Tampilkan postingan dengan label EPID. Tampilkan semua postingan

Kacung jadi Kunci Kerangkeng

 

Hampir setiap zaman dalam lintasan perubahan bangsa ini, demarkasi baik-buruk hampir bisa dikatakan sangat  tipis. Penyebabnya bisa banyak faktor. Satu diantaranya titik berangkat kita dalam melihat fenomena yang terjadi. Saya ambil contoh apa yang menimpa organisasi Boedi Oetomo pada kongres pertama tahun 1909. Adalah pertarungan antara kaum bangsawan (berdasarkan) asal-usul melawan kaum bangsawan fikir(an).

Masing-masing beranggapan yang paling layak jadi nahkoda organisasi pergerakan tersebut. Kongres kedua ini kemudian dimenangkan oleh kaum bangsawan asal-usul. Namun tidak mengurungkan kelompok kalah untuk tetap berkiprah demi terwujudnya sebuah bangsa bernama Republik Indonesia. Mereka kemudian bergerak “diluar” system atau organisasi tersebut. Ada yang lewat jalur pendidikan (Ki Hajar Dewantara), jurnalistik, dan lainnya. Secara ciamik dan lengkap Tirto Adhi Soerjo menceritakan lewat media besutannya ketika itu.

Berada diluar Boedi Oetomo tidak membikin kelompok yang kalah kehilangan pengaruh pada gerak menuju Indonesia merdeka seutuhnya. Merekalah kelak jadi penghuni penjara penjajah. Karena tidak ingin terjebak kungkungan gelar ke-bangsa-wan(nan), keluarnya mereka diikuti dengan melepas embel-embel bangsawan yang melekat pada nama sendiri. Inilah sikap melawan sesungguhnya. Feodalisme dari dalam dan luar tidak luput gempuran kelompok kedua ini.

Berbicara soal semangat perlawanan, tidak akan terbebas dari penilaian baik dan buruk. Keduanya sangat bergantung pada sudut pandang dari penilai. Apa yang dilakukan oleh kaum bangsawan fikiran paska berlakunya politik etis dianggap sebagai keburukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dan sebaliknya untuk pribumi. Meskipun tidak semua beranggapan demikian. Terutama pemilik gelar bangsawan (asal) usul. Golongan ini dianggap perusak dari sebuah status quo.

Dari semua kelompok bangsawan fikir tadi, kebanyakan merupakan siswa dari School Tot Opleiding Van Inlansche Artsen (STOVIA). Sekolah kedokteran pertama untuk pribumi di Hindia Belanda. Artinya, peletak fondasi perlawanan terhadap segala bentuk kesewenang-wenangan adalah para (calon) tabib modern. Mungkin karena mereka adalah golongan pertama yang berhasil menyerap segala pengetahuan modern ketika itu.

Dengan semangat yang sama dan dorongan untuk menyatukan segala bentuk perlawanan pada penjajahan, pada 1926 terbentuk sebuah organisasi beranggotakan alumni STOVIA. Karena Nasionalisme jadi pengikat antar mereka, kelompok ini ambil bagian dalam menciptakan kondisi semarak melawan kolonialisme. Yang tentu saja melawan segala bentuk ketidakadilan jadi bagian organisasi yang sama.

Apa yang terjadi hari ini, tentu saja sangat bertolak belakang dengan niatan awal para bangsawan fikir ketika membangun semangat perlawanan pada segala bentuk kesewenang-wenangan. Langkah memenjarakan seseorang hanya karena stempel “kacung” dilekatkan pada organisasi yang berdiri 94 tahun silam ini, bagi saya belum seberapa dibanding upaya Tirto Adhi Soerjo dan kawan-kawan saat menggebuk pemerintah Hindia Belanda seabad silam.

Saya pribadi bukan pendukung pelaku penyebut kata “kacung” tadi. Tapi apa yang menimpanya bagi saya adalah sebuah persoalan serius. Jika sebuah upaya untuk menyadarkan khalayak saat dianggap terjadi sebuah ketidakadilan dianggap menyimpang, apa bedanya kelompok ini dengan para penjajah yang menguras tanah Indonesia lebih dari tiga abad lamanya?

Saya kira para anggota kelompok atau organisasi tertua ini seharusnya lebih berbenah. Setidaknya membaca sejarah pergerakan bangsa ini dan kontribusi para senior mereka bisa jadi permulaan. Termasuk mempelajari segala bentuk perlawanan yang ditempuh para pendahulu mereka.

Segala upaya kriminalisasi adalah bentuk mempertahankan status quo. Dan jika ini terjadi, sudah bisa dipastikan ada yang salah dengan organisasi tertua ini. Mungkin karena sudah tua, jadi banyak khilaf. Salah satunya jadi cepat lupa. Lupa pada sejarah dan lupa diri.

Wahai para tabib modern, belajarlah pada sejarah.

Hal yang Paling Membosankan dari COVID-19





Hari ini, cuaca demikian cerah. Sinar matahari sudah sejak pukul 09.00 pagi mengintip dengan malu-malu di kamarku. Sejak saya indekos disini, lima bulan silam, cuaca memang tidak menentu. Kadang mendung, kadang juga mentari bersinar dengan garang. Seperti sekarang. Karena itu pula, jadwal mencuci, membersihkan dan segala aktifitas mengisi waktu libur bisa saya lakukan.

Setelah kegiatan tersebut selesai dan perut sudah terisi, saya melanjutkan rutinitas lain saat senggang. Sebenarnya banyak yang biasa saya lakukan. Mulai melepas penat dengan berbagai permainan di gawai, berselancar di media sosial, hingga bertemu dan berbincang dengan kawan-kawan disini. Berhubung karena pandemi belum berakhir, pilihan untuk keluar indekos urung saya lakukan.

Bosan dengan permainan daring, saya kemudian mengalihkan perhatianku ke berselancar pada peramban daring. Tujuannya satu; perbarui informasi. Terus terang, karena sadar tingkat awam diri mencapai titik nadir, jenis informasi yang saya sukai ialah nonfiksi. Makanya, mesin pencari saya tujukan pada hal terkait.

Untuk soal jenis, semua informasi bisa saya lumat. Dengan catatan, tingkat akurasi wajib presisi. Sebab saya paham bahwa dunia jejaring mampu menyuguhkan info apapun. Dan sialnya, semuanya tanpa saringan. Makanya diperlukan upaya lebih dalam memastikan kebenaran warta tertentu. Apalagi jika itu berhubungan dengan bidang-bidang spesifik.

Karena latar belakang ilmu saya adalah kesehatan masyarakat, berita terkait lebih sering juga saya telusuri. Salah satunya saya temukan hari ini.

Beberapa hari yang lalu, menteri kesehatan mengumumkan istilah baru terkait COVID-19. Sebutan-sebutan ini  tertuang dalam keputusan Menteri Kesehatan (KMK) nomor HK.01.07/MENKES/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian COVID-19. Disaat bersamaan keputusan ini menggugurkan keputusan terkait sebelumnya.

Dahulu istilah yang awam ketahui seputar virus maharenik hanya ODP (Orang Dalam Pemantauan), OTG (Orang Tanpa Gejala), dan PDP (Pasien Dalam Pemantauan). Ketiganya berubah menjadi Kasus Suspek, Kasus Konfirmasi, dan Kontak Erat. Dengan panjang kali lebar kali tinggi, tiga istilah pengganti ini dijelaskan oleh otoritas tertinggi Indonesia lewat KMK tadi.

Keputusan yang resmi keluar tepat dua hari sebelum aksi pengacau berjubah agama di Senayan silam ini, memang menarik untuk diperiksa. Saat khalayak mulai paham dengan tiga istilah sebelumnya, aturan ini “memaksa” kita untuk mengubahnya. Bagi saya disinilah letak menariknya. Dalam beberapa bulan saja, terma bisa dengan cepat berubah. Upayanya juga tidak main-main, melibatkan tingkat menteri untuk mewujudkannya.

Hal lain yang tidak kalah menarik ialah pilihan diksinya. Untuk istilah sebelumnya, para ahli dan masyarakat kebanyakan bersepakat mengikatnya dalam akronim. Kondisi ini bagi saya bisa dimaklumi. Karena tigapuluh dua tahun saat orde baru berkuasa, kebiasaan menyingkat menjadi salah satu penanda. Lihat saja buku “Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal Tahun 1970” buah tangan Aria Wiratma Yudistira (Marjin Kiri, 2010). Diantara banyak singkatan masa itu, BAKORPERAGON (Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong) yang paling menandai pikiran.

Makanya ODP, PDP, dan OTG dapat dengan mudah dicerna oleh masyarakat. Meskipun selain tiga istilah sebelumnya ini sebenarnya masih banyak lagi. Diantaranya label; transmisi lokal.

Kita kembali pada tiga penyebutan baru terkait Korona. Meskipun semuanya pakai bahasa Indonesia, setelah saya lihat lebih teliti ternyata ada kejanggalan. Terutama kata; Suspek. Jika kita telusuri pada kamus besar bahasa Indonesia, diksi ini ternyata tidak ada. Bisa dibayangkan, bagaimana sulitnya kata ini di kemudian hari akan bisa dipahami oleh masyarakat.

Karena penasaran dengan kata suspek, saya menelusurinya lebih jauh. Kata ini ternyata dari bahasa latin: Suspectare. Selanjutnya disadur ke dalam bahasa Inggris Tengah karena pengaruh pernyebaran dari Perancis Tengah. Selain mengalami perubahan susunan huruf, makna juga berganti. Dalam bahasa Latin, Suspectare bermakna: untuk (sesuatu) yang tidak dipercayai. Sedangkan dalam bahasa Inggris maknanya menjadi: yang dicurigai. Itupun sangat bergantung pada tujuan penggunaannya. Sebagai kata kerja, kata sifat, atau kata benda.

Untuk konteks Indonesia kata ini hanya “dialihkan” dari bahasa asing ke bahasa kita. Yang paling berhubungan penggunaan kata suspek ini untuk makna saat digunakan sebagai kata kerja. Makanya MKM memasukkannya. Itupun tidak diikuti dengan upaya lanjutan melengkapi perbendaharaan kata kita dalam kamus besar bahasa Indonesia. Jangan heran jika kata Suspek tidak ada.

Sekaligus ini bisa membuktikan satu hal. Betapa membosankannya istilah-istilah yang muncul belakangan ini. Apalagi jika otoritas tingkat negara memberitahukan berbagai istilah yang asalnya dari bahasa asing. Disaat bersamaan, awam dipaksa untuk paham.

Semoga tidak patuhnya masyarakat pada berbagai imbauan terkait COVID-19 bukan karena mereka bosan dan tidak paham dengan berbagai istilah yang muncul.

Amin.

Satu Orang Akan Mati Setiap Menit Jika Anda Tidak Membaca Artikel Ini

Bagi pembaca karangan Yuval Noah Harari, istilah-istilah seperti:”computer”, “kecerdasan buatan”, “kumpulan data besar” dan segala ihwal teknis informasi/teknologi tentu tidak asing lagi. Sejarawan asal Israel ini, beberapa tahun belakangan memang cukup menarik perhatian dunia. Terutama sejak buku Sapiens: A Brief History of Humankind (2014), menggebrak khalayak lima tahun silam. Disusul dua buku berikutnya yang tidak kalah fenomenal. Semua orang dibuat takjub dengan karya-karyanya.

Tidak terkecuali saya. Sebagai orang awam yang tuna pengetahuan, cara bertutur profesor di Departemen Sejarah Universitas Ibrani Yerusalem ini, memang berbeda dengan sejarawan lain. Apalagi, saat mengikuti rangkaian analogi buatan lelaki berusia 44 tahun ini. Seolah tercipta jembatan antara masa lalu, kini, dan masa depan.

Salah satu ihwal yang dibahas, terkait masa depan kesehatan masyarakat dan hilangnya profesi tertentu. Menurutnya, peluang hilangnya banyak profesi akan terjadi di masa depan. Tidak terkecuali dokter, lambat laun akan sirna sebab keberadaan ”kecerdasan buatan”. Buktinya terjadi dua tahun silam. Bertempat di rumah sakit Tiantan Beijing, kecerdasan buatan manusia (BioMind) berhasil mengalahkan 15 dokter ahli tumor ketika mendiagnosis tumor otak dan memprediksi hematoma. Meskipun pada uji coba ini masih berkisar tingkat kecepatan dan kualitas akurasi diagnos saja, pelan tapi pasti posisi dokter (manusia) tetap akan terganti.

Inilah yang dikatakan Harari; manusia akan digantikan oleh buatannya sendiri.

Apakah kecerdasan buatan bisa relevan di kondisi (pandemic) sekarang? Jawabanya: iya. Lihatlah kecendrungan kita saat pandemic COVID-19 melanda dunia. Meskipun tingkat keunikan kompleksitas berfikir kita melebihi kecerdasan buatan, kebiasaan terjebak dengan fikiran sendiri masih sulit dihindarkan. Akibatnya, penyakit menular ini gampang menyebar. Munculnya berbagai anjuran (pencegahan) ternyata tidak membikin jumlah yang melanggar ikut berkurang.

Disaat bersamaan, tenaga medis banyak tumbang akibat hal tadi.  Dan, mereka  tertular  COVID-19 karena angka pasien yang tidak kunjung berkurang dari hari ke hari. Artinya, jika tenaga medis (manusia) diganti dengan kecerdasan buatan, disaat bersamaan kejadian penularan antar manusia bisa lebih ditekan, bukan?

Bukti lain dari kinerja kecerdasan buatan ialah sajian informasi kompleks COVID-19 pada data yang diolah oleh salah satu organisasi non-profit konsorsium beberapa negara dan lembaga keuangan (Deep Knowladge Group/DKG). Disitu terdapat rangking 200 negara dalam penanganan Korona. Faktanya, masih banyak yang hingga saat ini belum bisa lepas dari COVID-19.

Penjelasan DKG, pada masing-masing negara berbeda kemampuan memenuhi enam kerangka kerja penanganan pandemi. Saya ambil contoh Indonesia. Tahukah anda Indonesia berada pada posisi keberapa terkait penanganan COVID-19 di dunia? Posisi ke 97. Bayangkan, Negara Kesatuan Republik Indonesia berada jauh dibawah Vietnam (posisi 20), Taiwan (16), Korea Selatan (10), Jepang (5), dan Singapura (4). Negara yang menempati urutan pertama menurut olah data kecerdasan buatan tersebut ialah Swiss.

Kita bisa berdalih bahwa Swiss atau negara-negara yang rangkingnya diatas kita (Indonesia); sudah bagus pelayanan kesehatannya. Pemerintahnya pasti responsif. Komitmen politik disana sudah bagus. Tingkat pendidikan mereka sudah mumpuni. Atau alasan yang paling sering diungkapkan, besarnya dana mereka jauh diatas alokasi dana kita.

Semua tadi memang sulit untuk dibantah. Dan ternyata betul, serangan Korona membuka mata banyak pihak. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan problem mendasar kita: kesehatan masyarakat. Baru empat bulan saja virus ini “berkunjung” di Republik, permasalahan-permasalahan kesehatan terbuka helai demi helai. Mulai dari kecilnya alokasi anggaran untuk kesehatan, minimnya fasilitas pada tempat pelayanan kesehatan, hingga kurangnya kepatuhan masyarakat jadi pelengkap semuanya.

Hal diatas belum termasuk beberapa persoalan terkait politik dalam negeri. Maksud saya, dinamika politik di Indonesia sebenarnya memberikan kontribusi tidak sedikit pada kejadian COVID-19 belakangan ini. Lihat saja pagi tadi (aksi 1607). Sekelompok orang berkumpul didepan gedung DPR/MPR untuk menyalurkan aspirasinya. Bukankah aspirasi mereka sangat eratnya dengan persoalan politik? Di lain sisi dengan berkumpulnya mereka memperbesar peluang si virus berpestapora untuk memperbanyak diri dan tersebar?

Disinilah kondisi dilematis terjadi. Saat pengelola negara berjibaku dalam perang melawan COVID-19, mereka yang ingin menyalurkan aspirasi ternyata sulit juga dibendung. Disaat yang bersamaan, jika tercipta cluster (aksi) 1607, pasti pemerintah kembali yang dipersalahkan. Apakah ini berhubungan dengan komitmen politik? 

Tidak jauh berbeda di tingkat daerah. Soal alokasi anggaran, biaya tes cepat (rapid tes), anggapan Korona adalah konspirasi masih banyak beredar di masyarakat.

Bagi saya, penanganan pandemic di Indonesia sebenarnya tidak melulu hal-hal teknis medis. Hal-hal nonteknis juga seharusnya menjadi perhatian kita. Apalagi jika kita hubungkan dengan keberadaan kecerdasan buatan tadi. Sekedar catatan, kecerdasan buatan ini, meskipun makin kesini mengalami perkembangan, satu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa pendekatannya (hanya) belaka. Apalagi data rasio kematian dari COVID-19 per-Juni menyentuh satu orang yang mati setiap 10.000 orang. Artinya, peluang untuk setiap menit akan ada yang mati bisa terwujud, bukan?

Atau kita memang lebih suka ditangani oleh robot (kecerdasan buatan) dibanding (dokter) manusia?

Entahlah.


SANITASI dan Air Minum Tahun 2018




Tidak terasa, beberapa hari kedepan kita tinggalkan tahun 2017 dan masuk tahun 2018. Yang bagi sebagian orang di beberapa kabupaten/kota serta provinsi adalah tahun politik. Apakah tahun depan hanya melulu ihwal politik saja ? bagi saya tidak. Hal lain yang menjadikan tahun depan menarik ialah evaluasi kondisi sanitasi dan air minum dalam rangka mewujudkan Universal Access 2019 (UA2019).

Bagi tuan dan puan yang baru mendengar dua kata terakhir diatas, izinkan hamba memberikan secuil gambaran terkait sebagai pembuka tulisan ini.

Program UA2019 adalah program yang mencakup pencapaian tiga aspek. Akses terhadap air minum yang layak (100%), aspek kekumuhan (0%), dan aspek sanitasi yang aman (100%). Sehingga program ini dikenal juga dengan jargon 100-0-100. Ketiga aspek tadi diharapkan tercapai di tahun 2019 pada 30 provinsi di Republik ini. Sekali lagi ini merupakan penjabaran dari salah satu amanat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025: “Pembangunan dan penyediaan air minum dan sanitasi diarahkan untuk mewujudkan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat”

Kita kembali pada jawaban pertanyaan awal paragraph pertama tulisan ini.

Apakah gaung UA2019 ini begitu terasa? Jawabannya bisa iya bisa juga tidak. Iya, karena para penyelenggara negara begitu seriusnya dalam mewujudkan mimpi terkait sanitasi di tahun 2019 ini. Salah satu sebabnya program ini masuk dalam NAWACITA pemerintahan Jokowi. Sehingga jangan kaget jika komitmen ini berbuah beragam kegiatan di tingkat masyarakat. Mulai dari hasil prakarsa lembaga pemerintah --dari kementrian hingga Satuan Kerja Pemerintah Daerah—hingga lembaga non pemerintah.

Bahkan, sumber anggarannya beraneka ragam. Mulai dari Pendapatan Asli Daerah, hingga sumber lain-lain penerimaan daerah yang sah. Namun pertanyaannya kemudian; mengingat tidak sedikit upaya serta lembaga atau program yang telah jalan untuk mewujudkan UA2019, apakah berlebihan jika di penghujung tahun 2017 ini kita optimis?

Bagi saya, rasa optimis ini kita tahan dulu. Bukan karena besarnya energy yang dihabiskan untuk keluar dari permasalahan sanitasi, air minum dan kekumuhan tadi adalah sia-sia belaka. Namun, apakah semangat yang sama juga dirasakan oleh masyarakat sebagai subyek dari program tersebut. Disinilah soalnya bermula.

Hal lain yang masih perlu untuk ditelaah adalah tingkat pemahaman masyarakat kita terkait pentingnya sanitasi yang aman, pengolahan air minum yang layak, serta keluar dari kondisi kumuh itu sendiri. Karena jika ketiga aspek diatas bisa terwujud, yang paling merasakan manfaatnya adalah masyarakat itu sendiri. Dan menariknya, tanpa bermaksud menyampingkan aspek kumuh, kenyataannya antara sanitasi yang aman dan air minum yang layak sebenarnya saling berhubungan.

SANITASI dan PERTUMBUHAN PENDUDUK

Jika kita mengacu pada data Bank Dunia, populasi penduduk Indonesia di desa dan kota pada tahun 2010 mengalami lonjakan cukup berarti. Bahkan, di tahun 2015 terdapat sekitar 54% atau 110-130 juta jiwa dari total jumlah penduduk Indonesia yang bermukim di Kota. Dari sini kita bisa berkesimpulan bahwa sejak tahun 2010 minat masyarakat pedesaan untuk datang ke kota sangat besar. Yang disaat bersamaan juga akan memberi dampak pada peluang terciptanya masalah kesehatan baru. Salah satunya pemukiman. Termasuk didalamnya sanitasi, sumber air minum dan kekumuhan tadi.

Inilah yang sebelumnya saya katakan sebagai permasalahan dimana hubungannya dengan pemahaman. Tanpa bermaksud menggugat aras niat mereka untuk urbanisasi, bagi saya mimpi untuk mengais secuil rejeki di kota adalah sah-sah saja, masalahnya kemudian ialah; tanpa dibekali sebuah rencana yang matang bukankah jusru hanya menjerumuskan diri pada masalah kesehatan baru.

Sebabnya tidak lain karena 54% masyarakat Indonesia yang bermukim di daerah perkotaan masih belum bisa keluar dari permasalahan mendasar seputar sanitasi dan air minum, apa lagi kekumuhan itu sendiri. Bayangkan, data dari Asian Developmen Bank (2013) dan UNICEF (2012) dari 110-130 juta jiwa yang hidup di perkotaan, sekitar 62% rumah yang menggunakan tangki septik tanpa melalui pengolahan air limbah. Belum lagi dari total jumlah penduduk yang diperkotaan tadi sekitar 14% masih berprilaku buang air besar sembarangan.

Bisa dibayangkan bagaimana kesemrawutan yang terjadi di kota, bukan? Sialnya jika hal ini tidak menjadi perhatian dari para pelaku urbanisasi yang jamak dilakukan pada arus balik paska peringatan hari-hari besar agama tertentu. Apalagi mereka yang saat ini tengah bermukim di perkotaan.

Masalah lain terkait pertumbuhan penduduk dan sanitasi/air minum adalah pada masyarakat yang telah mendiami perkotaan. Selain pertumbuhan penduduk akibat dari urbanisasi, bukankah jumlah pertumbuhan penduduk juga terjadi karena banyak faktor. Salah satunya perkawinan dan mobilisasi penduduk antar daerah perkotaan itu sendiri. Dan bukan tidak mungkin bisa berimplikasi pada meningkatnya permasalah sanitasi dan air minum.

Berangkat dari permasalahan diatas, pertanyaan lanjutannya ialah apa yang bisa dilakukan, terkhusus untuk masyarakat perkotaan atau mereka yang berniat untuk bermukim di perkotaan?

SOLUSI

Untuk menjawab ini, terlebih dahulu saya ingin memulai dengan sebuah informasi kesehatan yang mengatakan konon jarak yang aman untuk membangun penampung limbah kloset dengan sumber air adalah 10 meter.

Secara sepintas tidak ada yang keliru dengan pernyataan ini. Namun jika dua pintas, apakah jarak tersebut memungkinkan diterapkan pada masyarakat kota dimana pemukimannya dari hari kehari semakin padat? Jawabannya tentu saja tidak. Sehingga diperlukan sebuah jalan keluar untuk konteks masyarakat perkotaan yang makin padat dari hari ke hari.

Salah satu jalan keluarnya adalah penampung tinja harus dibangun kedap. Sehingga meskipun berdampingan dengan sumber air, tidak ada masalah yang mengikuti. Namun, ihwal penampungan tinja ini tidak berhenti ternyata. Karena pun jika dibangun kedap, bukankah peluang untuk menjadi penuh kemudian mengancam.

Disinilah kemudian dibutuhkan informasi terkait pilihan teknologi dan system pengolahan lumpur tinja. Salah satu pilhan teknologinya adalah upflow filter. Atau, salah duanya dengan membangun resapan pada bak kedua setelah bak penampungan tinja yang kedap . Selain itu, seperti yang saya katakan diawal paragraph ini, system pengolahan lumpur tinja juga harus berjalan. Untuk bagian yang terakhir ini adalah adalah menjadi peran dari pengelola negara, terlebih lagi tingkat satuan pelaksana pemerintah daerah.

Berangkat dari kondisi tersebut, bagaimanakah dengan system pengolahan limbah rumah tangga kita, masing-masing? Atau untuk mereka yang tergoda melakukan urbanisasi, sudah matangkah persiapan anda terkait hal diatas ? jika belum, silahkan berfikir kembali sebelum menjadi penyumbang baru terhadap berbagai kerusakan  tanah dan sumber air baku yang dari hari ke hari semakin sempit di perkotaan.


Salam takzim.

SKM itu Petarung (?)




Entitas SKM dalam sistem terbuka Roy Bhaskar (1976)


Beberapa malam yang lalu, layar telepon seluler (ponsel) pintarku tidak berhenti terkedip-kedip. Setelah memeriksanya, ternyata ada tumpukan pemberitahuan dari salah satu program aplikasi obrolan. Dan, itu berasal dari obrolan grup alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) yang menjadi tempatku dulu mendapatkan gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM). Rasa penasaranku pun muncul. Meskipun secara tehnis saya telah tergabung pada kurang lebih tujuh grup obrolan di program aplikasi yang sama, riuh pemberitahuan ini akhirnya menjadi begitu menarik.

Salah satu sebab; dibandingkan enam grup lainnya, grup yang satu ini biasanya lebih sepi. Paling jauh, kami riuh hanya pada beberapa momentum saja. Misalnya; perayaan capaian-capaian keberhasilan. Mulai dari keberhasilan individu dari kami (baca: alumni) hingga keberhasilan kelembagaan (Universitas dan atau Fakultas). Memang benar bahwa keberhasilan itu patut dirayakan, tapi tidak bisa dipungkiri ada juga di antara kami yang merasa bosan akhirnya.

Kembali pada  sebab utama menjadi riuh. Setelah mengusap layar ponsel pintar dan memeriksanya, ternyata kami (anggota grup) saling berkomentar perihal eksistensi seorang SKM. Berangkat dari pertanyaan salah seorang alumni; apakah Kesehatan Masyarakat adalah sebuah (dan atau layak menjadi) profesi atau bukan ?

Terlepas dari berbagai tanggapan yang muncul, untuk saya pribadi, pertanyaan ini sudah lama mengganggu pikiran. Tepatnya sejak 2004, saat bergabung dengan berbagai program kemasyarakat yang spesifik mencoba ambil bagian untuk mengatasi segala permasalahan kesehatan masyarakat di republik kita. Ini juga salah satunya yang melatari keberadaan blog ini sebagai sarana menyalurkan pikiran-pikiran yang berhubungan dengan seputar masalah Kesehatan Masyarakat.

Tapi, baiklah. Saya kira, persoalan eksistensi SKM selalu menarik untuk dibahas. Setidaknya ini bisa kita tujukan pada adik-adik imut calon mahasiswa atau yang telah menjadi mahasiswa FKM dimanapun itu.

Jadi begini, sebelum menjawab pertanyaan; apakah Kesehatan Masyarakat—atau SKM-- itu sebuah profesi atau bukan? Ada bagusnya kita urai SKM itu memakai Atomisme Metodeologis terlebih dahulu. Atau sederhananya, kita memulai dengan pertanyaan; apakah SKM itu? Dan apa saja unsur penyusun seorang SKM?

Setelah kedua pertanyaan ini terjawab, baru kita bisa lanjut pada pokok bahasan awal.

SKM adalah ?

Jika bertanya pada adik-adik imut calon mahasiswa atau mahasiswa FKM dan bahkan para alumni yang tergabung dalam organisasi kesehatan masyarakat; apa itu SKM? bisa dipastikan akan muncul jawaban yang merujuk pada setumpuk aturan pemerintah, diktat, karya ilmiah, bahkan buku-buku yang berkenaan dengan ilmu kesehatan masyarakat itu sendiri. Tidak berbeda juga dengan saya, awalnya. Ini tentu saja tidak keliru. Soalnya sekarang adalah; apakah SKM hanya sebatas dari sumber-sumber tadi?

Tentu saja tidak.

Berangkat dari kondisi inilah dan dengan segala keterbatasan yang ada, saya mencoba-coba cari tau perihal SKM.

Sebelum jauh melangkah, tidak adil kiranya jika saya tidak menjelaskan sedikit tentang atomisme metodeologis dan kenapa saya memilih cara ini. Atomisme metodeologi (metode pemecahan entitas ke entitas lebih kecil) adalah salah satu pendekatan dalam melakukan analisis. Pendekatan ini kebanyakan digunakan filsuf dalam upaya menjawab pertanyaan eksistensi (ontology epistemic). Walaupun disaat bersamaan tidak jarang penjelasan yang didapatkan tidak memadai karena keterbatasan sumber. 

Saya memakai pendekatan ini karena metodenya yang memilah unsur penyusun dari pokok bahasan. Selain itu, pendekatan ini pula meletakkan segala hal yang berhubungan secara adil dan setara.

Melalui pendekatan ini akhirnya saya tersadar, bahwa SKM adalah sebuah entitas yang tidak berdiri sendiri dan bukan tanpa sebab bisa terwujud. Dan dengan pendekatan ini pula, kita bisa melihat berbagai hal didalamnya.

Seperti halnya entitas-entitas lain, (untuk menjadi seorang) SKM juga tersusun atas banyak entitas. Secara garis besar saya akan memilih lima entitas besar saja yang berhubungan dengan SKM. Entitas itu adalah; Masyarakat, Kampus (FKM), Mahasiswa, (masalah dan ilmu) Kesehatan Masyarakat, dan yang terakhir Lembaga Mahasiswa (yang berhubungan dengan Kesehatan Masyarakat).

Pemilihan lima entitas tadi bukan tanpa sebab, selain dalam rangka mencari kelompok entitas terbesar dalam melihat unsur penyusun SKM, juga karena kelima-limanya memiliki hubungan langsung dengan seorang SKM. Baik sebelum dan atau  dalam proses pembentukan bahkan setelahnya.

Walau begitu, kelima entitas tadi juga tidak berdiri sendiri. Masing-masing memiliki unsur penyusun. Namun ini nanti kita akan bahas tersendiri dilain kesempatan.

Mari kembali pada lima entitas penyusun SKM.

Untuk menjadi seorang SKM, lima entitas tadi tidak bisa kita lepaskan begitu saja dan akan menjadi satu disaat sebuah proses membidani lahirnya seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat secara utuh dimulai. Menariknya, jika meminjam distingsi buatan Roy Bhaskar (A Realist Theory of Science ,1976) kelima-limanya juga saling terhubung antara satu dengan lainnya. Baik itu ketika dimasukkan pada system terbuka atau system tertutup buatan beliau.

Saya akan mencoba letakkan kelimanya dalam sistem terbuka Roy Bhaskar.

Kelima entitas ini saling terhubung untuk membentuk SKM sejak sebelum hingga sesudahnya bahkan saat sementara berproses. Misalnya entitas masyarakat. Entitas ini berpengaruh langsung baik untuk konteks sebelum maupun sesudah. Untuk konteks “sebelum”, kita bisa lihat pada fenomena tingginya minat calon mahasiswa untuk masuk di FKM. Baik kampus yang bergelar negeri maupun swasta. Meskipun belakangan hampir tidak ada perbedaan yang signifikan antara kampus milik pemerintah maupun swasta.

Sedangkan untuk konteks “sesudah” adalah saat seorang telah mendapat gelar SKM dan kembali ke masyarakat. Untuk konteks inipun tidak sedikit mengalami anomali. Ini bisa dilihat pada banyak SKM memilih atau akhirnya terjun dilapangan kerja yang tidak berhubungan sama sekali dengan ilmu kesehatan masyarakat. Tentu saja ini tidak keliru, selama itu tidak melanggar norma-norma yang berlaku pada masyarakat kita.

Sedangkan jika ditarik hubungannya dengan entitas lain, misalnya kampus dan mahasiswa; masyarakat senantiasa menjadi tempat untuk mengaktualkan tiga darma perguruan tinggi. Atau juga hubungan entitas masyarakat dengan entitas kesehatan masyarakat yang senantiasa menjadi bagian tidak bisa dipisahkan. Yang sedikit berbeda adalah hubungan antara entitas masyarakat dengan entitas lembaga masyarakat.

Dibandingkan dengan tiga entitas sebelumnya, keterkaitan lembaga mahasiswa disebabkan oleh beberapa hal. Salah satunya jargon social control. Meskipun jargon tersebut adalah upaya memparafrasakan bagian pengabdian masyarakat yang termasuk dalam tiga darma perguruan tinggi, hal tersebut akhirnya tidak membatasi ruang gerak dari lembaga mahasiswa untuk berbuat sesuatu yang baik di tengah masyarakat. Apapun bentuk lembaga dan kegiatannya kemudian.

Demikianlah kelima entitas ini terbangun dan saling terhubung.

Profesi atau bukan ?

Setelah kita menguraikan SKM berdasarkan unsur terkecil pembentuknya, ada baiknya kita kembali pada pertanyaan awal; SKM sebagai profesi atau bukan.

Jika mengacu pada distingsi Roy Bhaskar diatas, ada beberapa catatan yang bisa menjadi bahan perenungan kita untuk mencari jawaban dari pertanyaan awal tersebut.

Renungan pertama. Layak tidaknya SKM menjadi profesi tentu saja berhubungan dengan seberapa efektif peran SKM di tengah masyarakat nantinya ketika menjadi sebuah profesi. Karena berbicara tentang sebuah profesi, kita akan diperhadapkan pada kenyataan seberapa dianggap pentingnya SKM bagi masyarakat kita. Pun akhirnya SKM menjadi sebuah profesi, tingkat spesifikasi masalah kesehatan masyarakat manakah yang akan mampu diatasinya dan mempunyai ciri yang berbeda dengan tenaga kesehatan lain diluar SKM.

Mungkin untuk soal spesifikasi SKM bisa dijawab mudah dengan bercermin pada jurusan-jurusan yang ada di FKM saat ini. Mulai dari epidemilogi, hingga promosi kesehatan. Tapi jika dilihat lebih jauh, ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian. Salah satunya, apakah masing-masing jurusan itu sudah mampu menjadi pembeda dengan jurusan lain di luar FKM yang notabene juga membahas hal serupa. Atau lebih jauh lagi, seberapa rumit ilmu dari SKM itu sendiri dimata masyarakat awam.  

Renungan kedua. Kebutuhan menjadi profesi apakah berangkat dari keinginan menyelesaikan masalahkah, atau ini tidak lebih dari bentuk reaksi berlebihan karena diperlakukan tidak adil dalam system penjenjangan di pemerintahan kita. Jika karena hal yang kedua, akhirnya kita (SKM) hanya bersikap lebih reaktif dibandingkan seharusnya proaktif untuk segala masalah yang mengancam nantinya.

Renungan ketiga. Siapkah kampus, sebagai pelaksana tehnis yang diamanatkan undang-undang untuk menjadikan SKM sebuah profesi.

Ketiga renungan diatas bagi saya masih senafas dengan tulisan saya sebelumnya terkait kurikulum dan segala bentuk ancaman yang senantiasa mengancam SKM sebagai individu maupun sebagai kelompok yang tergabung dalam Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Pertanyaan kemudian; apakah  menjadi SKM adalah sebuah panggilan jiwa atau bukan. Jika merupakan panggilan jiwa, coba tanyakan pada jiwa anda; sudah siapkah anda menarung. Menarung untuk menjaga dan mempertegas eksistensi ditengah berbagai permasalahan kesehatan masyarakat kita?

Ngomong-ngomong; anda SKM atau petarung?



Masohi, 10 Maret 2017    


SUDAHKAH ANDA BERAK HARI INI(?)




“BACOOO, SUDAH MOKO BERAK?” teriak Indo’ dari dapur yang tengah menyiapkan sarapan

“BLUMPI MAK, SEMENTARA PROSES INI?” teriak Baco dari Kamar Mandi.

“KENAPAKAH LAMA SKALI?, MAU KA BERAK JUGA INIEEE”

“SABAR SAI KI’, MAK, AGAK KERAS INI TAI KU” 
(suatu ketika di sudut Kota Makassar)

Sekilas, pertanyaan ini seolah menjijikkan dan jorok. Setidaknya bagi mereka yang scatophobia akut, atau tidak sadar sedang mengalami scatophobia tingkat terendah yang biasa disebut rasa jijik berlebihan. Namun siapa sangka, baik “keluaran”, “capaian”, maupun “pengaruhnya”, ternyata berdampak positif pada kesehatan. Tidak tanggung-tanggung, bahkan melalui berak, manusia bisa dikatakan sehat atau tidak.

Meminjam sudut pandang Badan Kesehatan Dunia, tentang Sehat, adalah suatu keadaan sejahtera fisik, jiwa, dan sosial yang memungkinkan hidup secara produktif sosial dan ekonomi. Maka berak dan segala hal yang berhubungan dengannya, bisa dimasukkan tiga pendekatan kondisi Sehat menurut Badan Kesehatan Dunia tadi. Misalnya, pertama, dengan berak memberi bukti manusia secara biologis-- organ pencernaannya—bekerja (fisik) .

Dan, berak juga punya aturan main sendiri. Ini hubungannya dengan sistem pencernaan dalam keadaan bermasalah atau tidak. Ketika lambung mengirim signa  ke usus akan berdampak pada bentuk dan intensitas berak akhirnya.

Kedua, hubungannya dengan sensasi (kejiwaan) pascaberak. Kenikmatan. Iya, nikmat, bukan?. Sehingga tidak berlebihan kiranya jika keadaan setelah berak akhirnya disejajarkan (hampir) sama dengan sensasi pascaorgasme saat manusia bersetubuh. Karena melalui keduanya akan menghasilkan kenikmatan meski dalam kadar yang berbeda.

Ketiga, walaupun berak secara fisik dan kejiwaan menyehatkan, ternyata juga ada hubungannya dengan (status) sosial seseorang. Sebagai contoh, jika seseorang yang cukup terpandang di sebuah kampung, namun tidak memiliki tempat untuk berak yang sehat di rumah  , akan jadi sebuah pertanda buruk. Pertanda buruk dari segi kesehatan bagi masyarakat sekitar. Apatah lagi terhadap penilaian mereka yang berasal dari luar kampung itu.

Maka, Nikmat Berak lagi manakah yang bisa kalian pungkiri?

Lebih jauh saat berbicara berak, kita tidak akan bisa lepas dari tiga komponen inti yang jalin kelindan. Pertama, aktivitas berak itu sendiri, yang kemudian kita sebut dengan prilaku berak. Kedua, keluaran dari prilaku berak tadi, atau yang kita kenal dengan sebutan tahi. Ketiga, fasilitas yang berhubungan dengan berak itu tadi.

Prilaku Berak

Sebagai sebuah aktivitas yang tergolong purba, berak sudah ada sejak manusia di ciptakan. Karena itu, berak menjadi bagian dalam keseharian kita. Menariknya, aktivitas yang tergolong purba ini, belakangan mengalami makna peyoratif. Sehingga, menjadi sedemikian risihnya untuk dibicarakan secara terbuka. Khususnya mereka pengidap scatophobia. Padahal, berak merupakan salah satu kebutuhan vital setiap manusia yang masih hidup. Atau, mungkin juga karena letak ruang untuk menuntaskan hajat purba itu selalu diletakkan di bagian belakang sebuah rumah atau tempat tinggal. Sehingga prilaku berak yang awalnya (hanya) mengalami eufemisme “ Ke belakang “, makin ke sini lebih dikaitkan dengan kajian antropologisosiologi makro dari kata “belakang” yang identik dengan ketertinggalan, akibatnya eufemisme berubah menjadi peyoratif.

Padahal, berak-tidaknya seseorang sangat berhubungan dengan status kesehatannya.

Secara garis besar, prilaku berak terbagi atas dua golongan besar. Prilaku berak secara terbuka dan prilaku berak secara tertutup. Pembagian ini, tidak berhubungan dengan tampak-tidaknya prilaku itu secara kasat mata (saja), namun ini lebih pada hubungannya dengan bentuk “intervensi” dari tahi yang keluar.

Prilaku berak terbuka, atau yang dikenal dengan istilah Buang Air Besar Sembarangan (BABS) lebih sering dijumpai pada tipe masyarakat holtikultura dan Industri awal, meskipun begitu, masih saja  ada tipe masyarakat industri yang BABS; sepuluh, atau duapuluh keluarga saja.

Pada tipe ini, kedekatan terhadap alam sekitar menjadi salah satu faktor pendorong utama melakukan BABS. Prinsipnya, dengan BABS, mereka merasa menyatu dengan alam sekitar. Syarat untuk melakukan BABS pun sederhana, misalnya, cukup “lokasinya” jauh dari rumah dan berpindah-pindah, atau merupakan tempat yang cenderung bergerak (sungai dan atau laut). Atau, bisa juga hubungannya dengan waktu BABS. BABS tidak akan mungkin dilakukan seharian dalam intensitas sering (kecuali sedang diare). Biasanya memilih waktu-waktu tertentu, misalnya subuh hari atau menjelang malam. Makanya, meskipun BABS itu kesannya dekat dengan alam, tetap saja  ada Syarat dan Kondisi berlaku.

Berbeda dengan prilaku sebelumnya, prilaku berak tertutup lebih menekankan pada kondisi terpusat. Maksudnya, jika prilaku sebelumnya cenderung berpindah-pindah, maka prilaku berak tertutup adalah kebalikannya. Dan, prilaku berak tertutup menitikberatkan pada tata kelola “keluarannya” yang terpusat karena tidak mencemari sekitarnya, misalnya; sumber air baku dan lain-lain. Karena itu, prilaku berak tertutup, lebih erat hubungannya dengan pola pikir dan sikap seseorang. Pola pikir berhubungan dengan pengetahuan terkait berbagai dampak buruk dari BABS. Dan, sikap, lebih erat kaitannya dengan nilai-nilai yang dipercaya.

Kelompok yang berprilaku berak tertutup memiliki pemahaman berbeda dengan kelompok sebelumnya terkait kedekatan dengan alam sekitar. Bagai kelompok kedua ini, kedekatan alam sekitar dibuktikan dengan tidak merusaknya melalui tahi yang tersebar. Meskipun secara jamak, tahi dipercaya mengandung senyawa yang dibutuhkan tanaman, namun jika ternyata bukan hanya tanaman yang menikmati tahi tadi (misalnya lalat), di situlah masalah kesehatan ini bermula.

Bagi mereka yang telah mengetahui hubungan prilaku berak dan sampar, mencegah adalah sebuah pilihan yang paling masuk akal.  Minimal untuk lingkup keluarga mereka, ancaman seperti diare dan “teman-temannya” bisa terhindar. Selain itu, dengan berprilaku berak tertutup juga mencegah mereka dan keluarganya untuk di cap sebagai keluarga yang berprilaku jorok (tidak sehat) secara sosial.  

Jika mengacu pada tipe masyarakat, kelompok kedua ini banyak dijumpai pada masyarakat industri dan pascaindustri, bahkan pada tipe masyarakat hyperindustri.
  
Tahi

Karena berak itu adalah sebuah proses, maka, tanpa sebuah keluaran tentu saja cacat sistem. Dan, bentuk keluaran dari berak disebut tahi. Tahi sendiri lebih sering diabaikan oleh kita. Padahal, tahi bisa menjadi alat tolak ukur keadaan sistem kesehatan kita, terutama yang berhubungan dengan pencernaan. Ini kaitannya dengan warna dan bentuk dari tahi itu sendiri.

Secara garis besar, warna tahi ada enam jenis. Warna-warna ini bukan berjalin sebab dengan warna makanan yang dikonsumsi, namun berhubungan dengan kesehatan dan keadaan pencernaan kita secara khusus.

Pertama adalah warna merah terang. Jika mengeluarkan tahi berwarna tersebut, bisa dipastikan sedang terjadi pendarahan pada saluran usus yang lebih rendah atau lebih dekat dengan anus. Ini termasuk usus besar, atau bahkan sedang mengalami wasir.

Selain warna merah terang, ada lagi tahi berwarna hitam. Jika tahi berwarna merah terang berhubungan dengan pendarahan pada usus yang lebih rendah atau dekat dengan anus, maka penyebab tahi berwarna hitam karena terjadi pendarahan pada saluran pencernaan bagian atas. Atau usus yang letaknya dekat dengan lambung.

Warna lain lagi, adalah warna kuning berminyak dan cenderung lebih busuk. Untuk tahi berwarna ini karena kelebihan lemak yang terkandung. Penyebabnya telah terjadi malabsorbsi, atau bahasa sederhana; tubuh sedang kesulitan untuk menyerap nutrisi dari makanan.

Meskipun warna kuning berminyak lebih terang dibanding warna merah, ternyata masih ada lagi warna tahi terang lain. Warna putih terang. Jika tahi anda berwarna putih, maka bisa dipastikan empedu anda sedang bermasalah. Salah satunya karena empedu tidak mampu menghasilkan cairan  yang cukup dalam perannya untuk mengurai makanan.

Warna tahi juga ada yang hijau, loh. Tahi menjadi berwarna hijau setelah melewati anus karena proses pencernaan makanan di dalam usus bisa dipastikan tidak maksimal dalam arti terlalu cepat. Atau, bisa juga ini disebabkan karena jumlah bakteri E.Coli lebih banyak dari seharusnya. Mungkin, mereka sedang demonstrasi besar karena salah seorang kandidat pemimpin mereka telah melakukan penistaan atau salah satu pasangan dari kalompoknya sedang melangsungkan pesta perkawinan, entahlah.

Pertanyaannya, bagaimanakah warna tahi yang bisa menjadi tolak ukur pencernaan kita sehat? Warna cokelat.

Selain warnanya, bentuk Tahi juga bisa jadi acuan sehat-tidaknya seseorang. Untuk masalah bentuk, secara garis besar terbagi atas dua. Pertama, encer dan kedua, tidak encer. Untuk Tahi yang berbentuk encer, penyebabnya tidak lain karena dalam pencernaan kita sedang terjadi infeksi. Karena demonstrasi besar E.Coli, eh, maksud saya, jumlah E.Coli lebih banyak.

Untuk bentuk Tahi tidak encer, terbagi lagi dalam lima jenis bentuk. Pertama, berbentuk gumpalan kecil menyerupai biji kacang. Penyebabnya makanan yang mengandung unsur serat dan cairan tidak menjadi menu harian. Misalnya, sayur-sayuran atau buah-buahan.

Kedua, tahi yang berbentuk gumpalan lebih besar dari yang pertama. Jika bentuk pertama disebabkan karena kurangnya konsumsi makanan yang berserat dan mengandung cairan, untuk jenis kedua ini tidak jauh berbeda. Perbedaannya hanya, kadar makanan yang mengandung dua hal tadi perlu ditambah sedikit untuk dikonsumsi.

Ketiga, tahi yang berbentuk lonjong lebih mirip sosis. Untuk bentuk yang terakhir ini, bisa dipastikan baik makanan yang dikonsumsi maupun sistem pencernaan kita dalam keadaan sehat dan normal.
Intinya, makanan yang mengandung serat dan cairan sangat dibutuhkan oleh tubuh, terkhusus untuk membantu kerja alat-alat pencernaan. Selain itu, pastikan tidak ada mobilisasi besar-besaran E.Coli ke dalam tubuh kita. Entah itu alasan demonstrasi susulan setelah berubah isu atau terindikasi adanya upaya makar pada sistem pencernaan kita. Untuk yang terakhir ini, tidak perlu cari di google dalangnya, cukup liat saja warna dan bentuk tahi anda.

Fasilitas Berak

Konon, sejak manusia menemukan cara membuat kumpulan tahi jadi terpusat, disaat bersamaan telah berhasil membangun sebuah sistem pengelolaannya. Yang termasuk sistem pengelolaan itu dimulai dengan bangunan tempat pembuangan tahi hingga tempat berkumpul akhir. Karena ini pula, bentuk fasilitas berak dahulu kala hanya berupa lubang kecil dengan kedalaman tertentu. Meskipun masih saja ada yang mempertahankan bentuk (cubluk) hingga kini, revolusi dalam berak dimulai ketika manusia menemukan kloset pertama kali.

Tidak tanggung-tanggung, akibat dari penemuan fenomenal ini berujung pada terciptanya dua kelompok besar. Kelompok yang mempertahankan sistem pengelolaan tahi purba dan kelompok pengusung revolusi dalam berak. Walau akhirnya perbedaan kedua kelompok ini sudah di jembatani dengan penemuan kloset jongkok, tetap saja masih terjadi perdebatan didalamnya. Karena pengusung revolusi dalam berak akhirnya memperkenalkan jenis kloset duduk. Adalah “kenyamanan” yang membuat dua kelompok tadi masih terjebak dalam perbedaan laten.

Untuk wakil kelompok pertama, yang telah menerima hadirnya kloset, meski jenis jongkok, nyaman adalah ketika membuang hajat ada jarak di antara tubuh (selain kaki tempat berpijak) dan kloset. Karena dipercaya tahi mengandung bahan yang kotor. Sedangkan untuk kelompok kedua, yang memilih pakai kloset duduk, tidak demikian. Dengan duduk ketika membuang hajat, tahi yang jatuh ke dalam terhindar dari tersebar (percikan). Sehingga kesan lebih bersih jadi menguat. Karena itu, hotel-hotel bahkan beberapa bandara lebih sering/banyak memasang jenis kloset duduk dibanding kloset jongkok.

Terlepas dari perdebatan kenyamanan, bagi saya, selama berak itu terpusat dan dikelola dengan baik tentu akan menyehatkan. Tata kelola tahi seharusnya berhubungan dengan beberapa prinsip dasar pada fasilitas berak. Mulai dari keberadaan tempat pembuangan (baik yang duduk atau jongkok) hingga tempat berkumpul akhir tahi (septic tank). Antara tempat pembuangan dan tempat berkumpul akhir tahi dihubungkan oleh saluran (pipa). Dan terakhir, pastikan septic tank tadi kedap udara dan terdapat  batu kali pada dasar sebagai pemecah tahi setelah melewati lewat pipa dari kloset. Selain itu, pastikan septic tank jauh dari sumber air baku. Kalaupun harus dekat, harus diperhitungkan khusus. 

***

Untuk konteks Indonesia, ada dua hal yang menarik terkait berak. Pertama prilaku berak dan kedua fasilitas berak.

Meskipun sudah ada program pembagian seribu kloset duduk (jamban) tiap tahunnya ketika Orde Baru, tetap saja masih ada penduduk Indonesia yang saat ini penganut berak terbuka (BABS). Ada beberapa penyebab terkait itu, salah satunya tidak diiringi pengetahuan saat jamban dibagikan. Atau, karena masyarakat tidak dilibatkan penuh dalam proses (pembangunan jamban umum) tersebut. sehingga ada jarak. Jangan kaget akhirnya, jika masih saja ada Kota Besar di Indonesia yang tinggi BABS masyarakatnya.

Selain prilaku berak, fasilitas juga memegang peranan penting. Dalam hal pengelolaan dan peran serta penyelenggara negara.

Contoh kasus di kota Makassar.

Dengan peluncuran program Sistem Layanan Lumpur Tinja Terjadwal (LLTT) sejak Agustus 2015, Makassar diharapkan mampu terbebas dari segala masalah kesehatan yang terkait pengelolaan lumpur tinja. Program ini berangkat dari kenyataan bahwa dari 1,3 juta jiwa penduduk Makassar, masih ada 13 % yang melakukan BABS.

Angka tadi berhubungan dengan data Kementrian Lingkungan Hidup per Desember 2013, sekitar 75% badan-badan air tercemar limbah domestik di Indonesia. Tidak terkecuali kota Makassar. Mulai dari sungai Jeneberang, Sungai Tallo, hingga kanal Jongaya. Menurut data yang sama, kandungan bakteri coliform dan fecal coliform yang terkandung dalam ketiga badan air tadi melebihi ambang batas.

Misalnya sungai Jeneberang (salah satu sumber air baku dari PDAM Kota Makassar), total pencemaran coliform mencapai 35.000/100 ml dari ambang batas maksimum 10.000/100 ml. Tidak jauh berbeda juga dengan cemaran fecal coliform mencapai 2.300/100 ml dari ambang batas maksimum 2.000/100 ml.   

Kedua jenis cemaran itu (coliform dan fecal coliform) akan menjadi parasit patogen, yang berujung munculnya E.Coli dalam sumber air baku. Walau penanganan air minum tingkat rumah tangga telah berkembang dari memasak hingga menggunakan Air RahMAT, tetap saja yang sulit dihindari adalah agen penyebaran penyakit yang melalui lalat (Diagram F).   

***

Akhirnya, soal berak yang selama ini disepelekan ternyata bisa menjadi tolak ukur kesehatan seseorang atau sebuah komunitas, sekaligus jika prilaku dan fasilitasnya tidak dikelola secara baik akan berujung pada sebuah ancaman.


Pertanyaanya, Sudahkah Anda Berak hari ini?

KAMI TAU HARUS BAGAIMANA BUNG!!!

  
   Kita bertanya :
                             Kenapa maksud baik tidak selalu berguna
          Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga
                                          Orang berkata : “Kami punya maksud baik”
                                                              Dan kita bertanya : “Maksud baik saudara untuk siapa ?”
Sajak: Pertemuan Mahasiswa- Rendra (1977)


Kami tersentak, sekaligus terhenyak, mendadak tersebar melalui viral, secarik resep obat yang sedikit aneh. Ini aneh, bukan karena jenis obat yang dituliskan merupakan varian obat palsu. Atau bukan juga karena obat tersebut sudah memakan korban jiwa. Namun, karena resep obat tersebut dikeluarkan oleh seseorang; atau sebut saja oknum yang memiliki latar belakang Sarjana Kesehatan Masyarakat. Walau bagi masyarakat awam, kata obat dianggap setali dengan kesehatan itu sendiri, jadi sekilas ini bagi mereka biasa-biasa saja.

Namun bagi kami, laku oknum tersebut bukan hal yang lumrah atau lebih tepatnya merupakan bentuk khianat tugas dari seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat. Alasannya, karena dengan adanya kata masyarakat diakhir gelar kesarjanaan itu sendiri, mengisyaratkan lingkup kerja kami adalah kumpulan individu-individu di dalam masyarakat, dan disaat bersamaan selembar resep obat hanya bekerja pada satu individu (saja). Meskipun kejadian tersebut masih perlu sebuah kajian mendalam, minimal latar belakang sehingga muncul “inisiatif” dari oknum SKM tadi.

Bahwa kemudian “inisiatif” oknum tadi merupakan sebuah bentuk kekeliruan yang fatal, kami dengan tegas menyatakan setuju, walau begitu kami juga menolak jika kemudian masalah ini membuat kalian semakin menganggap komitmen persatuan kami yang dilandasi sebuah idealisme merupakan sebuah ruang hampa tanpa penghuni. Karena bagi kami, kalian juga sebenarnya sangat membutuhkan kami, dan itu kalian malu untuk mengakuinya.

Perlu kami tegaskan disini, inisiatif oknum tadi sebenarnya tidak berdiri sendiri. Setidaknya, bisa jadi ini merupakan sebuah fenomena gunung es, yang muncul hanya satu dua kasus saja, dan sebenarnya lebih banyak kejadian di masyarakat seperti itu. Misalnya, bisa jadi oknum tadi sehingga akhirnya berinisiatif untuk menulis sebuah resep obat, sebenarnya karena diperhadapkan pada dua kondisi yang saling berhubungan, pertama, karena pengetahuan dasar yang dimiliki oleh oknum tadi sebelum menjadi SKM, bisa jadi berprofesi sebagai perawat atau bidan, dan yang kedua, karena angka kunjungan fasilitas kesehatan tempat oknum tadi bertugas mengalami jumlah kunjungan yang membludak. Tentunya kita masih ingat bagaimana jumlah pasien di Puskesmas Majalaya Baru, Kabupaten Bandung.

Mungkin kalian merasa sebagai pihak yang paling dirugikan atas inisiatif dari oknum tadi, sepertihalnya kami seringkali merasa dirugikan ketika kalian dalam kesadaran penuh berusaha dengan sungguh-sungguh membajak ruang lingkup kerja kami di lain pihak. Sehingga rasa kecewa kalian, kami bisa pahami, jadi jangan khawatir.

Terlepas dari kejadian kemarin dimana inisiatif oknum tadi yang kesannya menyandera ruang lingkup kerja kalian dan atau ruang lingkup kerja kami yang kalian juga sering bajak, setidaknya kejadian ini membuka mata masing-masing dari kita.

Misalnya, tidakkah pernah kalian bertanya kepada kami, tentang seberapa besarnya kekecewaan kami terhadap kalian yang dengan kesadaran penuh berusaha membajak ilmu kesehatan masyarakat. Dan dengan kejadian ini pun membuat kami tersadar bahwa antara kami dan kalian ternyata memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Sebagai contoh, kami yang merupakan hasil reproduksi kalian, akhirnya dari muasalnya terbuka untuk masuknya dari berbagai latar belakang keilmuan. Bukankah ini salah satu bukti bahwa jika jenis aliran darah yang mengalir dalam tubuh kami awalnya merupakan pembauran dan tidak murni. Ini kita belum berbicara antara kami dan kalian sebenarnya hanya berhubungan secara kebetulan dan bukan murni hubungan genetika.

Atau, kemudian, kami bertanya, kenapa kalian hingga saat ini belum jemu untuk terus mengurusi kami, sedangkan jika mau jujur, kami sudah bukan seperti seorang anak ingusan yang masih banyak bergantung sama orang tua yang sebenarnya berstatus orang tua angkat. Bukan maksud kami untuk durhaka dan melupakan amalan baik kalian terhadap kami, namun sekali lagi ini soalnya pada jati diri kami sesungguhnya.

Contoh lain, yang masih juga terjadi beberpa waktu lalu, ketika kalian menuduh kami memecahbelah. Bukankah ini contoh lain dari bentuk kepanikan kalian, dan secara tidak sadar menjadi seperti laku cinta monyet sepasang muda-mudi dimana cemburu menjadi menu setiap saat diantara mereka. Jadi, apa sebenarnya yang membuat kalian pantas untuk menceburui kami, wahai puan dan tuan sekalian. Entoh, kami merupakan produk kalian beberapa puluh tahun silam.

Kami juga akhirnya mampu dalam membiakkan diri dengan atau tanpa kalian sebenarnya. Ataukah kalian akhirnya sadar bahwa kami ini hanya seperti seperti bahan percobaan yang belakangan ternyata mengalami mutasi genetika. Dan itu sebenarnya diluar perkiraan kalian. Ayolah bung, nasi sudah jadi bubur, kami sudah berbiak, dan tinggal menunggu waktu kami kemudian menjadi lebih kuat dari sekarang. Maksud kami, karena nasi sudah jadi bubur, dan supaya itu bisa tetap menarik untuk dimakan, mungkin biarkan kami mencari beberapa jenis sayur dan sepotong ayam, agar nasi yang sudah berubah jadi bubur tadi bisa menjadi lebih menarik.

Akhirnya, tanpa bermaksud membenarkan laku khianat oknum diatas, kami juga ingin mempertegas dengan kalian, biarkanlah Kami Ber(l)a(n)gam dan Kalian M(e)ono(n)ton, itu saja!!! Karena pelan tapi pasti pada ujung cerita jati diri kami akan semakin kokoh dan ini bukan merupakan bentuk dari mutasi genetika. Karena KAMI TAU HARUS BAGAIMANA BUNG!!! Dan maksud baik sodara untuk siapa??



Golongan Penyusup pada RAKERNAS VI PERSAKMI

Ilustrasi


Mungkin belum terlambat untuk mengucapkan selamat ber-RAKERNAS untuk PERSAKMI. Organisasi yang berisikan para Sarjana Kesehatan Masyarakat yang tersebar diseluruh Indonesia ini melaksanakan Rapat Kerja Nasional yang ke 6 pada tahun ini. Pelaksanaannyapun mengusung tema yang serius: “ Urgensi Menyusun Road Map Pendidikan Profesi Kesehatan Masyarakat Tahun 2016”. Dari segi susunan kata dalam tema tersebut mengandung sikap optimisme akan status PERSAKMI kedepannya sebagai satu-satunya wadah yang dengan bangganya mengakui (hanya) berisi Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Kali ini, bukan susunan kata demi kata yang termaktub dalam tema Rakernas tersebut yang menarik perhatian saya, selain karena tingkat kepercayaan saya terhadap tim penyusun yang sudah melewati beberapa kali kajian yang mendalam untuk kondisi SKM hari ini, juga karena segi optimisme yang terkandung didalamnya yang bagi saya patut diapresiasi secara tulus. Namun saya tertarik dengan beberapa tagar yang tersebar di linimasa sosial media ketika dihubungkan dengan eksistensi organisatoris orang-orang yang ber-swafoto ria di depan x-banner kegiatan atau spanduk kegiatan itu.

Dari beberapa tagar yang beredar, tagar yang menarik perhatian saya adalah PersakmiRumahSKM. Tagar ini ini seakan mengisyaratkan kepada kita, khususnya pemilik gelar SKM diseluruh Indonesia, pernah (minimal merasa) tidak memiliki rumah/wadah. Nah, pertanyaannya kemudian, selama SKM belum memiliki atau minimal menyadari bahwa Persakmi adalah Rumah/wadah mereka yang sah, kemanakah selama ini SKM bernaung. Kenyataannya ada banyak jawaban untuk itu, misalnya kemudian masing-masing SKM  menjadi bagian anggota dari kelompok alumni khusus FKM untuk masing-masing kampus di Indonesia, atau paling sial akhirnya berbaur dengan organisasi  yang mengusung tema kumpulan Ahli Kesehatan Masyarakat atau yang sejenis.

Sial, karena ternyata SKM berusaha menyatu dengan siapapun dan dengan yang memiliki latar belakang keilmuan apapun dalam organisasi tadi hanya karena semuanya menganggap ikut serta dalam upaya kesehatan masyarakat, dan itu, pelan tapi pasti bisa saja menggerus eksistensi seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat, baik kemurnian ilmu kesehatan masyarakat maupun fokus dan lokus dari kesehatan masyarakat itu sendiri.

Pertanyaanya lagi, bagaimana dengan reaksi orang-orang yang baik secara sadar maupun tidak masih bergabung dalam organisasi itu terhadap realitas hari ini bahwa SKM sudah memiliki rumah yang sah bernama PERSAKMI. Bagi saya, orang-orang tadi yang baik secara sadar maupun tidak masih bergabung di organisasi tersebut dan memilih ikut serta dalam RAKERNAS PERSAKMI tahun ini dikategorikan sebagai PENYUSUP.

Jika dibayangkan PERSAKMI sebagai sebuah rumah, kiranya tidak keliru jika secara jujur kita akui rumah ini masih terlalu dini untuk dikatakan sebagai rumah yang sempurna (rumah=wadah) dalam sudut pandang apapun. Salah satunya, misalnya,  karena umur dari rumah ini sendiri yang masih terlalu muda jika dibandingan dengan rumah yang sejenis untuk kalangan tenaga profesional kesehatan lainnya. Juga karena rumah ini, sebelumnya masih sering mengalami pemugaran demi pemugaran (baca: gonta-ganti struktur, persoalan eksistensi organisasi, dll). Namun, jika kita melihat itu (pemugaran demi pemugaran) sebagai bagian dari niatan mencapai bentuk rumah yang lebih sempurna, kiranya tidak mengapa.

Kembali ke para Penyusup tadi. Sebagai sebuah rumah, wajar menurut saya jika ada saja pihak baik perseorangan maupun kelompok yang kurang berkenan dengan semakin jelasnya keberadaan PERSAKMI secara kelembagaan dari masa ke masa. Selain karena akhirnya PERSAKMI dianggap sebagai ancaman bagi organisasi tersebut yang kebetulan sejenis, juga karena semakin meningkatnya optimisme SKM terhadap PERSAKMI itu sendiri. Dan ini merupakan salah satu dari sekian banyak alasan untuk menyusup di RAKERNAS PERSAKMI, selain alasan salah dua, salah tiga, dan seterusnya tentu saja.

Secara garis besar, ada beberapa golongan Penyusup pada RAKERNAS PERSAKMI yang bisa jadi turut hadir tahun ini, diantaranya:

PENYUSUP Penggembira

Golongan pertama ini adalah golongan yang masuk kategori selemah-lemahnya Penyusup. Karena berstatus sebagai penggembira, mereka kemudian tidak punya targetan apapun yang terkait PERSAKMI kedepannya, apa lagi pada RAKERNAS-nya. Selain itu Penyusup golongan ini kebanyakan menjadi Penyusup karena terjebak. Dalam artian, ketika mereka pulang dari acara RAKERNAS, tidak ada sedikitpun yang berubah dari sudut pandangnya terhadap PERSAKMI. Karena kenyataanya, di tempat mereka berasal, PERSAKMI tidak se-eksis di tempat lain.

Atau dengan kata lain, keberadaan PERSAKMI tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap kondisi kerja mereka selama ini, dan justru organisasi lain yang berlabel kelompok ahli kesehatan masyarakat-lah atau sejenisnya yang lebih berpengaruh di tempat asal mereka. Pada kondisi inilah mereka mengalami keterjebakan, karena disatu-sisi lingkungan kerja mereka selama ini hanya mengakui organisasi tadi dan bukan PERSAKMI, akhirnya “memaksa” mereka baik individu maupun kelompok untuk bergabung didalamnya.

Sehingga ketika ada momentum RAKERNAS PERSAKMI, kalaupun dipaksakan memiliki target, bagi mereka RAKERNAS PERSAKMI hanyalah sebagai ajang kumpul-kumpul dan temu alumni SKM lainnya, baik yang berasal dari satu institusi/kampus, atau bahkan hanya dalam rangka mempererat hubungan emosional antara sesama SKM.

PENYUSUP Moderat

Berbeda dengan kelompok golongan sebelumnya, golongan ini paling tidak memiliki beberapa targetan dalam keikutsertaannya di RAKERNAS PERSAKMI. Minimal mereka yang masuk dalam golongan ini, ketika berada ditengah-tengah peserta RAKERNAS PERSAKMI, berusaha mengidentifikasi kuantitas dari anggota PERSAKMI yang tersebar di Seluruh Indonesia. Ini tentu saja masih berhubungan dengan organisasi lain yang berlabel kelompok ahli kesehatan masyarakat tadi atau yang sejenis.

Selain itu, keanggotaan kelompok Penyusup ini pada organisasi tersebut sudah masuk dalam keadaan sadar. Selain karena didorong sikap yang oportunis, juga keanggotaan mereka pada organisasi diatas lebih erat hubungannya dengan jabatan mereka hari ini di masing-masing instansi pemerintah tempat mereka berasal. Namun begitu, niatan untuk identifikasi kuantitas anggota PERSAKMI pada RAKERNAS masih ada hubungannya dengan kemungkinan golongan ini untuk beralihatau berpidah keangotaan dan lebih aktif di PERSAKMI nantinya.

Dengan kata lain, golongan ini senantiasa berparadigma abu-abu (antara hitam-putih) dalam rangka menilai organisasi apapun itu bentuknya. Salah satu penyebab dari cara pandang kelompok ini menjadi demikian ialah traumatik yang berkepanjangan ketika masih menjadi mahasiswa dan memiliki kesempatan untuk aktif dalam lembaga kemahasiswaan. Bisa jadi pengalaman traumatik ini berhubungan dengan kekecewaan yang pernah dialami dalam bentuk apapun.

PENYUSUP Garis Keras

Golongan ketiga ini adalah golongan yang paling kritis dalam melihat segala hal. Selain karena mereka-mereka ini sudah sedemikian jauhnya terlibat didalam organisasi selain PERSAKMI seperti organisasi yang berlabel kelompok ahli kesehatan masyarakat tadi atau yang sejenis, juga karena mereka ingin melihat PERSAKMI semakin jauh dari rasa optimisme dan akhirnya mati dengan sendirinya.

Berangkat dari niatan tersebutlah mereka kemudian hadir dalam RAKERNAS PERSAKMI. Dan untuk itu berbagai upaya mereka lakukan demi mendapat selembar mandat dalam rangka mewakili PERSAKMI cabang yang berasal dari daerah tempat dimana mereka berasal. Sejurus dengan itu, sambil mengasah daya kritis mereka terhadap organisasi sesungguhnya dalam rangka memberikan masukan yang bersifat membangun sehingga lebih mudah untuk “menyerang” PERSAKMI baik secara langsung maupun tidak langsung.

Karena RAKERNAS PERSAKMI kali ini juga mengagendakan pelantikan pengurus PERSAKMI yang berasal dari beberapa DPD atau DPC yang berasal dari seluruh Indonesia, bisa jadi golongan ini juga mengkondisikan masuknya mereka dalam susunan pengurus inti DPD maupun DPC PERSAKMI yang akan dilantik tersebut. Kondisi ini bisa dipahami dalam rangka turut serta berperan aktif dalam merusak organisasi PERSAKMI yang berada di masing-masing daerah di Indonesia.

PENYUSUP Pokemon-Go

Salah satu permainan online dan hanya bisa di mainkan pada perangkat seluler yang berbasis augmented-reality ini sejak peluncurannya sudah diunduh sebanyak 30 Juta kali. Dan menariknya jumlah ini jauh lebih banyak dari pengguna aktif harian untuk jenis sosial media manapun. Permainan besutan John Hanke ini akhirnya menciptkan kehebohan sendiri.

Nah, hubungannya dengan RAKERNAS PERSAKMI terletak pada niatan awal dari masing-masing peserta sebelum mengikuti kegiatan tersebut. Maksud saya, bisa jadi diantara seluruh peserta RAKERNAS PERSAKMI yang berasal dari perwakilan DPD dan atau DPC seluruh Indonesia itu, ada saja pihak atau orang-orang yang berusaha menunggangi kegiatan tersebut untuk mewujudkan keinginan melengkapi jenis pokemon yang didapatkan atau yang dikoleksi. Salah satunya mungkin karena masih berstatus trainer kelompok beginner dalam permainan Pokemon-Go.

Disinilah status Penyusup dilekatkan kepada mereka. Karena keikutsertaan mereka memiliki latarbelakang berganda dan bukannya berangkat dari tujuan utama untuk melihat PERSAKMI lebih maju kedepannya serta berangkat dari rasa optimisme yang mulai menguat antara SKM itu sendiri.
Hasilnya, bisa dibayangkan, untuk golongan Penyusup ini lebih banyak meninggalkan kegiatan-kegiatan inti dari RAKERNAS PERSAKMI demi mencari jenis-jenis pokemon untuk ditaklukkan/di-trainer. Dan dengan begitu, tanpa disadari, mereka juga memberikan kontribusi aktif terhadap kemunduran dari PERSAKMI. Makanya mereka masuk dalam kategori Penyusup.
*
Akhir kata, tentunya besar harapan kita, dari semua yang hadir dalam RAKERNAS PERSAKMI ke 6 tahun ini tidak ada satupun yang berstatus sebagai Penyusup. Jikapun ada, semoga mereka cepat atau lambat menyadari, bahwa sebuah tindakan sia-sia kiranya kemudian membendung optimisme yang terbangun dari kami para pemiliki gelar SKM itu sendiri. Apalagi jika itu kemudian berangkat dari anggapan bahwa PERSAKMI akan mati dengan sendirinya.

Karena walau umur PERSAKMI masih tergolong muda, setidaknya dengan optimisme yang terbangun hari ini melalui kegiatan demi kegiatan yang menyatukan kami akhirnya memberi gambaran seberapa kuatnya persatuan yang tercipta diatara kami. Dan bukankah hanya SKM-lah yang paling pantas berbicara tentang SKM itu sendiri, ini juga termasuk hanya SKM yang pantas menentukan nasibnya sendiri.


WAHAI SKM BERSATULAH!!!

SKM BERSATU TAK TERKALAHKAN!!!

SKM dan Pemberdayaan (?)


Pemberdayaan. Kata ini begitu menyihir, setidaknya untuk beberapa belas tahun belakangan. Sebegitu menyihirnya, sehingga kata ini sudah sangat fasih dilekatkan dengan berbagai aspek dalam kehidupan sehari-hari. Melalui kata ini pula, sebagian dari kita memberi harapan besar terhadap berbagai permasalahan yang masih menjadi bagian dalam kita berbangsa saat ini. Dan ini tidak lepas dari persoalan kemiskinan yang selalu fluktuatif, setidaknya jika mengacu pada angka-angka yang disampaikan para pengelolah negara melalui lembaga negaranya.

Jika mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, pemberdayaan itu sendiri bermakna proses, cara, perbuatan memberdayakan. Sedangkan memberdayakan disini bermakna membuat berdaya. Dan berdaya adalah berkekuatan; berkemampuan; bertenaga atau mempunyai akal/cara/dan sebagainya untuk mengatasi sesuatu. Atau jika kita merujuk pada kata dasarnya adalah daya yang bermakna kemampuan melakukan sesuatu atau bertindak.

Dari batasan pembardayaan tadi, akhirnya memberi sedikit gambaran kenapa kemudian pemberdayaan senantiasa dilekatkan pada sebuah kondisi yang disebut dengan miskin/kemiskinan itu sendiri.  Harapannya, kemiskinan dengan serta merta teratasi dengan pemberdayaan dilain pihak. Sehingga jangan kaget dengan berbagai program yang berlabel pemberdayaan untuk rakyat miskin juga senantiasa “diperkenalkan” oleh pengelolah negara hari ini. Walau bagi sebagian pihak, pemerintahan kali ini masih sulit menerima konsep pemberdayaan, karena kurang terukur untuk jangka pendek, katanya.

Disaat bersamaan akhirnya, kondisi tadi hanya membikin kita bersepakat bahwa rakyat yang menjadi miskin itu adalah karena tidak berdaya tanpa kemudian memperhatikan berbagai faktor lain yang justru hanya memperteguh rantai kemiskinan itu sendiri, misalnya akses transportasi. Semoga ingatan kita belum menghapus kosep miskin absolut.

Pemberdayaan dan Aspek Kesehatan

Bagaimana dengan aspek kesehatan?. Ini juga tidak jauh berbeda. Berbagai program pengelola negara hari ini yang baik sedang berlangsung maupun yang telah usai, selalu melekatkan kata pemberdayaan dalam program kesehatan, baik secara kasat mata maupun dalam bentuk yang nyata. Satu sisi ini merupakan sebuah kemajuan dan layak diapresiasi, walau disisi lain dengan tidak diikutkannya dengan berbagai bentuk nyata dari sebuah konsep pemberdayaan masyarakat itu sendiri untuk dibidang kesehatan adalah hal yang menyedihkan tentunya.

Salah satu contoh dari bentuk implementasi pemberdayaan masyarakat-setidaknya ini menurut mereka- dibidang kesehatan adalah program nusantara sehat. Secara garis besar program ini sendiri dilaksanakan dibawah naungan Kementrian Kesehatan. Dan, program tersebut, salah satunya berangkat dari sebuah kajian distribusi tenaga kesehatan yang dilakukan oleh Kementrian Kesehatan pada tahun 2012. Berdasarkan informasi itu akhirnya dilahirkanlah program nusantara sehat, dengan harapan persoalan distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata di Indonesia bisa diatasi, selain itu segala bentuk permasalahan kesehatan juga turut teratasi.

Adalah tahun 2014 kemudian program ini diujicobakan pada empat kabupaten di 4 Propinsi Indonesia (Prop. SUMUT, KALBAR, MALUKU, dan PAPUA). Dan keberhasilan dari program tersebut-klaim Kementrian Kesehatan juga- mampu meningkatkan angka kunjungan masyarakat di fasilitas kesehatan tingkat pertama yang dalam hal ini adalah PUSKESMAS.

Sekilas hal ini bisa menjadi sebuah angin segar, setidaknya berhasil menterjemahkan program Jokowi dalam Nawa Cita yang menginginkan pembangunan Indonesia dimulai dari pinggiran. Namun itu hanya sekilas, jika dua kilas, ada beberapa hal bisa menjadi pertanyaan serius jika kata meragukan masih terlalu kasar. Yang pertama, apakah memang persoalan kesehatan masyarakat kita dipengaruhi oleh distribusi tenaga kesehatan sajakah?

Dengan sebuah program yang mengusung konsep berbasis tim, akhirnya diharapkan distribusi tenaga kesehatan semua daerah yang berada di pinggiran Indonesia bisa teratasi. Sekali lagi, bagi saya pola pikir ini masih berparadigma sakit. Karena masalah kesehatan masyarakat, tidak semata berhubungan rendahnya angka kunjungan, apalagi jika dihubungkan dengan berbagai budaya masing-masing daerah.
Sebagai ilustrasi, dengan formasi tim program nusantara sehat untuk masing-masing puskesmas atau fasilitas kesehatan lainnya yang berjumlah lima hingga sembilan orang (syarat dan kondisi yang berlaku menurut Kementrian Kesehatan) ditempatkan selama 2 tahun. Harapannya adalah hingga daerah yang menjadi sasaran dari program tersebut mampu memenuhi kebutuhan tersebut secara mandiri.

Artinya, sejak dari awal program ini, masih terlalu malu-malu untuk secara full berjibaku meningkatkan derajat kesehatan. Karena masih menaruh harapan yang besar hanya terhadap distribusi tenaga kesehatan itu sendiri. Hal inilah yang bagi saya adalah bentuk lain dari sebuah konsep paradigma sakit. Dengan sebuah tanggung jawab tim untuk meningkatkan angka kunjungan saja hanya bagian terkecil  dari sebuah konsep meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Salah satunya, karena bisa jadi rendahnya angka kunjungan di sebuah fasilitas kesehatan tingkat pertama bukan karena terbatasnya jumlah tenaga kesehatan, namun karena berhubungan dengan aksebilitas terhadap fasilitas kesehatan itu sendiri (karena Puskesmas hanya melayani untuk ruang lingkup kecamatan).  Atau bisa juga rendahnya angka kunjungan di fasilitas kesehatan tersebut, karena sebagian tenaga kesehatan misalnya Dokter tidak terlalu lama melakukan pelayanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama.

Atau kita juga bisa berbicara kasus membludaknya jumlah kunjungan pada Puskesmas Majalaya Baru, Kabupaten Bandung. Jumlah kunjungan yang banyak itu bukan karena Puskesmas ini adalah salah satu sasaran program Nusantara Sehat, atau bukan juga karena Puskesmas ini memiliki jumlah tenaga kesehatan yang mumpuni. Satu-satunya alasan melimpahnya jumlah kunjungan tersebut adalah karena Puskesmas ini terletak sangat strategis, selain itu untuk ke fasilitas kesehatan lain, paling tidak masyarakat harus menempuh waktu selama 2 jam.

Dari dua perbandingan diatas bisa sedikit mendapat gambaran, mengapa program pengelola negara untuk bidang kesehatan masih terlalu jauh dari niatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Hal kedua yang jadi pertanyaan serius, dengan memberikan bekal seperti materi bela negara atau sebuah keahlian medis/non-medis serta harapan pelaksanan program-program pemberdayaan masyarakat, dan disatusisi mentikberatkan pada peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan untuk konteks sebuah fasilitas kesehatan tingkat pertama , laksana menggabungkan air dan minyak dalam satu wadah dengan harapan kemurnian air tetap terjaga. Kenapa, karena antara peningkatan akses dan kualiatas layanan kesehatan dalam sebuah fasilitas kesehatan dan program pemberdayaan masyarakat adalah dua bentuk yang saling bertolak belakang.

Ketika kita berbicara tentang akses dan kualitas pelayanan sebuah fasilitas kesehatan, disaat bersamaan kita juga mengakui akan tingginya angka kesakitan masyarakat dalam sebuah wilayah, setidaknya ini menurut petugas kesehatan tadi. Sedangkan, jika merujuk pada makna pemberdayaan masyarakat itu sendiri, kita akan tiba pada kenyataan bahwa persoalan kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat secara langsung wajib disadari (dengan atau tanpa petugas kesehatan tentunya). Nah, dari dua kondisi tadi, bukankah akhirnya jadi bertolak belakang, satu sisi masalah kesehatan pada suatau masyarakat dianggap hanya diketahui oleh tenaga kesehatan, dan disaat bersamaan diaharapkan masyarakat juga menyadari. Sehingga jangan heran jika dilapangan, para tenaga nusantara sehat akhirnya hanya melakukan penyuluhan/sosialisasi untuk aspek pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Atau paling jauh ikut mendampingi tenaga kesehatan yang akan menjalankan tugas harian di fasilitas kesehatan yang menjadi target dari program nusantara sehat tadi. 

Apakah ini keliru, bagi saya belum bisa dikatakan demikian. Karena sosialisasi hanya salah satu bagian dari pemberdayaan masyarakat. Sedangkan salah dua atau salah tiga dan seterusnya masih banyak lagi tahapan dari pemberdayaan masyarakat, sialnya ini tidak atau belum dimasukkan dalam tehnis kemampuan yang harus dikuasai oleh tim nusantara sehat. Disinilah menurut saya peran seorang SKM diperlukan untuk lebih maksimal.

SKM dan Pemberdayaan Masyarakat

Kenapa SKM, karena diantara jenis tenaga kesehatan, hanya SKM yang “berani” memasukkan kata masyarakat dalam gelar kesarjanaanya. Coba bandingkan dengan dengan jenis tenaga kesehatan lainnya. Karena hal tersebut, tidak berlebihan kiranya masyarakat akhirnya menaruh harapan besar pada SKM itu sendiri. Pertanyaanya seberapa siap SKM dalam menjawab harapan besar tadi.

Dari sekian banyak literatur yang menjelaskan tentang kapan pertama kali SKM lahir dan siapa yang membidani, setidaknya bisa diambil kesimpulan bahwa seorang SKM itu lahir dari FKM sebuah universitas di Indonesia adalah efektif di era 70-an. Walau proses berdirinya sebuah FKM itu sendiri sudah mulai dirancang sejak 1965. Sedangkan niatan tersebut sebenarnya berangkat dari berbagai permaslahan kesehatan masyarakat yang terjadi di Indonesia.

Dari kondisi tersebut, akhirnya SKM angkatan pertama tadi, melalui kurikulum yang disusun pada tahun 70an itu mewajibkan seorang calon sarjana kesehatan masyarakat untuk magang dilapangan selama setengah tahun hingga satu tahun dalam rangka perencanaan dan pendidikan kesehatan dalam sebuah program kesehatan pada lokasi yang menjadi tempat magang tadi.

Bagaimana dengan sekarang, jika mengacu pada hasil-hasil RAKERNAS AIPTKMI IX di Padang, dalam kurikulum FKM yang wajib diterapkan pada semua tidak terlihat secuilpun semangat untuk menitikberatkan pada skill/kompetensi seorang SKM seperti yang termaktub dalam kurikulum pertama SKM tadi. Walau kemudian acara tersebut atau saya lebih suka menyebutkan sebuah dagelan/lawakan, semangatnya ingin menciptakan delapan kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang SKM, tetap saja itu hanya kulit yang membungkus demi terwujudnya sebuah niatan untuk mewajibkan kepemilikan STR bagi calon sarjana tersebut.

Point saya bukan STR itu tidak penting, cuma masih belum dibutuhkan oleh seorang SKM saat ini. selain karena kurikulum yang wajib diterapkan di semua Universitas tadi yang masih miskin atau hampir tidak ada yang menguatkan secara tehnis kedelapan kompetensi tadi, juga karena adanya tumpang tindih antara uji kompetensi itu sendiri dengan rangkaian ujian akhir seorang calon sarjana Kesehatan Masyarakat.

Sedangkan jika mengacu pada UU No.12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, tertuang pada pasal 44 ayat 2 :” Serifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan organisasi profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi kepada lulusan yang lulus uji kompetensi ”. Pertanyaanya kemudian, organisasi manakah yang merupakan organisasi profesi dari SKM itu sendiri.  

Atau lebih jauh lagi kita bertanya, apakah pantas kemudian SKM menjadi sebuah profesi saat ini. ini dengan asumsi bahwa seorang SKM diwajibkan mempelajari hampir seluruh peminatan yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat itu sendiri. Ini menurut saya cukup penting untuk kembali dipertegas, karena ditengah arus tarik menarik dari berbagai pihak untuk mengklaim bahwa SKM itu (bisa) menjadi sebuah profesi, apakah sebagai seorang SKM atau calon sekalipun, pernah bertanya secara jujur kepada diri sendiri bahwa sudah pantaskah SKM dikatakan sebagai profesi.

Karena kata kunci dari sebuah profesi adalah keahlian ( Pasal 44 ayat 1, UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi). Sejalan dengan itu dengan masih beragamnya peminatan dan disaat bersamaan sangat terbatas jumlah peminatan yang akhirnya dengan berani mendeklarasikan dirinya untuk menjadi profesi, hanya menambah daftar panjang akan waktu yang dibutuhkan bagi seorang SKM untuk menjadi sebuah profesi tentunya.


Dus, jika SKM saja belum selesai pada perdebatan layak tidaknya disebut sebagi sebuah profesi, bagaimana mungkin kemudian kita berharap pada kemampuan seorang SKM untuk melaksanakan sebuah bentuk pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, selain hanya menitikberatkan pada penyuluhan/sosialisasi saja nantinya. Ini kita belum melihat secara detil isi kurikulum yang termaktub dalam hasil-hasil RAKERNAS AIPTKMI IX tadi, yang masih menaruh harapan besar pada pelaksanaan Praktek Belajar Lapangan untuk mengasah kemampuan/skill seorang SKM dilapangan.  

Oh iya, apa kabar dengan RAKERNAS PERSAKMI??