Budaya dan Kesehatan
Berbicara tentang budaya dan pengaruhnya
terhadap kesehatan masyarakat tidak bisa lepas dari teori Culture-Determinism. Dua ahli
yang mengemukakan itu dari sekian banyak ahli budaya adalah Melville J
Herskovits dan Bronislaw Malinowski. Menurut mereka segala sesuatu yang
terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat itu sendiri. Tentunya termasuk segala hasil cipta, rasa dan karsa
yang berhubungan dengan kesehatan itu sendiri. Hal tersebut kemudian termasuk
juga dengan kebudayaan yang turun termurun atau Herskovits dikenal dengan
istilah Superorganic.
Lebih lanjut akhirnya hubungan antara budaya dan kesehatan itu sendiri berujung
pada berbagai istilah, yang paling terkenal adalan etnomedicine. Etnomedicine sendiri merupakan cabang dari etnobotani, dimana itu
merupakan salah satu bentuk penyelesaian masalah kesehatan yang memakai
pendekatan tradisional, contohnya ramuan jamu atau praktek pijat.
Yang menarik kemudian ialah, untuk konteks
Indonesia yang notabene merupakan negara tropis dan memiliki 2 musim, memiliki terminologi sendiri dalam memaknai
konsep sehat-sakit. Ini menjadi penting mengingat etnomedicine yang berkembang di Indonesia, sangat
berhubungan dengan konsep sehat-sakit tersebut. Sebagai contoh, konsep sehat
yang berkembang dihampir seluruh wilayah peolosok Indonesia adalah ketika
seseorang “masih” mampu melakukan segala hal dan kondisi batinnya baik-baik
saja. Artinya selama seseorang masih produktif dan berperan secara sosial, dia,
dikatakan sehat. Atau contoh lain, seorang anak dikatakan sehat selama dia
masih memiliki nafsu makan yang besar dan masih bergairah untuk
bermain/bergerak. Akhirnya bisa disimpulkan, untuk orang dewasa, sehat
ialah mampu bekerja dalam keadaan senang dan untuk anak-anak adalah masih mau
makan dan senang bermain.
Bagaimana dengan konsep sakit?. Secara
garis besar, di Indonesia, penyebab suatu penyakit bisa disebabkan oleh dua
hal. Yang pertama, penyebabnya diri sendiri, atau konsep personalistik.
Penyebab diri sendiri lebih erat hubungannya dengan sesuatu hal yang gaib
(menurut kepercayaan kebanyakan masyarakat kita). Mulai dari mahluk
supernatural( hantu, dan atau roh leluhur) hingga perbuatan manusia yang lain
(dukun sihir). Dan karena hubungannya dengan diri sendiri serta berkaitan
dengan hal yang gaib, bentuk penanganannyapun lebih banyak dititikberatkan pada
aspek keparcayaan. Mulai dari berbagai aktifitas sehari-hari yang diparcaya
mampu mencegah kondisi tersebut, misalnya prilaku cuci kaki sebelum masuk rumah
pada masyarakat jawa yang dipercaya mampu mencegah/menghilangkan ruh jahat yang
dijumpai dijalan untuk ikut masuk kerumah, hingga membutuhkan peran orang lain
sebagi perantara dalam menghilangkan/atau pengobati dari kondisi sakit
tersebut, misalnya dukun.
Yang kedua, sakit disebabkan karena lingkungan/alam,
atau dikenal dengan konsep naturalistik. Karena Indonesia merupakan negara yang
subur, atau meminjam adigium Gemah
Ripah Loh Jenawi, maka sebagian besar aktifitas masyarakat kita berada
diluar rumah. Dalam artian potensi untuk menjadi sakit karena cuaca, keracunan
makanan, bisa beracun, hingga kecelakaan, merupakan sesuatu hal yang niscaya
bisa dialami. Bentuk penangannanyapun beragam di Indonesia, bisa cara yang
sederhana atau yang paling ekstrim. Misalnya untuk penyakit masuk angin, bagi masyarakat
kita ini merupakan sakit yang ringan, dan bentuk penanganannyapun sederhana,
cukup dengan pemijatan/kerokan, dan atau meminum ramuan jamu untuk
menghangatkan kembali tubuh sehingga besar harapan kemudian angin yang masuk tadi bisa keluar. Atau penanganan
yang paling ekstrim bisa dilihat pada orang Marind-Anim yang mendiami Selatan
Papua. Ketika ada orang Marind-Anim yang mengalami sakit, dan kemudian menurut
dukun setempat karena guna-guna. Dan itu dikarenakan telah terjadi
ketidakseimbangan antara masyarakat yang mendiami daerah tersebut dengan
kemampuan alam dalam menampung mereka, maka mereka parcaya akan datang orang
kuat (Tikanem) yang akan melakukan pembunuhan terhadap warga dari masing-masing
kampung secara berurutan sebanyak lima orang (Dumatubun, 2001).
Coba bandingkan dengan konsep sehat-sakit
yang dikembangkan oleh WHO, sebagai salah satu organisasi international yang
kosentrasi pada permasalahan kesehatan di dunia. Sehat adalah suatu keadaan lengkap fisik,
mental, dan kesejahtraan sosial dan bukan hanya ketiadaan penyakit atau
kelemahan (WHO, 1948).
Artinya, jika mengacu pada definisi diatas, bisa jadi hampir seluruh masyarakat
dunia, atau khususnya Indonesia dalam kondisi tidak sehat. Karena jika
ditelusuri lebih jauh, WHO akhirnya menitikberatkan definisi tersebut dalam
kesehatan fisik dan psikis(jiwa). Walau disaat bersamaan WHO juga menafikkan
konsep sehat-sakit secara naturalistik, yang merupakan kesepakatan
masing-masing dari sebagian besar suku bangsa yang ada di Indonesia. Ini tentunya
tidak begitu mengherankan, hal yang senada dengan WHO dalam menterjemahkan
segala hal yang berhubungan dengan kesehatan ialah Bank Dunia sebagai sesama
lembaga dibawah naungan Perserikatan Bangsa-bangsa. Karena jika mengacu pada
data Bank Dunia, karakteristik sebuah negara yang tersebar hanya ditentukan
oleh Populasi penduduk, persentasi pertumbuhan penduduk tiap tahun, angka
kematian bayi tiap tahun perseribu kelahiran hidup, persentasi angkatan kerja
pertanian tiap tahun, pendapatan kotor nasional perkapita, dan jumlah
akademisi/tehnisi yang terlibat dalam penelitian per 100.000 penduduk (Bank
Dunia: World Development Report 1988). Sehingga bisa dikatakan secara global
mereka (lembaga-lembaga dunia) mengenyampingkan keberadaan etnomedicine itu sendiri, dengan sendirinya
akhirnya juga tidak mengakui praktek yang berhubungan dengan kesehatan baik
dalam rangka pencegahan maupun pengobatan.
Walau tidak semua konsep etnomedicine berdampak positif pada peningkatan
derajat kesehatan masyarakat di Indonesia, bukan berarti akhirnya kita, sebagai
masyarakat yang mendiami ribuan pulau dan beragam suku bangsa tadi kemudian
bisa dengan sewenang-wenang meninggalkan budaya leluhur yang berhubungan dengan
kesehatan itu sendiri. Ambil contoh salah satu ritual untuk ibu pasca
melahirkan (nifas) yang dilakukan di Mentawai. Pada masa nifas, seorang ibu
diwajibkan mengkonsumsi untuk minum cairan hasil fermentasi dari sagu (dengan
kadar tertentu) walau belakangan sudah diganti dengan minuman bir hitam (dengan
kadar tertentu) kemudian dicampur dengan sebutir telur ayam kampung selama
seminggu. Ritual ini dipercaya mampu mencegah si ibu dari gangguan roh-roh
halus yang mengancam. Salah satu bukti kegagalan roh halus ketika mencoba masuk
dalam tubuh ibu, ialah ketika ada peningkatan jumlah darah yang keluar. Namun
begitu, ternyata ramuan tadi secara tidak sengaja, justru berdampak positif
terhadap kesehatan ibu dan si jabang bayi, mulai dari membantu proses
pembersihan darah sisa persalinan hinga bisa memulihkan kembali tenaga si ibu
yang banyak terkuras ketika melahirkan. Selain itu ternyata ramuan tersebut
juga mampu meningkatkan jumlah produksi Air Susu Ibu (ASI), dan akhirnya ini
sangat membantu si jabang bayi dalam peningkatan kualitas ASI Eksklusif dimasa
1000 hari pertumbuhan otaknya. Atau contoh lain yang dipraktekkan oleh ibu-ibu
di Nusa Tenggara Barat. Untuk mengatasi penyakit yang banyak diderita anak-anak
mereka, apa lagi ketika musim buah tiba ialah buang air besar yang berlebihan
dan encer. Untuk ibu-ibu di NTB memberikan pucuk daun jambu yang sebelumnya
dikunyah kepada si anak yang menderita penyakit tadi. Ritual ini dipercaya
mampu menghilangkan ruh-ruh jahat yang masuk melalui buah-buahan tadi. Dan
disaat bersamaan justru praktek tersebut juga sejalan dengan khasiat dari daun
jambu batu tadi, untuk mengatasi diare. Atau bisa juga peran para sanro (dukun) yang juga banyak berfungsi di
suku Bugis bukan?.
Berangkat dari kondisi diatas, menurut
penulis agak berlebihan kiranya ketika kita dengan sewenang-wenang kemudian
beranggapan bahwa masyarakat Indonesia mengalami sakit seperti terminologi yang
dibangun oleh WHO. Karena sepakat atau tidak, masyarkat kita terdahulu selalu
mempunyai cara dalam mengatasi berbagai permasalahan, khususnya kesehatan itu
sendiri. Dalam artian, jangan sampai karena kita terjebak pada jargon
perkembangan teknologi pengobatan dewasa ini, dan akhirnya secara serampangan
menghilangkan atau bahkan tidak mengakui bentuk-bentuk pengobatan atau
pencegahan terhadap masalah kesehatan yang sejak dahulu kala diberlakukan di
Indonesia. Tentunya ini tidak berlaku pada varian penyakit yang baru ditemukan
beserta bentuk penanganannya. Karena secara garis besar permasalahan kesehatan
secara tradisional yang dipercaya di Indonesia hanya berhubungan pada 3 hal;
Manusia, Lingkungan, dan Tuhan(pencipta). Artinya ketika ketiganya mengalami
keseimbangan, tentunya kita (manusia) akan sehat, setidaknya ini dipercaya oleh
leluhur kita sejak dari dahulu kala.
Disclaimer gambar:
Ilustrasi dukun,sumber: Wikipedia
Ilustrasi dukun,sumber: Wikipedia