Sebuah Undangan Pernikahan
Salah satu masalah dalam dunia
kedokteran di belahan dunia manapun yang hingga saat ini masih terjadi adalah malapraktik.
Sudah banyak kasus terkait ini dan penyelesaiannya berbeda-beda. Paling sering,
pihak yang dirugikan adalah pasien. Baik itu berujung pada cidera permanen,
kehilangan bagian atau fungsi tertentu tubuh, hingga kematian. Beberapa negara
juga berbeda dalam memandang kejadian dari malpraktik.
Secara global istilah malapraktik
pertama kali digunakan manusia pada tahun 1670. Dari segi makna juga tidak jauh
berbeda hingga saat ini. Jika kita buka kamus tertua yang pernah dibuat oleh
manusia, kata malapraktik artinya bentuk kelalaian dari tugas profesional atau
kegagalan untuk melaksanakan tingkat biasa keterampilan profesional atau
belajar dengan satu render layanan profesional yang mengakibatkan cedera,
kehilangan, atau kerusakan. Awalnya, penyebutan kejadian ini hanya melekat pada
satu profesi saja, yaitu dokter. Makin kesini, makin terbuka. Semua profesi
berpeluang melakukan malapraktik.
Untuk konteks Indonesia, istilah
ini diperkenalkan pertama kali oleh majalah mingguan Tempo pada tahun 1986. Dari
segi arti, pada Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah praktik kedokteran yang
salah, tidak tepat, menyalahi undang-undang atau kode etik. Artinya, makna
tersebut masih mengacu pada satu bidang profesi saja.
Seturut dengan itu, sejak 1986
tentu saja sudah banyak kasus malapraktik terjadi di Indonesia. Dari yang masuk
kategori ringan hingga yang terberat (kasus meninggal). Meskipun dari semua
kasus tersebut, bisa dikatakan sangat sedikit yang akhirnya menguntungkan pihak
pasien (korban) dan keluarga. Tidak jauh berbeda sejak Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia lahir empat
belas tahun silam. Malapraktik demi malapraktik tetap terjadi.
Dilain sisi, menjadi seorang
dokter perlu diakui adalah sebuah profesi yang penuh dengan resiko. Karena berhubungan
langsung dengan kelangsungan hidup seseorang. Maka dari itu cukup panjang jalan
yang harus dilalui seseorang jika ingin menjadi seorang dokter. Termasuk juga
tidak sedikit biaya yang dibutuhkan. Terutama untuk di Indonesia. Singkatnya,
jadi dokter di Indonesia itu mahal dan dekat dengan resiko.
Menariknya, mahalnya biaya
menjadi dokter dan tingkat resiko terhadap nyawa seseorang tinggi tidak membuat
gentar orang untuk memilihnya jadi sebuah profesi. Tentu saja ini masih
berhubungan dengan konsekuensi materi saat menjalankan tugas profesi. Karena
mahalnya biaya sebuah gelar dokter juga, sangat sedikit dari dokter berkenan
ditempatkan di pelosok Republik ini. Beruntung beberapa tahun belakangan
pemerintah sudah punya program “Indonesia Sehat”. Meskipun tidak lama, upaya
ini patut diapresiasi.
Kembali pada kasus malapraktik.
Selain kasus serupa belum bisa
dikatakan selesai, ternyata ada sebutan yang sangat erat dengan kasus
malapraktik ini. Istilah Kriminalisasi. Coba kita kembali mengingat kejadian tujuh
tahun silam. Saat itu sangat erat hubungan antara (kasus) kriminalisasi dan
malapraktik. Adalah kasus dr.Ayu mencuat, khalayak terbagi atas dua kelompok
besar. Ada yang mendukung jeratan untuk dokter Ayu, ada juga yang menolak.
Kebanyakan dari kelompok kedua dari anggota se-profesi.
Untuk kesekian kalinya, istilah
kriminalisasi dan malapraktik menemui ruang untuk bercengkrama. Karena kejadian
ini pula, awam akhirnya paham makna dan kondisi ideal kedua kata tersebut
digunakan. Tidak main-main, pada 2013 silam, pakar hukum dan tata negara
mengambil bagian dalam “pesta” bersatunya malapraktik dan kriminalisasi.
Berbicara soal dua kata tersebut,
ada sebuah kejadian cukup menggelitik. Bertempat pada kabupaten tertua di
Maluku. Kejadiannya bermula dari sebuah tulisan bernuansa kritik atas indikasi
malapraktik di fasilitas kesehatan disana. Pelakunya, konon, masih keluarga
dekat dengan orang nomor satu di Kabupaten tersebut.
Tidak terima akan kritik
tersebut, dengan dalil pencemaran nama baik, oknum yang terindikasi merupakan
pelaku malapraktik melapor ke pihak berwajib. Tentu saja dalih yang digunakan
adalah Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Akhirnya, selembar
surat berkode: S-Pgl/a47/VII/2020/Reskrim dikeluarkan. Sontak memancing reaksi
yang tidak sedikit dari banyak pihak. Seolah satu pemahaman, semua orang
menganggap laporan tersebut adalah bentuk pembungkaman pada nalar kritis.
Meskipun saya bersepakat dengan
kesimpulan ada upaya pembungkaman terhadap nalar kritis, bukan itu yang membuat
saya hampir tertawa. Yang lucu dari kejadian ini adalah latar belakang asal
dari si pelapor. Jika betul dia adalah keluarga dekat dari kepala daerah
disana, tindakan melapor yang dilakukan adalah sebuah kecerobohan. Apalagi jika
kita hubungkan niatan “mengkondisikan” pengganti Bupati sekarang berasal dari
keluarga sendiri. Bukankah ini bentuk bunuh diri secara politik.
Hal lain yang tidak kalah lucu, adalah
campur tangan alat negara dalam kasus ini. Jika betul pihak berwajib meneruskan
proses ini, disaat bersamaan, pihak berwajib menceburkan diri ke dalam pekatnya
lumpur oligarki dalam peta perpolitikan disana. Terlebih jika kita perhatikan
sepak terjang beberapa waktu belakangan ini , sang Bupati menunjukkan sikap
otoriter. Salah satu bukti, pengangkatan pejabat sementara salah satu desa
tertua di Maluku Tengah. Kabarnya, yang bersangkutan masih orang dekat dari si
Bupati. Akibatnya, sikap otoriter daru pucuk pimpinan kabupaten menurun
padanya. Lihat saja kejadian kekerasan di Sawai beberapa waktu lalu.
Bukankah otoritarian sangan lekat
hubungannya dengan laku korup? Jika sudah begitu, nepotisme dan kolusi tinggal
tunggu waktu untuk mewujud.
Berangkat dari kondisi diatas,
bagi saya tidak ada alasan untuk menyerahkan kepercayaan pada kabupaten tertua
di Maluku ini ke keluarga penguasa yang otoriter tersebut. Apalagi dengan
mencuatnya kasus kriminalisasi ini, semakin memperteguh boroknya wajah
kekuasaan yang berpraktik disana. Jika hari ini si aktivis menjadi korban, bisa
jadi saya, anda, dan semua kita bisa mereka lenyapkan jika berlawanan. Apakah
prilaku korup dan wajah borok kekuasaan ini akan terus diterima?
Mari selamatkan Maluku Tengah dari
segala praktik penyalahgunaan kekuasaan oleh mereka yang otoriter dan korup
disana. Satu kata untuk itu, lawan!
Karena diam adalah sebuah
pengkhianatan.