Tampilkan postingan dengan label coronavirus updates. Tampilkan semua postingan

Kacung jadi Kunci Kerangkeng

 

Hampir setiap zaman dalam lintasan perubahan bangsa ini, demarkasi baik-buruk hampir bisa dikatakan sangat  tipis. Penyebabnya bisa banyak faktor. Satu diantaranya titik berangkat kita dalam melihat fenomena yang terjadi. Saya ambil contoh apa yang menimpa organisasi Boedi Oetomo pada kongres pertama tahun 1909. Adalah pertarungan antara kaum bangsawan (berdasarkan) asal-usul melawan kaum bangsawan fikir(an).

Masing-masing beranggapan yang paling layak jadi nahkoda organisasi pergerakan tersebut. Kongres kedua ini kemudian dimenangkan oleh kaum bangsawan asal-usul. Namun tidak mengurungkan kelompok kalah untuk tetap berkiprah demi terwujudnya sebuah bangsa bernama Republik Indonesia. Mereka kemudian bergerak “diluar” system atau organisasi tersebut. Ada yang lewat jalur pendidikan (Ki Hajar Dewantara), jurnalistik, dan lainnya. Secara ciamik dan lengkap Tirto Adhi Soerjo menceritakan lewat media besutannya ketika itu.

Berada diluar Boedi Oetomo tidak membikin kelompok yang kalah kehilangan pengaruh pada gerak menuju Indonesia merdeka seutuhnya. Merekalah kelak jadi penghuni penjara penjajah. Karena tidak ingin terjebak kungkungan gelar ke-bangsa-wan(nan), keluarnya mereka diikuti dengan melepas embel-embel bangsawan yang melekat pada nama sendiri. Inilah sikap melawan sesungguhnya. Feodalisme dari dalam dan luar tidak luput gempuran kelompok kedua ini.

Berbicara soal semangat perlawanan, tidak akan terbebas dari penilaian baik dan buruk. Keduanya sangat bergantung pada sudut pandang dari penilai. Apa yang dilakukan oleh kaum bangsawan fikiran paska berlakunya politik etis dianggap sebagai keburukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dan sebaliknya untuk pribumi. Meskipun tidak semua beranggapan demikian. Terutama pemilik gelar bangsawan (asal) usul. Golongan ini dianggap perusak dari sebuah status quo.

Dari semua kelompok bangsawan fikir tadi, kebanyakan merupakan siswa dari School Tot Opleiding Van Inlansche Artsen (STOVIA). Sekolah kedokteran pertama untuk pribumi di Hindia Belanda. Artinya, peletak fondasi perlawanan terhadap segala bentuk kesewenang-wenangan adalah para (calon) tabib modern. Mungkin karena mereka adalah golongan pertama yang berhasil menyerap segala pengetahuan modern ketika itu.

Dengan semangat yang sama dan dorongan untuk menyatukan segala bentuk perlawanan pada penjajahan, pada 1926 terbentuk sebuah organisasi beranggotakan alumni STOVIA. Karena Nasionalisme jadi pengikat antar mereka, kelompok ini ambil bagian dalam menciptakan kondisi semarak melawan kolonialisme. Yang tentu saja melawan segala bentuk ketidakadilan jadi bagian organisasi yang sama.

Apa yang terjadi hari ini, tentu saja sangat bertolak belakang dengan niatan awal para bangsawan fikir ketika membangun semangat perlawanan pada segala bentuk kesewenang-wenangan. Langkah memenjarakan seseorang hanya karena stempel “kacung” dilekatkan pada organisasi yang berdiri 94 tahun silam ini, bagi saya belum seberapa dibanding upaya Tirto Adhi Soerjo dan kawan-kawan saat menggebuk pemerintah Hindia Belanda seabad silam.

Saya pribadi bukan pendukung pelaku penyebut kata “kacung” tadi. Tapi apa yang menimpanya bagi saya adalah sebuah persoalan serius. Jika sebuah upaya untuk menyadarkan khalayak saat dianggap terjadi sebuah ketidakadilan dianggap menyimpang, apa bedanya kelompok ini dengan para penjajah yang menguras tanah Indonesia lebih dari tiga abad lamanya?

Saya kira para anggota kelompok atau organisasi tertua ini seharusnya lebih berbenah. Setidaknya membaca sejarah pergerakan bangsa ini dan kontribusi para senior mereka bisa jadi permulaan. Termasuk mempelajari segala bentuk perlawanan yang ditempuh para pendahulu mereka.

Segala upaya kriminalisasi adalah bentuk mempertahankan status quo. Dan jika ini terjadi, sudah bisa dipastikan ada yang salah dengan organisasi tertua ini. Mungkin karena sudah tua, jadi banyak khilaf. Salah satunya jadi cepat lupa. Lupa pada sejarah dan lupa diri.

Wahai para tabib modern, belajarlah pada sejarah.

Hal yang Paling Membosankan dari COVID-19





Hari ini, cuaca demikian cerah. Sinar matahari sudah sejak pukul 09.00 pagi mengintip dengan malu-malu di kamarku. Sejak saya indekos disini, lima bulan silam, cuaca memang tidak menentu. Kadang mendung, kadang juga mentari bersinar dengan garang. Seperti sekarang. Karena itu pula, jadwal mencuci, membersihkan dan segala aktifitas mengisi waktu libur bisa saya lakukan.

Setelah kegiatan tersebut selesai dan perut sudah terisi, saya melanjutkan rutinitas lain saat senggang. Sebenarnya banyak yang biasa saya lakukan. Mulai melepas penat dengan berbagai permainan di gawai, berselancar di media sosial, hingga bertemu dan berbincang dengan kawan-kawan disini. Berhubung karena pandemi belum berakhir, pilihan untuk keluar indekos urung saya lakukan.

Bosan dengan permainan daring, saya kemudian mengalihkan perhatianku ke berselancar pada peramban daring. Tujuannya satu; perbarui informasi. Terus terang, karena sadar tingkat awam diri mencapai titik nadir, jenis informasi yang saya sukai ialah nonfiksi. Makanya, mesin pencari saya tujukan pada hal terkait.

Untuk soal jenis, semua informasi bisa saya lumat. Dengan catatan, tingkat akurasi wajib presisi. Sebab saya paham bahwa dunia jejaring mampu menyuguhkan info apapun. Dan sialnya, semuanya tanpa saringan. Makanya diperlukan upaya lebih dalam memastikan kebenaran warta tertentu. Apalagi jika itu berhubungan dengan bidang-bidang spesifik.

Karena latar belakang ilmu saya adalah kesehatan masyarakat, berita terkait lebih sering juga saya telusuri. Salah satunya saya temukan hari ini.

Beberapa hari yang lalu, menteri kesehatan mengumumkan istilah baru terkait COVID-19. Sebutan-sebutan ini  tertuang dalam keputusan Menteri Kesehatan (KMK) nomor HK.01.07/MENKES/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian COVID-19. Disaat bersamaan keputusan ini menggugurkan keputusan terkait sebelumnya.

Dahulu istilah yang awam ketahui seputar virus maharenik hanya ODP (Orang Dalam Pemantauan), OTG (Orang Tanpa Gejala), dan PDP (Pasien Dalam Pemantauan). Ketiganya berubah menjadi Kasus Suspek, Kasus Konfirmasi, dan Kontak Erat. Dengan panjang kali lebar kali tinggi, tiga istilah pengganti ini dijelaskan oleh otoritas tertinggi Indonesia lewat KMK tadi.

Keputusan yang resmi keluar tepat dua hari sebelum aksi pengacau berjubah agama di Senayan silam ini, memang menarik untuk diperiksa. Saat khalayak mulai paham dengan tiga istilah sebelumnya, aturan ini “memaksa” kita untuk mengubahnya. Bagi saya disinilah letak menariknya. Dalam beberapa bulan saja, terma bisa dengan cepat berubah. Upayanya juga tidak main-main, melibatkan tingkat menteri untuk mewujudkannya.

Hal lain yang tidak kalah menarik ialah pilihan diksinya. Untuk istilah sebelumnya, para ahli dan masyarakat kebanyakan bersepakat mengikatnya dalam akronim. Kondisi ini bagi saya bisa dimaklumi. Karena tigapuluh dua tahun saat orde baru berkuasa, kebiasaan menyingkat menjadi salah satu penanda. Lihat saja buku “Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal Tahun 1970” buah tangan Aria Wiratma Yudistira (Marjin Kiri, 2010). Diantara banyak singkatan masa itu, BAKORPERAGON (Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong) yang paling menandai pikiran.

Makanya ODP, PDP, dan OTG dapat dengan mudah dicerna oleh masyarakat. Meskipun selain tiga istilah sebelumnya ini sebenarnya masih banyak lagi. Diantaranya label; transmisi lokal.

Kita kembali pada tiga penyebutan baru terkait Korona. Meskipun semuanya pakai bahasa Indonesia, setelah saya lihat lebih teliti ternyata ada kejanggalan. Terutama kata; Suspek. Jika kita telusuri pada kamus besar bahasa Indonesia, diksi ini ternyata tidak ada. Bisa dibayangkan, bagaimana sulitnya kata ini di kemudian hari akan bisa dipahami oleh masyarakat.

Karena penasaran dengan kata suspek, saya menelusurinya lebih jauh. Kata ini ternyata dari bahasa latin: Suspectare. Selanjutnya disadur ke dalam bahasa Inggris Tengah karena pengaruh pernyebaran dari Perancis Tengah. Selain mengalami perubahan susunan huruf, makna juga berganti. Dalam bahasa Latin, Suspectare bermakna: untuk (sesuatu) yang tidak dipercayai. Sedangkan dalam bahasa Inggris maknanya menjadi: yang dicurigai. Itupun sangat bergantung pada tujuan penggunaannya. Sebagai kata kerja, kata sifat, atau kata benda.

Untuk konteks Indonesia kata ini hanya “dialihkan” dari bahasa asing ke bahasa kita. Yang paling berhubungan penggunaan kata suspek ini untuk makna saat digunakan sebagai kata kerja. Makanya MKM memasukkannya. Itupun tidak diikuti dengan upaya lanjutan melengkapi perbendaharaan kata kita dalam kamus besar bahasa Indonesia. Jangan heran jika kata Suspek tidak ada.

Sekaligus ini bisa membuktikan satu hal. Betapa membosankannya istilah-istilah yang muncul belakangan ini. Apalagi jika otoritas tingkat negara memberitahukan berbagai istilah yang asalnya dari bahasa asing. Disaat bersamaan, awam dipaksa untuk paham.

Semoga tidak patuhnya masyarakat pada berbagai imbauan terkait COVID-19 bukan karena mereka bosan dan tidak paham dengan berbagai istilah yang muncul.

Amin.

Satu Orang Akan Mati Setiap Menit Jika Anda Tidak Membaca Artikel Ini

Bagi pembaca karangan Yuval Noah Harari, istilah-istilah seperti:”computer”, “kecerdasan buatan”, “kumpulan data besar” dan segala ihwal teknis informasi/teknologi tentu tidak asing lagi. Sejarawan asal Israel ini, beberapa tahun belakangan memang cukup menarik perhatian dunia. Terutama sejak buku Sapiens: A Brief History of Humankind (2014), menggebrak khalayak lima tahun silam. Disusul dua buku berikutnya yang tidak kalah fenomenal. Semua orang dibuat takjub dengan karya-karyanya.

Tidak terkecuali saya. Sebagai orang awam yang tuna pengetahuan, cara bertutur profesor di Departemen Sejarah Universitas Ibrani Yerusalem ini, memang berbeda dengan sejarawan lain. Apalagi, saat mengikuti rangkaian analogi buatan lelaki berusia 44 tahun ini. Seolah tercipta jembatan antara masa lalu, kini, dan masa depan.

Salah satu ihwal yang dibahas, terkait masa depan kesehatan masyarakat dan hilangnya profesi tertentu. Menurutnya, peluang hilangnya banyak profesi akan terjadi di masa depan. Tidak terkecuali dokter, lambat laun akan sirna sebab keberadaan ”kecerdasan buatan”. Buktinya terjadi dua tahun silam. Bertempat di rumah sakit Tiantan Beijing, kecerdasan buatan manusia (BioMind) berhasil mengalahkan 15 dokter ahli tumor ketika mendiagnosis tumor otak dan memprediksi hematoma. Meskipun pada uji coba ini masih berkisar tingkat kecepatan dan kualitas akurasi diagnos saja, pelan tapi pasti posisi dokter (manusia) tetap akan terganti.

Inilah yang dikatakan Harari; manusia akan digantikan oleh buatannya sendiri.

Apakah kecerdasan buatan bisa relevan di kondisi (pandemic) sekarang? Jawabanya: iya. Lihatlah kecendrungan kita saat pandemic COVID-19 melanda dunia. Meskipun tingkat keunikan kompleksitas berfikir kita melebihi kecerdasan buatan, kebiasaan terjebak dengan fikiran sendiri masih sulit dihindarkan. Akibatnya, penyakit menular ini gampang menyebar. Munculnya berbagai anjuran (pencegahan) ternyata tidak membikin jumlah yang melanggar ikut berkurang.

Disaat bersamaan, tenaga medis banyak tumbang akibat hal tadi.  Dan, mereka  tertular  COVID-19 karena angka pasien yang tidak kunjung berkurang dari hari ke hari. Artinya, jika tenaga medis (manusia) diganti dengan kecerdasan buatan, disaat bersamaan kejadian penularan antar manusia bisa lebih ditekan, bukan?

Bukti lain dari kinerja kecerdasan buatan ialah sajian informasi kompleks COVID-19 pada data yang diolah oleh salah satu organisasi non-profit konsorsium beberapa negara dan lembaga keuangan (Deep Knowladge Group/DKG). Disitu terdapat rangking 200 negara dalam penanganan Korona. Faktanya, masih banyak yang hingga saat ini belum bisa lepas dari COVID-19.

Penjelasan DKG, pada masing-masing negara berbeda kemampuan memenuhi enam kerangka kerja penanganan pandemi. Saya ambil contoh Indonesia. Tahukah anda Indonesia berada pada posisi keberapa terkait penanganan COVID-19 di dunia? Posisi ke 97. Bayangkan, Negara Kesatuan Republik Indonesia berada jauh dibawah Vietnam (posisi 20), Taiwan (16), Korea Selatan (10), Jepang (5), dan Singapura (4). Negara yang menempati urutan pertama menurut olah data kecerdasan buatan tersebut ialah Swiss.

Kita bisa berdalih bahwa Swiss atau negara-negara yang rangkingnya diatas kita (Indonesia); sudah bagus pelayanan kesehatannya. Pemerintahnya pasti responsif. Komitmen politik disana sudah bagus. Tingkat pendidikan mereka sudah mumpuni. Atau alasan yang paling sering diungkapkan, besarnya dana mereka jauh diatas alokasi dana kita.

Semua tadi memang sulit untuk dibantah. Dan ternyata betul, serangan Korona membuka mata banyak pihak. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan problem mendasar kita: kesehatan masyarakat. Baru empat bulan saja virus ini “berkunjung” di Republik, permasalahan-permasalahan kesehatan terbuka helai demi helai. Mulai dari kecilnya alokasi anggaran untuk kesehatan, minimnya fasilitas pada tempat pelayanan kesehatan, hingga kurangnya kepatuhan masyarakat jadi pelengkap semuanya.

Hal diatas belum termasuk beberapa persoalan terkait politik dalam negeri. Maksud saya, dinamika politik di Indonesia sebenarnya memberikan kontribusi tidak sedikit pada kejadian COVID-19 belakangan ini. Lihat saja pagi tadi (aksi 1607). Sekelompok orang berkumpul didepan gedung DPR/MPR untuk menyalurkan aspirasinya. Bukankah aspirasi mereka sangat eratnya dengan persoalan politik? Di lain sisi dengan berkumpulnya mereka memperbesar peluang si virus berpestapora untuk memperbanyak diri dan tersebar?

Disinilah kondisi dilematis terjadi. Saat pengelola negara berjibaku dalam perang melawan COVID-19, mereka yang ingin menyalurkan aspirasi ternyata sulit juga dibendung. Disaat yang bersamaan, jika tercipta cluster (aksi) 1607, pasti pemerintah kembali yang dipersalahkan. Apakah ini berhubungan dengan komitmen politik? 

Tidak jauh berbeda di tingkat daerah. Soal alokasi anggaran, biaya tes cepat (rapid tes), anggapan Korona adalah konspirasi masih banyak beredar di masyarakat.

Bagi saya, penanganan pandemic di Indonesia sebenarnya tidak melulu hal-hal teknis medis. Hal-hal nonteknis juga seharusnya menjadi perhatian kita. Apalagi jika kita hubungkan dengan keberadaan kecerdasan buatan tadi. Sekedar catatan, kecerdasan buatan ini, meskipun makin kesini mengalami perkembangan, satu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa pendekatannya (hanya) belaka. Apalagi data rasio kematian dari COVID-19 per-Juni menyentuh satu orang yang mati setiap 10.000 orang. Artinya, peluang untuk setiap menit akan ada yang mati bisa terwujud, bukan?

Atau kita memang lebih suka ditangani oleh robot (kecerdasan buatan) dibanding (dokter) manusia?

Entahlah.


5 Sejarah Baru Manusia Saat Ini




Sudah masuk bulan kelima sejak COVID-19 dinyatakan sebagai sebuah Pandemi. Dan saya, sudah lama tidak mencurahkan pikiran di blog ini. Tapi, bukan berarti saya tidak menulis. Terutama ihwal kesehatan Masyarakat. Kebanyakan saya curahkan dalam beberapa kanal dalam jejaring (daring) lain. Salah satu sebab, tema tulisan saya tersebut berkisar tema diluar kesehatan masyarakat. Sosial, politik, hukum, dan lain-lain. Semuanya saya lakukan dalam upaya tetap menjaga kewarasan. Makanya, membaca buku tetap juga saya lakukan. Sebagai penopang tentu saja.

Kembali ke soal COVID-19. Diakui atau tidak, makin kesini, kelakuan makhluk maharenik ini semakin membuat pusing manusia. Yang dalam bahasa epidemiologinya; host. Jumlah manusia yang menurut Wordmeters mencapai 7,7 milyar lebih (2019) dan tersebar di seluruh pelosok dunia ini dibuat kliyengan oleh virus ini.

Salah satu bukti bahwa hampir semua orang menjadi mumet dengan “kehadiran” Korona ditengah-tengah kita adalah munculnya hal baru. Berikut ini lima sejarah yang dicipta manusia sejak badan otoritas kesehatan dunia menetapkan COVID-19 sebagai pandemi dunia.

FLU Biasa

Saat Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Corona Virus Disease-19 (COVID-19) sebagai pandemic dunia, reaksi berbagai kalangan terbagi atas dua kelompok besar. Kelompok pertama adalah mereka yang menerima dan percaya info tersebut, sedangkan yang satunya tidak terima dan percaya.  Dua kelompok ini merata pada semua kalangan. Dari tingkat atas hingga awam kebanyakan. Bahkan kalangan professional kesehatan tidak luput dari gelombang pemisahan tersebut.

Bagi kelompok yang menerima, berita dari juru bicara WHO tersebut adalah tidak mengejutkan. Salah satu sebab, seperti yang dilansir oleh portal berita dalam jejaring (daring) cnnindonesia.com (3/03/2020), COVID-19 adalah evolusi virus SARS jenis ketujuh. Selain itu, fakta mengejutkan lainnya, COVID-19 ini bukan jenis virus baru. Tercatat awal mula teridentifikasi adalah tahun 1960. Bedanya, ketika masa 60-an evolusi dari virus belum secanggih saat ini. Artinya, para ahli ketika itu menganggap virus ini penyebab flu biasa.

Sekaligus informasi diatas, menjadikan kelompok kedua bergeming untuk menolak istilah pandemic. Mereka memperkirakan bahwa virus tahun 1960 sama dengan sekarang. Singkat cerita, salah satu kampanye golongan ini adalah COVID-19 adalah flu biasa. Hal menarik lain dari kaum penolak tersebut di dominasi oleh mereka yang lahir di awal abad 21. Mereka dikenal dengan sebutan generasi milenial.

Saya curiga, “gerakan” kubu penolak tersebut membikin upaya pencegahan penyakit menular ini terkesan jalan ditempat pada masa awal. Lihat saja fakta di lapangan. Tidak ada negara yang luput dari “serangan” virus mematikan ini. Apalagi di awal penyebarannya, para ahli biomolikuler dunia terjebak dalam anggapan bahwa sindrom Korona mirip dengan East Respiratory Syndrome (MERS-Cov) yang menyerang timur tengah tahun 2012.

Deklarasi Perang

Sering berjalannya waktu, dua blok manusia dalam menyikapi penyakit menular ini akhirnya menemui titik temu. Keduanyabertemu pada fakta bahwa mahkluk maharenik ini mematikan. Hal lain yang jadi pemersatu keduanya adalah tumbangnya negara-negara maju dalam menghadapi penyebaran virus ini. Bahkan Amerika yang katanya negara adidaya terlanjur sempoyongan menyikapi kenaikan pasien yang cenderung bertambah disana.

Satu kata dari dua kelompok ini adalah perang melawan COVID-19. Otoritas tertinggi di China misalnya. Sebagai negara yang beberapa bulan kemarin jadi bulan-bulanan karena Korona mulanya menyebar disana melakukan beberapa langkah penting. Mulai dari aspek ekonomi, sosial, pendidikan, hingga lainnya. Pertama-tama, tepatnya awal 2020, mereka melakukan penutupan pasar (basah) tradisional. Ditenggarai, cikal bakal COVID-19 menyebar karena berhubungan dengan prilaku ekstrim pola konsumsi makanan masyarakat di provinsi Wuhan.

Selanjutnya diikuti dengan menghentikan atau pembatasan aktifitas yang mengundang keramaian. Sekolah, pusat perbelanjaan, sarana transportasi (laut, udara, darat), bahkan kantor-kantor tidak luput dari pelaksanaan strategi perang disana. Jika yang sebelumnya ditutup, tidak demikian dengan fasilitas kesehatan disana. Xi Jin Ping dan jajarannya berjibaku meningkatkan kualitas dan kuantitas aspek kesehatan. Termasuk juga tenaga kesehatan disana.

Dentuman genderang perang juga ditabuh oleh banyak negara. Meskipun ada juga negara yang masih menganggap remeh si COVID-19 ini. Ada dua bentuk paling popular dari jenis perang di paruh pertama abad 21 ini. Menutup akses transportasi publik dan pembatasan segala aktifitas sosial (libatkan banyak orang).

Disini juga demikian. Pemberlakuan darurat bencana nasional (13 April 2020) dan Pembatasan Sosial Berskala Besar, adalah dua hal paling kelihatan saat kita telusuri peramban pada gawai ditangan kemarin. Negara berpenduduk 267,7 juta (BPS, 2018) ini, turut serta bergegas dalam “memeriahkan” palagan melawan Korona. Tentu saja ini berujung pada kebutuhan anggaran. APBN 2020-2021 yang telah selesai pemaparannya setahun silam, kembali diutak-atik ibu Sri Mulyani. Tentu saja ini berhubungan dengan “biaya” peran tadi.

Bahkan, pengangkatan panglima perang di lapangan juga tidak terhindarkan. Para Gubernur, Walikota, dan Bupati, turut serta (mendadak) “dilantik” jadi panglima di lapangan. Dengan membentuk gugus tugas tingkat provinsi, kabupaten, kota, se-Indonesia adalah bentuk lain pesta pelantikan dalam arena perang melawan Korona. Sebagai panglima perang di lapangan, mereka kemudian menyesuaikan berbagai hal yang dibutuhkan untuk itu.

Kuncitara vs Daya Tahan Tubuh

Maklumat perang melawan Korona di berbagai negara, ternyata melahirkan beragam tanggapan. Menyusul dua kelompok yang awalnya terpisah akhirnya bersepakat untuk melawan balik COVID-19, polemic baru kemudian muncul. Awam kembali terbelah. Pilihan untuk melakukan Kuncitara atau menyerahkan pada daya tubuh menjadi sumber masalah.

Dilema memilih antara dua opsi diatas ternyata dialami tidak hanya oleh masyarakat kebanyakan. Para ahli kesehatan masyarakat dan penyelenggara negara juga bergabung dalam kebingungan yang sama. Dua alternatif tadi bukan tanpa resiko. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Dan pihak yang beresiko untuk “dikorbankan” adalah masyarakat kebanyakan. Inilah muara kegundahan banyak pihak.

Terlebih, sejak perang melawan Korona di beberapa negara, ekonomi dunia ikut berdampak. Bayangkan saja, ekonomi makro level negara saja bisa goyah apalagi tingkat mikro di masyarakat. Ditambah lagi, antara keputusan Kuncitara dan (menyerahkan pada) Daya tahan tubuh tetap akan berdampak pada ekonomi itu sendiri. Bedanya, jika Kuncitara berlaku praktek jual-beli di tingkat atas hingga bawah akan merasakan dampak langsung. Sedangkan kondisi menyerahkan pada daya tahan tubuh masing-masing, kesan lepas tangan negara pada bentuk penyelesaian masalah kesehatan ini yang kelihatan.

Dengan tergopoh-gopoh, akhirnya memang harus memilih. Ada negara yang memberlakukan Kuncitara dan ada yang menyerahkan sepenuhnya pada daya tahan tubuh warganya. Untuk di republik ini, pilihannya memberlakukan Kuncitara. Meskipun resikonya pada postur anggaran belanja negara sampai daerah beralih fungsi sebagai penopang ekonomi mikro.

Serangan Kedua COVID-19

Setelah beberapa bulan melewati perang, beberapa negara berhasil keluar dari kondisi tidak menguntungkan. Seperti yang kita ketahui bersama, medan tarung manusia melawan virus ini dimenangkan oleh manusia. Salah satu bukti, angka meninggal karena virus berangsur-angsur turun. Hal ini diikuti dengan upaya sungguh-sungguh berbagai pihak bahu-membahu untuk mewujudkan itu.

Dari pihak virus ternyata tidak tinggal diam. Selain menyerang “pabrik” daya tahan tubuh manusia, pengaruh virus kemudian menyerang pusat komando manusia. Kepala tepatnya. Maksud saya bukan berdampak pada kinerja biologis otak, tetapi, keberadaan virus ini ternyata berdampak pada system berfikir bagi sebagian orang.

Tentu kita masih ingat, beberapa waktu lalu muncul isu “konspirasi” dibalik COVID-19. Para pengusungnya tentu saja mereka penganut paham konspirasi garis keras. Golongan terakhir ini bisa berasal dari semua tingkatan. Orang terkemuka, pejabat negara, para penghuni kelas menengah, dan lain sebagainya. Mereka percaya, kemeriahan medan perang ini dorongan dari kelompok pemegang kendali dunia saat ini. Disaat bersamaan, orang-orang tadi membentuk grup baru yang saya istilahkan “Neo-Tolak COVID-19”.

Mereka kemudian dengan secara sadar menyerang semua pihak (termasuk penganut Tolak COVID-19 terdahulu) lewat berbagai saluran. Daring dan luring (luar jejaring). Kampanye menuduh COVID-19 adalah konspirasi dilekatkan pada negara-negara maju. Sebenarnya, kehadiran mereka memang dibutuhkan. Selain sebagai hiburan, juga bisa menjadi pelecut semua pihak untuk lebih sungguh-sungguh dalam mengatasi penyakit menular ini.

Gerakan kelompok ini saya masukkan dalam kategori serangan kedua dari COVID-19, tidak lain karena kecurigaan saya, bahwa mereka tadi sebenarnya juga adalah korban dari pikiran sendiri yang secara tidak sadar telah diserang (pengaruh) Korona. Saat ekonomi makro dan mikro mengalami tsunami, mereka justru menunjukkan upaya kurang simpati ditengah kepanikan publik menghadapi pandemi.

Alih-alih ingin menyadarkan orang banyak lewat penyangkalan bahaya COVID-19, disaat bersamaan mereka mengakui bahwa Korona adalah penyakit berbahaya. Buktinya, salah satu orang terkemuka lewat akun sosial media daring pribadi menantang tenaga kesehatan untuk membayar (lebih) dalam rangka membuktikan bahwa (asumsi) mereka benar. Bukankah ini adalah bukti mereka mengakui Korona adalah penyakit menular dan berbahaya. Karena semakin besar konpensasi sebuah pekerjaan akan berbanding lurus dengan tingkat resikonya.

Ada-ada saja.

Prilaku Baru

Sejarah terakhir yang tercipta dari perang melawan COVID-19 adalah munculnya prilaku baru. Terlebih sejak WHO menetapkan bahwa Korona bisa menyebar melalui udara (9 Juli 2020), akan berdampak pada kualitas kewaspadaan kita. Setelah sebelumnya kita dipaksa untuk; membatasi aktifitas yang melibatkan orang banyak, prilaku-prilaku lain ternyata mengikuti.

Ini kita bisa lihat juga dengan pola interaksi sehari-hari. Terutama di Indonesia. Jika dahulu berjabat tangan adalah symbol keeratan hubungan sosial, sekarang kita sebisa mungkin untuk tidak melakukannya. Waktu lalu, orang-orang akan sangat terganggu dengan perilaku kentut didepan umum, sekarang tidak lagi. Batuk dan bersin (secara serampangan)sebagai penggantinya. Saat ini, kita lebih permisif mendengar kentut orang lain dibanding bersin dan batuk. Padahal ketiganya dari aspek biologis adalah reaksi alamiah tubuh.

Prilaku baru lain yang juga saat ini muncul adalah cuci tangan memakai sabun (CTPS). Terus terang, sebelum penyakit dari Wuhan ini menyerang, saya masuk dalam kelompok yang pesimis pada replikasi prilaku satu ini. Tantangan terberatnya bukan pada isi dan bentuk pesan CTPS itu sendiri. Persepsi banyak orang bahwa CTPS adalah prilaku remeh dan gampang. Disaat bersamaan, anggapan bahwa tangan mereka selalu bersih menggenapi semuanya.

Beruntung COVID-19 muncul. Kita tidak perlu lagi repot-repot menjelaskan bahwa CTPS mampu menurunkan resiko diare hingga 47%. Dimana, diare masih jadi pembunuh nomor satu untuk balita. Atau, konten promosi kesehatan terkait prilaku CTPS mampu mencegah (setidaknya) sepuluh penyakit, dengan sendirinya menjadi pemahaman bersama.

Yang menarik dari munculnya prilaku baru ini adalah sokongan banyak pihak. Lihat saja beberapa tempat. Sarana cuci tangan pakai sabun belakangan ini mengambil tempat sendiri. Secara otomatis memaksa kita untuk beradaptasi. Termasuk juga dengan prilaku lain. Memakai masker misalnya.





***

Demikianlah lima sejarah perkembangan manusia yang tercipta akibat ulah dari COVID-19. Semoga curahan pikiran ini bisa menambah pengetahuan banyak pihak untuk lebih memperhatikan dan mengedepankan berbagai aspek yang berhubungan dengan terciptanya kesehatan masyarakat secara menyeluruh.


Amin Ya Rabbal-alamin.


Disclaimer:
Pesan sponsor. Bagi pembaca yang sedang membaca dan dibayar, berikut ini informasi berharga. Dibawah ini urutan untuk mewujudkannya. Bahkan cukup mudah. Mengisi survei dan dibayar. Jika tertarik ikuti langkah dibawah ini;

Pertama, mendaftar lewat peramban disini

Kedua, Isi form yang ada

Ketiga pilih survei yang anda minat ikuti

Keempat, tunggu bayarannya di transfer.