5 Sejarah Baru Manusia Saat Ini

Juli 11, 2020 Mashuri Mashar S.KM 0 Comments




Sudah masuk bulan kelima sejak COVID-19 dinyatakan sebagai sebuah Pandemi. Dan saya, sudah lama tidak mencurahkan pikiran di blog ini. Tapi, bukan berarti saya tidak menulis. Terutama ihwal kesehatan Masyarakat. Kebanyakan saya curahkan dalam beberapa kanal dalam jejaring (daring) lain. Salah satu sebab, tema tulisan saya tersebut berkisar tema diluar kesehatan masyarakat. Sosial, politik, hukum, dan lain-lain. Semuanya saya lakukan dalam upaya tetap menjaga kewarasan. Makanya, membaca buku tetap juga saya lakukan. Sebagai penopang tentu saja.

Kembali ke soal COVID-19. Diakui atau tidak, makin kesini, kelakuan makhluk maharenik ini semakin membuat pusing manusia. Yang dalam bahasa epidemiologinya; host. Jumlah manusia yang menurut Wordmeters mencapai 7,7 milyar lebih (2019) dan tersebar di seluruh pelosok dunia ini dibuat kliyengan oleh virus ini.

Salah satu bukti bahwa hampir semua orang menjadi mumet dengan “kehadiran” Korona ditengah-tengah kita adalah munculnya hal baru. Berikut ini lima sejarah yang dicipta manusia sejak badan otoritas kesehatan dunia menetapkan COVID-19 sebagai pandemi dunia.

FLU Biasa

Saat Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Corona Virus Disease-19 (COVID-19) sebagai pandemic dunia, reaksi berbagai kalangan terbagi atas dua kelompok besar. Kelompok pertama adalah mereka yang menerima dan percaya info tersebut, sedangkan yang satunya tidak terima dan percaya.  Dua kelompok ini merata pada semua kalangan. Dari tingkat atas hingga awam kebanyakan. Bahkan kalangan professional kesehatan tidak luput dari gelombang pemisahan tersebut.

Bagi kelompok yang menerima, berita dari juru bicara WHO tersebut adalah tidak mengejutkan. Salah satu sebab, seperti yang dilansir oleh portal berita dalam jejaring (daring) cnnindonesia.com (3/03/2020), COVID-19 adalah evolusi virus SARS jenis ketujuh. Selain itu, fakta mengejutkan lainnya, COVID-19 ini bukan jenis virus baru. Tercatat awal mula teridentifikasi adalah tahun 1960. Bedanya, ketika masa 60-an evolusi dari virus belum secanggih saat ini. Artinya, para ahli ketika itu menganggap virus ini penyebab flu biasa.

Sekaligus informasi diatas, menjadikan kelompok kedua bergeming untuk menolak istilah pandemic. Mereka memperkirakan bahwa virus tahun 1960 sama dengan sekarang. Singkat cerita, salah satu kampanye golongan ini adalah COVID-19 adalah flu biasa. Hal menarik lain dari kaum penolak tersebut di dominasi oleh mereka yang lahir di awal abad 21. Mereka dikenal dengan sebutan generasi milenial.

Saya curiga, “gerakan” kubu penolak tersebut membikin upaya pencegahan penyakit menular ini terkesan jalan ditempat pada masa awal. Lihat saja fakta di lapangan. Tidak ada negara yang luput dari “serangan” virus mematikan ini. Apalagi di awal penyebarannya, para ahli biomolikuler dunia terjebak dalam anggapan bahwa sindrom Korona mirip dengan East Respiratory Syndrome (MERS-Cov) yang menyerang timur tengah tahun 2012.

Deklarasi Perang

Sering berjalannya waktu, dua blok manusia dalam menyikapi penyakit menular ini akhirnya menemui titik temu. Keduanyabertemu pada fakta bahwa mahkluk maharenik ini mematikan. Hal lain yang jadi pemersatu keduanya adalah tumbangnya negara-negara maju dalam menghadapi penyebaran virus ini. Bahkan Amerika yang katanya negara adidaya terlanjur sempoyongan menyikapi kenaikan pasien yang cenderung bertambah disana.

Satu kata dari dua kelompok ini adalah perang melawan COVID-19. Otoritas tertinggi di China misalnya. Sebagai negara yang beberapa bulan kemarin jadi bulan-bulanan karena Korona mulanya menyebar disana melakukan beberapa langkah penting. Mulai dari aspek ekonomi, sosial, pendidikan, hingga lainnya. Pertama-tama, tepatnya awal 2020, mereka melakukan penutupan pasar (basah) tradisional. Ditenggarai, cikal bakal COVID-19 menyebar karena berhubungan dengan prilaku ekstrim pola konsumsi makanan masyarakat di provinsi Wuhan.

Selanjutnya diikuti dengan menghentikan atau pembatasan aktifitas yang mengundang keramaian. Sekolah, pusat perbelanjaan, sarana transportasi (laut, udara, darat), bahkan kantor-kantor tidak luput dari pelaksanaan strategi perang disana. Jika yang sebelumnya ditutup, tidak demikian dengan fasilitas kesehatan disana. Xi Jin Ping dan jajarannya berjibaku meningkatkan kualitas dan kuantitas aspek kesehatan. Termasuk juga tenaga kesehatan disana.

Dentuman genderang perang juga ditabuh oleh banyak negara. Meskipun ada juga negara yang masih menganggap remeh si COVID-19 ini. Ada dua bentuk paling popular dari jenis perang di paruh pertama abad 21 ini. Menutup akses transportasi publik dan pembatasan segala aktifitas sosial (libatkan banyak orang).

Disini juga demikian. Pemberlakuan darurat bencana nasional (13 April 2020) dan Pembatasan Sosial Berskala Besar, adalah dua hal paling kelihatan saat kita telusuri peramban pada gawai ditangan kemarin. Negara berpenduduk 267,7 juta (BPS, 2018) ini, turut serta bergegas dalam “memeriahkan” palagan melawan Korona. Tentu saja ini berujung pada kebutuhan anggaran. APBN 2020-2021 yang telah selesai pemaparannya setahun silam, kembali diutak-atik ibu Sri Mulyani. Tentu saja ini berhubungan dengan “biaya” peran tadi.

Bahkan, pengangkatan panglima perang di lapangan juga tidak terhindarkan. Para Gubernur, Walikota, dan Bupati, turut serta (mendadak) “dilantik” jadi panglima di lapangan. Dengan membentuk gugus tugas tingkat provinsi, kabupaten, kota, se-Indonesia adalah bentuk lain pesta pelantikan dalam arena perang melawan Korona. Sebagai panglima perang di lapangan, mereka kemudian menyesuaikan berbagai hal yang dibutuhkan untuk itu.

Kuncitara vs Daya Tahan Tubuh

Maklumat perang melawan Korona di berbagai negara, ternyata melahirkan beragam tanggapan. Menyusul dua kelompok yang awalnya terpisah akhirnya bersepakat untuk melawan balik COVID-19, polemic baru kemudian muncul. Awam kembali terbelah. Pilihan untuk melakukan Kuncitara atau menyerahkan pada daya tubuh menjadi sumber masalah.

Dilema memilih antara dua opsi diatas ternyata dialami tidak hanya oleh masyarakat kebanyakan. Para ahli kesehatan masyarakat dan penyelenggara negara juga bergabung dalam kebingungan yang sama. Dua alternatif tadi bukan tanpa resiko. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Dan pihak yang beresiko untuk “dikorbankan” adalah masyarakat kebanyakan. Inilah muara kegundahan banyak pihak.

Terlebih, sejak perang melawan Korona di beberapa negara, ekonomi dunia ikut berdampak. Bayangkan saja, ekonomi makro level negara saja bisa goyah apalagi tingkat mikro di masyarakat. Ditambah lagi, antara keputusan Kuncitara dan (menyerahkan pada) Daya tahan tubuh tetap akan berdampak pada ekonomi itu sendiri. Bedanya, jika Kuncitara berlaku praktek jual-beli di tingkat atas hingga bawah akan merasakan dampak langsung. Sedangkan kondisi menyerahkan pada daya tahan tubuh masing-masing, kesan lepas tangan negara pada bentuk penyelesaian masalah kesehatan ini yang kelihatan.

Dengan tergopoh-gopoh, akhirnya memang harus memilih. Ada negara yang memberlakukan Kuncitara dan ada yang menyerahkan sepenuhnya pada daya tahan tubuh warganya. Untuk di republik ini, pilihannya memberlakukan Kuncitara. Meskipun resikonya pada postur anggaran belanja negara sampai daerah beralih fungsi sebagai penopang ekonomi mikro.

Serangan Kedua COVID-19

Setelah beberapa bulan melewati perang, beberapa negara berhasil keluar dari kondisi tidak menguntungkan. Seperti yang kita ketahui bersama, medan tarung manusia melawan virus ini dimenangkan oleh manusia. Salah satu bukti, angka meninggal karena virus berangsur-angsur turun. Hal ini diikuti dengan upaya sungguh-sungguh berbagai pihak bahu-membahu untuk mewujudkan itu.

Dari pihak virus ternyata tidak tinggal diam. Selain menyerang “pabrik” daya tahan tubuh manusia, pengaruh virus kemudian menyerang pusat komando manusia. Kepala tepatnya. Maksud saya bukan berdampak pada kinerja biologis otak, tetapi, keberadaan virus ini ternyata berdampak pada system berfikir bagi sebagian orang.

Tentu kita masih ingat, beberapa waktu lalu muncul isu “konspirasi” dibalik COVID-19. Para pengusungnya tentu saja mereka penganut paham konspirasi garis keras. Golongan terakhir ini bisa berasal dari semua tingkatan. Orang terkemuka, pejabat negara, para penghuni kelas menengah, dan lain sebagainya. Mereka percaya, kemeriahan medan perang ini dorongan dari kelompok pemegang kendali dunia saat ini. Disaat bersamaan, orang-orang tadi membentuk grup baru yang saya istilahkan “Neo-Tolak COVID-19”.

Mereka kemudian dengan secara sadar menyerang semua pihak (termasuk penganut Tolak COVID-19 terdahulu) lewat berbagai saluran. Daring dan luring (luar jejaring). Kampanye menuduh COVID-19 adalah konspirasi dilekatkan pada negara-negara maju. Sebenarnya, kehadiran mereka memang dibutuhkan. Selain sebagai hiburan, juga bisa menjadi pelecut semua pihak untuk lebih sungguh-sungguh dalam mengatasi penyakit menular ini.

Gerakan kelompok ini saya masukkan dalam kategori serangan kedua dari COVID-19, tidak lain karena kecurigaan saya, bahwa mereka tadi sebenarnya juga adalah korban dari pikiran sendiri yang secara tidak sadar telah diserang (pengaruh) Korona. Saat ekonomi makro dan mikro mengalami tsunami, mereka justru menunjukkan upaya kurang simpati ditengah kepanikan publik menghadapi pandemi.

Alih-alih ingin menyadarkan orang banyak lewat penyangkalan bahaya COVID-19, disaat bersamaan mereka mengakui bahwa Korona adalah penyakit berbahaya. Buktinya, salah satu orang terkemuka lewat akun sosial media daring pribadi menantang tenaga kesehatan untuk membayar (lebih) dalam rangka membuktikan bahwa (asumsi) mereka benar. Bukankah ini adalah bukti mereka mengakui Korona adalah penyakit menular dan berbahaya. Karena semakin besar konpensasi sebuah pekerjaan akan berbanding lurus dengan tingkat resikonya.

Ada-ada saja.

Prilaku Baru

Sejarah terakhir yang tercipta dari perang melawan COVID-19 adalah munculnya prilaku baru. Terlebih sejak WHO menetapkan bahwa Korona bisa menyebar melalui udara (9 Juli 2020), akan berdampak pada kualitas kewaspadaan kita. Setelah sebelumnya kita dipaksa untuk; membatasi aktifitas yang melibatkan orang banyak, prilaku-prilaku lain ternyata mengikuti.

Ini kita bisa lihat juga dengan pola interaksi sehari-hari. Terutama di Indonesia. Jika dahulu berjabat tangan adalah symbol keeratan hubungan sosial, sekarang kita sebisa mungkin untuk tidak melakukannya. Waktu lalu, orang-orang akan sangat terganggu dengan perilaku kentut didepan umum, sekarang tidak lagi. Batuk dan bersin (secara serampangan)sebagai penggantinya. Saat ini, kita lebih permisif mendengar kentut orang lain dibanding bersin dan batuk. Padahal ketiganya dari aspek biologis adalah reaksi alamiah tubuh.

Prilaku baru lain yang juga saat ini muncul adalah cuci tangan memakai sabun (CTPS). Terus terang, sebelum penyakit dari Wuhan ini menyerang, saya masuk dalam kelompok yang pesimis pada replikasi prilaku satu ini. Tantangan terberatnya bukan pada isi dan bentuk pesan CTPS itu sendiri. Persepsi banyak orang bahwa CTPS adalah prilaku remeh dan gampang. Disaat bersamaan, anggapan bahwa tangan mereka selalu bersih menggenapi semuanya.

Beruntung COVID-19 muncul. Kita tidak perlu lagi repot-repot menjelaskan bahwa CTPS mampu menurunkan resiko diare hingga 47%. Dimana, diare masih jadi pembunuh nomor satu untuk balita. Atau, konten promosi kesehatan terkait prilaku CTPS mampu mencegah (setidaknya) sepuluh penyakit, dengan sendirinya menjadi pemahaman bersama.

Yang menarik dari munculnya prilaku baru ini adalah sokongan banyak pihak. Lihat saja beberapa tempat. Sarana cuci tangan pakai sabun belakangan ini mengambil tempat sendiri. Secara otomatis memaksa kita untuk beradaptasi. Termasuk juga dengan prilaku lain. Memakai masker misalnya.





***

Demikianlah lima sejarah perkembangan manusia yang tercipta akibat ulah dari COVID-19. Semoga curahan pikiran ini bisa menambah pengetahuan banyak pihak untuk lebih memperhatikan dan mengedepankan berbagai aspek yang berhubungan dengan terciptanya kesehatan masyarakat secara menyeluruh.


Amin Ya Rabbal-alamin.


Disclaimer:
Pesan sponsor. Bagi pembaca yang sedang membaca dan dibayar, berikut ini informasi berharga. Dibawah ini urutan untuk mewujudkannya. Bahkan cukup mudah. Mengisi survei dan dibayar. Jika tertarik ikuti langkah dibawah ini;

Pertama, mendaftar lewat peramban disini

Kedua, Isi form yang ada

Ketiga pilih survei yang anda minat ikuti

Keempat, tunggu bayarannya di transfer.

0 komentar: