Mari Lawan Malapraktik, Hei Kaum Intelektual!!
Kita akan buka pembahasan
malapraktik lewat ke-cendikia-wan menurut Alvin Ward Gouldner dalam buku The Future of Intellectuals and the Rise of
the New Class (1979). Menurut sosiolog dari Washington University ini,
kecendiakawan terbagi atas dua; Intelegensia dan Intelektual. Seperti diulas sedikit
oleh Daniel Dhakidae dalam esai biografi Toety
Azis dan Kaum Perempuan dalam Profesi Jurnalistik (Menerjang Badai
Kekuasaan, Kompas, 2015).
Kedua batasan tadi memiliki
perbedaan siginifikan. Kecendiakawan yang minat hanya pada hal fundamental teknis
semata disebut dengan Intelegensia. Untuk kategori kedua adalah kecendiakawan
yang minatnya seputar ihwal kritis, emansipatoris, dan hermaneutik adalah
Intelektual. Karena itupula untuk kategori kedua ini sering dinilai politis
atau terjebak didalamnya.
Meskipun kedua batasan diatas
tidak dengan tegas diulas oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sedikit
banyak telah jadi acuan sehari-hari. Disaat bersamaan kedua jenis kecendikawan
tersebut tidak pernah bertukar tempat saat kita melabeli sebuah tindakan. Yang paling
kelihatan ialah pemakaian kata intelektual. Kata ini paling sering dipakai dengan
embel-embel tambahan.
Setelah memahami dua pembagian
kecendikiawan diatas, kita kembali pada batasan malapraktik. Acuan pertama saya
adalah kamus asal-usul kata (Etymology).
Kata ini pertama kali diperkenalkan dan digunakan dalam literature popular pada
tahun 1670 (The Portuguese in West Africa, 1415–1670: A Documentary History, Cambridge
University Press). Meskipun ada juga sumber referensi lain mengatakan bahwa dua
puluh tahun kemudian baru resmi tersebar, intinya awal abad 17 adalah titik
berangkat istilah ini bergulir.
Dari segi defisini, jika berdasar
acuan pertama bermakna: suatu bentuk penanganan terburuk pada penyakit,
kelahiran, atau berakibat cidera tubuh permanen, tindakan kecerobohan , atau
sebuah niat jahat. Setidaknya ada lima kategori yang termasuk dalam kelompok
batasan tindakan malapraktik. Jika salah satu atau semuanya terpenuhi,
seseorang atau kelompok profesi dinyatakan telah melakukan sebuah malapraktik.
Acuan kedua saya adalah kamus kata
tertua manusia, Meriam Webster Dictionary.
Menurut kamus yang berumur 189 tahun ini, malapraktik adalah (sebuah
tindakan) melalaikan tugas professional atau kegagalan untuk menjalankan
keterampilan professional yang mengakibatkan cidera, kehilangan, atau
kerusakan. Dari sinipun kita mendapat tiga kata kunci sebagai akibat dari
sebuah malapraktik. Cidera, kehilangan, dan kerusakan.
Acuan ketiga saya adalah KBBI edisi
kelima. Kamus dalam bahasa Indonesia ini menjelaskan kata malapraktik adalah praktik kedokteran yang salah, tidak
tepat, menyalahi undang-undang atau kode etik. Tunggu dulu, sebelum kita
lanjut, sebaiknya kita pahami dulu penggunaan kata malapraktik itu sendiri.
Yang benar adalah malapraktik dan bukan malpraktek.
Saya rasa ini juga penting, mengingat masih banyak dari kita kurang mahir
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kasihan almarhum J.S Badudu
jika tahun bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu seenaknya “diperkosa” oleh anak
kandungnya.
Mari kita
lanjut.
Berangkat
dari tiga acuan tersebut diatas, benang merah dari malapraktik adalah dampak
yang ditimbulkan. Kelalaian, cidera, kerusakan, dan kehilangan (nyawa). Karena
kebanyakan “korban” dari itu semua ketika berurusan dengan salah satu profesi
kesehatan, KBBI dengan lugas dan menohok mengelompokkan pelakunya adalah
dokter. Dan begitulah kenyataan dilapangan.
Apakah tidak
ada upaya untuk menghentikan malapraktik? Ada. Salah satunya lewat pembentukan
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) pada tahun 2006.
Sekaligus informasi ini mengantar kita pada dua batasan kecendikiawan pembuka
diatas.
Bukan dalam
rangka membahas aspek profesionalitas, tetapi dari aspek jenis cendikiawan.
Dokter sebagai sebuah ilmu yang berorientasi pada aspek teknis kita masukkan
dalam kelompok intelegensia. Segala aktifitasnya merujuk pada kondisi tersebut.
Karena kaum intelegensia tidak bisa berdiri sendiri, maka dibutuhkan kaum
intelektual, sebagai lawan tanding sekaligus teman.
Persoalan
kemudian muncul saat kaum intelegensia memilih karib para politisi. Apalagi
jika menggunakan politisi tersebut untuk mendukung segala bentuk kekeliruannya.
Ambillah contoh kejadian malapraktik. Kekeliruan demi kekeliruan akan selalu
terjadi dan pihak yang paling banyak dikorbankan adalah masyarakat kebanyakan.
Disinilah
yang menurut saya kelahiran kaum intelektual dibutuhkan demi menghindari
jatuhnya korban lebih banyak dari awam. Apalagi jika kaum politisi tadi yang
notabene tidak memahami keadaan tetapi mau saja diajak bermufakat pada segala
bentuk perilaku buruk. Apakah kaum intelektual hanya bisa diam?
Saya kira
tidak. Bangkit melawan adalah bentuk paling lemah dari kaum
intelektual dalam menghadapi kedekatan kelompok intelegensia dan politisi daripada diam tertindas . Butuh berapa banyak korban lagi?