Tampilkan postingan dengan label POLIKes. Tampilkan semua postingan

Kacung jadi Kunci Kerangkeng

 

Hampir setiap zaman dalam lintasan perubahan bangsa ini, demarkasi baik-buruk hampir bisa dikatakan sangat  tipis. Penyebabnya bisa banyak faktor. Satu diantaranya titik berangkat kita dalam melihat fenomena yang terjadi. Saya ambil contoh apa yang menimpa organisasi Boedi Oetomo pada kongres pertama tahun 1909. Adalah pertarungan antara kaum bangsawan (berdasarkan) asal-usul melawan kaum bangsawan fikir(an).

Masing-masing beranggapan yang paling layak jadi nahkoda organisasi pergerakan tersebut. Kongres kedua ini kemudian dimenangkan oleh kaum bangsawan asal-usul. Namun tidak mengurungkan kelompok kalah untuk tetap berkiprah demi terwujudnya sebuah bangsa bernama Republik Indonesia. Mereka kemudian bergerak “diluar” system atau organisasi tersebut. Ada yang lewat jalur pendidikan (Ki Hajar Dewantara), jurnalistik, dan lainnya. Secara ciamik dan lengkap Tirto Adhi Soerjo menceritakan lewat media besutannya ketika itu.

Berada diluar Boedi Oetomo tidak membikin kelompok yang kalah kehilangan pengaruh pada gerak menuju Indonesia merdeka seutuhnya. Merekalah kelak jadi penghuni penjara penjajah. Karena tidak ingin terjebak kungkungan gelar ke-bangsa-wan(nan), keluarnya mereka diikuti dengan melepas embel-embel bangsawan yang melekat pada nama sendiri. Inilah sikap melawan sesungguhnya. Feodalisme dari dalam dan luar tidak luput gempuran kelompok kedua ini.

Berbicara soal semangat perlawanan, tidak akan terbebas dari penilaian baik dan buruk. Keduanya sangat bergantung pada sudut pandang dari penilai. Apa yang dilakukan oleh kaum bangsawan fikiran paska berlakunya politik etis dianggap sebagai keburukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dan sebaliknya untuk pribumi. Meskipun tidak semua beranggapan demikian. Terutama pemilik gelar bangsawan (asal) usul. Golongan ini dianggap perusak dari sebuah status quo.

Dari semua kelompok bangsawan fikir tadi, kebanyakan merupakan siswa dari School Tot Opleiding Van Inlansche Artsen (STOVIA). Sekolah kedokteran pertama untuk pribumi di Hindia Belanda. Artinya, peletak fondasi perlawanan terhadap segala bentuk kesewenang-wenangan adalah para (calon) tabib modern. Mungkin karena mereka adalah golongan pertama yang berhasil menyerap segala pengetahuan modern ketika itu.

Dengan semangat yang sama dan dorongan untuk menyatukan segala bentuk perlawanan pada penjajahan, pada 1926 terbentuk sebuah organisasi beranggotakan alumni STOVIA. Karena Nasionalisme jadi pengikat antar mereka, kelompok ini ambil bagian dalam menciptakan kondisi semarak melawan kolonialisme. Yang tentu saja melawan segala bentuk ketidakadilan jadi bagian organisasi yang sama.

Apa yang terjadi hari ini, tentu saja sangat bertolak belakang dengan niatan awal para bangsawan fikir ketika membangun semangat perlawanan pada segala bentuk kesewenang-wenangan. Langkah memenjarakan seseorang hanya karena stempel “kacung” dilekatkan pada organisasi yang berdiri 94 tahun silam ini, bagi saya belum seberapa dibanding upaya Tirto Adhi Soerjo dan kawan-kawan saat menggebuk pemerintah Hindia Belanda seabad silam.

Saya pribadi bukan pendukung pelaku penyebut kata “kacung” tadi. Tapi apa yang menimpanya bagi saya adalah sebuah persoalan serius. Jika sebuah upaya untuk menyadarkan khalayak saat dianggap terjadi sebuah ketidakadilan dianggap menyimpang, apa bedanya kelompok ini dengan para penjajah yang menguras tanah Indonesia lebih dari tiga abad lamanya?

Saya kira para anggota kelompok atau organisasi tertua ini seharusnya lebih berbenah. Setidaknya membaca sejarah pergerakan bangsa ini dan kontribusi para senior mereka bisa jadi permulaan. Termasuk mempelajari segala bentuk perlawanan yang ditempuh para pendahulu mereka.

Segala upaya kriminalisasi adalah bentuk mempertahankan status quo. Dan jika ini terjadi, sudah bisa dipastikan ada yang salah dengan organisasi tertua ini. Mungkin karena sudah tua, jadi banyak khilaf. Salah satunya jadi cepat lupa. Lupa pada sejarah dan lupa diri.

Wahai para tabib modern, belajarlah pada sejarah.

Mari Lawan Malapraktik, Hei Kaum Intelektual!!





Kita akan buka pembahasan malapraktik lewat ke-cendikia-wan menurut Alvin Ward Gouldner dalam buku The Future of Intellectuals and the Rise of the New Class (1979). Menurut sosiolog dari Washington University ini, kecendiakawan terbagi atas dua; Intelegensia dan Intelektual. Seperti diulas sedikit oleh Daniel Dhakidae dalam esai biografi Toety Azis dan Kaum Perempuan dalam Profesi Jurnalistik (Menerjang Badai Kekuasaan, Kompas, 2015).

Kedua batasan tadi memiliki perbedaan siginifikan. Kecendiakawan yang minat hanya pada hal fundamental teknis semata disebut dengan Intelegensia. Untuk kategori kedua adalah kecendiakawan yang minatnya seputar ihwal kritis, emansipatoris, dan hermaneutik adalah Intelektual. Karena itupula untuk kategori kedua ini sering dinilai politis atau terjebak didalamnya.

Meskipun kedua batasan diatas tidak dengan tegas diulas oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sedikit banyak telah jadi acuan sehari-hari. Disaat bersamaan kedua jenis kecendikawan tersebut tidak pernah bertukar tempat saat kita melabeli sebuah tindakan. Yang paling kelihatan ialah pemakaian kata intelektual. Kata ini paling sering dipakai dengan embel-embel tambahan.

Setelah memahami dua pembagian kecendikiawan diatas, kita kembali pada batasan malapraktik. Acuan pertama saya adalah kamus asal-usul kata (Etymology). Kata ini pertama kali diperkenalkan dan digunakan dalam literature popular pada tahun 1670 (The Portuguese in West Africa, 1415–1670: A Documentary History, Cambridge University Press). Meskipun ada juga sumber referensi lain mengatakan bahwa dua puluh tahun kemudian baru resmi tersebar, intinya awal abad 17 adalah titik berangkat istilah ini bergulir.

Dari segi defisini, jika berdasar acuan pertama bermakna: suatu bentuk penanganan terburuk pada penyakit, kelahiran, atau berakibat cidera tubuh permanen, tindakan kecerobohan , atau sebuah niat jahat. Setidaknya ada lima kategori yang termasuk dalam kelompok batasan tindakan malapraktik. Jika salah satu atau semuanya terpenuhi, seseorang atau kelompok profesi dinyatakan telah melakukan sebuah malapraktik.

Acuan kedua saya adalah kamus kata tertua manusia, Meriam Webster Dictionary. Menurut kamus yang berumur 189 tahun ini, malapraktik adalah (sebuah tindakan) melalaikan tugas professional atau kegagalan untuk menjalankan keterampilan professional yang mengakibatkan cidera, kehilangan, atau kerusakan. Dari sinipun kita mendapat tiga kata kunci sebagai akibat dari sebuah malapraktik. Cidera, kehilangan, dan kerusakan.

Acuan ketiga saya adalah KBBI edisi kelima. Kamus dalam bahasa Indonesia ini menjelaskan kata malapraktik adalah praktik kedokteran yang salah, tidak tepat, menyalahi undang-undang atau kode etik. Tunggu dulu, sebelum kita lanjut, sebaiknya kita pahami dulu penggunaan kata malapraktik itu sendiri. Yang benar adalah malapraktik dan bukan malpraktek. Saya rasa ini juga penting, mengingat masih banyak dari kita kurang mahir menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kasihan almarhum J.S Badudu jika tahun bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu seenaknya “diperkosa” oleh anak kandungnya.

Mari kita lanjut.

Berangkat dari tiga acuan tersebut diatas, benang merah dari malapraktik adalah dampak yang ditimbulkan. Kelalaian, cidera, kerusakan, dan kehilangan (nyawa). Karena kebanyakan “korban” dari itu semua ketika berurusan dengan salah satu profesi kesehatan, KBBI dengan lugas dan menohok mengelompokkan pelakunya adalah dokter. Dan begitulah kenyataan dilapangan.

Apakah tidak ada upaya untuk menghentikan malapraktik? Ada. Salah satunya lewat pembentukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) pada tahun 2006. Sekaligus informasi ini mengantar kita pada dua batasan kecendikiawan pembuka diatas.

Bukan dalam rangka membahas aspek profesionalitas, tetapi dari aspek jenis cendikiawan. Dokter sebagai sebuah ilmu yang berorientasi pada aspek teknis kita masukkan dalam kelompok intelegensia. Segala aktifitasnya merujuk pada kondisi tersebut. Karena kaum intelegensia tidak bisa berdiri sendiri, maka dibutuhkan kaum intelektual, sebagai lawan tanding sekaligus teman.

Persoalan kemudian muncul saat kaum intelegensia memilih karib para politisi. Apalagi jika menggunakan politisi tersebut untuk mendukung segala bentuk kekeliruannya. Ambillah contoh kejadian malapraktik. Kekeliruan demi kekeliruan akan selalu terjadi dan pihak yang paling banyak dikorbankan adalah masyarakat kebanyakan.

Disinilah yang menurut saya kelahiran kaum intelektual dibutuhkan demi menghindari jatuhnya korban lebih banyak dari awam. Apalagi jika kaum politisi tadi yang notabene tidak memahami keadaan tetapi mau saja diajak bermufakat pada segala bentuk perilaku buruk. Apakah kaum intelektual hanya bisa diam?

Saya kira tidak. Bangkit melawan adalah bentuk paling lemah dari kaum intelektual dalam menghadapi kedekatan kelompok intelegensia dan politisi daripada diam tertindas . Butuh berapa banyak korban lagi? 


Perihal Undangan Akikah di Negeri Para Raja


Bismillahi Rahmanir Rahim                                                                       

Kasus yang diduga malapraktik memasuki babak baru. Setelah kemarin bersama kriminalisasi melangsungkan pernikahan, belum cukup beberapa hari telah melahirkan anak kedua. Jika anak pertama lahir pada hari yang sama dengan pernikahannya, maka anak kedua lahir dua hari setelahnya.

Antara keduanya juga punya nama yang unik. Hanya dua huruf. Anak pertama bernama FA dan anak kedua bernama IA. Nama panggilannya tidak kalah uniknya. Keduanya memanggul panggilan; "korban". Saya curiga, orang tua mereka malu karena melahirkan dua anak yang kritis. Makanya mereka disebut korban.

Sehubungan dengan kelahiran anak kedua ini, kabarnya keluarga dari (pelaku) malapraktik dan (pelaku) kriminalisasi akan mengadakan akikah. Inisiasi ini dilakukan ditempat yang tidak biasa. Tempat kelahiran mereka berdua. Kantor pihak berwajib di negeri para raja.

Sekedar informasi, meski baru sehari lahir, FA sebagai anak pertama telah memiliki akta kelahiran. Kode akta kelahirannya adalah: S-Pgl/a47/VII/2020. Karena anak kedua proses cetak akta sedang dalam proses, dua anak dari mempelai yang baru menikah akan bersamaan dilaksakan pesta akikah.

Meskipun dua anak ini berjenis kelamin laki-laki, mempelai dan keluarganya enggan mencari dua ekor kambing untuk masing-masing mereka. Mungkin keluarga dari mempelai sedang mengumpulkan pundi-pundi uang. Bukan dalam rangka untuk menghemat, tetapi menjalankan tabiat dasar keluarga yaitu Korupsi. Sekaligus mempertegas gelar Otoriter itu sendiri.

Melalui undangan ini, keluarga kedua mempelai juga mengucapkan banyak terima kasih pada para undangan yang menghadiri pernikahan kemarin. Jumlahnya mencapai 200-an orang lebih. Bisa dibayangkan betapa meriahnya pesta pernikahan kemarin, bukan?

Sebenarnya tidak adil jika kita tidak mengetahui bagaimana keluarga malapraktik ini disana. Terlebih sebelum menghadiri undangan tersebut. Bukannya tak kenal maka tak sayang? Dibawah ini sebuah paparan singkat keluarganya dan yang berhubungan.

Si (pelaku) malapraktik sebenarnya adalah bukan anak tunggal. Dia juga memiliki saudara yang lahir kembar. Mereka bernama Maksus (Makelar Kasus) dan Makpro (Makelar Proyek). Kalo dari segi silsilah, malapraktik lahir dari gen Otoriter Korup. Pernikahan bersama kriminalisasi menggenapi cita-cita keluarga besar mereka untuk mewujudkan sistem Oligarki pada kabupaten tertua di Maluku ini.

Waham keluarga mereka ini sebenarnya tidak serta merta muncul dengan sendirinya. Ada banyak pihak yang menopangnya. Adalah mereka-mereka pemilik sifat haus akan harta dan kekuasaan menggenapi munculnya waham dari keluarga ini. Saking pekatnya keinginan mewujudkan oligarki disana, keluarga malapraktik berkeinginan menguasai kembali daerah ini di tahun 2022. Sungguh sistematis dan terstruktur upaya mereka, bukan?

Malapraktik beserta pelakunya memang selalu meninggalkan ketertarikan sendiri. Selain bisa jadi bukti tidak siap dalam menjalankan tanggung jawab profesi, pola pikir dari si pelaku juga memang masih perlu untuk diperbaiki. Terlebih lagi kenyataan jika yang mengelilingi adalah keluarga sendiri yang otoriter. Semakin menggenapi sikap dari yang bersangkutan.

Pertemuan dengan kriminalisasi bermula sejak malapraktik menyadari diri sedang hamil anak pertama. Tepatnya beberapa bulan yang lalu. Saat FA mulai mengetuk rahim malapraktik, kegelisahan mulai muncul. Dibutuhkan sosok pendamping agar sang “anak” yang sedang dikandung bisa “lengkap” saat diasuh. Kriminalisasi memenuhi ruang untuk mewujud. Tempat pertemuan mereka cukup menarik. Ditempat keluarnya “akte” kelahiran dari FA.

Seperti kebanyakan orang, malapraktik memiliki tanda tersendiri. Adalah dua kain kasa yang tertinggal di Rahim pasien menjadi penanda darinya. Kejadian ini bukan kali pertama dalam dunia medis. Belajar pada apa yang menimpa ibu Tan di Thailand (Agustus 2018), sebenarnya bisa tercegah. Ibu muda ini melahirkan di salah satu fasilitas kesehatan Thalang. Setelah menyadari ada kejanggalan dalam tubuhnya, Tan melayangkan surat keberatan lewat akun pribadi media sosialnya. Otoritas tertinggi bidang kesehatan disana kemudian merespon positif. Lewat bentuk penanganan lanjutan dan kompensasi akhirnya semua berakhir bahagia.

Tentu saja kejadian di Thailand adalah berita buruk untuk malapraktik dan kriminalisasi. Jika yang terjadi disana dilakukan di Maluku Tengah, yakin dan percaya, pernikahan tidak akan terjadi. Dan yang terpenting, dua anak dari mereka tidak akan hadir.

Alhamdulillah. 

Sebagai penutup undangan akikah ini, besar harapan keluarga Otoriter khalayak bisa menyempatkan hadir dalam acara tersebut. Sambil berharap juga undangan ini disebarkan kepada siapapun yang peduli pada dan kenal baik dengan malapraktik dan kriminalisasi.

 

Wallahul Muwafiq ila Aqwamith Thoriq

Wabillahit taufiq wal hidayah

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh




Sebuah Undangan Pernikahan




Salah satu masalah dalam dunia kedokteran di belahan dunia manapun yang hingga saat ini masih terjadi adalah malapraktik. Sudah banyak kasus terkait ini dan penyelesaiannya berbeda-beda. Paling sering, pihak yang dirugikan adalah pasien. Baik itu berujung pada cidera permanen, kehilangan bagian atau fungsi tertentu tubuh, hingga kematian. Beberapa negara juga berbeda dalam memandang kejadian dari malpraktik.

Secara global istilah malapraktik pertama kali digunakan manusia pada tahun 1670. Dari segi makna juga tidak jauh berbeda hingga saat ini. Jika kita buka kamus tertua yang pernah dibuat oleh manusia, kata malapraktik artinya bentuk kelalaian dari tugas profesional atau kegagalan untuk melaksanakan tingkat biasa keterampilan profesional atau belajar dengan satu render layanan profesional yang mengakibatkan cedera, kehilangan, atau kerusakan. Awalnya, penyebutan kejadian ini hanya melekat pada satu profesi saja, yaitu dokter. Makin kesini, makin terbuka. Semua profesi berpeluang melakukan malapraktik.

Untuk konteks Indonesia, istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh majalah mingguan Tempo pada tahun 1986. Dari segi arti, pada Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah praktik kedokteran yang salah, tidak tepat, menyalahi undang-undang atau kode etik. Artinya, makna tersebut masih mengacu pada satu bidang profesi saja.

Seturut dengan itu, sejak 1986 tentu saja sudah banyak kasus malapraktik terjadi di Indonesia. Dari yang masuk kategori ringan hingga yang terberat (kasus meninggal). Meskipun dari semua kasus tersebut, bisa dikatakan sangat sedikit yang akhirnya menguntungkan pihak pasien (korban) dan keluarga. Tidak jauh berbeda sejak Majelis Kehormatan  Disiplin Kedokteran Indonesia lahir empat belas tahun silam. Malapraktik demi malapraktik tetap terjadi.

Dilain sisi, menjadi seorang dokter perlu diakui adalah sebuah profesi yang penuh dengan resiko. Karena berhubungan langsung dengan kelangsungan hidup seseorang. Maka dari itu cukup panjang jalan yang harus dilalui seseorang jika ingin menjadi seorang dokter. Termasuk juga tidak sedikit biaya yang dibutuhkan. Terutama untuk di Indonesia. Singkatnya, jadi dokter di Indonesia itu mahal dan dekat dengan resiko.

Menariknya, mahalnya biaya menjadi dokter dan tingkat resiko terhadap nyawa seseorang tinggi tidak membuat gentar orang untuk memilihnya jadi sebuah profesi. Tentu saja ini masih berhubungan dengan konsekuensi materi saat menjalankan tugas profesi. Karena mahalnya biaya sebuah gelar dokter juga, sangat sedikit dari dokter berkenan ditempatkan di pelosok Republik ini. Beruntung beberapa tahun belakangan pemerintah sudah punya program “Indonesia Sehat”. Meskipun tidak lama, upaya ini patut diapresiasi.

Kembali pada kasus malapraktik.

Selain kasus serupa belum bisa dikatakan selesai, ternyata ada sebutan yang sangat erat dengan kasus malapraktik ini. Istilah Kriminalisasi. Coba kita kembali mengingat kejadian tujuh tahun silam. Saat itu sangat erat hubungan antara (kasus) kriminalisasi dan malapraktik. Adalah kasus dr.Ayu mencuat, khalayak terbagi atas dua kelompok besar. Ada yang mendukung jeratan untuk dokter Ayu, ada juga yang menolak. Kebanyakan dari kelompok kedua dari anggota se-profesi.

Untuk kesekian kalinya, istilah kriminalisasi dan malapraktik menemui ruang untuk bercengkrama. Karena kejadian ini pula, awam akhirnya paham makna dan kondisi ideal kedua kata tersebut digunakan. Tidak main-main, pada 2013 silam, pakar hukum dan tata negara mengambil bagian dalam “pesta” bersatunya malapraktik dan kriminalisasi.

Berbicara soal dua kata tersebut, ada sebuah kejadian cukup menggelitik. Bertempat pada kabupaten tertua di Maluku. Kejadiannya bermula dari sebuah tulisan bernuansa kritik atas indikasi malapraktik di fasilitas kesehatan disana. Pelakunya, konon, masih keluarga dekat dengan orang nomor satu di Kabupaten tersebut.

Tidak terima akan kritik tersebut, dengan dalil pencemaran nama baik, oknum yang terindikasi merupakan pelaku malapraktik melapor ke pihak berwajib. Tentu saja dalih yang digunakan adalah Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Akhirnya, selembar surat berkode: S-Pgl/a47/VII/2020/Reskrim dikeluarkan. Sontak memancing reaksi yang tidak sedikit dari banyak pihak. Seolah satu pemahaman, semua orang menganggap laporan tersebut adalah bentuk pembungkaman pada nalar kritis.

Meskipun saya bersepakat dengan kesimpulan ada upaya pembungkaman terhadap nalar kritis, bukan itu yang membuat saya hampir tertawa. Yang lucu dari kejadian ini adalah latar belakang asal dari si pelapor. Jika betul dia adalah keluarga dekat dari kepala daerah disana, tindakan melapor yang dilakukan adalah sebuah kecerobohan. Apalagi jika kita hubungkan niatan “mengkondisikan” pengganti Bupati sekarang berasal dari keluarga sendiri. Bukankah ini bentuk bunuh diri secara politik.

Hal lain yang tidak kalah lucu, adalah campur tangan alat negara dalam kasus ini. Jika betul pihak berwajib meneruskan proses ini, disaat bersamaan, pihak berwajib menceburkan diri ke dalam pekatnya lumpur oligarki dalam peta perpolitikan disana. Terlebih jika kita perhatikan sepak terjang beberapa waktu belakangan ini , sang Bupati menunjukkan sikap otoriter. Salah satu bukti, pengangkatan pejabat sementara salah satu desa tertua di Maluku Tengah. Kabarnya, yang bersangkutan masih orang dekat dari si Bupati. Akibatnya, sikap otoriter daru pucuk pimpinan kabupaten menurun padanya. Lihat saja kejadian kekerasan di Sawai beberapa waktu lalu.

Bukankah otoritarian sangan lekat hubungannya dengan laku korup? Jika sudah begitu, nepotisme dan kolusi tinggal tunggu waktu untuk mewujud.
Berangkat dari kondisi diatas, bagi saya tidak ada alasan untuk menyerahkan kepercayaan pada kabupaten tertua di Maluku ini ke keluarga penguasa yang otoriter tersebut. Apalagi dengan mencuatnya kasus kriminalisasi ini, semakin memperteguh boroknya wajah kekuasaan yang berpraktik disana. Jika hari ini si aktivis menjadi korban, bisa jadi saya, anda, dan semua kita bisa mereka lenyapkan jika berlawanan. Apakah prilaku korup dan wajah borok kekuasaan ini akan terus diterima?

Mari selamatkan Maluku Tengah dari segala praktik penyalahgunaan kekuasaan oleh mereka yang otoriter dan korup disana. Satu kata untuk itu, lawan!

Karena diam adalah sebuah pengkhianatan.    

5 BUKU BACAAN UNTUK SKM




Jika kita tidak bisa menebak apa yang akan datang, paling tidak kita punya hak untuk membayangkan masa depan yang kita inginkan
(Eduardo Galeano)

Menjadi seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM), seharusnya adalah keputusan sadar bagi mahasiswa yang terdaftar pada institusi pendidikan tinggi terkhusus Fakultas Kesehatan Masyarakat. Untuk itu, karena SKM sebagai varian yang masih tergolong baru dalam jejeran tenaga kesehatan, diakui sebagai profesi adalah sebuah kebutuhan. Meskipun itu masih akan menempuh jalan yang terjal.

Jika mengacu pada kondisi hari ini, dan terlepas dari berbagai regulasi yang  bertujuan untuk itu, sebuah pertanyaan mendasar ialah; apakah SKM menjadi sebuah profesi hanya tanggung jawab dari para penyelenggara pendidikan semata ?

Terlepas dari silang sengkarut berbagai bentuk cara penyelenggara pendidikan terkhusus Fakultas Kesehatan Masyarakat untuk mewujudkan hal tersebut diatas, bagi saya, seorang SKM (atau calon SKM) sudah seyogyanya mempersiapkan diri mulai dari sekarang dalam menjawab tantangan zaman dikemudian hari.

Salah satu yang bisa dilakukan adalah peningkatan kapasitas diri dari SKM itu sendiri. Antara lain bisa bersumber dari berbagai bahan bacaan. Tentu saja selain bahan bacaan yang didapatkan pada ruang-ruang kuliah. Hal ini menjadi sangat penting, karena jika merujuk pada delapan kompetensi, seharusnya seorang SKM fasih melakukan banyak hal. Mulai dari melakukan kajian dan analisis situasi kesehatan masyarakat hingga kemampuan memimpin dan berfikir sistem.

Nah, pertanyaan lanjutannya; bahan bacaan bagaimanakah yang bisa menunjang delapan kompetensi tersebut ?

Berikut ini saya akan ulas lima buku yang menurut saya bisa menjadi pilihan dan dalam rangka mewujudkan niatan diatas. Sebagai berikut:
  
1.  FILSAFAT UNTUK PARA PROFESIONAL (A. Setyo Wibowo dkk, Penerbit Buku KOMPAS, 2016)

Buku Filsafat untuk Para Profesional


Sebelum saya mengulas sedikit buku ini, saya ingin pastikan kepada tuan dan puan sekalian, meski ada kata filsafat-nya, buku ini cukup mudah dicerna. Dan, jangan dibandingkan dengan diktat Filsafat ketika kuliah.

Paham.

Tentu anda bertanya, kenapa buku setebal 240 halaman ini yang pertama. Secara pribadi, alasannya sangat subyektif. Selain itu, karena buku ini sangat berbeda jauh dengan kebanyakan bacaan bertajuk filsafat yang membikin tuan dan puan sekalian mengernyitkan dahi. Juga karena buku ini adalah kumpulan tulisan dari para pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.

Anda tahu sekolah itu ? jika belum, silahkan gunakan gawai anda untuk mencari tahu.

Saya bisa lanjut ?

Mari kita mulai.

Buku ini menjadi menarik karena dibuka dengan membahas filsafat sebuah profesi. Tentu saja ini bukan tanpa alasan. Karena jika mengacu pada judulnya, titik tekan pembahasan buku ini adalah pada kata “Para Profesional”. Artinya, saat F. Budi Hardiman  sebagai penyunting meletakkan  tulisan “Platon dan Komitmen Profesi” dimuka,  bisa jadi  masih dalam rangka mengantar pemahaman pembaca terlebih dahulu.

Makanya, menurut saya buku ini penting menjadi bahan bacaan bagi SKM, setidaknya sebagai persiapan sebelum nantinya SKM menjadi sebuah profesi. Karena bagi A.Setyo Wibowo (penulis), kata profesi sebenarnya bukan saja bermakna memiliki keahlian yang khas (kompetensi), tapi juga bermakna pernyataan didepan umum berkenaan dengan kepercayaan/opini/atau tingkah laku tertentu (Hal 2). Sehingga kemudian dalam perkembangannya, sebuah profesi diwajibkan mengucapkan sebuah janji profesi.

Esai lain di dalam buku ini yang juga memiliki hubungan (baik langsung maupun tidak langsung) dengan keilmuan kesehatan masyarakat selain yang tadi, ialah; “Epikuros untuk para Konsultan Diet” (B. Herry Priyono), “Marcuse versus Perusahaan Iklan” (J. Sudarminta), dan yang terakhir  “ Merleau-Ponty untuk Para Perawat Tubuh” (Thomas Hidya Tjaya).

Nah, buku yang merupakan kumpulan esai dari 10 orang ini bagi saya sangat penting dan merupakan sebuah kerugian jika tidak menjadi bahan bacaan terutama untuk para SKM yang belakangan ini sedang bersiap dan memantaskan diri sebagai sebuah profesi.

Untuk mendapatkannya, silahkan anda cari sendiri.

 2.       MUKADDIMAH (Ibnu Khaldun, Pustaka Alkautsar, 2015)


Mark Zugenberg dan buku Mukaddimah


Setelah buku filsafat profesi diatas, buku selanjutnya yang menurut saya juga penting bagi SKM adalah; MUKADDIMAH karya Ibnu Khaldun yang mulai ditulis tahun 777 H/1377 M.

Sebelum mendedah buku ini, satu hal yang juga perlu saya sampaikan di sini adalah buku ini cukup tebal (1112 Halaman). Saking tebalnya, seorang kawan dengan satir berkata; “bahasan Mukaddimah (pembuka) saja setebal ini, bagaimana dengan isinya”

Jadi, betapa gelar bapak Sosiologi sekaligus Filsafat Sejarah dan Politik adalah sepadan untuk seorang Ibnu Khaldun. Atau info yang paling teranyar, ketika pemilik jejaring sosial terbesar berlogo huruf F dan B yang begitu mengidolakan beliau adalah sebuah kepantasan.

Membaca buku ini, anda akan menemukan sebuah struktur penulisan yang khas. Berbeda dengan struktur penyusunan buku yang banyak beredar sekarang ini, susunan tulisan --yang juga merupakan pengantar dari Kitab Al-Ibrar-- lebih seperti rangkuman analisa pengamatan dari berbagai belahan dunia yang pernah beliau singgahi serta dipadukan dengan berbagai buku/kitab yang juga merupakan sumber rujukan beliau.

Jadi, ketika tuan dan puan membaca Mukaddimah ini, tuan dan puan sekalian tidak akan menemukan pembagian berdasarkan BAB. Ibnu Khaldun membagi pembahasan tema-tema besarnya dalam istilah Pasal. Dan, buku setebal 1112 halaman ini terdiri dari enam pasal. Di setiap pasal sendiri cukup beraneka ragam jumlah uraiannya.

Ambillah contoh Pasal ketiga yang membahas “Kerajaan-Kerajaan Secara Umum, Kerajaan Kekhalifaan, Jabatan Kepemimpinan , Dan Semua Yang Berhubungan Dengannya”, terdiri dari 53 kelompok uraian (Hal. 254-586). Jumlah uraian tadi lebih banyak dibandingkan dengan Pasal Keenam yang hanya terdiri dari 50 kelompok uraian, dimana pada bagian ini Ibnu Khaldun membahas “ Berbagai jenis Ilmu Pengetahuan., Metode Pengajaran, Cara Memperoleh dan berbagai dimensinya, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya” (Hal. 792-1075).

Terus, apa hubungan ilmu kesehatan masyarakat dengan buku yang ditulis ribuan tahun lalu ini?

Untuk pembahasan yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat dimulai dari Pasal pertama. Yang mana, pada pasal ini Ibnu Khaldun membuka pembahasannya pada hakikat manusia sebagai machluk sosial. Dimana kondisi tersebut berangkat dari kenyataan bahwa manusia senantiasa membutuhkan manusia yang lain dalam pemenuhan kebutuhannya (Hal. 69).

Selain itu, dalam memenuhi kebutuhan manusia memerlukan perkakas. Untuk kelompok perkakas ini kemudian Ibnu Khaldun menitikberatkan pada konteks dimana manusia atau kelompoknya hidup. Sudah  barang tentu, berangkat dari analisis tersebut masyarakat berserta penyakit yang mengikutinya juga berhubungan.

Masih pada pasal ini, Ibnu Khaldun juga membahas pembagian iklim berdasarkan geografi. Tidak tanggung-tanggung, dalam analisisnya kawasan iklim terbagi atas tujuh. Selain itu, terdapat penjelasan hubungan antara pengaruh udara dan warna kulit manusia dan berbagai macam kondisinya (Hal. 124).

Selain pasal pertama, setidaknya masih ada lagi beberapa uraian yang tersebar pada beberapa pasal setelahnya. Ambillah contoh pada pasal kedua (Peradaban Badui, Bangsa-Bangsa Dan Kabilah Liar, Serta Kondisi Kehidupan Mereka, Ditambah Keterangan Dasar Dan Kata Pengantar), Ibnu Khaldun membahas secara tersirat fenomena bermasyarakat dan segala dampak yang ditimbulkan termasuk permasalahan kesehatan masyarakat tentu saja (Hal. 174). Atau uraian kelimabelas masih dalam pasal kedua ini, Ibnu Khaldun membahas umur sistem organisasi kepemimpinan (Hal. 212), yang mana tentu saja bisa menjadi rujukan bagi SKM ketika ingin melatih kompetensi seorang pemimpin yang berfikir sistem.

Dan masih banyak lagi.

Setidaknya ada 34 uraian (bahkan lebih) yang bagi saya sangat berguna bagi SKM untuk menopang delapan kompetensi tersebut diatas.

Jika tuan dan puan tidak percaya, silahkan; cari, beli, dan baca sendiri.

 3.  Karya Lengkap TIRTO ADHI SOERJO; Pers Pergerakan dan Kebangsaan(Penyusun; Iswaran Raditya dan Muhidin M Dahlan, I:BOEKOE, 2008)

Buku Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo


Saat dunia memiliki dedengkot analisis masalah sosial; Ibnu Khaldun dengan salah satu Magnum Opus berjudul Mukaddimah, maka sebenarnya Indonesia juga memiliki Tirto Adhi Soerjo (TAS) sebagai pribumi yang dengan kemampuan mendedah persoalan, juga tidak kalah tajamnya. Walaupun bentuk analisisnya lebih dikhususkan untuk konteks ke-Indonesia-an yang ingin lepas dari penjajahan dan penindasan, tetap saja memberikan banyak informasi terkait kondisi Indonesia ketika itu.

Dalam buku kumpulan karya lengkap TAS yang pernah dimuat pada berbagai koran kisaran rentang waktu 1902-1909, para penyusun mengelompokkan enam tema besar. Antara lain: jurnalisme, dunia pers, penggerak organisasi, kesehatan, kronikus, dan yang terakhir sastrawan. Dan semuanya adalah semesta pemikiran TAS yang terdokumentasi.

Jika tuan dan puan masih asing dengan nama Tirto Adhi Soerjo, bagi saya itu wajar. Selain buku karya lengkap TAS ini, sosok beliau secara tersirat hanya dikenalkan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam tetralogi Buru. Beliau diperkenalkan dalam sosok Minke. Atau lebih vulgar lagi dalam karya Pramoedya berjudul Sang Pemula. Setelah itu menurut saya tidak ada lagi hingga tahun 2008 Kumpulan tulisan ini disatukan dalam sebuah buku.

Tentunya ini  bukan sebuah upaya yang mudah, karena bahkan kedua tim penyusun (Muhidin M Dahlan dan Iswara M Raditya) belum dilahirkan ketika TAS sudah berjibaku untuk menjadi motor penggerak bangsa terperentah. Sehingga mengumpulkan tulisan yang tersebar dalam berbagai media cetak pada rentang waktu tersebut membutuhkan energi yang tidak sedikit.

Dan kepada kedua penyusun tersebut saya ucapkan banyak terima kasih.

Jika mengacu pada jumlah halaman, buku ini terbilang cukup tebal. Bayangkan, jumlah halamannya; 1060. Tebal, bukan?

Selain memperkenalkan sosok TAS melalui pikiran-pikirannya kepada khalayak, melalui buku ini juga kita bisa mengetahui sejarah jurnalisme di Indonesia. Salah satunya; mendedah koran pertama di Republik yang di kelola sepenuhnya oleh anak bangsa. Adalah pada 7 Februari 1903, untuk pertama kalinya terbit koran Soenda Berita yang dimodali, diisi oleh tenaga-tenaga boemiputra sendiri (Hal 17).

Yang cukup menarik dari sosok TAS, beliau secara serius memperdalam berbagai aspek dalam usahanya menjadi motor pengerak pergerakan. Mulai dari mengasah kemampuan jurnalismenya, hukum, ekonomi, hingga kesehatan. Untuk yang terakhir ini sangat erat hubungannya dengan ilmu yang didapatkan ketika menjadi salah satu siswa di STOVIA. Meski akhirnya tidak selesai, tidak membikin TAS melupakan pengetahuan yang didapatkan selama enam tahun di STOVIA.

Tidak tanggung-tanggung ada 22 artikel (hal. 668 – 743) ditulis TAS dalam rentang 1902-1909. Tentu saja diluar artikel lain yang bertema pergerakan, pers, hukum, bahkan sastra. Cukup produktif, bukan?

Terkhusus yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat, bisa dikatakan hampir semua dari keduapuluhdua tulisan tersebut. Ambillah contoh tulisan berjudul: “ Hal Air Minoeman “ yang terbit pada koran Poetri Hindia No. 17 Tahun 1909 (Hal. 717). Gagasan besar tulisan ini adalah segala ihwal air minum. Atau meminjam istilah yang jamak hari ini adalah Pengolahan Air Minum Tingkat Rumah Tangga (PAM-RT).  Bahkan, informasi tentang pengolahan air sebelum diminum sudah sedemikian modernnya yang diperkenalkan TAS ketika masa itu.

Atau tulisan berjudul; “ Pendjagaan dan Pemeliharaan Gigi” yang terbit pada koran Poetri Hindia No. 17 tahun 1909. Dalam tulisannya, TAS menyampaikan segala hal yang berhubungan dengan menjaga kesehatan mulut. Dan isi pesannya tidak jauh berbeda dengan berbagai iklan pasta gigi saat ini. Sekali lagi, ini masih dalam rangka memperkenalkan kepada anak bangsa terprentah akan pentingnya menjaga kesehatan.

Selain berbagai informasi yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat, upaya TAS ini juga bisa dimaknai untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat ketika itu. Dan, sekali lagi untuk seorang (atau calon) SKM, merupakan informasi berharga. Karena dengan membaca kumpulan tulisan tersebut, kita (SKM) akan mendapatkan banyak informasi terkait sejarah dan informasi kesehatan masyarakat yang terjadi dalam kurun waktu 1902-1909.

Sekali lagi, jika tuan dan puan merasa ingin menyelami ilmu kesehatan masyarakat, saran saya sebaiknya membaca buku ini. Dan, jika beruntung sebaiknya lagi memasukkan buku ini di dalam salah satu daftar koleksi pribadi.

Untuk mendapatkannya, silahkan ke desa Sewon, Bantul, Yogyakarta. Cari Radio Buku. Dan, belilah.

  4.     Teori Pergerakan Sosial (Robert Mirsel, Resis Book, 2006)

Buku Teori Pegerakan Sosial



Bagi penerbit,  salah satu kelebihan buku ini adalah penulisnya merupakan warga negara Indonesia. Meski berisi pemikiran dari Eropa, tidak mengurangi makna dari buku ini dalam menyuguhkan berbagai hal yang berhubungan dengan Pergerakan Sosial di Dunia. Sekaligus, ini bisa menjadi salah satu panduan dari SKM kedepannya. Bukankah salah satu komponen dari SKM adalah perubahan prilaku yang akan bermuara pada gerakan sosial ?

Buku setebal 272 halaman ini terbagi atas dua bagian pembahasan (VIII BAB). Masing-masing pembahasan saling berkaitan dan menyusun sebuah pengetahuan besar terkait pergerakan sosial. Untuk itu, membaca buku ini tidak bisa jika kita melompat-lompat.

Untuk bagian pertama, penulis memperkenalkan kepada pembaca kilasan sejarah perkembangan teori-teori gerakan masyarakat. Dimulai dengan berbagai perubahan dalam bidang pengetahuan (Hal 7-15) hingga periodisasi teori pergerakan masyarakat secara global (Hal 21 – 119). 

Sebagai contoh; menurut penulis perbahan dari waktu ke waktu teori pergerakan sosial dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, tekanan internal. Tekanan internal adalah teka-teki yang masih tersembunyi dan belum terjawab (hal. 9). Untuk itu, lanjut penulis, berbagai upaya bisa dilakukan. Antara lain; mencoba merumuskan kembali, merevisi atau malah diganti. Kesemuanya masih dalam rangka keluar dari tekanan internal tadi.

Kedua, adalah tekanan eksternal. Berbeda dengan tekanan internal, secara eksternal perkembangan teori pergerakan sosial dipengaruhi oleh perkembangan budaya masyarakat. Bahkan, bisa juga dipengarui oleh pergeseran-pergeseran pemikiran yang terjadi secara global. Sehingga menurut penulis, ada dua macam tekanan eksternal. Pertama, terdiri dari pergeseran-pergeseran dalam gaya pemikiran, dan kedua aliran pemikiran.

Sehingga bagi penulis, teori pergerakan sosial atau masyarakat tidak bisa lepas dari perkembangan masyarakat itu sendiri. 

Untuk bagian kedua, penulis memberikan gambaran soal perbedaan gerakan-gerakan kemasyarakat yang berhubungan dengan waktu dan ruang (hal. 209-235).

Hubungannya dengan kebutuhan SKM, terletak pada pentingnya memahami segala aspek yang berhubungan dengan pergerakan sosial. Yang mana nantinya akan bermuara pada sebuah (pengkondisian) gerakan masyarakat. Pendeknya, dengan pemahaman akan teori pergerakan sosial, seorang SKM tidak akan terjebak dalam kesalahan analisis sebuah kondisi kemasyarakatan.

Bukankah buku ini menjadi sangat penting untuk tuan dan puan sekalian yang memiliki gelar SKM atau bercita-cita mendapat gelar SKM dengan delapan kompetensi tersebut ? 

 5.    MEREKA BICARA FAKTA; Wajah Sistem dan Regulasi Kesehatan Indonesia (Susanti dkk, INSISTPRESS, 2014)

Buku Mereka Bicara Fakta



Jika empat buku sebelumnya berbicara terkait filosofi, kondisi  masyarakat secara global, kondisi masyarakat Indonesia dahulu kala, dan berbagai teori yang terkait pergerakan sosial, maka buku terakhir ini berbicara wajah kesehatan hari ini.

Kiranya tuan dan puan jangan kaget dulu. Buku kelima tidak berisi angka-angka kesakitan dan/atau berbagai jenis nama penyakit yang bahkan untuk menyebutkannyapun bisa jadi lidah tuan dan puan akan keseleo.

Buku yang terakhir ini berisi kumpulan tulisan pemenang lomba blog “Wajah sistem dan regulasi kesehatan Indonesia” tahun 2014. Tuan dan puan masih ingat kejadian mogok massal dokter yang terjadi pada November 2013 ? lomba ini bisa jadi adalah respons dari kondisi tersebut.

Kira-kira tuan dan puan sudah bisa paham bagaimana isinya?

Jika belum, saya akan ulas sedikit.

Dalam buku setebal 164 halaman ini berbagai masalah terkait sistem dan regulasi kesehatan di Indonesia diurai. Mulai dari pelayanan kesehatan  (Judul tulisan; “Sandiwara di Rumah Sakit”, penulis Susanti) hingga permasalahan yang muncul pada salah satu varian jaminan kesehatan [Judul tulisan; “(bukan)Jaminan Persalinan”, penulis Rodame Monitorir Napitupulu].

Selain uraian terkait permasalahan kesehatan, kumpulan tulisan yang ada pada buku ini juga mengulas kisah-kisah positif atau inspiratif yang berhubungan dengan kesehatan di Indonesia. Taruhlah tulisan  berjudul; “Lelucon Dan Sebuah Jaminan Kesehatan” yang berisi harapan akan sistem jaminan kesehatan yang ternyata berdampak positif bagi masyarakat. Atau tulisan yang berjudul; “Sebuah gerakan Rumah Ramah Rubella”. Yang mana penulis berbagai kisah nyata seorang ibu yang anaknya mengalami Rubella dan akhirnya mendorongnya untuk mendirikan Rumah Ramah Rubella sebagai tempat mengedukasi publik.

Dan masih banyak lagi kisah lainnya. Jika tidak percaya, silahkan cari, beli dan baca buku ini.

***

Kelima buku diatas tentu saja bukan satu-satunya. Dalam artian masih banyak buku lain yang sebenarnya bisa digunakan sebagai penopang dari terwujudnya delapan kompetensi seorang SKM. Selebihnya, tuan dan puan bisa mencari sendiri berbagai bahan bacaan yang kiranya masih berhubungan dengan delapan kompetensi itu sendiri.

Akhir kata, saya meminjam sebuah slogan dari Nurcholis Madjid yang diucapkan pada Oktober 1986 di peresmian Yayasan Wakaf Paramadina. Meskipun tema utuh dari sambutan ini adalah Islam dan keumatan, tapi bagi saya tidak ada salahnya digunakan dalam rangka sebuah upaya memantaskan diri SKM menjadi sebuah profesi; “....kita (SKM) tidak bisa menjadi siapapun, tetapi kita (SKM) bisa menjadi seorang yang efektif dan berkomitmen...”

Begitulah kita (SKM) seharusnya.

Semoga. 


    Disclaimer: sumber gambar dari situs pablo by buffer, tokopedia,  detik.co, indonesiasati.co, dan rodame.wordpress.com

MASA DEPAN PROMOSI KESEHATAN




Sebagai salah satu bagian dari ilmu kesehatan masyarakat, promosi kesehatan (Promkes) memiliki cara tersendiri dan berbeda. Meski begitu promosi kesehatan tidak kehilangan daya tariknya. Ambillah contoh; salah satu tujuan  promkes yang berhubungan dengan perubahan prilaku.

Saat berbicara soal perubahan prilaku, ihwal paling mendasar adalah mengajak masyarakat untuk berkesadaran hidup sehat. (special untuk kata “berkesadaran” tentu harus digarisbawahi, ditebalkan dan dibuat miring. Karena kesadaran akan berhubungan dengan kondisi berkelanjutan)

Tentu saja ini  bukan tanpa kendala yang berarti. Selain karena kesadaran itu sendiri inheren dalam diri manusia, juga karena kesadaran manusia berhubungan dengan segala hal diluar dirinya. Entah itu tercipta karena pola asuh dalam keluarga hingga pengaruh lingkungan sekitar.

Disinilah peran seorang sarjana kesehatan masyarakat yang spesifik dalam lingkup promosi kesehatan menemui tantangan pertamanya.  

Sebelum jauh melangkah, dan dalam rangka mendedah secara utuh promosi kesehatan, ada baiknya tulisan ini saya buka dengan mengurai sedikit sejarah promosi kesehatan. Dari beberapa referensi, promosi kesehatan pertama kali resmi dilafazkan secara global pada awal abad 20 atau tepatnya di tahun 1986 dalam Konfrensi International promosi kesehatan di Otawa.

Jika secara resmi dunia mengakui keberadaan promosi kesehatan sejak tiga dasawarsa yang lalu, bagaimana dengan sejarah promosi kesehatan di Indonesia ?

Efektifnya, praktek promosi kesehatan sebenarnya sudah mulai dilakukan oleh Tirto Adhi Soerjo (1880 – 1918). Meski sebagai pribumi beliau secara tidak sadar melakukannya, tetap saja upaya untuk penyebarluasan informasi seputar masalah kesehatan serta berbagai bentuk penanganan dan pencegahannya yang dimuat pada  berbagai koran menjadi peletak awal prinsip promosi kesehatan di Republik ini.

Ambillah contoh tulisan beliau  yang berjudul “Obat-obat jang Perloe Disimpan di Rumah”, dimuat dalam koran Soenda Berita  No. 11 dan No. 13, tahun II, 5 Mei 1904 dan No 22 Mei 1904 (sumber: Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo, I:BOEKOE, 2008). Ditulisannya, beliau sudah memperkenalkan pentingnya jenis-jenis obat yang wajib ada dirumah. Yang saat ini lebih popular dengan istilah kotak obat atau kotak P3K (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan).

Atau tulisan lainnya yang berjudul “Hal Air Minoeman” yang dimuat dalam koran Poetra Hindia, No 17, Tahun II, 1 Juli 1909  (Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo, I:BOEKOE, 2008). Yang mana, beliau banyak bercerita ihwal air. Baik kualitas maupun kuantitasnya. Dan menariknya, tulisan beliau tersebut sudah memperkenalkan metode pengolahan air sebelum dikonsumsi. Entah itu metode penyaringan hingga merebus.

Bahkan beliau juga sudah memperkenalkan metode pengendapan material fisik pada air keruh sehingga layak minum jauh hari sebelum metode purin disebarluaskan. (Sebelum membahas lebih jauh, ingatkan saya untuk mengulik tulisan Tirto Adhi Soerjo yang berhubungan dengan kesehatan pada kesempatan lain) 

Dan lagi-lagi informasi diatas tentu saja bisa menjadi pembanding pada sejarah  promosi kesehatan di republic ini yang katanya baru dimulai di tahun 1997. Seperti sering diucap oleh para pengajar di ruang-ruang kuliah kampus atau sekolah tinggi pencetak sarjana kesehatan masyarakat di Indonesia.
Pertanyaannya kemudian, jika sejak awal abad 19 promkes sudah berbicara soal peyebarluasan informasi yang massif, bagaimana dengan arah promkes saat ini?

Jika masyarakat ditanya; apa itu promosi kesehatan ? saya yakin dan percaya jawabanya adalah penyuluhan kesehatan (saja). Jawaban tersebut tentu saja tidak bisa kita persalahkan. Karena secara jamak masyarakat kita – atau bahkan tenaga kesehatan–  masih kurang paham sepenuhnya apa yang dimaksud dengan promosi kesehatan itu sendiri. Mereka tidak mengetahui bahwa promosi kesehatan itu berbicara juga soal mempengaruhi arah kebijakan kesehatan (Advocacy). Atau fungsi promosi kesehatan yang sejatinya mampu menciptakan kondisi lingkungan sehat (Bina Suasana).

Promosi Kesehatan hari ini

Setelah kita mengetahui sejak kapan kaum pribumi di republik ini mencurahkan perhatiannya terhadap upaya-upaya promosi kesehatan, ada baiknya pandangan kita alihkan pada kondisi promosi kesehatan hari ini. Secara umum, jika kita lebih jeli melihat penyebab minimnya pengaruh bentuk promosi kesehatan terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat dimulai dari basis data/informasi yang masih kurang. Baik kuantitas maupun kualitas.

Ambillah contoh angka kepemilikan jamban yang sehat.

Jika kita bertanya kepada petugas kesehatan (Nakes) dari pihak pemerintah, informasi kepemilikan jamban untuk saat ini  masih terbatas pada akses. Ini tentu saja tidak keliru, namun jika hanya sebatas akses saja belum cukup. Karena berpadunya kata “jamban” dan kata “sehat”, selain persoalan akses juga terkait kondisi didalamnya. Apalagi dengan diawali dengan kata kepemilikan.

Maksud saya, jamban yang juga bagian integral dari sebuah rumah harus dipahami secara utuh. Bukan saja terbatas pada pengetahuan dan pentingnya menggunakan jamban, tapi kualitas jamban yang seharusnya juga menjadi perhatian. Termasuk didalamnya bentuk bangunan atas dan atau bangunan bawah dari jamban itu sendiri.

Karena ketika kata “jamban” bertemu kata “sehat” apalagi diawali dengan kata “kepemilikan”, dalam bayangan saya akan terpampang jumlah kepala keluarga yang memiliki jamban lengkap. Mulai dari kualitas fisik kloset, kuantitas air yang cukup, fasilitas cuci tangan pakai sabun, hingga bentuk tangki tinja yang kedap air. Dan sialnya, kondisi ideal tersebut belum merata disini (baca:Indonesia).

Dilain pihak, tenaga kesehatan yang berperan terhadap peningkatan kepemilikan jamban sehat masih diisi oleh pengetahuan yang bersifat tehnis (saja). Dalam artian, disaat konsep jamban sehat sudah ideal yang didapat lewat bangku-bangku perkualiahan ternyata tidak diikuti dengan bentuk penyampaian yang terang-benderang dilapangan.

Dilain pihak, jika kita mengacu pada informasi yang tertuang pada PERMENKES No. 3 Tahun 2014, pengetahuan yang bersifat tehnis dari tenaga kesehatan tersebut bermula. Yang mana, titik tekan aturan itu pada akses terhadap jamban saja. Informasi tersebut bukan bertolakbelakang dengan bentuk dari jamban sehat. Karena jika mengacu pada konsep jamban sehat dari KEMENKES (2004), sejatinya penampungan tinja harus kedap air. Dalam artian bukan hanya dinding penampungan tinja saja yang mengalami pengerasan, alas dari penampungan tersebut juga harus  mengalami pengerasan (Azwar, 1990).

Dan bagi saya, tantangan seorang promosi kesehatan menjadi bertambah.

Masa Depan Promosi Kesehatan

Kita tinggalkan sejenak pembicaraan seputar minimnya pengetahuan jamak ihwal promosi kesehatan atau perbedaan titik kisar dari sejarah promosi kesehatan di Indonesia dan mari berbicara masa depan promosi kesehatan.

Tema ini menjadi menarik karena dua penyebab. Penyebab pertama, perkembangan budaya manusia yang kian cepat. Dan kedua, karena perkembangan manusia yang tentu saja  diikuti dengan perkembangan jenis penyakit.

Berbicara soal perkembangan manusia, sebenarnya sudah pernah diingatkan oleh Fedrich H. Kanfer dalam karyanya; Personal Control, Social Control, dan Altruism: Can society survive the age of Individualism? Pada tahun 1979 dan  Gerald Klermen dalam karya; The Age of Melancholy tahun 1979. Bahwa yang tersisa dari era modern sebagai salah satu bagian perkembangan manusia adalah kecemasan, keterasingan, kekerasan, egoisme, dan depresi.

Berangkat dari peringatan Kanfer dan Klermen tadi, pertanyaan lanjutannya ialah bagaimana seharusnya promosi kesehatan berperan dan bagaimana bentuknya di era modern atau meminjam istilah Yasraf Amir Piliang era Hypermodernitas.

Jika dahulu penyebarluasan informasi atau jamak dikenal dengan kata penyuluhan, dimana lebih sering dilakukan dengan cara mengumpulkan orang dan informasinya hanya berdasarkan keinginan tanaga kesehatan saja sebagai penyampai pesan tanpa secara aktif melibatkan masyarakat untuk menggali kebutuhannya terlebih dahulu. Kedepannya cara ini bisa dipastikan sudah tidak efektif lagi. Selain karena kegiatan tersebut menyita waktu bagi masyarakat, juga karena permasalahan mendasar soal efektifitas pesan yang belum tentu tercapai melalui metode tersebut.

Saya bayangkan, penyebarluasan informasi kedepannya lebih banyak dilakukan oleh teknologi dan bukan lagi manusia. Misalnya, suatu saat akan ada E-Promkes yang berbasis android. Selain karena kemudahaan aksesnya yang tidak terikat ruang dan  waktu, alih fungsi alat atau metode penyebarluasan informasi ini juga jauh lebih efektif. Dalam artian, masing-masing orang akan berselancar dan mencari informasi yang sesuai kebutuhannya. Coba bandingkan dengan cara konvensional penyuluhan.

Sangat tidak efektif bukan?

Selain masalah efektif-tidaknya sebuah pesan, alih cara penyebarluasan informasi tadi jauh lebih murah dibandingkan metode konvensional selama ini. Dimana saat ini alokasi anggaran belanja kesehatan hanya habis untuk belanja pegawai atau  kegiatan demi kegiatan yang jika ditelisik lebih dalam masih jauh api dari panggang, untuk hal terciptanya masyarakat yang sehat dan berkesadaran. Ini tentu saja kita belum berbicara soal  kegamangan peran masing-masing tenaga kesehatan yang terjadi di tingkat terbawah tempat pelayanan kesehatan dalam hal ini Puskesmas. Dibandingkan dengan memakai E-Promkes yang cukup dengan mengupdate informasi dan membiayai kuota ruang dalam dunia maya, tugas dan peran promosi kesehatan sudah berjalan.

Kira-kira mana yang lebih murah?

Dilain pihak saat masalah promosi kesehatan ditarik lebih jauh pembahasannya tentu saja menjadi lebih tehnis. Contohnya media penyampaian. Jika mengacu pada bentuk, secara garis besar penyampaian pesan kesehatan terbagi atas dua. Yang pertama secara langsung dan kedua secara tidak langsung. Untuk bentuk pertama biasanya dalam bentuk penyampaian dalam tatap muka. Entah itu penyuluhan, seminar, talkshow atau bahkan pelatihan.

Dan, bentuk kedua menggunakan perantara. Entah itu brosur, pamphlet, X-banner bahkan iklan layanan masyarakat.  Ironisnya untuk bentuk promosi kesehatan yang terakhir ini masih masih jarang membuat masyarakat tertarik. Sehingga jangan kaget jika besaran biaya yang dihabiskan untuk sebuah media promosi kesehatan tidak berbanding lurus dengan peningkatan jumlah masyarakat yang mengubah prilaku tidak sehat menjadi prilaku sehat. Apatah lagi jika diharapkan secara sadar melakukan itu.

Berangkat dari beberapa kondisi diatas, menurut hemat saya belum terlambat kiranya untuk menelisik kembali bagaimana keadaan promosi kesehatan dalam beberapa dekade kedepannya. Dan sekali lagi, ini masih erat hubungannya dengan peran berbagai pihak di dalamnya.

Kita bisa mulai dengan mengidentifikasi apa yang menjadi permasalahan kesehatan didalam masyarakat. Tentu saja bentuk kegiatannya adalah memperbaiki segala bentuk informasi/data yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat. Karena jika mau jujur, permasalahan informasi/data masih merupakan momok tersendiri. Salah satu bentuknya misalnya perbedaan angka yang bersumber dari masing-masing instansi terkait. Dan sialnya, masing-masing instansi tersebut menganggap informasi/data yang mereka milikilah yang tervalid.

Setelah permasalahan informasi/data teratasi, tentu saja bisa melangkah pada tahapan berikutnya ialah penyusunan strategi promosi kesehatan yang akan dijalankan. Khusus untuk tahapan ini dibutuhkan kerjasama yang kuat antara berbagai lapisan kelembagaan. Baik lembaga pemerintah maupun lembaga masyarakat. Karena akan berhubungan dengan tahapan selanjutnya terkait implementasi dilapangan. Lagi-lagi kata kuncinya adalah komitmen.

Selebihnya tinggal bentuk monitoring dan evaluasi dari tahapan implementasi yang akan dijalankan. Karena tanpa proses monitoring dan evaluasi semua tahapan sebelumnya akan menjadi sia-sia. Ditahap inilah kemudian proses pembelajaran dan adaptasi dari segala bentuk perkembangan masyarakat yang diikuti dengan perkembangan penyakit  bisa terjadi.

Pertanyaan lanjutnya kemudian bagaimana memulainya ?



*Disclaimer: Sumber gambar https://www.slideshare.net






SKM itu Petarung (?)




Entitas SKM dalam sistem terbuka Roy Bhaskar (1976)


Beberapa malam yang lalu, layar telepon seluler (ponsel) pintarku tidak berhenti terkedip-kedip. Setelah memeriksanya, ternyata ada tumpukan pemberitahuan dari salah satu program aplikasi obrolan. Dan, itu berasal dari obrolan grup alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) yang menjadi tempatku dulu mendapatkan gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM). Rasa penasaranku pun muncul. Meskipun secara tehnis saya telah tergabung pada kurang lebih tujuh grup obrolan di program aplikasi yang sama, riuh pemberitahuan ini akhirnya menjadi begitu menarik.

Salah satu sebab; dibandingkan enam grup lainnya, grup yang satu ini biasanya lebih sepi. Paling jauh, kami riuh hanya pada beberapa momentum saja. Misalnya; perayaan capaian-capaian keberhasilan. Mulai dari keberhasilan individu dari kami (baca: alumni) hingga keberhasilan kelembagaan (Universitas dan atau Fakultas). Memang benar bahwa keberhasilan itu patut dirayakan, tapi tidak bisa dipungkiri ada juga di antara kami yang merasa bosan akhirnya.

Kembali pada  sebab utama menjadi riuh. Setelah mengusap layar ponsel pintar dan memeriksanya, ternyata kami (anggota grup) saling berkomentar perihal eksistensi seorang SKM. Berangkat dari pertanyaan salah seorang alumni; apakah Kesehatan Masyarakat adalah sebuah (dan atau layak menjadi) profesi atau bukan ?

Terlepas dari berbagai tanggapan yang muncul, untuk saya pribadi, pertanyaan ini sudah lama mengganggu pikiran. Tepatnya sejak 2004, saat bergabung dengan berbagai program kemasyarakat yang spesifik mencoba ambil bagian untuk mengatasi segala permasalahan kesehatan masyarakat di republik kita. Ini juga salah satunya yang melatari keberadaan blog ini sebagai sarana menyalurkan pikiran-pikiran yang berhubungan dengan seputar masalah Kesehatan Masyarakat.

Tapi, baiklah. Saya kira, persoalan eksistensi SKM selalu menarik untuk dibahas. Setidaknya ini bisa kita tujukan pada adik-adik imut calon mahasiswa atau yang telah menjadi mahasiswa FKM dimanapun itu.

Jadi begini, sebelum menjawab pertanyaan; apakah Kesehatan Masyarakat—atau SKM-- itu sebuah profesi atau bukan? Ada bagusnya kita urai SKM itu memakai Atomisme Metodeologis terlebih dahulu. Atau sederhananya, kita memulai dengan pertanyaan; apakah SKM itu? Dan apa saja unsur penyusun seorang SKM?

Setelah kedua pertanyaan ini terjawab, baru kita bisa lanjut pada pokok bahasan awal.

SKM adalah ?

Jika bertanya pada adik-adik imut calon mahasiswa atau mahasiswa FKM dan bahkan para alumni yang tergabung dalam organisasi kesehatan masyarakat; apa itu SKM? bisa dipastikan akan muncul jawaban yang merujuk pada setumpuk aturan pemerintah, diktat, karya ilmiah, bahkan buku-buku yang berkenaan dengan ilmu kesehatan masyarakat itu sendiri. Tidak berbeda juga dengan saya, awalnya. Ini tentu saja tidak keliru. Soalnya sekarang adalah; apakah SKM hanya sebatas dari sumber-sumber tadi?

Tentu saja tidak.

Berangkat dari kondisi inilah dan dengan segala keterbatasan yang ada, saya mencoba-coba cari tau perihal SKM.

Sebelum jauh melangkah, tidak adil kiranya jika saya tidak menjelaskan sedikit tentang atomisme metodeologis dan kenapa saya memilih cara ini. Atomisme metodeologi (metode pemecahan entitas ke entitas lebih kecil) adalah salah satu pendekatan dalam melakukan analisis. Pendekatan ini kebanyakan digunakan filsuf dalam upaya menjawab pertanyaan eksistensi (ontology epistemic). Walaupun disaat bersamaan tidak jarang penjelasan yang didapatkan tidak memadai karena keterbatasan sumber. 

Saya memakai pendekatan ini karena metodenya yang memilah unsur penyusun dari pokok bahasan. Selain itu, pendekatan ini pula meletakkan segala hal yang berhubungan secara adil dan setara.

Melalui pendekatan ini akhirnya saya tersadar, bahwa SKM adalah sebuah entitas yang tidak berdiri sendiri dan bukan tanpa sebab bisa terwujud. Dan dengan pendekatan ini pula, kita bisa melihat berbagai hal didalamnya.

Seperti halnya entitas-entitas lain, (untuk menjadi seorang) SKM juga tersusun atas banyak entitas. Secara garis besar saya akan memilih lima entitas besar saja yang berhubungan dengan SKM. Entitas itu adalah; Masyarakat, Kampus (FKM), Mahasiswa, (masalah dan ilmu) Kesehatan Masyarakat, dan yang terakhir Lembaga Mahasiswa (yang berhubungan dengan Kesehatan Masyarakat).

Pemilihan lima entitas tadi bukan tanpa sebab, selain dalam rangka mencari kelompok entitas terbesar dalam melihat unsur penyusun SKM, juga karena kelima-limanya memiliki hubungan langsung dengan seorang SKM. Baik sebelum dan atau  dalam proses pembentukan bahkan setelahnya.

Walau begitu, kelima entitas tadi juga tidak berdiri sendiri. Masing-masing memiliki unsur penyusun. Namun ini nanti kita akan bahas tersendiri dilain kesempatan.

Mari kembali pada lima entitas penyusun SKM.

Untuk menjadi seorang SKM, lima entitas tadi tidak bisa kita lepaskan begitu saja dan akan menjadi satu disaat sebuah proses membidani lahirnya seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat secara utuh dimulai. Menariknya, jika meminjam distingsi buatan Roy Bhaskar (A Realist Theory of Science ,1976) kelima-limanya juga saling terhubung antara satu dengan lainnya. Baik itu ketika dimasukkan pada system terbuka atau system tertutup buatan beliau.

Saya akan mencoba letakkan kelimanya dalam sistem terbuka Roy Bhaskar.

Kelima entitas ini saling terhubung untuk membentuk SKM sejak sebelum hingga sesudahnya bahkan saat sementara berproses. Misalnya entitas masyarakat. Entitas ini berpengaruh langsung baik untuk konteks sebelum maupun sesudah. Untuk konteks “sebelum”, kita bisa lihat pada fenomena tingginya minat calon mahasiswa untuk masuk di FKM. Baik kampus yang bergelar negeri maupun swasta. Meskipun belakangan hampir tidak ada perbedaan yang signifikan antara kampus milik pemerintah maupun swasta.

Sedangkan untuk konteks “sesudah” adalah saat seorang telah mendapat gelar SKM dan kembali ke masyarakat. Untuk konteks inipun tidak sedikit mengalami anomali. Ini bisa dilihat pada banyak SKM memilih atau akhirnya terjun dilapangan kerja yang tidak berhubungan sama sekali dengan ilmu kesehatan masyarakat. Tentu saja ini tidak keliru, selama itu tidak melanggar norma-norma yang berlaku pada masyarakat kita.

Sedangkan jika ditarik hubungannya dengan entitas lain, misalnya kampus dan mahasiswa; masyarakat senantiasa menjadi tempat untuk mengaktualkan tiga darma perguruan tinggi. Atau juga hubungan entitas masyarakat dengan entitas kesehatan masyarakat yang senantiasa menjadi bagian tidak bisa dipisahkan. Yang sedikit berbeda adalah hubungan antara entitas masyarakat dengan entitas lembaga masyarakat.

Dibandingkan dengan tiga entitas sebelumnya, keterkaitan lembaga mahasiswa disebabkan oleh beberapa hal. Salah satunya jargon social control. Meskipun jargon tersebut adalah upaya memparafrasakan bagian pengabdian masyarakat yang termasuk dalam tiga darma perguruan tinggi, hal tersebut akhirnya tidak membatasi ruang gerak dari lembaga mahasiswa untuk berbuat sesuatu yang baik di tengah masyarakat. Apapun bentuk lembaga dan kegiatannya kemudian.

Demikianlah kelima entitas ini terbangun dan saling terhubung.

Profesi atau bukan ?

Setelah kita menguraikan SKM berdasarkan unsur terkecil pembentuknya, ada baiknya kita kembali pada pertanyaan awal; SKM sebagai profesi atau bukan.

Jika mengacu pada distingsi Roy Bhaskar diatas, ada beberapa catatan yang bisa menjadi bahan perenungan kita untuk mencari jawaban dari pertanyaan awal tersebut.

Renungan pertama. Layak tidaknya SKM menjadi profesi tentu saja berhubungan dengan seberapa efektif peran SKM di tengah masyarakat nantinya ketika menjadi sebuah profesi. Karena berbicara tentang sebuah profesi, kita akan diperhadapkan pada kenyataan seberapa dianggap pentingnya SKM bagi masyarakat kita. Pun akhirnya SKM menjadi sebuah profesi, tingkat spesifikasi masalah kesehatan masyarakat manakah yang akan mampu diatasinya dan mempunyai ciri yang berbeda dengan tenaga kesehatan lain diluar SKM.

Mungkin untuk soal spesifikasi SKM bisa dijawab mudah dengan bercermin pada jurusan-jurusan yang ada di FKM saat ini. Mulai dari epidemilogi, hingga promosi kesehatan. Tapi jika dilihat lebih jauh, ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian. Salah satunya, apakah masing-masing jurusan itu sudah mampu menjadi pembeda dengan jurusan lain di luar FKM yang notabene juga membahas hal serupa. Atau lebih jauh lagi, seberapa rumit ilmu dari SKM itu sendiri dimata masyarakat awam.  

Renungan kedua. Kebutuhan menjadi profesi apakah berangkat dari keinginan menyelesaikan masalahkah, atau ini tidak lebih dari bentuk reaksi berlebihan karena diperlakukan tidak adil dalam system penjenjangan di pemerintahan kita. Jika karena hal yang kedua, akhirnya kita (SKM) hanya bersikap lebih reaktif dibandingkan seharusnya proaktif untuk segala masalah yang mengancam nantinya.

Renungan ketiga. Siapkah kampus, sebagai pelaksana tehnis yang diamanatkan undang-undang untuk menjadikan SKM sebuah profesi.

Ketiga renungan diatas bagi saya masih senafas dengan tulisan saya sebelumnya terkait kurikulum dan segala bentuk ancaman yang senantiasa mengancam SKM sebagai individu maupun sebagai kelompok yang tergabung dalam Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Pertanyaan kemudian; apakah  menjadi SKM adalah sebuah panggilan jiwa atau bukan. Jika merupakan panggilan jiwa, coba tanyakan pada jiwa anda; sudah siapkah anda menarung. Menarung untuk menjaga dan mempertegas eksistensi ditengah berbagai permasalahan kesehatan masyarakat kita?

Ngomong-ngomong; anda SKM atau petarung?



Masohi, 10 Maret 2017