Hal yang Paling Membosankan dari COVID-19
Hari ini, cuaca demikian cerah.
Sinar matahari sudah sejak pukul 09.00 pagi mengintip dengan malu-malu di
kamarku. Sejak saya indekos disini, lima bulan silam, cuaca memang tidak
menentu. Kadang mendung, kadang juga mentari bersinar dengan garang. Seperti sekarang.
Karena itu pula, jadwal mencuci, membersihkan dan segala aktifitas mengisi
waktu libur bisa saya lakukan.
Setelah kegiatan tersebut selesai
dan perut sudah terisi, saya melanjutkan rutinitas lain saat senggang.
Sebenarnya banyak yang biasa saya lakukan. Mulai melepas penat dengan berbagai
permainan di gawai, berselancar di media sosial, hingga bertemu dan berbincang
dengan kawan-kawan disini. Berhubung karena pandemi belum berakhir, pilihan
untuk keluar indekos urung saya lakukan.
Bosan dengan permainan daring,
saya kemudian mengalihkan perhatianku ke berselancar pada peramban daring.
Tujuannya satu; perbarui informasi. Terus terang, karena sadar tingkat awam
diri mencapai titik nadir, jenis informasi yang saya sukai ialah nonfiksi.
Makanya, mesin pencari saya tujukan pada hal terkait.
Untuk soal jenis, semua informasi
bisa saya lumat. Dengan catatan, tingkat akurasi wajib presisi. Sebab saya
paham bahwa dunia jejaring mampu menyuguhkan info apapun. Dan sialnya, semuanya
tanpa saringan. Makanya diperlukan upaya lebih dalam memastikan kebenaran warta
tertentu. Apalagi jika itu berhubungan dengan bidang-bidang spesifik.
Karena latar belakang ilmu saya
adalah kesehatan masyarakat, berita terkait lebih sering juga saya telusuri.
Salah satunya saya temukan hari ini.
Beberapa hari yang lalu, menteri
kesehatan mengumumkan istilah baru terkait COVID-19. Sebutan-sebutan ini tertuang dalam keputusan Menteri Kesehatan
(KMK) nomor HK.01.07/MENKES/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian COVID-19. Disaat bersamaan keputusan ini menggugurkan keputusan terkait
sebelumnya.
Dahulu istilah yang awam ketahui seputar
virus maharenik hanya ODP (Orang Dalam Pemantauan), OTG (Orang Tanpa Gejala),
dan PDP (Pasien Dalam Pemantauan). Ketiganya berubah menjadi Kasus Suspek, Kasus Konfirmasi, dan Kontak Erat. Dengan panjang kali lebar kali
tinggi, tiga istilah pengganti ini dijelaskan oleh otoritas tertinggi Indonesia
lewat KMK tadi.
Keputusan yang resmi keluar tepat
dua hari sebelum aksi pengacau berjubah agama di Senayan silam ini, memang
menarik untuk diperiksa. Saat khalayak mulai paham dengan tiga istilah
sebelumnya, aturan ini “memaksa” kita untuk mengubahnya. Bagi saya disinilah
letak menariknya. Dalam beberapa bulan saja, terma bisa dengan cepat berubah.
Upayanya juga tidak main-main, melibatkan tingkat menteri untuk mewujudkannya.
Hal lain yang tidak kalah menarik
ialah pilihan diksinya. Untuk istilah sebelumnya, para ahli dan masyarakat kebanyakan
bersepakat mengikatnya dalam akronim. Kondisi ini bagi saya bisa dimaklumi.
Karena tigapuluh dua tahun saat orde baru berkuasa, kebiasaan menyingkat
menjadi salah satu penanda. Lihat saja buku “Dilarang Gondrong! Praktik
Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal Tahun 1970” buah tangan Aria Wiratma
Yudistira (Marjin Kiri, 2010). Diantara banyak singkatan masa itu, BAKORPERAGON
(Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong) yang paling menandai pikiran.
Makanya ODP, PDP, dan OTG dapat
dengan mudah dicerna oleh masyarakat. Meskipun selain tiga istilah sebelumnya
ini sebenarnya masih banyak lagi. Diantaranya label; transmisi lokal.
Kita kembali pada tiga penyebutan
baru terkait Korona. Meskipun semuanya pakai bahasa Indonesia, setelah saya
lihat lebih teliti ternyata ada kejanggalan. Terutama kata; Suspek. Jika kita telusuri pada kamus
besar bahasa Indonesia, diksi ini ternyata tidak ada. Bisa dibayangkan,
bagaimana sulitnya kata ini di kemudian hari akan bisa dipahami oleh
masyarakat.
Karena penasaran dengan kata suspek, saya menelusurinya lebih jauh.
Kata ini ternyata dari bahasa latin: Suspectare.
Selanjutnya disadur ke dalam bahasa Inggris Tengah karena pengaruh
pernyebaran dari Perancis Tengah. Selain mengalami perubahan susunan huruf,
makna juga berganti. Dalam bahasa Latin, Suspectare
bermakna: untuk (sesuatu) yang tidak dipercayai. Sedangkan dalam bahasa
Inggris maknanya menjadi: yang dicurigai. Itupun sangat bergantung pada tujuan penggunaannya.
Sebagai kata kerja, kata sifat, atau kata benda.
Untuk konteks Indonesia kata ini
hanya “dialihkan” dari bahasa asing ke bahasa kita. Yang paling berhubungan
penggunaan kata suspek ini untuk
makna saat digunakan sebagai kata kerja. Makanya MKM memasukkannya. Itupun
tidak diikuti dengan upaya lanjutan melengkapi perbendaharaan kata kita dalam
kamus besar bahasa Indonesia. Jangan heran jika kata Suspek tidak ada.
Sekaligus ini bisa membuktikan
satu hal. Betapa membosankannya istilah-istilah yang muncul belakangan ini. Apalagi
jika otoritas tingkat negara memberitahukan berbagai istilah yang asalnya dari
bahasa asing. Disaat bersamaan, awam dipaksa untuk paham.
Semoga tidak patuhnya masyarakat
pada berbagai imbauan terkait COVID-19 bukan karena mereka bosan dan tidak
paham dengan berbagai istilah yang muncul.
Amin.
0 komentar:
Posting Komentar