentu saja tidak keliru, namun jika hanya sebatas akses saja belum cukup.
Karena berpadunya kata “jamban” dan kata “sehat”, selain persoalan akses juga
terkait kondisi didalamnya. Apalagi dengan diawali dengan kata kepemilikan.
Maksud saya, jamban yang juga
bagian integral dari sebuah rumah harus dipahami secara utuh. Bukan saja
terbatas pada pengetahuan dan pentingnya menggunakan jamban, tapi kualitas
jamban yang seharusnya juga menjadi perhatian. Termasuk didalamnya bentuk
bangunan atas dan atau bangunan bawah dari jamban itu sendiri.
Karena ketika kata “jamban”
bertemu kata “sehat” apalagi diawali dengan kata “kepemilikan”, dalam bayangan
saya akan terpampang jumlah kepala keluarga yang memiliki jamban lengkap. Mulai
dari kualitas fisik kloset, kuantitas air yang cukup, fasilitas cuci tangan
pakai sabun, hingga bentuk tangki tinja yang kedap air. Dan sialnya, kondisi ideal
tersebut belum merata disini (baca:Indonesia).
Dilain pihak, tenaga kesehatan
yang berperan terhadap peningkatan kepemilikan jamban sehat masih diisi oleh
pengetahuan yang bersifat tehnis (saja). Dalam artian, disaat konsep jamban
sehat sudah ideal yang didapat lewat bangku-bangku perkualiahan ternyata tidak
diikuti dengan bentuk penyampaian yang terang-benderang dilapangan.
Dilain pihak, jika kita mengacu
pada informasi yang tertuang pada PERMENKES No. 3 Tahun 2014, pengetahuan yang
bersifat tehnis dari tenaga kesehatan tersebut bermula. Yang mana, titik tekan
aturan itu pada akses terhadap jamban saja. Informasi tersebut bukan
bertolakbelakang dengan bentuk dari jamban sehat. Karena jika mengacu pada
konsep jamban sehat dari KEMENKES (2004), sejatinya penampungan tinja harus
kedap air. Dalam artian bukan hanya dinding penampungan tinja saja yang
mengalami pengerasan, alas dari penampungan tersebut juga harus mengalami pengerasan (Azwar, 1990).
Dan bagi saya, tantangan seorang
promosi kesehatan menjadi bertambah.
Masa Depan Promosi Kesehatan
Kita tinggalkan sejenak
pembicaraan seputar minimnya pengetahuan jamak ihwal promosi kesehatan atau perbedaan
titik kisar dari sejarah promosi kesehatan di Indonesia dan mari berbicara masa
depan promosi kesehatan.
Tema ini menjadi menarik karena dua
penyebab. Penyebab pertama, perkembangan budaya manusia yang kian cepat. Dan
kedua, karena perkembangan manusia yang tentu saja diikuti dengan perkembangan jenis penyakit.
Berbicara soal perkembangan
manusia, sebenarnya sudah pernah diingatkan oleh Fedrich H. Kanfer dalam
karyanya; Personal Control, Social
Control, dan Altruism: Can society survive the age of Individualism? Pada
tahun 1979 dan Gerald Klermen dalam
karya; The Age of Melancholy tahun
1979. Bahwa yang tersisa dari era modern sebagai salah satu bagian perkembangan
manusia adalah kecemasan, keterasingan, kekerasan, egoisme, dan depresi.
Berangkat dari peringatan Kanfer
dan Klermen tadi, pertanyaan lanjutannya ialah bagaimana seharusnya promosi
kesehatan berperan dan bagaimana bentuknya di era modern atau meminjam istilah Yasraf Amir Piliang era Hypermodernitas.
Jika dahulu penyebarluasan
informasi atau jamak dikenal dengan kata penyuluhan, dimana lebih sering
dilakukan dengan cara mengumpulkan orang dan informasinya hanya berdasarkan
keinginan tanaga kesehatan saja sebagai penyampai pesan tanpa secara aktif
melibatkan masyarakat untuk menggali kebutuhannya terlebih dahulu. Kedepannya
cara ini bisa dipastikan sudah tidak efektif lagi. Selain karena kegiatan tersebut
menyita waktu bagi masyarakat, juga karena permasalahan mendasar soal
efektifitas pesan yang belum tentu tercapai melalui metode tersebut.
Saya bayangkan, penyebarluasan
informasi kedepannya lebih banyak dilakukan oleh teknologi dan bukan lagi manusia.
Misalnya, suatu saat akan ada E-Promkes
yang berbasis android. Selain karena kemudahaan aksesnya yang tidak terikat
ruang dan waktu, alih fungsi alat atau
metode penyebarluasan informasi ini juga jauh lebih efektif. Dalam artian,
masing-masing orang akan berselancar dan mencari informasi yang sesuai
kebutuhannya. Coba bandingkan dengan cara konvensional penyuluhan.
Sangat tidak efektif bukan?
Selain masalah efektif-tidaknya
sebuah pesan, alih cara penyebarluasan informasi tadi jauh lebih murah
dibandingkan metode konvensional selama ini. Dimana saat ini alokasi anggaran
belanja kesehatan hanya habis untuk belanja pegawai atau kegiatan demi kegiatan yang jika ditelisik
lebih dalam masih jauh api dari panggang, untuk hal terciptanya masyarakat yang
sehat dan berkesadaran. Ini tentu saja kita belum berbicara
soal kegamangan peran masing-masing
tenaga kesehatan yang terjadi di tingkat terbawah tempat pelayanan kesehatan
dalam hal ini Puskesmas. Dibandingkan dengan memakai E-Promkes yang cukup dengan mengupdate informasi dan membiayai
kuota ruang dalam dunia maya, tugas dan peran promosi kesehatan sudah berjalan.
Kira-kira mana yang lebih murah?
Dilain pihak saat masalah promosi
kesehatan ditarik lebih jauh pembahasannya tentu saja menjadi lebih tehnis.
Contohnya media penyampaian. Jika mengacu pada bentuk, secara garis besar
penyampaian pesan kesehatan terbagi atas dua. Yang pertama secara langsung dan
kedua secara tidak langsung. Untuk bentuk pertama biasanya dalam bentuk
penyampaian dalam tatap muka. Entah itu penyuluhan, seminar, talkshow atau
bahkan pelatihan.
Dan, bentuk kedua menggunakan
perantara. Entah itu brosur, pamphlet, X-banner
bahkan iklan layanan masyarakat. Ironisnya
untuk bentuk promosi kesehatan yang terakhir ini masih masih jarang membuat
masyarakat tertarik. Sehingga jangan kaget jika besaran biaya yang dihabiskan
untuk sebuah media promosi kesehatan tidak berbanding lurus dengan peningkatan
jumlah masyarakat yang mengubah prilaku tidak sehat menjadi prilaku sehat. Apatah
lagi jika diharapkan secara sadar melakukan itu.
Berangkat dari beberapa kondisi
diatas, menurut hemat saya belum terlambat kiranya untuk menelisik kembali
bagaimana keadaan promosi kesehatan dalam beberapa dekade kedepannya. Dan
sekali lagi, ini masih erat hubungannya dengan peran berbagai pihak di dalamnya.
Kita bisa mulai dengan
mengidentifikasi apa yang menjadi permasalahan kesehatan didalam masyarakat. Tentu
saja bentuk kegiatannya adalah memperbaiki segala bentuk informasi/data yang
berhubungan dengan kesehatan masyarakat. Karena jika mau jujur, permasalahan
informasi/data masih merupakan momok tersendiri. Salah satu bentuknya misalnya
perbedaan angka yang bersumber dari masing-masing instansi terkait. Dan sialnya,
masing-masing instansi tersebut menganggap informasi/data yang mereka milikilah
yang tervalid.
Setelah permasalahan
informasi/data teratasi, tentu saja bisa melangkah pada tahapan berikutnya
ialah penyusunan strategi promosi kesehatan yang akan dijalankan. Khusus untuk
tahapan ini dibutuhkan kerjasama yang kuat antara berbagai lapisan kelembagaan.
Baik lembaga pemerintah maupun lembaga masyarakat. Karena akan berhubungan
dengan tahapan selanjutnya terkait implementasi dilapangan. Lagi-lagi kata
kuncinya adalah komitmen.
Selebihnya tinggal bentuk
monitoring dan evaluasi dari tahapan implementasi yang akan dijalankan. Karena tanpa
proses monitoring dan evaluasi semua tahapan sebelumnya akan menjadi sia-sia. Ditahap
inilah kemudian proses pembelajaran dan adaptasi dari segala bentuk
perkembangan masyarakat yang diikuti dengan perkembangan penyakit bisa terjadi.
Pertanyaan lanjutnya kemudian
bagaimana memulainya ?
*Disclaimer: Sumber gambar https://www.slideshare.net
*Disclaimer: Sumber gambar https://www.slideshare.net