5 Sejarah Baru Manusia Saat Ini
Sudah masuk bulan kelima sejak
COVID-19 dinyatakan sebagai sebuah Pandemi. Dan saya, sudah lama tidak
mencurahkan pikiran di blog ini. Tapi, bukan berarti saya tidak menulis. Terutama
ihwal kesehatan Masyarakat. Kebanyakan saya curahkan dalam beberapa kanal dalam
jejaring (daring) lain. Salah satu sebab, tema tulisan saya tersebut berkisar
tema diluar kesehatan masyarakat. Sosial, politik, hukum, dan lain-lain. Semuanya
saya lakukan dalam upaya tetap menjaga kewarasan. Makanya, membaca buku tetap
juga saya lakukan. Sebagai penopang tentu saja.
Kembali ke soal COVID-19. Diakui
atau tidak, makin kesini, kelakuan makhluk maharenik ini semakin membuat pusing
manusia. Yang dalam bahasa epidemiologinya; host.
Jumlah manusia yang menurut Wordmeters mencapai
7,7 milyar lebih (2019) dan tersebar di seluruh pelosok dunia ini dibuat
kliyengan oleh virus ini.
Salah satu bukti bahwa hampir
semua orang menjadi mumet dengan “kehadiran” Korona ditengah-tengah kita adalah
munculnya hal baru. Berikut ini lima sejarah yang dicipta manusia sejak badan
otoritas kesehatan dunia menetapkan COVID-19 sebagai pandemi dunia.
FLU Biasa
Saat Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan
Corona Virus Disease-19 (COVID-19) sebagai pandemic dunia, reaksi berbagai
kalangan terbagi atas dua kelompok besar. Kelompok pertama adalah mereka yang
menerima dan percaya info tersebut, sedangkan yang satunya tidak terima dan
percaya. Dua kelompok ini merata pada
semua kalangan. Dari tingkat atas hingga awam kebanyakan. Bahkan kalangan professional
kesehatan tidak luput dari gelombang pemisahan tersebut.
Bagi kelompok yang menerima,
berita dari juru bicara WHO tersebut adalah tidak mengejutkan. Salah satu
sebab, seperti yang dilansir oleh portal berita dalam jejaring (daring) cnnindonesia.com (3/03/2020), COVID-19
adalah evolusi virus SARS jenis ketujuh. Selain itu, fakta mengejutkan lainnya,
COVID-19 ini bukan jenis virus baru. Tercatat awal mula teridentifikasi adalah
tahun 1960. Bedanya, ketika masa 60-an evolusi dari virus belum secanggih saat
ini. Artinya, para ahli ketika itu menganggap virus ini penyebab flu biasa.
Sekaligus informasi diatas,
menjadikan kelompok kedua bergeming untuk menolak istilah pandemic. Mereka memperkirakan
bahwa virus tahun 1960 sama dengan sekarang. Singkat cerita, salah satu
kampanye golongan ini adalah COVID-19 adalah flu biasa. Hal menarik lain dari
kaum penolak tersebut di dominasi oleh mereka yang lahir di awal abad 21.
Mereka dikenal dengan sebutan generasi milenial.
Saya curiga, “gerakan” kubu
penolak tersebut membikin upaya pencegahan penyakit menular ini terkesan jalan
ditempat pada masa awal. Lihat saja fakta di lapangan. Tidak ada negara yang
luput dari “serangan” virus mematikan ini. Apalagi di awal penyebarannya, para
ahli biomolikuler dunia terjebak dalam anggapan bahwa sindrom Korona mirip dengan East Respiratory
Syndrome (MERS-Cov) yang menyerang timur tengah tahun 2012.
Deklarasi Perang
Sering berjalannya waktu, dua
blok manusia dalam menyikapi penyakit menular ini akhirnya menemui titik temu. Keduanyabertemu
pada fakta bahwa mahkluk maharenik ini mematikan. Hal lain yang jadi pemersatu
keduanya adalah tumbangnya negara-negara maju dalam menghadapi penyebaran virus
ini. Bahkan Amerika yang katanya negara adidaya terlanjur sempoyongan menyikapi
kenaikan pasien yang cenderung bertambah disana.
Satu kata dari dua kelompok ini
adalah perang melawan COVID-19. Otoritas tertinggi di China misalnya. Sebagai
negara yang beberapa bulan kemarin jadi bulan-bulanan karena Korona mulanya
menyebar disana melakukan beberapa langkah penting. Mulai dari aspek ekonomi,
sosial, pendidikan, hingga lainnya. Pertama-tama, tepatnya awal 2020, mereka
melakukan penutupan pasar (basah) tradisional. Ditenggarai, cikal bakal
COVID-19 menyebar karena berhubungan dengan prilaku ekstrim pola konsumsi
makanan masyarakat di provinsi Wuhan.
Selanjutnya diikuti dengan menghentikan
atau pembatasan aktifitas yang mengundang keramaian. Sekolah, pusat
perbelanjaan, sarana transportasi (laut, udara, darat), bahkan kantor-kantor
tidak luput dari pelaksanaan strategi perang disana. Jika yang sebelumnya
ditutup, tidak demikian dengan fasilitas kesehatan disana. Xi Jin Ping dan
jajarannya berjibaku meningkatkan kualitas dan kuantitas aspek kesehatan. Termasuk
juga tenaga kesehatan disana.
Dentuman genderang perang juga
ditabuh oleh banyak negara. Meskipun ada juga negara yang masih menganggap
remeh si COVID-19 ini. Ada dua bentuk paling popular dari jenis perang di paruh
pertama abad 21 ini. Menutup akses transportasi publik dan pembatasan segala
aktifitas sosial (libatkan banyak orang).
Disini juga demikian. Pemberlakuan
darurat bencana nasional (13 April 2020) dan Pembatasan Sosial Berskala Besar,
adalah dua hal paling kelihatan saat kita telusuri peramban pada gawai ditangan
kemarin. Negara berpenduduk 267,7 juta (BPS, 2018) ini, turut serta bergegas
dalam “memeriahkan” palagan melawan Korona. Tentu saja ini berujung pada kebutuhan
anggaran. APBN 2020-2021 yang telah selesai pemaparannya setahun silam, kembali
diutak-atik ibu Sri Mulyani. Tentu saja ini berhubungan dengan “biaya” peran tadi.
Bahkan, pengangkatan panglima
perang di lapangan juga tidak terhindarkan. Para Gubernur, Walikota, dan
Bupati, turut serta (mendadak) “dilantik” jadi panglima di lapangan. Dengan
membentuk gugus tugas tingkat provinsi, kabupaten, kota, se-Indonesia adalah bentuk
lain pesta pelantikan dalam arena perang melawan Korona. Sebagai panglima
perang di lapangan, mereka kemudian menyesuaikan berbagai hal yang dibutuhkan
untuk itu.
Kuncitara vs Daya Tahan Tubuh
Maklumat perang melawan Korona di
berbagai negara, ternyata melahirkan beragam tanggapan. Menyusul dua kelompok yang
awalnya terpisah akhirnya bersepakat untuk melawan balik COVID-19, polemic baru
kemudian muncul. Awam kembali terbelah. Pilihan untuk melakukan Kuncitara atau
menyerahkan pada daya tubuh menjadi sumber masalah.
Dilema memilih antara dua opsi
diatas ternyata dialami tidak hanya oleh masyarakat kebanyakan. Para ahli
kesehatan masyarakat dan penyelenggara negara juga bergabung dalam kebingungan
yang sama. Dua alternatif tadi bukan tanpa resiko. Masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan. Dan pihak yang beresiko untuk “dikorbankan” adalah
masyarakat kebanyakan. Inilah muara kegundahan banyak pihak.
Terlebih, sejak perang melawan
Korona di beberapa negara, ekonomi dunia ikut berdampak. Bayangkan saja, ekonomi
makro level negara saja bisa goyah apalagi tingkat mikro di masyarakat. Ditambah
lagi, antara keputusan Kuncitara dan (menyerahkan pada) Daya tahan tubuh tetap
akan berdampak pada ekonomi itu sendiri. Bedanya, jika Kuncitara berlaku
praktek jual-beli di tingkat atas hingga bawah akan merasakan dampak langsung.
Sedangkan kondisi menyerahkan pada daya tahan tubuh masing-masing, kesan lepas
tangan negara pada bentuk penyelesaian masalah kesehatan ini yang kelihatan.
Dengan tergopoh-gopoh, akhirnya
memang harus memilih. Ada negara yang memberlakukan Kuncitara dan ada yang
menyerahkan sepenuhnya pada daya tahan tubuh warganya. Untuk di republik ini,
pilihannya memberlakukan Kuncitara. Meskipun resikonya pada postur anggaran
belanja negara sampai daerah beralih fungsi sebagai penopang ekonomi mikro.
Serangan Kedua COVID-19
Setelah beberapa bulan melewati
perang, beberapa negara berhasil keluar dari kondisi tidak menguntungkan.
Seperti yang kita ketahui bersama, medan tarung manusia melawan virus ini
dimenangkan oleh manusia. Salah satu bukti, angka meninggal karena virus
berangsur-angsur turun. Hal ini diikuti dengan upaya sungguh-sungguh berbagai
pihak bahu-membahu untuk mewujudkan itu.
Dari pihak virus ternyata tidak tinggal
diam. Selain menyerang “pabrik” daya tahan tubuh manusia, pengaruh virus
kemudian menyerang pusat komando manusia. Kepala tepatnya. Maksud saya bukan
berdampak pada kinerja biologis otak, tetapi, keberadaan virus ini ternyata
berdampak pada system berfikir bagi sebagian orang.
Tentu kita masih ingat, beberapa
waktu lalu muncul isu “konspirasi” dibalik COVID-19. Para pengusungnya tentu
saja mereka penganut paham konspirasi garis keras. Golongan terakhir ini bisa
berasal dari semua tingkatan. Orang terkemuka, pejabat negara, para penghuni
kelas menengah, dan lain sebagainya. Mereka percaya, kemeriahan medan perang
ini dorongan dari kelompok pemegang kendali dunia saat ini. Disaat bersamaan, orang-orang
tadi membentuk grup baru yang saya istilahkan “Neo-Tolak COVID-19”.
Mereka kemudian dengan secara
sadar menyerang semua pihak (termasuk penganut Tolak COVID-19 terdahulu) lewat
berbagai saluran. Daring dan luring (luar jejaring). Kampanye menuduh COVID-19
adalah konspirasi dilekatkan pada negara-negara maju. Sebenarnya, kehadiran
mereka memang dibutuhkan. Selain sebagai hiburan, juga bisa menjadi pelecut
semua pihak untuk lebih sungguh-sungguh dalam mengatasi penyakit menular ini.
Gerakan kelompok ini saya
masukkan dalam kategori serangan kedua dari COVID-19, tidak lain karena
kecurigaan saya, bahwa mereka tadi sebenarnya juga adalah korban dari pikiran
sendiri yang secara tidak sadar telah diserang (pengaruh) Korona. Saat ekonomi
makro dan mikro mengalami tsunami, mereka justru menunjukkan upaya kurang
simpati ditengah kepanikan publik menghadapi pandemi.
Alih-alih ingin menyadarkan orang
banyak lewat penyangkalan bahaya COVID-19, disaat bersamaan mereka mengakui
bahwa Korona adalah penyakit berbahaya. Buktinya, salah satu orang terkemuka
lewat akun sosial media daring pribadi menantang tenaga kesehatan untuk
membayar (lebih) dalam rangka membuktikan bahwa (asumsi) mereka benar. Bukankah
ini adalah bukti mereka mengakui Korona adalah penyakit menular dan berbahaya. Karena
semakin besar konpensasi sebuah pekerjaan akan berbanding lurus dengan tingkat
resikonya.
Ada-ada saja.
Prilaku Baru
Sejarah terakhir yang tercipta
dari perang melawan COVID-19 adalah munculnya prilaku baru. Terlebih sejak WHO
menetapkan bahwa Korona bisa menyebar melalui udara (9 Juli 2020), akan
berdampak pada kualitas kewaspadaan kita. Setelah sebelumnya kita dipaksa
untuk; membatasi aktifitas yang melibatkan orang banyak, prilaku-prilaku lain
ternyata mengikuti.
Ini kita bisa lihat juga dengan
pola interaksi sehari-hari. Terutama di Indonesia. Jika dahulu berjabat tangan
adalah symbol keeratan hubungan sosial, sekarang kita sebisa mungkin untuk
tidak melakukannya. Waktu lalu, orang-orang akan sangat terganggu dengan
perilaku kentut didepan umum, sekarang tidak lagi. Batuk dan bersin (secara
serampangan)sebagai penggantinya. Saat ini, kita lebih permisif mendengar
kentut orang lain dibanding bersin dan batuk. Padahal ketiganya dari aspek
biologis adalah reaksi alamiah tubuh.
Prilaku baru lain yang juga saat
ini muncul adalah cuci tangan memakai sabun (CTPS). Terus terang, sebelum
penyakit dari Wuhan ini menyerang, saya masuk dalam kelompok yang pesimis pada
replikasi prilaku satu ini. Tantangan terberatnya bukan pada isi dan bentuk
pesan CTPS itu sendiri. Persepsi banyak orang bahwa CTPS adalah prilaku remeh dan
gampang. Disaat bersamaan, anggapan bahwa tangan mereka selalu bersih
menggenapi semuanya.
Beruntung COVID-19 muncul. Kita
tidak perlu lagi repot-repot menjelaskan bahwa CTPS mampu menurunkan resiko diare
hingga 47%. Dimana, diare masih jadi pembunuh nomor satu untuk balita. Atau,
konten promosi kesehatan terkait prilaku CTPS mampu mencegah (setidaknya) sepuluh
penyakit, dengan sendirinya menjadi pemahaman bersama.
Yang menarik dari munculnya
prilaku baru ini adalah sokongan banyak pihak. Lihat saja beberapa tempat.
Sarana cuci tangan pakai sabun belakangan ini mengambil tempat sendiri. Secara
otomatis memaksa kita untuk beradaptasi. Termasuk juga dengan prilaku lain.
Memakai masker misalnya.
***
Demikianlah lima sejarah perkembangan
manusia yang tercipta akibat ulah dari COVID-19. Semoga curahan pikiran ini
bisa menambah pengetahuan banyak pihak untuk lebih memperhatikan dan
mengedepankan berbagai aspek yang berhubungan dengan terciptanya kesehatan
masyarakat secara menyeluruh.
Amin Ya Rabbal-alamin.
Disclaimer:
Pesan sponsor. Bagi pembaca yang sedang membaca dan dibayar, berikut ini informasi berharga. Dibawah ini urutan untuk mewujudkannya. Bahkan cukup mudah. Mengisi survei dan dibayar. Jika tertarik ikuti langkah dibawah ini;
Pertama, mendaftar lewat peramban disini
Kedua, Isi form yang ada
Ketiga pilih survei yang anda minat ikuti
Keempat, tunggu bayarannya di transfer.
Disclaimer:
Pesan sponsor. Bagi pembaca yang sedang membaca dan dibayar, berikut ini informasi berharga. Dibawah ini urutan untuk mewujudkannya. Bahkan cukup mudah. Mengisi survei dan dibayar. Jika tertarik ikuti langkah dibawah ini;
Pertama, mendaftar lewat peramban disini
Kedua, Isi form yang ada
Ketiga pilih survei yang anda minat ikuti
Keempat, tunggu bayarannya di transfer.