MERDEKA dari TINJA sendiri

Agustus 16, 2017 Mashuri Mashar S.KM 0 Comments




Merdeka.

Sekoyong-konyong kata merdeka kembali berkumandang, terutama pada bulan ini. Agustus. Tentu saja bukan tanpa makna. Salah satunya, karena Agustus ini, kita, bangsa Indonesia memperingati hari lahirnya. Lahir sebagai bangsa dan negara yang berdualat. Makanya kata itu begitu menyihir ketika dikumandangkan pada beberapa dekade lalu menjelang detik-detik pembacaan proklamasi oleh sang dwitunggal Republik ini.

Bagaimana dengan hari ini ? Apakah makna merdeka telah hadir dalam kehidupan sehari-hari kita.

Jika mengacu pada KBBI 5.0, kata merdeka bermakna;1 bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya); berdiri sendiri, 2 tidak terkena atau lepas dari tuntutan, 3 tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; leluasa. Artinya, merdeka itu lebih melekat pada sebuah kondisi yang bebas dari belenggu. Baik itu perorangan maupun kelompok. Lawannya tentu saja adalah sebuah kondisi dijajah.

Nah, kira-kira apa hubungan definisi kata merdeka dan tinja.

MERDEKA dari TINJA



Hubungannya akan dimulai dari melihat informasi pertumbuhan demografi Indonesia terlebih dulu. Berdasarkan data dari BPS;  laju pertumbuhan penduduk Indonesia pertahunnya adalah 1,38 % (per-Maret 2017). Sekilas angka ini tentu kecil sekali. Apalagi jika dibandingkan dengan presentasi pertumbuhan penduduk pada rentang tahun 1971-1980; 2,38 %.

Namun saat dua kilas, angka 1,38% tersebut cukup besar saat dihubungkan dengan jumlah penduduk sekarang ini. Adalah sekitar 2 jutaan penduduk bertambah tiap tahunnya. Anda tidak percaya ? silahkan kalikan presentasi pertumbuhan penduduk diatas dengan total penduduk Indonesia. Ini kita belum berbicara soal bonus demografi yang nantinya menjadi ancaman di Republik ini.

Dengan angka 2 jutaan jiwa yang bertambah tiap tahun di Indonesia, kira-kira bagaimana dengan tinja mereka dan pengolahannya. Disinilah menurut saya persoalan bermula. Jika tidak percaya, mari kita lihat data dari WHO dan UNICEF. Dari kedua badan dunia tersebut (dalam Join Monitoring Program) pada tahun 2015, sekitar 51 juta jiwa penduduk Indonesia masih Buang Air Besar Sembarangan (BABS). Angka ini tidak main-main, karena seperlima dari penduduk Indonesia ternyata masih BABS.

Sehingga, tidak berlebihan kiranya jika saya menghubungkan prilaku BABS dengan kondisi tidak merdeka. Saya punya 3 alasan.

Alasan pertama. Prilaku BABS adalah sebuah bentuk kesewang-wenangan terhadap alam. Karena dengan mempertahankan prilaku tersebut, secara tidak sadar kita (pelaku BABS) sedang meningkatkan kadar Biochemical Oksigen Demand (BOD) dan Chemical Oksigen Demand di air dan yang terparah adalah meningkatnya kadar E Coly. 

Dan sialnya, menurut Direktorat Jendral Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan; dari 100 aliran sungai pada 33 provinsi di Indonesia, 51 sungai sudah berstatus cemar berat, 20 aliran sungai berstatus cemar sedang hingga cemar berat, 7 sungai berstatus cemar ringan hingga berat, dan sisanya 21 sungai berstatus cemar ringan.

Ini kita belum berbicara tingkat pencemaran terhadap tanah. Salah satu kota yang tanahnya sudah tercamar adalah Solo. Berdasarkan informasi dari solopos.com yang terbit pada 19 Juni 2014, 70% tanah di Solo telah tercemar tinja.

Alasan kedua, prilaku BABS juga merupakan tindakan sewenang-wenang terhadap diri sendiri dan orang lain. Selain ini juga ada hubungannya dengan hal yang pertama diatas, prilaku BABS juga telah merampas hak tubuh sendiri dan orang lain untuk hidup lebih sehat.

Loh, kok bisa ?jadi begini, kenyataan pertama; tinja yang dibuang secara sembarang tersebut akan menjadikan air dan tanah tercemar. Jika sudah tercemar, tentu saja akan menurunkan kualitas air dan tanah yang notabene berhubungan langsung dengan hajat hidup orang lain. Kenyataan kedua, tinja yang terbuka tadi menjadi sasaran empuk bagi serangga terutama jenis lalat mencari makanan yang disaat bersamaan berpeluan “membawa” tinja tersebut ke makanan kita diatas meja. Yang ujungnya akan bermuara pada penyakit diare. Kenyataan ketiga, dengan air yang sudah tercemar tersebut tentu saja membutuhkan energi lebih dalam hal pengolahannya sebelum di konsumsi.

Alasan ketiga, prilaku BABS merupakan tindakan sewenang-wenang terhadap generasi mendatang. Setelah air dan tanah menjadi tercemar, dan tinja ada di makanan, prilaku BABS akan menjadi salah satu penyebab kejadian stunting.
Data Kementrian Kesehatan (sumber: Infodatin 2016) terkait kasus stunting di Indonesia tahun 2015 terdapat 29% balita masuk dalam kategori balita pendek. Yang mana, jika mengacu pada data WHO; jika pravalensi balita pendek menjadi masalah kesehatan masyarakat jika 20% atau lebih. Artinya, para pelaku BABS memberikan kontribusi (sebesar 27%) penderita stunting di Indonesia.

***

Mungkin kita (manusia) tidak bisa merdeka dari ketergantungan terhadap air dan tanah. Tapi, tentu saja kita bisa lepas dari bentuk penjajahan lain. Misalnya; dari tinja sendiri. Ini bisa dimulai dengan mengingatkan diri sendiri dan sekitar kita untuk tidak BABS. Bisa juga dengan mulai bertanya, apakah tanki septik tinja yang ada di rumah kita sudah kedap atau belum. Jika belum, percuma saja mengaku sudah tidak BABS tapi menjadi penyebab rusaknya air dan tanah karena tercemar tinja dari tanki septik kita sendiri.

Akhir kata, selamat bangsa dan negaraku. Semoga kedepannya kita bisa terbebas dari berbagai bentuk ancaman kesakitan.

Merdeka!!!