MERDEKA dari TINJA sendiri
Merdeka.
Sekoyong-konyong
kata merdeka kembali berkumandang, terutama pada bulan ini. Agustus. Tentu saja
bukan tanpa makna. Salah satunya, karena Agustus ini, kita, bangsa Indonesia
memperingati hari lahirnya. Lahir sebagai bangsa dan negara yang berdualat. Makanya
kata itu begitu menyihir ketika dikumandangkan pada beberapa dekade lalu
menjelang detik-detik pembacaan proklamasi oleh sang dwitunggal Republik ini.
Bagaimana
dengan hari ini ? Apakah makna merdeka telah hadir dalam kehidupan
sehari-hari kita.
Jika
mengacu pada KBBI 5.0, kata merdeka bermakna;1 bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya); berdiri sendiri,
2 tidak terkena atau lepas dari tuntutan, 3 tidak terikat, tidak bergantung
kepada orang atau pihak tertentu; leluasa. Artinya, merdeka itu lebih
melekat pada sebuah kondisi yang bebas dari belenggu. Baik itu perorangan
maupun kelompok. Lawannya tentu saja adalah sebuah kondisi dijajah.
Nah,
kira-kira apa hubungan definisi kata merdeka dan tinja.
MERDEKA dari TINJA
Hubungannya
akan dimulai dari melihat informasi pertumbuhan demografi Indonesia terlebih
dulu. Berdasarkan data dari BPS; laju
pertumbuhan penduduk Indonesia pertahunnya adalah 1,38 % (per-Maret 2017). Sekilas
angka ini tentu kecil sekali. Apalagi jika dibandingkan dengan presentasi
pertumbuhan penduduk pada rentang tahun 1971-1980; 2,38 %.
Namun
saat dua kilas, angka 1,38% tersebut cukup besar saat dihubungkan dengan jumlah
penduduk sekarang ini. Adalah sekitar 2 jutaan penduduk bertambah tiap
tahunnya. Anda tidak percaya ? silahkan kalikan presentasi pertumbuhan penduduk
diatas dengan total penduduk Indonesia. Ini kita belum berbicara soal bonus
demografi yang nantinya menjadi ancaman di Republik ini.
Dengan
angka 2 jutaan jiwa yang bertambah tiap tahun di Indonesia, kira-kira bagaimana
dengan tinja mereka dan pengolahannya. Disinilah menurut saya persoalan
bermula. Jika tidak percaya, mari kita lihat data dari WHO dan UNICEF. Dari kedua
badan dunia tersebut (dalam Join
Monitoring Program) pada tahun 2015, sekitar 51 juta jiwa penduduk
Indonesia masih Buang Air Besar Sembarangan (BABS). Angka ini tidak main-main,
karena seperlima dari penduduk Indonesia ternyata masih BABS.
Sehingga,
tidak berlebihan kiranya jika saya menghubungkan prilaku BABS dengan kondisi
tidak merdeka. Saya punya 3 alasan.
Alasan
pertama. Prilaku BABS adalah sebuah bentuk kesewang-wenangan terhadap alam. Karena dengan mempertahankan prilaku tersebut, secara tidak sadar kita (pelaku BABS)
sedang meningkatkan kadar Biochemical Oksigen Demand (BOD) dan Chemical Oksigen
Demand di air dan yang terparah adalah meningkatnya kadar E Coly.
Dan sialnya,
menurut Direktorat Jendral Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan;
dari 100 aliran sungai pada 33 provinsi di Indonesia, 51 sungai sudah berstatus
cemar berat, 20 aliran sungai berstatus cemar sedang hingga cemar berat, 7
sungai berstatus cemar ringan hingga berat, dan sisanya 21 sungai berstatus
cemar ringan.
Ini
kita belum berbicara tingkat pencemaran terhadap tanah. Salah satu kota yang
tanahnya sudah tercamar adalah Solo. Berdasarkan informasi dari solopos.com
yang terbit pada 19 Juni 2014, 70% tanah di Solo telah tercemar tinja.
Alasan
kedua, prilaku BABS juga merupakan tindakan sewenang-wenang terhadap diri
sendiri dan orang lain. Selain ini juga ada hubungannya dengan hal yang pertama
diatas, prilaku BABS juga telah merampas hak tubuh sendiri dan orang lain untuk
hidup lebih sehat.
Loh,
kok bisa ?jadi begini, kenyataan pertama; tinja yang dibuang secara sembarang
tersebut akan menjadikan air dan tanah tercemar. Jika sudah tercemar, tentu
saja akan menurunkan kualitas air dan tanah yang notabene berhubungan langsung
dengan hajat hidup orang lain. Kenyataan kedua, tinja yang terbuka tadi menjadi
sasaran empuk bagi serangga terutama jenis lalat mencari makanan yang disaat
bersamaan berpeluan “membawa” tinja tersebut ke makanan kita diatas meja. Yang ujungnya
akan bermuara pada penyakit diare. Kenyataan ketiga, dengan air yang sudah
tercemar tersebut tentu saja membutuhkan energi lebih dalam hal pengolahannya
sebelum di konsumsi.
Alasan ketiga, prilaku BABS
merupakan tindakan sewenang-wenang terhadap generasi mendatang. Setelah air dan
tanah menjadi tercemar, dan tinja ada di makanan, prilaku BABS akan menjadi
salah satu penyebab kejadian stunting.
Data Kementrian Kesehatan (sumber:
Infodatin
2016) terkait kasus stunting di
Indonesia tahun 2015 terdapat 29% balita masuk dalam kategori balita pendek. Yang
mana, jika mengacu pada data WHO; jika pravalensi balita pendek menjadi masalah
kesehatan masyarakat jika 20% atau lebih. Artinya, para pelaku BABS memberikan
kontribusi (sebesar 27%) penderita stunting
di Indonesia.
***
Mungkin
kita (manusia) tidak bisa merdeka dari ketergantungan terhadap air dan tanah. Tapi,
tentu saja kita bisa lepas dari bentuk penjajahan lain. Misalnya; dari tinja
sendiri. Ini bisa dimulai dengan mengingatkan diri sendiri dan sekitar kita
untuk tidak BABS. Bisa juga dengan mulai bertanya, apakah tanki septik tinja
yang ada di rumah kita sudah kedap atau belum. Jika belum, percuma saja mengaku
sudah tidak BABS tapi menjadi penyebab rusaknya air dan tanah karena tercemar
tinja dari tanki septik kita sendiri.
Akhir
kata, selamat bangsa dan negaraku. Semoga kedepannya kita bisa terbebas dari
berbagai bentuk ancaman kesakitan.
Merdeka!!!