Tampilkan postingan dengan label PROMKES. Tampilkan semua postingan

5 Sejarah Baru Manusia Saat Ini




Sudah masuk bulan kelima sejak COVID-19 dinyatakan sebagai sebuah Pandemi. Dan saya, sudah lama tidak mencurahkan pikiran di blog ini. Tapi, bukan berarti saya tidak menulis. Terutama ihwal kesehatan Masyarakat. Kebanyakan saya curahkan dalam beberapa kanal dalam jejaring (daring) lain. Salah satu sebab, tema tulisan saya tersebut berkisar tema diluar kesehatan masyarakat. Sosial, politik, hukum, dan lain-lain. Semuanya saya lakukan dalam upaya tetap menjaga kewarasan. Makanya, membaca buku tetap juga saya lakukan. Sebagai penopang tentu saja.

Kembali ke soal COVID-19. Diakui atau tidak, makin kesini, kelakuan makhluk maharenik ini semakin membuat pusing manusia. Yang dalam bahasa epidemiologinya; host. Jumlah manusia yang menurut Wordmeters mencapai 7,7 milyar lebih (2019) dan tersebar di seluruh pelosok dunia ini dibuat kliyengan oleh virus ini.

Salah satu bukti bahwa hampir semua orang menjadi mumet dengan “kehadiran” Korona ditengah-tengah kita adalah munculnya hal baru. Berikut ini lima sejarah yang dicipta manusia sejak badan otoritas kesehatan dunia menetapkan COVID-19 sebagai pandemi dunia.

FLU Biasa

Saat Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Corona Virus Disease-19 (COVID-19) sebagai pandemic dunia, reaksi berbagai kalangan terbagi atas dua kelompok besar. Kelompok pertama adalah mereka yang menerima dan percaya info tersebut, sedangkan yang satunya tidak terima dan percaya.  Dua kelompok ini merata pada semua kalangan. Dari tingkat atas hingga awam kebanyakan. Bahkan kalangan professional kesehatan tidak luput dari gelombang pemisahan tersebut.

Bagi kelompok yang menerima, berita dari juru bicara WHO tersebut adalah tidak mengejutkan. Salah satu sebab, seperti yang dilansir oleh portal berita dalam jejaring (daring) cnnindonesia.com (3/03/2020), COVID-19 adalah evolusi virus SARS jenis ketujuh. Selain itu, fakta mengejutkan lainnya, COVID-19 ini bukan jenis virus baru. Tercatat awal mula teridentifikasi adalah tahun 1960. Bedanya, ketika masa 60-an evolusi dari virus belum secanggih saat ini. Artinya, para ahli ketika itu menganggap virus ini penyebab flu biasa.

Sekaligus informasi diatas, menjadikan kelompok kedua bergeming untuk menolak istilah pandemic. Mereka memperkirakan bahwa virus tahun 1960 sama dengan sekarang. Singkat cerita, salah satu kampanye golongan ini adalah COVID-19 adalah flu biasa. Hal menarik lain dari kaum penolak tersebut di dominasi oleh mereka yang lahir di awal abad 21. Mereka dikenal dengan sebutan generasi milenial.

Saya curiga, “gerakan” kubu penolak tersebut membikin upaya pencegahan penyakit menular ini terkesan jalan ditempat pada masa awal. Lihat saja fakta di lapangan. Tidak ada negara yang luput dari “serangan” virus mematikan ini. Apalagi di awal penyebarannya, para ahli biomolikuler dunia terjebak dalam anggapan bahwa sindrom Korona mirip dengan East Respiratory Syndrome (MERS-Cov) yang menyerang timur tengah tahun 2012.

Deklarasi Perang

Sering berjalannya waktu, dua blok manusia dalam menyikapi penyakit menular ini akhirnya menemui titik temu. Keduanyabertemu pada fakta bahwa mahkluk maharenik ini mematikan. Hal lain yang jadi pemersatu keduanya adalah tumbangnya negara-negara maju dalam menghadapi penyebaran virus ini. Bahkan Amerika yang katanya negara adidaya terlanjur sempoyongan menyikapi kenaikan pasien yang cenderung bertambah disana.

Satu kata dari dua kelompok ini adalah perang melawan COVID-19. Otoritas tertinggi di China misalnya. Sebagai negara yang beberapa bulan kemarin jadi bulan-bulanan karena Korona mulanya menyebar disana melakukan beberapa langkah penting. Mulai dari aspek ekonomi, sosial, pendidikan, hingga lainnya. Pertama-tama, tepatnya awal 2020, mereka melakukan penutupan pasar (basah) tradisional. Ditenggarai, cikal bakal COVID-19 menyebar karena berhubungan dengan prilaku ekstrim pola konsumsi makanan masyarakat di provinsi Wuhan.

Selanjutnya diikuti dengan menghentikan atau pembatasan aktifitas yang mengundang keramaian. Sekolah, pusat perbelanjaan, sarana transportasi (laut, udara, darat), bahkan kantor-kantor tidak luput dari pelaksanaan strategi perang disana. Jika yang sebelumnya ditutup, tidak demikian dengan fasilitas kesehatan disana. Xi Jin Ping dan jajarannya berjibaku meningkatkan kualitas dan kuantitas aspek kesehatan. Termasuk juga tenaga kesehatan disana.

Dentuman genderang perang juga ditabuh oleh banyak negara. Meskipun ada juga negara yang masih menganggap remeh si COVID-19 ini. Ada dua bentuk paling popular dari jenis perang di paruh pertama abad 21 ini. Menutup akses transportasi publik dan pembatasan segala aktifitas sosial (libatkan banyak orang).

Disini juga demikian. Pemberlakuan darurat bencana nasional (13 April 2020) dan Pembatasan Sosial Berskala Besar, adalah dua hal paling kelihatan saat kita telusuri peramban pada gawai ditangan kemarin. Negara berpenduduk 267,7 juta (BPS, 2018) ini, turut serta bergegas dalam “memeriahkan” palagan melawan Korona. Tentu saja ini berujung pada kebutuhan anggaran. APBN 2020-2021 yang telah selesai pemaparannya setahun silam, kembali diutak-atik ibu Sri Mulyani. Tentu saja ini berhubungan dengan “biaya” peran tadi.

Bahkan, pengangkatan panglima perang di lapangan juga tidak terhindarkan. Para Gubernur, Walikota, dan Bupati, turut serta (mendadak) “dilantik” jadi panglima di lapangan. Dengan membentuk gugus tugas tingkat provinsi, kabupaten, kota, se-Indonesia adalah bentuk lain pesta pelantikan dalam arena perang melawan Korona. Sebagai panglima perang di lapangan, mereka kemudian menyesuaikan berbagai hal yang dibutuhkan untuk itu.

Kuncitara vs Daya Tahan Tubuh

Maklumat perang melawan Korona di berbagai negara, ternyata melahirkan beragam tanggapan. Menyusul dua kelompok yang awalnya terpisah akhirnya bersepakat untuk melawan balik COVID-19, polemic baru kemudian muncul. Awam kembali terbelah. Pilihan untuk melakukan Kuncitara atau menyerahkan pada daya tubuh menjadi sumber masalah.

Dilema memilih antara dua opsi diatas ternyata dialami tidak hanya oleh masyarakat kebanyakan. Para ahli kesehatan masyarakat dan penyelenggara negara juga bergabung dalam kebingungan yang sama. Dua alternatif tadi bukan tanpa resiko. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Dan pihak yang beresiko untuk “dikorbankan” adalah masyarakat kebanyakan. Inilah muara kegundahan banyak pihak.

Terlebih, sejak perang melawan Korona di beberapa negara, ekonomi dunia ikut berdampak. Bayangkan saja, ekonomi makro level negara saja bisa goyah apalagi tingkat mikro di masyarakat. Ditambah lagi, antara keputusan Kuncitara dan (menyerahkan pada) Daya tahan tubuh tetap akan berdampak pada ekonomi itu sendiri. Bedanya, jika Kuncitara berlaku praktek jual-beli di tingkat atas hingga bawah akan merasakan dampak langsung. Sedangkan kondisi menyerahkan pada daya tahan tubuh masing-masing, kesan lepas tangan negara pada bentuk penyelesaian masalah kesehatan ini yang kelihatan.

Dengan tergopoh-gopoh, akhirnya memang harus memilih. Ada negara yang memberlakukan Kuncitara dan ada yang menyerahkan sepenuhnya pada daya tahan tubuh warganya. Untuk di republik ini, pilihannya memberlakukan Kuncitara. Meskipun resikonya pada postur anggaran belanja negara sampai daerah beralih fungsi sebagai penopang ekonomi mikro.

Serangan Kedua COVID-19

Setelah beberapa bulan melewati perang, beberapa negara berhasil keluar dari kondisi tidak menguntungkan. Seperti yang kita ketahui bersama, medan tarung manusia melawan virus ini dimenangkan oleh manusia. Salah satu bukti, angka meninggal karena virus berangsur-angsur turun. Hal ini diikuti dengan upaya sungguh-sungguh berbagai pihak bahu-membahu untuk mewujudkan itu.

Dari pihak virus ternyata tidak tinggal diam. Selain menyerang “pabrik” daya tahan tubuh manusia, pengaruh virus kemudian menyerang pusat komando manusia. Kepala tepatnya. Maksud saya bukan berdampak pada kinerja biologis otak, tetapi, keberadaan virus ini ternyata berdampak pada system berfikir bagi sebagian orang.

Tentu kita masih ingat, beberapa waktu lalu muncul isu “konspirasi” dibalik COVID-19. Para pengusungnya tentu saja mereka penganut paham konspirasi garis keras. Golongan terakhir ini bisa berasal dari semua tingkatan. Orang terkemuka, pejabat negara, para penghuni kelas menengah, dan lain sebagainya. Mereka percaya, kemeriahan medan perang ini dorongan dari kelompok pemegang kendali dunia saat ini. Disaat bersamaan, orang-orang tadi membentuk grup baru yang saya istilahkan “Neo-Tolak COVID-19”.

Mereka kemudian dengan secara sadar menyerang semua pihak (termasuk penganut Tolak COVID-19 terdahulu) lewat berbagai saluran. Daring dan luring (luar jejaring). Kampanye menuduh COVID-19 adalah konspirasi dilekatkan pada negara-negara maju. Sebenarnya, kehadiran mereka memang dibutuhkan. Selain sebagai hiburan, juga bisa menjadi pelecut semua pihak untuk lebih sungguh-sungguh dalam mengatasi penyakit menular ini.

Gerakan kelompok ini saya masukkan dalam kategori serangan kedua dari COVID-19, tidak lain karena kecurigaan saya, bahwa mereka tadi sebenarnya juga adalah korban dari pikiran sendiri yang secara tidak sadar telah diserang (pengaruh) Korona. Saat ekonomi makro dan mikro mengalami tsunami, mereka justru menunjukkan upaya kurang simpati ditengah kepanikan publik menghadapi pandemi.

Alih-alih ingin menyadarkan orang banyak lewat penyangkalan bahaya COVID-19, disaat bersamaan mereka mengakui bahwa Korona adalah penyakit berbahaya. Buktinya, salah satu orang terkemuka lewat akun sosial media daring pribadi menantang tenaga kesehatan untuk membayar (lebih) dalam rangka membuktikan bahwa (asumsi) mereka benar. Bukankah ini adalah bukti mereka mengakui Korona adalah penyakit menular dan berbahaya. Karena semakin besar konpensasi sebuah pekerjaan akan berbanding lurus dengan tingkat resikonya.

Ada-ada saja.

Prilaku Baru

Sejarah terakhir yang tercipta dari perang melawan COVID-19 adalah munculnya prilaku baru. Terlebih sejak WHO menetapkan bahwa Korona bisa menyebar melalui udara (9 Juli 2020), akan berdampak pada kualitas kewaspadaan kita. Setelah sebelumnya kita dipaksa untuk; membatasi aktifitas yang melibatkan orang banyak, prilaku-prilaku lain ternyata mengikuti.

Ini kita bisa lihat juga dengan pola interaksi sehari-hari. Terutama di Indonesia. Jika dahulu berjabat tangan adalah symbol keeratan hubungan sosial, sekarang kita sebisa mungkin untuk tidak melakukannya. Waktu lalu, orang-orang akan sangat terganggu dengan perilaku kentut didepan umum, sekarang tidak lagi. Batuk dan bersin (secara serampangan)sebagai penggantinya. Saat ini, kita lebih permisif mendengar kentut orang lain dibanding bersin dan batuk. Padahal ketiganya dari aspek biologis adalah reaksi alamiah tubuh.

Prilaku baru lain yang juga saat ini muncul adalah cuci tangan memakai sabun (CTPS). Terus terang, sebelum penyakit dari Wuhan ini menyerang, saya masuk dalam kelompok yang pesimis pada replikasi prilaku satu ini. Tantangan terberatnya bukan pada isi dan bentuk pesan CTPS itu sendiri. Persepsi banyak orang bahwa CTPS adalah prilaku remeh dan gampang. Disaat bersamaan, anggapan bahwa tangan mereka selalu bersih menggenapi semuanya.

Beruntung COVID-19 muncul. Kita tidak perlu lagi repot-repot menjelaskan bahwa CTPS mampu menurunkan resiko diare hingga 47%. Dimana, diare masih jadi pembunuh nomor satu untuk balita. Atau, konten promosi kesehatan terkait prilaku CTPS mampu mencegah (setidaknya) sepuluh penyakit, dengan sendirinya menjadi pemahaman bersama.

Yang menarik dari munculnya prilaku baru ini adalah sokongan banyak pihak. Lihat saja beberapa tempat. Sarana cuci tangan pakai sabun belakangan ini mengambil tempat sendiri. Secara otomatis memaksa kita untuk beradaptasi. Termasuk juga dengan prilaku lain. Memakai masker misalnya.





***

Demikianlah lima sejarah perkembangan manusia yang tercipta akibat ulah dari COVID-19. Semoga curahan pikiran ini bisa menambah pengetahuan banyak pihak untuk lebih memperhatikan dan mengedepankan berbagai aspek yang berhubungan dengan terciptanya kesehatan masyarakat secara menyeluruh.


Amin Ya Rabbal-alamin.


Disclaimer:
Pesan sponsor. Bagi pembaca yang sedang membaca dan dibayar, berikut ini informasi berharga. Dibawah ini urutan untuk mewujudkannya. Bahkan cukup mudah. Mengisi survei dan dibayar. Jika tertarik ikuti langkah dibawah ini;

Pertama, mendaftar lewat peramban disini

Kedua, Isi form yang ada

Ketiga pilih survei yang anda minat ikuti

Keempat, tunggu bayarannya di transfer.

Jadi Pencemar atau Pencegah



Membincang seputar sanitasi, terutama dalam lingkup rumah tangga, bagiku bukan hal baru lagi. Setidaknya, mulai dari tahun lalu sudah mulai saya coba sampaikan. Terlebih dalam laman pribadi ini. Tujuannya cuma satu, masyarakat awam jadi paham masalah mendasarnya. Teristimewa jika itu mengancam namun tidak disadari. Karena bagi saya, cepat atau lambat penanggulangan masalah sanitasi harus diutamakan.

Hari ini, kepala berita salah satu koran nasional membahas khusus soal ini. Bukan tanpa alasan, menurut saya. Untaian kata terurai jadi pokok bahasan dalam koran tersebut berhubungan dengan peringatan hari ini, Hari Toilet Sedunia. Selain itu, juga dalam rangka menarik (sedikit) perhatian kita pada masalah limbah domestic. Sialnya, hingga sekarang masih saja ini belum jadi prioritas. Setidaknya kebanyakan dari kita. Mungkin ada hubungannya dengan “letak” dalam pembagian ruang rumah kita. Dibelakang. Jadi tidak diindahkan.

Namun apakah karena letaknya di bagian belakang rumah, menjadikan bahasan sanitasi ikut-ikutan tidak penting ?Menurut saya, justru sebaliknya. Ini penting. Apalagi mencakup berbagai dampak buruk. Misalnya berpengaruh pada kualitas air.

Jika kita mengacu pada bahasan media cetak tadi, meski sudah ada provinsi dengan akses sanitasi layak diatas 80%, tidak menjadikan program 100 – 0 – 100 di tahun 2019 bisa terwujud dengan mudah. Penyebabnya, jika diakumulasi 30 provinsi dan memasukkan variable akses sanitasi layak, persentasnya hanya menyentuh angka 76%. Ini belum termasuk aspek kepemilikan sarana pengolahan limbah domestic (IPLT) pada tingkat provinsi, baik berfungsi secara optimal atau bahkan belum memiliki. Angka tersebut tentu akan semakin menurun.

Tapi tenang, pengelola negara hingga saat ini baru memasukkan kategori sanitasi layak. Jika dinaikkan statusnya jadi sanitasi aman, akumulasi persentasi akses tadi saya yakin akan turun. Perbedaan mendasar antara sanitasi layak dan aman, telah saya bahas disini.

Meskipun sampel dari media diatas adalah DKI Jakarta, tetap saja kondisi tidak jauh berbeda terjadi 
di provinsi lain. Terutama masyarakat perkotaan. Karena di kota, lahan jadi masalah pokok. Mungkin kita pernah mendengar jarak ideal penampungan tinja dan sumber air (sumur) adalah 10 meter. Dan, mungkin (lagi) jarak tersebut sudah kita (upayakan) penuhi di rumah kita. Namun bagaimana dengan tetangga ?Bagaimana jika penampungan tinja mereka bersebelahan dengan sumber air rumah kita ?Parahnya lagi, jika dari sumber tersebut digunakan untuk minum. Bukankah secara tidak langsung kita minum air tinja tetangga ?Maaf.

Masalah ini belum seberapa, jika ternyata disandingkan dengan fakta prilaku buang air besar sembarang masih jamak. Apalagi jika sumber air baku (sungai, kali, mata air, dll) sebuah sebuah kota jadi sasaran masyarakatnya. Bisa dibayangkan, bukan?

***

Gambaran diatas bukan imajinasi saya semata. Karena jika mau jujur, pernahkah kita bertanya pada keluarga dan orang sekitar, apakah penampungan tinja sehari-hari pernah disedot ?kalaupun pernah, apa penyebabnya? Jika belum pernah, kira-kira kemana tinja yang kita hasilkan setiap hari? Terserap ketanah, tentu saja. Sangat menjijikkan bukan. Apalagi jika diakumulasi dengan jumlah tahun kita hidup.

Saya ambil contoh disini.

Sejak akhir tahun 2016 saya berada di Provinsi Maluku. Tepatnya kabupaten Maluku Tengah. Jika kita mengacu pada koran milik Jakob Oetama hari ini, Provinsi Maluku masuk dalam sepuluh besar provinsi pemilik akses sanitasi layak. Tidak tanggung-tanggung, angkanya menyentuh pada titik 84,6%. Cukup menggembirakan, bukan?

Satu sisi ini cukup menggembirakan. Disisi lain, jika angka tersebut benar adanya tentu masih perlu pemeriksaan lebih jauh. Diantaranya, apa saja kategori dari sanitasi layak tadi ?Pun kita berandai-andai, kategori sanitasi layak tadi adalah penampungan tinja kedap, pertanyaan kembali muncul. Sudahkah 11 kabupaten/kota memiliki sarana pengolahan lumpur tinja ?

Kepemilikan sarana tersebut untuk saat ini tentu jadi soal terpisah pada peningkatan sarana sanitasi. Namun bukan berarti tidak penting untuk jadi perhatian 9 Bupati dan 2 Walikota di Provinsi Maluku. Karena bagaimanapun, jika kita bersepakat bahwa memiliki penampungan tinja kedap adalah sebuah keniscayaan, maka memiliki sarana pengolahan lumpur tinja tingkat kabupaten/kota tadi jadi sebuah keharusan dengan sendirinya.

Akhir kata, dalam rangka peringatan hari toilet sedunia kali ini, sebaiknya kita renungkan pertanyaan; sudah berapa kubik kita dan keluarga turut serta dalam berbagai bentuk pencemaran tanah akibat limbah sendiri ?

Tabik.

Menjadi Tetangga yang Baik

Sumber: www.plukme.com



Membahas manusia, senantiasa menyisakan banyak hal menarik. Diantaranya, terkait tema manusia sebagai salah satu makhluk social. Kenapa saya memasukkan kata “salah satu”, karena bukan hanya manusia satu-satunya makhluk di muka bumi yang mendapat gelar ini. Ambillah contoh; lebah. Mereka juga tergolong makhluk social. Tentu saja ini berhubungan dengan fakta; lebah terbiasa hidup dalam koloni. Benang merah antara masing-masing kelompok makhluk yang hidup secara social adalah altruism.

Terkait sifat altruism dan dengan menggunakan pertidaksamaan (matematika) Hamilton, sebenarnya kita bisa mendapat akar penjelasan terkait sebab manusia adalah makhluk social. Ialah, hubungannya pada kesuksesan mekanisme tubuh manusia menyalin gen altruism pada manusia lain yang memiliki ikatan karabat (darah). Disaat bersamaan gen tersebut jadi fondasi tercipta hubungan antara manusia dengan manusia yang lain.

Namun begitu, memiliki gen altruism tidak melulu berdampak baik. Salah satu dampak buruk ialah tercipta ketergantungan antar sesama manusia. Dalam artian, selama ketergantungan tadi maknanya jadi saling menguntungkan tentu tidak soal. Tapi, saat kondisi yang tercipta hanya menguntungkan sebagian manusia atas manusia lainnya, ihwali pengisapan manusia atas manusia akhirnya tidak tercegah. Inilah dampak buruk dari gen altruism.

Berbicara gen altruism, kita akan sulit melewatkan kenyataan gen itu ada hubungannya dengan kondisi terkini; manusia hidup berdampingan. Bahasa sederhananya, bertetangga. Dan ini satu fakta yang sulit dipungkiri. Meskipun Zygmunt Bauman secara metaforis menenggarai penyebab gerak perubahan sosial (manusia) karena maraknya “turisme”, “ziarah”, dan “petualangan”, tetap saja keberadaan tetangga dalam kelompok manusia tidak bisa dihilangkan begitu saja.

Sejarah manusia hidup bertetangga

Sebelum lanjut dengan metagagasan manusia hidup bertetangga dan kesehatan masyarakat, menurut hemat saya penting untuk tahu sejarah manusia hidup bertetangga terlebih dahulu.

Dari berbagai dokumen terkait sejarah perkembangan manusia dalam hidup berdampingan, faktanya; manusia mulai hidup dalam koloni-koloni di suatu tempat dan tidak berpindah-pindah (nomaden) lagi ialah sejak 10.000 tahun silam. Salah satu tanda dari kondisi ini ialah “Revolusi Neolithik”, meminjam istilah Gordon Childe (The Most Ancient East, Roudledge 1928). Revolusi ini sendiri bermakna: saat manusia menemukan cara untuk menerobos keterbatasan sosio-kultural adalah menghasilkan agricultural, system kepercayaan/ideology yang terorganisir, serta ledakan pendudukan. Sebagai penanda Revolusi Neolitik ini terjadi saat zaman Perunggu.

Salah satu hal yang mendorong revolusi perkembangan manusia ketika zaman perunggu ialah saat 12.000 tahun silam ketika zaman es berakhir. Dampaknya, banyak tercipta daratan dan oase kecil bermunculan. Dengan serta-merta “memaksa” hewan dan manusia hidup berdekatan dengan sumber air. Hal lain dari berakhirnya zaman es ialah punahnya hewan-hewan besar. Setelah sebelumnya menjadi sumber makanan manusia lewat bangkai ketika diantara hewan-hewan tadi saling memangsa. Dalam artian manusia saat itu dapat makanan lewat memulung bangkai hewan mati.   

Setelah manusia akhirnya memutuskan hidup dalam gerombolan dan menetap pada satu tempat, masalah tidak selesai. Selain akhirnya mendorong manusia untuk bercocok tanam, masalah pemenuhan kebutuhan protein hewani muncul. Disinilah, budaya domestifikasi hewan menemukan ruang untuk dimulai. Seiring berjalannya waktu, persoalan baru kemudian mengemuka, yaitu: ancaman terkait kebersihan lingkungan yang buruk dan sanitasi buruk.

Berdasarkan kenyataan tersebut, kita dapatkan fakta; permasalahan (kebersihan) lingkungan dan sanitasi buruk sudah ada sejak pertama kali manusia memutuskan untuk hidup bergerombol ketika zaman perunggu. Artinya, kebersihan lingkungan yang buruk dan sanitasi adalah masalah klasik saat manusia hidup bertetangga.

Bagaimana dengan sekarang?

Jadilah Tetangga yang Baik

Baru-baru ini, saya mengikuti sebuah bengkel kerja. Kegiatan ini sendiri pemrakarsanya adalah program terkait sanitasi dan air minum dan diadakan oleh sebuah lembaga yang dibiayai masyarakat asal negeri paman Sam. Dalam kesempatan tersebut hadir pula para undangan dari wakil kelompok masyarakat sipil, perwakilan lembaga pemerintahan bidang kesehatan (setingkat provinsi), dan juga wakil lembaga pemerintah bidang perencanaan tingkat nasional.

Dalam pertemuan tersebut, diperkenalkan jargon perubahan prilaku; “ Menjadi Tetangga yang Baik”.
Jika kita kembali pada fakta saat manusia pertama kali hidup bertetangga, maka salah satu masalah yang muncul adalah kebersihan lingkungan dan sanitasi buruk. Tiba pada keadaan tersebut, jargon “Menjadi tetangga yang baik” menurut saya jadi sangat relevan. Ada dua landasan argumen untuk mendukung tingkat relevansinya.

Pertama, aspek sejarah perkembangan manusia. Berdasarkan informasi diatas, sejak 10.000 tahun silam ketika manusia mulai hidup bertetangga masalah pertama yang muncul ialah tersangkut kebersihan lingkungan dan sanitasi, tidak berlebihan kiranya jargon ini jadi menemukan tempat untuk diterapkan. Selain itu, untuk konteks Indonesia, menjadi tetangga yang baik tentu saja jadi tantangan tersendiri. Terutama untuk masyarakat yang hidup di perkotaan (Urban).

Bukan apa-apa, saat masyarakat kota berhadap-hadapan dengan berbagai masalah terkait kemiskinan, ketimpangan ekonomi, serta ancaman bencana ekologis dalam hidup bertetangga secara tidak sadar kita sering terjebak ke kubangan individualistik nan egois akut. Jadi jangan heran jika semuanya berujung pada sikap masa bodoh dengan sekeliling kita, termasuk didalam itu para tetangga.

Landasan argumentasi kedua dari jargon diatas ialah; jawaban permasalahan masyarakat kota. Seperti yang kita ketahui bersama, beberapa waktu silam Badan Pusat Statistik telah merilis persentasi masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan. Bayangkan, sampai menyentuh angka 52 %, tidak hanya itu, bahkan ada kecendrungan bertumbuh tiap tahun. Jika sebatas angka saja tentu tidak masalah. Tapi, bagaimana jika angka tadi disandingkan dengan luas wilayah perkotaan.

Tentu saja masalah (kembali) bermula.

Dengan jumlah luas kota yang tidak bertambah, namun penghuni semakin banyak, niscaya akan bermuara pada tanggung jawab pada lingkungan. Sekali lagi tidak terkecuali saat hidup bertetangga. Soalnya bukan sebatas kemampuan tebar senyum pagi hari ke tetangga, namun pada sebarapa mengerti kita pada kewajiban bersama dalam hidup bertetangga. Salah satunya, seberapa aman dan nyaman tetangga kita terhadap segala bentuk tindak laku kita. Misalnya, apakah tangki penampungan tinja kita tidak mencemari sumber air tetangga?           

Nah, kenyataannya, dengan hamparan luas perkotaan yang tidak bertambah memaksa rumah yang dibangun tentunya akan berdekatan. Atau dengan kata lain, perumahan di perkotaan itu padat. Disaat bersamaan, jika mengacu pada PermenPUPR 33/2016 tentang jarak “ideal” antara sumber air (sumur dangkal) dan tangki penampungan tinja adalah diatas 10 meter. Bukankah ini mustahil. Pun, kita mampu membangun dengan jarak yang sesuai dengan aturan tersebut, pertanyaannya, bagaimana dengan rumah tetangga?

Disinilah jargon “Menjadi Tetangga yang Baik” menemukan tempat untuk bekerja. Bentuknya bisa dengan memastikan tangki penampungan tinja kita tidak menjadi penyebab tercemarnya sumber air tetangga. Bagaimana caranya? Tentu saja dengan membikin tangki penampungan tinja di rumah kita kedap. Ini bukan satu-satunya solusi tentu saja, minimal, satu potensi masalah antara hidup bertetangga jadi terhindar. Terutama untuk menjawab tantangan bangunan rumah yang padat di perkotaan.

Namun, apakah jargon ini selamanya bisa bekerja. Menurut saya tidak juga. Terutama bagi mereka yang mengidap ochlophobia (takut akan keramaian).

Jadi, jika anda tidak mampu menjadi tetangga yang baik, saran saya, sebaiknya periksa diri ke psikiater. Jangan-jangan anda pengidap ochlophobia.

Tabik.

FAKTA AIR MINUM DAN KERANGKA KERJA MODEL INTEGRASI PRILAKU

Sumber gambar: Beritasatu.com


Membincang perubahan prilaku, menyisakan beberapa pertanyaan. Salah satunya, bagaimana bentuk perubahan prilaku saat dihubungkan dengan kesehatan masyarakat. Salah duanya, terkait panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk terciptanya perubahan prilaku itu sendiri.  Dan masih banyak lagi.

Salah satu rujukan yang bisa digunakan dalam mendedah ihwal perubahan prilaku adalah Psikologi Komunikasi besutan Jalaludin Rakhmat. Dalam buku itu, dengan ciamik Kang Jalal (begitu orang-orang memanggilnya) menjelaskan segala hal yang berhubungan dengan komunikasi. Mulai dari aspek psikologi, hingga berbagai faktor yang mempengaruhi komunikasi yang efektif.

Berangkat dari kondisi itu, membicarakan perubahan prilaku menjadi sedemikian menariknya. Selain berhubungan dengan kesehatan masyarakat, juga karena kita sulit ingkar pada frasa “ Tidak ada yang tidak berubah di bawah matahari”. Dari sinilah saya akan memulai membahas terkait perubahan prilaku itu sendiri.

Jika titik berangkat kita pada kajian komprehensif  Kang Jalal, mendedah perubahan prilaku bisa dimulai pada faktor-faktor personal yang mempengaruhi prilaku manusia ( Hal: 32). Menurutnya ada dua hal bisa menjadi perhatian, pertama melalui pendekatan yang berpusat pada personal dan kedua melalui pendekatan yang berpusat pada situasi. Untuk yang pertama kita akan mempertimbangkan berbagai hal yang berhubungan dengan kebiasaan, sikap, motif, instink, dan lain sebagainya. Dan untuk yang kedua berhubungan dengan aturan, normal sosial, dan lain sebagainya.

FAKTA AIR MINUM

Beberapa hari yang lalu, saya berkesempatan gabung dalam sebuah kegiatan Bengkel Kerja Penyusunan Strategi Perubahan Prilaku Dan Pemasaran Sektor Air Minum, Sanitasi, Dan Prilaku Hygiene. Kegiatan ini sendiri diprakarsai oleh USAID, BAPPENAS, dan KEMENKES di Jakarta. Dalam kesempatan tersebut berbagai lembaga/organisasi mengambil bagian. Baik itu organisasi pemerintah maupun lembaga non pemerintah. Mulai dari tingkat kabupaten/kota hingga lembaga International.

Yang mencengangkan ialah paparan terkait fakta air minum, bahwa kadar E.Coli pada air minum tingkat rumah tangga adalah 67%, dan kadar E.Coli pada air minum pada sumber adalah 89% (Survei Kualitas Air; UNICEF dan BPS, 2015). Menariknya lagi, untuk pilihan teknologi pengolahan air minum jenis memasak  ternyata tidak ada pengurangan signifikan dari kadar E.Coli itu sendiri. Masih dalam survei yang sama, didapatkan fakta bahwa berkurangnya E.Coli dalam air minum tidak sampai 10%.

Terlepas dari lokasi survei tersebut adalah di Yogyakarta, tetap saja informasi diatas cukup mengganggu, bukan? Karena bisa jadi ini juga terjadi pada 99 kota dan 416 Kabupaten di Indonesia.
Selain terkait kualitas air minum, dalam kegiatan yang sama, program USAID IUWASH PLUS berkesempatan juga memaparkan hasil Study Formatif pada 9 Provinsi ( Sumatra Utara, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, dan Papua) di tahun 2017.

Fakta pertama dalam studi formatif tersebut adalah terkait akses air minum. Dari tiga tahapan (Observasi, survei rumah tangga, FGD, dan Wawancara mendalam) didapati bahwa cakupan air minum yang paling banyak adalah bersumber dari air isi ulang (39%). Bahkan air minum yang bersumber dari perpipaan (33%) masih kalah dibandingkan dengan sumur bor sebagai sumber air minum (36%).  

Fakta kedua, terkait pilihan rumah tangga dalam mengolah air sebelum diminum. Dari studi tersebut terungkap bahwa 84,4% rumah tangga memilih untuk memasak. Dan masih ada yang meminum langsung, sebesar 7%.

Jika kita hubungkan fakta kedua diatas dengan Survei Kualitas Air (SKA) yang dilakukan oleh UNICEF dan BPS, terkait kadar E.Coli pada air minum, sebenarnya tidak melulu berhubungan dengan pilihan pengolahan air saja. Hal yang patut dipertimbangkan adalah aspek wadah penyimpanan air minum dan tahapan dalam melakukan pengolahan air  sebelum diminum. Untuk itulah kita bisa lihat dari fakta berikutnya.

Fakta ketiga, 35% responden membersihkan wadah di hari yang sama ketika survei dilakukan. 34,5% responden membersihkan wadah air minum sehari sebelumnya. Dan 22,5% melakukannya kurang dari seminggu. Untuk hal yang terkait dengan tahapan dalam merebus, dari 3458 responden terungkap bahwa 57% menyatakan bahwa langsung mematikan kompor ketika air sudah mendidih.
Apakah tuan dan puan sudah bisa menghubungkan antara SKA dan Studi Formatif ?

Jadi, menurut saya, tingginya presentasi E.Coli pada air minum yang telah direbus bisa jadi berhubungan pada intensitas aktivitas membersihkan wadah penyimpanan air minum tadi. Bahkan, tidak menutup kemungkinan juga dipengaruhi kebiasaan mematikan kompor seketika air dipandang telah mendidih.

Ini jadi masalah, tentu saja. Bagaimana jika hal tersebut dihubungkan dengan perubahan prilaku?

PROGRAM PERUBAHAN PRILAKU

Pada hari kedua masih pada kegiatan bengkel kerja tersebut, kami kemudian menyusun fakta-fakta yang dipaparkan hari pertama ke dalam sebuah strategi bentuk kegiatan atau program. Alat yang digunakan adalah Kerangka kerja Model Integrasi Prilaku WASH (MIP WASH). Alat ini masih tergolong baru, setidaknya menurut saya.

Secara sederhana MIP WASH ini adalah metode berfikir sistem yang mencakup 5 tingkatan dihubungkan dengan tiga aspek. Untuk tingkatan, imulai dari tingkatan paling bawah adalah kebiasaan individu. Tingkatan selanjutnya adalah Perorangan, kemudian diikuti dengan tingkat rumah tangga, selanjutnya komunitas, dan yang tertinggi adalah sosial.

Sedangkan untuk tiga aspek yang ada antara lain: aspek kontekstual, aspek psikososial, dan terakhir dengan aspek teknologi.

Sebagai contoh tingkatan kebiasaan individu ketika dihubungkan dengan aspek teknologi, kita akan bisa melihat fakta bahwa hal ini berhubungan dengan kemudahan dalam menggunakan teknologi tersebut. Artinya, sebuah teknologi akan dengan mudah diterima jika lebih mengutamakan kemudahan dalam menggunakannya.

Atau contoh lain, saat tahapan rumah tangga ketika dihubungkan dengan aspek psikososial melulu berhubungan dengan norma sosial, rasa malu, dan aspirasi yang terakumulasi.

Dan seterusnya.

Kita kembali pada kegiatan bengkel kerja dua hari ini. Setelah memberi penjelasan singkat terkait kerangka kerja MIP WASH ini, kemudian kami peserta dibagikan beberapa informasi/fakta yang muncul ketika studi formatif dilakukan. Setelah itu dipilah dan dipasang pada kolom potongan tahapan dan aspek tadi.

Faktanya juga beragam. Mulai dari fakta yang berhubungan dengan regulasi (tahapan sosial dan aspek kontekstual), Lokasi bagunan sarana sarana air minum (tahapan komunitas dan aspek teknologi), hingga nilai diri, pengetahuan, rasa jijik (tahapan perorangan dan aspek psikososial).
Dari sini kemudian, akhirnya peserta bisa menentukan bentuk intervensi/kegiatan apa yang bisa dilakukan terkait perubahan prilaku itu sendiri.

Hasilnya beragam.

Di penghujung hari kedua, peserta bengkel kerja akhirnya tersadar bahwa kerangka kerja MIP WASH ini sejatinya bisa digunakan dalam menentukan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat. Dan tidak hanya terikat pada soal air minum dan sanitasi saja.

***

Tentu saja kegiatan ini merupakan angin segar dengan catatan peserta bengkel kerja yang juga berasal dari perwakilan sembilan provinsi mampu menerapkan kerangka kerja MIP ketika menyusun berbagai program kesehatan masyarakat. Namun akan menjadi sia-sia jika wakil dari pemerintah hanya menikmati fasilitas mewah dari tempat pelaksanaan kegiatan tersebut, dan tidak lebih.


Entahlah.  

Disclaimer:
Pesan sponsor. Bagi pembaca yang sedang membaca dan dibayar, berikut ini informasi berharga. Dibawah ini urutan untuk mewujudkannya. Bahkan cukup mudah. Mengisi survei dan dibayar. Jika tertarik ikuti langkah dibawah ini;

Pertama, mendaftar lewat peramban disini

Kedua, Isi form yang ada

Ketiga pilih survei yang anda minat ikuti

Keempat, tunggu bayarannya di transfer.

MEMBINCANG TANGKI SEPTIK




Sudahkah anda Buang Air Besar hari ini? Dimana? Jika sudah, berapa kali? Saat kapan? Bagaimana bentuknya? Cairkah? Lebih terang warnanya? Dan masih banyak lagi pertanyaan jika kita ingin membahas segala hal terkait kotoran manusia. 

Maaf, jika membukaanya dengan pertanyaan yang berhubungan dengan kotoran manusia atau secara jamak disebut tinja. Bukan apa-apa, tapi terkadang kita masih sering mengesampingkan ihwal tinja kita sendiri. Padahal, jika kita lebih jeli melihat dan mengamati “barang” milik sendiri itu, dengan serta merta kita sedang membaca hasil tes menyeluruh terhadap gambaran kondisi kesehatan kita. Entah itu berhubungan dengan warnanya, bentuknya, bahkan ukurannya.

Bukankah ini sangat menggembirakan ?

Namun begitu, kali ini saya tidak sedang ingin membahas hal tersebut. Salah satu penyebabnya, karena sudah ada yang membahas itu, tentu saja. Tapi jangan khawatir, yang akan kita bahas masih ada hubungannya dengan tinja juga. Atau lebih tepatnya; penampungan dan pengolahannya. Bagi saya, ini juga tidak kalah pentingnya, mengingat tinja manusia jika tidak terkelola dengan baik justru akan menjadi sumber pencemaran baru bagi lingkungan sekitarnya.

Mari kita mulai.

Penampungan dan pengolahan. Kedua kata ini begitu teknis sifatnya. Karena penampungan dan pengolahan juga berhubungan dengan bagaimana sebuah sistem tertentu bekerja. Bagaimana dengan penampungan dan pengolahan tinja ?

Selain penampungan dan pengolahan, kata lain yang juga berhubungan langsung dengan tinja adalah pengangkutan. Namun karena pangangkutan secara otomatis akan muncul ketika sistem penampungan dan pengolahan sudah berjalan. Saya mencba membagi dua sistem pengangkutan tinja. Sistem pertama itu adalah sistem langsung. Dimana, yang menjadi medianya adalah pipa yang langsung terhubung dengan sistem pengolahan. Jadi, dari kloset kemudian tinja menuju bak control dan kemudian mengalir ke sistem pengolahan

Sistem kedua, adalah tidak langsung. Sistem ini dikatakan tidak langsung karena menggunakan truk penyedotan tinja. Perbedaan mendasar sistem ini dengan yang sebelumnya terletak pada jalur perjalanan tinja sebelum tahapan pengolahan. Jika sebelumnya dari kloset langsung ke bak control dan kemudian diangkut atau lebih tepatnya dialirkan menuju ke sistem pengolahan (Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja), untuk sistem kedua ini tidak.  

Penampungan Tinja


Tanpa kata tinja, penampungan bermakna proses, cara perbuatan menampung; penadahan; penyambutan. Setidaknya, ini yang tetulis didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 5.0 (KBBI 5.0). Dari situ bisa kita simpulkan, bahwa kata penampungan ada hubungannya dengan sebuah proses.    

Hal yang tidak jauh berbeda ketika kita hubungkan kata tinja dengan penampungan. Sehingga kurang lebih bermakna proses, cara perbuatan menampung; penadahan; penyambutan kotoran hasil buangan yang dikeluarkan dari alat pencernaan keluar tubuh melalui dubur. Lagi-lagi batasan ini bersumber dari KBBI 5.0.

Setelah memahami batasan dari kata penampung tinja, bagaimanakah bentuk dari penampung tinja itu sendiri ? perlu diingat, saya tidak sedang membicarakan kloset. Karena kloset hanya medium untuk sampai ke penampung tinja itu sendiri. Jadi, kolset bukan penampung tinja. Yang dimaksud dengan penampung tinja adalah Septik Tank.

Menariknya, masing-masing daerah di Indonesia sudah mengenal ini dengan berbagai langgam penyebutan. Misalnya; sopitang, atau bahkan menyebutnya sepitang. Namun begitu, bagaimanapun penyebutannya, septik tank tetap dipahami sebagai penampung tinja.

Apakah masalah penampung tinja ini sudah selesai ? saya kira belum. Sebagai penampung tinja ada beberapa hal yang sebaiknya kita pahami. Dimulai dari pertanyaannya kenapa tinja harus ditampung?
Sekilas pertanyaan ini terdengar aneh. Namun saat dua kilas, pertanyaan ini bertujuan untuk mendedah segala hal yang berhubungan dengan tinja itu sendiri. Pertama, kandungannya. Secara garis besar minimal ada empat hal yang terkandung didalam tinja, antara lain; Mikroba, Materi Organik, Telur Cacing, dan Nutrien.

Kedua, dampaknya. Jika tinja tidak ditampung, keempat dari kandungan tersebut akan dengan mudahnya masuk dalam tanah. Dan, tanah pun bisa tercemar.

Sehingga, tidak ada alasan untuk tidak menampung tinja tadi. Kita belum berbicara soal penyebaran penyakit akibat tidak tertampungnya tinja manusia dengan baik, bukan ?

Pertanyaan lanjutnya, bagaimana penampung tinja yang benar ?

Pada prinsipnya penampung tinja yang baik itu harus tertutup dan kedap air. Karena jika tidak, bisa dipastikan limbah manusia yang nama lainnya blackwater, akan menjadi sumber penyakit melalui perantara entah itu melalui tangan, serangga (lalat), melalui air, makanan, atau bahkan terserap di tanah dan kemudian mencemari sumber air baku. Disebut mencemari karena keberadaan komposisi kimia yang yang sangat kompleks – merupakan paduan dari empat unsur tadi—yang kemudian berpotensi mencemari tanah. Salah satu contohya Chemical Oxygen Demand (COD).

COD, secara harfiah bermakna (jumlah) kebutuhan oksigen agar suatu bahan kimia terurai sempurna. Artinya, semakin tinggi COD semakin parah tingkat pencemarannya. Sialnya, pada tinja manusia nilai COD-nya adalah 10.000 (mg/L), sedangkan nilai COD yang ditoleransi hanya 80 (mg/L). Bisa dibayangkan bagaimana rumitnya kandungan kimia dari kotoran kita, bukan?

Jika anda bertanya; bagaimana mungkin tinja yang kandungan COD-nya sedemikian besar kemudian di tampung pada penampungan yang kedap air ? bukankah ini berpeluang untuk menimbulkan tekanan ?

Jawaban dari pertanyaan tersebut berhubungan dengan sistem pengolahan dari tinja tadi yang ada didalam penampungan atau septik tank. 

Pengolahan   



Seperti halnya kata penampungan, kata pengolahan menurut KBBI juga bermakna proses, cara, perbuatan mengolah. Apalagi jika dihubungkan dengan kata penampungan, tentu saja pembicaraan kita terkait tinja akan semakin meluas. Sehingga berbagai bentuk penanganan dalam rangka mengurangi nilai COD dari tinja kita bisa terwujud.

Alasan pertama tinja kita yang tertampung didalam septik tank harus diolah adalah karena nilai COD. Sehingga dibutuhkan suatu cara pengolahan tinja sehingga bisa menurunkan nilai COD. Salah satu cara atau sistemnya adalah septik tank up flow filter. Sistem ini menjadi menarik karena sistemnya sederhana. Cukup dengan memanfaatkan bakteri anaerob untuk mengurai tinja dalam bilik kedua pada pipa-pipa atau bamboo yang berpean sebagai filter sebelum dikeluarkan melalui pipa outlet.

Alasan kedua, karena sistem pengolahan tersebut berfungsi menurunkan tekanan akibat tingginya nilai COD pada tinja tadi. Karena itupula disetiap tanki septik yang kedap pasti dibangun lubang hawa. Tujuannya tidak lain untuk mengeluarkan biogas yang merupakan hasil dari pengolahan tinja tadi.

Alasan ketiga, bisa berdampak positif pada kualitas kandungan air baku. Hal ini terutama berlaku pada masyarakat perkotaan yang pemukimannya cenderung lebih padat. Sehingga ancaman rusaknya sumber air baku ketika tanki septik tidak kedap tidak terjadi.

***

Akhir kata, pembicaraan terkait tinja makin kesini makin menarik. Salah satu penyebabnya karena ini juga berhubungan dengan manusia itu sendiri sebagai “penghasil” yang disaat bersamaan jika tidak ditampung dengan benar dan dikelola dengan baik tentu saja akan kembali menjadikan manusia sebagai korbannya. Walaupun, pembicaraan terkait tinja dan pengelohannya bukan saja tentang penampungan, pengangkutan dan pengolahan saja tetapi terkait hal teknis yang lebih spesifik juga.

Tanpa bermaksud menghilangkan makna penting dari hal tehnis yang bersifat spesifik tadi, penekanan tulisan ini terletak pada prinsip dasar sistem pengolahan tinja yang aman.  

Apakah tanki septik dirumah anda sudah kedap?




Add caption

MASA DEPAN PROMOSI KESEHATAN




Sebagai salah satu bagian dari ilmu kesehatan masyarakat, promosi kesehatan (Promkes) memiliki cara tersendiri dan berbeda. Meski begitu promosi kesehatan tidak kehilangan daya tariknya. Ambillah contoh; salah satu tujuan  promkes yang berhubungan dengan perubahan prilaku.

Saat berbicara soal perubahan prilaku, ihwal paling mendasar adalah mengajak masyarakat untuk berkesadaran hidup sehat. (special untuk kata “berkesadaran” tentu harus digarisbawahi, ditebalkan dan dibuat miring. Karena kesadaran akan berhubungan dengan kondisi berkelanjutan)

Tentu saja ini  bukan tanpa kendala yang berarti. Selain karena kesadaran itu sendiri inheren dalam diri manusia, juga karena kesadaran manusia berhubungan dengan segala hal diluar dirinya. Entah itu tercipta karena pola asuh dalam keluarga hingga pengaruh lingkungan sekitar.

Disinilah peran seorang sarjana kesehatan masyarakat yang spesifik dalam lingkup promosi kesehatan menemui tantangan pertamanya.  

Sebelum jauh melangkah, dan dalam rangka mendedah secara utuh promosi kesehatan, ada baiknya tulisan ini saya buka dengan mengurai sedikit sejarah promosi kesehatan. Dari beberapa referensi, promosi kesehatan pertama kali resmi dilafazkan secara global pada awal abad 20 atau tepatnya di tahun 1986 dalam Konfrensi International promosi kesehatan di Otawa.

Jika secara resmi dunia mengakui keberadaan promosi kesehatan sejak tiga dasawarsa yang lalu, bagaimana dengan sejarah promosi kesehatan di Indonesia ?

Efektifnya, praktek promosi kesehatan sebenarnya sudah mulai dilakukan oleh Tirto Adhi Soerjo (1880 – 1918). Meski sebagai pribumi beliau secara tidak sadar melakukannya, tetap saja upaya untuk penyebarluasan informasi seputar masalah kesehatan serta berbagai bentuk penanganan dan pencegahannya yang dimuat pada  berbagai koran menjadi peletak awal prinsip promosi kesehatan di Republik ini.

Ambillah contoh tulisan beliau  yang berjudul “Obat-obat jang Perloe Disimpan di Rumah”, dimuat dalam koran Soenda Berita  No. 11 dan No. 13, tahun II, 5 Mei 1904 dan No 22 Mei 1904 (sumber: Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo, I:BOEKOE, 2008). Ditulisannya, beliau sudah memperkenalkan pentingnya jenis-jenis obat yang wajib ada dirumah. Yang saat ini lebih popular dengan istilah kotak obat atau kotak P3K (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan).

Atau tulisan lainnya yang berjudul “Hal Air Minoeman” yang dimuat dalam koran Poetra Hindia, No 17, Tahun II, 1 Juli 1909  (Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo, I:BOEKOE, 2008). Yang mana, beliau banyak bercerita ihwal air. Baik kualitas maupun kuantitasnya. Dan menariknya, tulisan beliau tersebut sudah memperkenalkan metode pengolahan air sebelum dikonsumsi. Entah itu metode penyaringan hingga merebus.

Bahkan beliau juga sudah memperkenalkan metode pengendapan material fisik pada air keruh sehingga layak minum jauh hari sebelum metode purin disebarluaskan. (Sebelum membahas lebih jauh, ingatkan saya untuk mengulik tulisan Tirto Adhi Soerjo yang berhubungan dengan kesehatan pada kesempatan lain) 

Dan lagi-lagi informasi diatas tentu saja bisa menjadi pembanding pada sejarah  promosi kesehatan di republic ini yang katanya baru dimulai di tahun 1997. Seperti sering diucap oleh para pengajar di ruang-ruang kuliah kampus atau sekolah tinggi pencetak sarjana kesehatan masyarakat di Indonesia.
Pertanyaannya kemudian, jika sejak awal abad 19 promkes sudah berbicara soal peyebarluasan informasi yang massif, bagaimana dengan arah promkes saat ini?

Jika masyarakat ditanya; apa itu promosi kesehatan ? saya yakin dan percaya jawabanya adalah penyuluhan kesehatan (saja). Jawaban tersebut tentu saja tidak bisa kita persalahkan. Karena secara jamak masyarakat kita – atau bahkan tenaga kesehatan–  masih kurang paham sepenuhnya apa yang dimaksud dengan promosi kesehatan itu sendiri. Mereka tidak mengetahui bahwa promosi kesehatan itu berbicara juga soal mempengaruhi arah kebijakan kesehatan (Advocacy). Atau fungsi promosi kesehatan yang sejatinya mampu menciptakan kondisi lingkungan sehat (Bina Suasana).

Promosi Kesehatan hari ini

Setelah kita mengetahui sejak kapan kaum pribumi di republik ini mencurahkan perhatiannya terhadap upaya-upaya promosi kesehatan, ada baiknya pandangan kita alihkan pada kondisi promosi kesehatan hari ini. Secara umum, jika kita lebih jeli melihat penyebab minimnya pengaruh bentuk promosi kesehatan terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat dimulai dari basis data/informasi yang masih kurang. Baik kuantitas maupun kualitas.

Ambillah contoh angka kepemilikan jamban yang sehat.

Jika kita bertanya kepada petugas kesehatan (Nakes) dari pihak pemerintah, informasi kepemilikan jamban untuk saat ini  masih terbatas pada akses. Ini tentu saja tidak keliru, namun jika hanya sebatas akses saja belum cukup. Karena berpadunya kata “jamban” dan kata “sehat”, selain persoalan akses juga terkait kondisi didalamnya. Apalagi dengan diawali dengan kata kepemilikan.

Maksud saya, jamban yang juga bagian integral dari sebuah rumah harus dipahami secara utuh. Bukan saja terbatas pada pengetahuan dan pentingnya menggunakan jamban, tapi kualitas jamban yang seharusnya juga menjadi perhatian. Termasuk didalamnya bentuk bangunan atas dan atau bangunan bawah dari jamban itu sendiri.

Karena ketika kata “jamban” bertemu kata “sehat” apalagi diawali dengan kata “kepemilikan”, dalam bayangan saya akan terpampang jumlah kepala keluarga yang memiliki jamban lengkap. Mulai dari kualitas fisik kloset, kuantitas air yang cukup, fasilitas cuci tangan pakai sabun, hingga bentuk tangki tinja yang kedap air. Dan sialnya, kondisi ideal tersebut belum merata disini (baca:Indonesia).

Dilain pihak, tenaga kesehatan yang berperan terhadap peningkatan kepemilikan jamban sehat masih diisi oleh pengetahuan yang bersifat tehnis (saja). Dalam artian, disaat konsep jamban sehat sudah ideal yang didapat lewat bangku-bangku perkualiahan ternyata tidak diikuti dengan bentuk penyampaian yang terang-benderang dilapangan.

Dilain pihak, jika kita mengacu pada informasi yang tertuang pada PERMENKES No. 3 Tahun 2014, pengetahuan yang bersifat tehnis dari tenaga kesehatan tersebut bermula. Yang mana, titik tekan aturan itu pada akses terhadap jamban saja. Informasi tersebut bukan bertolakbelakang dengan bentuk dari jamban sehat. Karena jika mengacu pada konsep jamban sehat dari KEMENKES (2004), sejatinya penampungan tinja harus kedap air. Dalam artian bukan hanya dinding penampungan tinja saja yang mengalami pengerasan, alas dari penampungan tersebut juga harus  mengalami pengerasan (Azwar, 1990).

Dan bagi saya, tantangan seorang promosi kesehatan menjadi bertambah.

Masa Depan Promosi Kesehatan

Kita tinggalkan sejenak pembicaraan seputar minimnya pengetahuan jamak ihwal promosi kesehatan atau perbedaan titik kisar dari sejarah promosi kesehatan di Indonesia dan mari berbicara masa depan promosi kesehatan.

Tema ini menjadi menarik karena dua penyebab. Penyebab pertama, perkembangan budaya manusia yang kian cepat. Dan kedua, karena perkembangan manusia yang tentu saja  diikuti dengan perkembangan jenis penyakit.

Berbicara soal perkembangan manusia, sebenarnya sudah pernah diingatkan oleh Fedrich H. Kanfer dalam karyanya; Personal Control, Social Control, dan Altruism: Can society survive the age of Individualism? Pada tahun 1979 dan  Gerald Klermen dalam karya; The Age of Melancholy tahun 1979. Bahwa yang tersisa dari era modern sebagai salah satu bagian perkembangan manusia adalah kecemasan, keterasingan, kekerasan, egoisme, dan depresi.

Berangkat dari peringatan Kanfer dan Klermen tadi, pertanyaan lanjutannya ialah bagaimana seharusnya promosi kesehatan berperan dan bagaimana bentuknya di era modern atau meminjam istilah Yasraf Amir Piliang era Hypermodernitas.

Jika dahulu penyebarluasan informasi atau jamak dikenal dengan kata penyuluhan, dimana lebih sering dilakukan dengan cara mengumpulkan orang dan informasinya hanya berdasarkan keinginan tanaga kesehatan saja sebagai penyampai pesan tanpa secara aktif melibatkan masyarakat untuk menggali kebutuhannya terlebih dahulu. Kedepannya cara ini bisa dipastikan sudah tidak efektif lagi. Selain karena kegiatan tersebut menyita waktu bagi masyarakat, juga karena permasalahan mendasar soal efektifitas pesan yang belum tentu tercapai melalui metode tersebut.

Saya bayangkan, penyebarluasan informasi kedepannya lebih banyak dilakukan oleh teknologi dan bukan lagi manusia. Misalnya, suatu saat akan ada E-Promkes yang berbasis android. Selain karena kemudahaan aksesnya yang tidak terikat ruang dan  waktu, alih fungsi alat atau metode penyebarluasan informasi ini juga jauh lebih efektif. Dalam artian, masing-masing orang akan berselancar dan mencari informasi yang sesuai kebutuhannya. Coba bandingkan dengan cara konvensional penyuluhan.

Sangat tidak efektif bukan?

Selain masalah efektif-tidaknya sebuah pesan, alih cara penyebarluasan informasi tadi jauh lebih murah dibandingkan metode konvensional selama ini. Dimana saat ini alokasi anggaran belanja kesehatan hanya habis untuk belanja pegawai atau  kegiatan demi kegiatan yang jika ditelisik lebih dalam masih jauh api dari panggang, untuk hal terciptanya masyarakat yang sehat dan berkesadaran. Ini tentu saja kita belum berbicara soal  kegamangan peran masing-masing tenaga kesehatan yang terjadi di tingkat terbawah tempat pelayanan kesehatan dalam hal ini Puskesmas. Dibandingkan dengan memakai E-Promkes yang cukup dengan mengupdate informasi dan membiayai kuota ruang dalam dunia maya, tugas dan peran promosi kesehatan sudah berjalan.

Kira-kira mana yang lebih murah?

Dilain pihak saat masalah promosi kesehatan ditarik lebih jauh pembahasannya tentu saja menjadi lebih tehnis. Contohnya media penyampaian. Jika mengacu pada bentuk, secara garis besar penyampaian pesan kesehatan terbagi atas dua. Yang pertama secara langsung dan kedua secara tidak langsung. Untuk bentuk pertama biasanya dalam bentuk penyampaian dalam tatap muka. Entah itu penyuluhan, seminar, talkshow atau bahkan pelatihan.

Dan, bentuk kedua menggunakan perantara. Entah itu brosur, pamphlet, X-banner bahkan iklan layanan masyarakat.  Ironisnya untuk bentuk promosi kesehatan yang terakhir ini masih masih jarang membuat masyarakat tertarik. Sehingga jangan kaget jika besaran biaya yang dihabiskan untuk sebuah media promosi kesehatan tidak berbanding lurus dengan peningkatan jumlah masyarakat yang mengubah prilaku tidak sehat menjadi prilaku sehat. Apatah lagi jika diharapkan secara sadar melakukan itu.

Berangkat dari beberapa kondisi diatas, menurut hemat saya belum terlambat kiranya untuk menelisik kembali bagaimana keadaan promosi kesehatan dalam beberapa dekade kedepannya. Dan sekali lagi, ini masih erat hubungannya dengan peran berbagai pihak di dalamnya.

Kita bisa mulai dengan mengidentifikasi apa yang menjadi permasalahan kesehatan didalam masyarakat. Tentu saja bentuk kegiatannya adalah memperbaiki segala bentuk informasi/data yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat. Karena jika mau jujur, permasalahan informasi/data masih merupakan momok tersendiri. Salah satu bentuknya misalnya perbedaan angka yang bersumber dari masing-masing instansi terkait. Dan sialnya, masing-masing instansi tersebut menganggap informasi/data yang mereka milikilah yang tervalid.

Setelah permasalahan informasi/data teratasi, tentu saja bisa melangkah pada tahapan berikutnya ialah penyusunan strategi promosi kesehatan yang akan dijalankan. Khusus untuk tahapan ini dibutuhkan kerjasama yang kuat antara berbagai lapisan kelembagaan. Baik lembaga pemerintah maupun lembaga masyarakat. Karena akan berhubungan dengan tahapan selanjutnya terkait implementasi dilapangan. Lagi-lagi kata kuncinya adalah komitmen.

Selebihnya tinggal bentuk monitoring dan evaluasi dari tahapan implementasi yang akan dijalankan. Karena tanpa proses monitoring dan evaluasi semua tahapan sebelumnya akan menjadi sia-sia. Ditahap inilah kemudian proses pembelajaran dan adaptasi dari segala bentuk perkembangan masyarakat yang diikuti dengan perkembangan penyakit  bisa terjadi.

Pertanyaan lanjutnya kemudian bagaimana memulainya ?



*Disclaimer: Sumber gambar https://www.slideshare.net






SKM itu Petarung (?)




Entitas SKM dalam sistem terbuka Roy Bhaskar (1976)


Beberapa malam yang lalu, layar telepon seluler (ponsel) pintarku tidak berhenti terkedip-kedip. Setelah memeriksanya, ternyata ada tumpukan pemberitahuan dari salah satu program aplikasi obrolan. Dan, itu berasal dari obrolan grup alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) yang menjadi tempatku dulu mendapatkan gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM). Rasa penasaranku pun muncul. Meskipun secara tehnis saya telah tergabung pada kurang lebih tujuh grup obrolan di program aplikasi yang sama, riuh pemberitahuan ini akhirnya menjadi begitu menarik.

Salah satu sebab; dibandingkan enam grup lainnya, grup yang satu ini biasanya lebih sepi. Paling jauh, kami riuh hanya pada beberapa momentum saja. Misalnya; perayaan capaian-capaian keberhasilan. Mulai dari keberhasilan individu dari kami (baca: alumni) hingga keberhasilan kelembagaan (Universitas dan atau Fakultas). Memang benar bahwa keberhasilan itu patut dirayakan, tapi tidak bisa dipungkiri ada juga di antara kami yang merasa bosan akhirnya.

Kembali pada  sebab utama menjadi riuh. Setelah mengusap layar ponsel pintar dan memeriksanya, ternyata kami (anggota grup) saling berkomentar perihal eksistensi seorang SKM. Berangkat dari pertanyaan salah seorang alumni; apakah Kesehatan Masyarakat adalah sebuah (dan atau layak menjadi) profesi atau bukan ?

Terlepas dari berbagai tanggapan yang muncul, untuk saya pribadi, pertanyaan ini sudah lama mengganggu pikiran. Tepatnya sejak 2004, saat bergabung dengan berbagai program kemasyarakat yang spesifik mencoba ambil bagian untuk mengatasi segala permasalahan kesehatan masyarakat di republik kita. Ini juga salah satunya yang melatari keberadaan blog ini sebagai sarana menyalurkan pikiran-pikiran yang berhubungan dengan seputar masalah Kesehatan Masyarakat.

Tapi, baiklah. Saya kira, persoalan eksistensi SKM selalu menarik untuk dibahas. Setidaknya ini bisa kita tujukan pada adik-adik imut calon mahasiswa atau yang telah menjadi mahasiswa FKM dimanapun itu.

Jadi begini, sebelum menjawab pertanyaan; apakah Kesehatan Masyarakat—atau SKM-- itu sebuah profesi atau bukan? Ada bagusnya kita urai SKM itu memakai Atomisme Metodeologis terlebih dahulu. Atau sederhananya, kita memulai dengan pertanyaan; apakah SKM itu? Dan apa saja unsur penyusun seorang SKM?

Setelah kedua pertanyaan ini terjawab, baru kita bisa lanjut pada pokok bahasan awal.

SKM adalah ?

Jika bertanya pada adik-adik imut calon mahasiswa atau mahasiswa FKM dan bahkan para alumni yang tergabung dalam organisasi kesehatan masyarakat; apa itu SKM? bisa dipastikan akan muncul jawaban yang merujuk pada setumpuk aturan pemerintah, diktat, karya ilmiah, bahkan buku-buku yang berkenaan dengan ilmu kesehatan masyarakat itu sendiri. Tidak berbeda juga dengan saya, awalnya. Ini tentu saja tidak keliru. Soalnya sekarang adalah; apakah SKM hanya sebatas dari sumber-sumber tadi?

Tentu saja tidak.

Berangkat dari kondisi inilah dan dengan segala keterbatasan yang ada, saya mencoba-coba cari tau perihal SKM.

Sebelum jauh melangkah, tidak adil kiranya jika saya tidak menjelaskan sedikit tentang atomisme metodeologis dan kenapa saya memilih cara ini. Atomisme metodeologi (metode pemecahan entitas ke entitas lebih kecil) adalah salah satu pendekatan dalam melakukan analisis. Pendekatan ini kebanyakan digunakan filsuf dalam upaya menjawab pertanyaan eksistensi (ontology epistemic). Walaupun disaat bersamaan tidak jarang penjelasan yang didapatkan tidak memadai karena keterbatasan sumber. 

Saya memakai pendekatan ini karena metodenya yang memilah unsur penyusun dari pokok bahasan. Selain itu, pendekatan ini pula meletakkan segala hal yang berhubungan secara adil dan setara.

Melalui pendekatan ini akhirnya saya tersadar, bahwa SKM adalah sebuah entitas yang tidak berdiri sendiri dan bukan tanpa sebab bisa terwujud. Dan dengan pendekatan ini pula, kita bisa melihat berbagai hal didalamnya.

Seperti halnya entitas-entitas lain, (untuk menjadi seorang) SKM juga tersusun atas banyak entitas. Secara garis besar saya akan memilih lima entitas besar saja yang berhubungan dengan SKM. Entitas itu adalah; Masyarakat, Kampus (FKM), Mahasiswa, (masalah dan ilmu) Kesehatan Masyarakat, dan yang terakhir Lembaga Mahasiswa (yang berhubungan dengan Kesehatan Masyarakat).

Pemilihan lima entitas tadi bukan tanpa sebab, selain dalam rangka mencari kelompok entitas terbesar dalam melihat unsur penyusun SKM, juga karena kelima-limanya memiliki hubungan langsung dengan seorang SKM. Baik sebelum dan atau  dalam proses pembentukan bahkan setelahnya.

Walau begitu, kelima entitas tadi juga tidak berdiri sendiri. Masing-masing memiliki unsur penyusun. Namun ini nanti kita akan bahas tersendiri dilain kesempatan.

Mari kembali pada lima entitas penyusun SKM.

Untuk menjadi seorang SKM, lima entitas tadi tidak bisa kita lepaskan begitu saja dan akan menjadi satu disaat sebuah proses membidani lahirnya seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat secara utuh dimulai. Menariknya, jika meminjam distingsi buatan Roy Bhaskar (A Realist Theory of Science ,1976) kelima-limanya juga saling terhubung antara satu dengan lainnya. Baik itu ketika dimasukkan pada system terbuka atau system tertutup buatan beliau.

Saya akan mencoba letakkan kelimanya dalam sistem terbuka Roy Bhaskar.

Kelima entitas ini saling terhubung untuk membentuk SKM sejak sebelum hingga sesudahnya bahkan saat sementara berproses. Misalnya entitas masyarakat. Entitas ini berpengaruh langsung baik untuk konteks sebelum maupun sesudah. Untuk konteks “sebelum”, kita bisa lihat pada fenomena tingginya minat calon mahasiswa untuk masuk di FKM. Baik kampus yang bergelar negeri maupun swasta. Meskipun belakangan hampir tidak ada perbedaan yang signifikan antara kampus milik pemerintah maupun swasta.

Sedangkan untuk konteks “sesudah” adalah saat seorang telah mendapat gelar SKM dan kembali ke masyarakat. Untuk konteks inipun tidak sedikit mengalami anomali. Ini bisa dilihat pada banyak SKM memilih atau akhirnya terjun dilapangan kerja yang tidak berhubungan sama sekali dengan ilmu kesehatan masyarakat. Tentu saja ini tidak keliru, selama itu tidak melanggar norma-norma yang berlaku pada masyarakat kita.

Sedangkan jika ditarik hubungannya dengan entitas lain, misalnya kampus dan mahasiswa; masyarakat senantiasa menjadi tempat untuk mengaktualkan tiga darma perguruan tinggi. Atau juga hubungan entitas masyarakat dengan entitas kesehatan masyarakat yang senantiasa menjadi bagian tidak bisa dipisahkan. Yang sedikit berbeda adalah hubungan antara entitas masyarakat dengan entitas lembaga masyarakat.

Dibandingkan dengan tiga entitas sebelumnya, keterkaitan lembaga mahasiswa disebabkan oleh beberapa hal. Salah satunya jargon social control. Meskipun jargon tersebut adalah upaya memparafrasakan bagian pengabdian masyarakat yang termasuk dalam tiga darma perguruan tinggi, hal tersebut akhirnya tidak membatasi ruang gerak dari lembaga mahasiswa untuk berbuat sesuatu yang baik di tengah masyarakat. Apapun bentuk lembaga dan kegiatannya kemudian.

Demikianlah kelima entitas ini terbangun dan saling terhubung.

Profesi atau bukan ?

Setelah kita menguraikan SKM berdasarkan unsur terkecil pembentuknya, ada baiknya kita kembali pada pertanyaan awal; SKM sebagai profesi atau bukan.

Jika mengacu pada distingsi Roy Bhaskar diatas, ada beberapa catatan yang bisa menjadi bahan perenungan kita untuk mencari jawaban dari pertanyaan awal tersebut.

Renungan pertama. Layak tidaknya SKM menjadi profesi tentu saja berhubungan dengan seberapa efektif peran SKM di tengah masyarakat nantinya ketika menjadi sebuah profesi. Karena berbicara tentang sebuah profesi, kita akan diperhadapkan pada kenyataan seberapa dianggap pentingnya SKM bagi masyarakat kita. Pun akhirnya SKM menjadi sebuah profesi, tingkat spesifikasi masalah kesehatan masyarakat manakah yang akan mampu diatasinya dan mempunyai ciri yang berbeda dengan tenaga kesehatan lain diluar SKM.

Mungkin untuk soal spesifikasi SKM bisa dijawab mudah dengan bercermin pada jurusan-jurusan yang ada di FKM saat ini. Mulai dari epidemilogi, hingga promosi kesehatan. Tapi jika dilihat lebih jauh, ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian. Salah satunya, apakah masing-masing jurusan itu sudah mampu menjadi pembeda dengan jurusan lain di luar FKM yang notabene juga membahas hal serupa. Atau lebih jauh lagi, seberapa rumit ilmu dari SKM itu sendiri dimata masyarakat awam.  

Renungan kedua. Kebutuhan menjadi profesi apakah berangkat dari keinginan menyelesaikan masalahkah, atau ini tidak lebih dari bentuk reaksi berlebihan karena diperlakukan tidak adil dalam system penjenjangan di pemerintahan kita. Jika karena hal yang kedua, akhirnya kita (SKM) hanya bersikap lebih reaktif dibandingkan seharusnya proaktif untuk segala masalah yang mengancam nantinya.

Renungan ketiga. Siapkah kampus, sebagai pelaksana tehnis yang diamanatkan undang-undang untuk menjadikan SKM sebuah profesi.

Ketiga renungan diatas bagi saya masih senafas dengan tulisan saya sebelumnya terkait kurikulum dan segala bentuk ancaman yang senantiasa mengancam SKM sebagai individu maupun sebagai kelompok yang tergabung dalam Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Pertanyaan kemudian; apakah  menjadi SKM adalah sebuah panggilan jiwa atau bukan. Jika merupakan panggilan jiwa, coba tanyakan pada jiwa anda; sudah siapkah anda menarung. Menarung untuk menjaga dan mempertegas eksistensi ditengah berbagai permasalahan kesehatan masyarakat kita?

Ngomong-ngomong; anda SKM atau petarung?



Masohi, 10 Maret 2017