Tampilkan postingan dengan label KESLING. Tampilkan semua postingan

Jadi Pencemar atau Pencegah



Membincang seputar sanitasi, terutama dalam lingkup rumah tangga, bagiku bukan hal baru lagi. Setidaknya, mulai dari tahun lalu sudah mulai saya coba sampaikan. Terlebih dalam laman pribadi ini. Tujuannya cuma satu, masyarakat awam jadi paham masalah mendasarnya. Teristimewa jika itu mengancam namun tidak disadari. Karena bagi saya, cepat atau lambat penanggulangan masalah sanitasi harus diutamakan.

Hari ini, kepala berita salah satu koran nasional membahas khusus soal ini. Bukan tanpa alasan, menurut saya. Untaian kata terurai jadi pokok bahasan dalam koran tersebut berhubungan dengan peringatan hari ini, Hari Toilet Sedunia. Selain itu, juga dalam rangka menarik (sedikit) perhatian kita pada masalah limbah domestic. Sialnya, hingga sekarang masih saja ini belum jadi prioritas. Setidaknya kebanyakan dari kita. Mungkin ada hubungannya dengan “letak” dalam pembagian ruang rumah kita. Dibelakang. Jadi tidak diindahkan.

Namun apakah karena letaknya di bagian belakang rumah, menjadikan bahasan sanitasi ikut-ikutan tidak penting ?Menurut saya, justru sebaliknya. Ini penting. Apalagi mencakup berbagai dampak buruk. Misalnya berpengaruh pada kualitas air.

Jika kita mengacu pada bahasan media cetak tadi, meski sudah ada provinsi dengan akses sanitasi layak diatas 80%, tidak menjadikan program 100 – 0 – 100 di tahun 2019 bisa terwujud dengan mudah. Penyebabnya, jika diakumulasi 30 provinsi dan memasukkan variable akses sanitasi layak, persentasnya hanya menyentuh angka 76%. Ini belum termasuk aspek kepemilikan sarana pengolahan limbah domestic (IPLT) pada tingkat provinsi, baik berfungsi secara optimal atau bahkan belum memiliki. Angka tersebut tentu akan semakin menurun.

Tapi tenang, pengelola negara hingga saat ini baru memasukkan kategori sanitasi layak. Jika dinaikkan statusnya jadi sanitasi aman, akumulasi persentasi akses tadi saya yakin akan turun. Perbedaan mendasar antara sanitasi layak dan aman, telah saya bahas disini.

Meskipun sampel dari media diatas adalah DKI Jakarta, tetap saja kondisi tidak jauh berbeda terjadi 
di provinsi lain. Terutama masyarakat perkotaan. Karena di kota, lahan jadi masalah pokok. Mungkin kita pernah mendengar jarak ideal penampungan tinja dan sumber air (sumur) adalah 10 meter. Dan, mungkin (lagi) jarak tersebut sudah kita (upayakan) penuhi di rumah kita. Namun bagaimana dengan tetangga ?Bagaimana jika penampungan tinja mereka bersebelahan dengan sumber air rumah kita ?Parahnya lagi, jika dari sumber tersebut digunakan untuk minum. Bukankah secara tidak langsung kita minum air tinja tetangga ?Maaf.

Masalah ini belum seberapa, jika ternyata disandingkan dengan fakta prilaku buang air besar sembarang masih jamak. Apalagi jika sumber air baku (sungai, kali, mata air, dll) sebuah sebuah kota jadi sasaran masyarakatnya. Bisa dibayangkan, bukan?

***

Gambaran diatas bukan imajinasi saya semata. Karena jika mau jujur, pernahkah kita bertanya pada keluarga dan orang sekitar, apakah penampungan tinja sehari-hari pernah disedot ?kalaupun pernah, apa penyebabnya? Jika belum pernah, kira-kira kemana tinja yang kita hasilkan setiap hari? Terserap ketanah, tentu saja. Sangat menjijikkan bukan. Apalagi jika diakumulasi dengan jumlah tahun kita hidup.

Saya ambil contoh disini.

Sejak akhir tahun 2016 saya berada di Provinsi Maluku. Tepatnya kabupaten Maluku Tengah. Jika kita mengacu pada koran milik Jakob Oetama hari ini, Provinsi Maluku masuk dalam sepuluh besar provinsi pemilik akses sanitasi layak. Tidak tanggung-tanggung, angkanya menyentuh pada titik 84,6%. Cukup menggembirakan, bukan?

Satu sisi ini cukup menggembirakan. Disisi lain, jika angka tersebut benar adanya tentu masih perlu pemeriksaan lebih jauh. Diantaranya, apa saja kategori dari sanitasi layak tadi ?Pun kita berandai-andai, kategori sanitasi layak tadi adalah penampungan tinja kedap, pertanyaan kembali muncul. Sudahkah 11 kabupaten/kota memiliki sarana pengolahan lumpur tinja ?

Kepemilikan sarana tersebut untuk saat ini tentu jadi soal terpisah pada peningkatan sarana sanitasi. Namun bukan berarti tidak penting untuk jadi perhatian 9 Bupati dan 2 Walikota di Provinsi Maluku. Karena bagaimanapun, jika kita bersepakat bahwa memiliki penampungan tinja kedap adalah sebuah keniscayaan, maka memiliki sarana pengolahan lumpur tinja tingkat kabupaten/kota tadi jadi sebuah keharusan dengan sendirinya.

Akhir kata, dalam rangka peringatan hari toilet sedunia kali ini, sebaiknya kita renungkan pertanyaan; sudah berapa kubik kita dan keluarga turut serta dalam berbagai bentuk pencemaran tanah akibat limbah sendiri ?

Tabik.

Menjadi Tetangga yang Baik

Sumber: www.plukme.com



Membahas manusia, senantiasa menyisakan banyak hal menarik. Diantaranya, terkait tema manusia sebagai salah satu makhluk social. Kenapa saya memasukkan kata “salah satu”, karena bukan hanya manusia satu-satunya makhluk di muka bumi yang mendapat gelar ini. Ambillah contoh; lebah. Mereka juga tergolong makhluk social. Tentu saja ini berhubungan dengan fakta; lebah terbiasa hidup dalam koloni. Benang merah antara masing-masing kelompok makhluk yang hidup secara social adalah altruism.

Terkait sifat altruism dan dengan menggunakan pertidaksamaan (matematika) Hamilton, sebenarnya kita bisa mendapat akar penjelasan terkait sebab manusia adalah makhluk social. Ialah, hubungannya pada kesuksesan mekanisme tubuh manusia menyalin gen altruism pada manusia lain yang memiliki ikatan karabat (darah). Disaat bersamaan gen tersebut jadi fondasi tercipta hubungan antara manusia dengan manusia yang lain.

Namun begitu, memiliki gen altruism tidak melulu berdampak baik. Salah satu dampak buruk ialah tercipta ketergantungan antar sesama manusia. Dalam artian, selama ketergantungan tadi maknanya jadi saling menguntungkan tentu tidak soal. Tapi, saat kondisi yang tercipta hanya menguntungkan sebagian manusia atas manusia lainnya, ihwali pengisapan manusia atas manusia akhirnya tidak tercegah. Inilah dampak buruk dari gen altruism.

Berbicara gen altruism, kita akan sulit melewatkan kenyataan gen itu ada hubungannya dengan kondisi terkini; manusia hidup berdampingan. Bahasa sederhananya, bertetangga. Dan ini satu fakta yang sulit dipungkiri. Meskipun Zygmunt Bauman secara metaforis menenggarai penyebab gerak perubahan sosial (manusia) karena maraknya “turisme”, “ziarah”, dan “petualangan”, tetap saja keberadaan tetangga dalam kelompok manusia tidak bisa dihilangkan begitu saja.

Sejarah manusia hidup bertetangga

Sebelum lanjut dengan metagagasan manusia hidup bertetangga dan kesehatan masyarakat, menurut hemat saya penting untuk tahu sejarah manusia hidup bertetangga terlebih dahulu.

Dari berbagai dokumen terkait sejarah perkembangan manusia dalam hidup berdampingan, faktanya; manusia mulai hidup dalam koloni-koloni di suatu tempat dan tidak berpindah-pindah (nomaden) lagi ialah sejak 10.000 tahun silam. Salah satu tanda dari kondisi ini ialah “Revolusi Neolithik”, meminjam istilah Gordon Childe (The Most Ancient East, Roudledge 1928). Revolusi ini sendiri bermakna: saat manusia menemukan cara untuk menerobos keterbatasan sosio-kultural adalah menghasilkan agricultural, system kepercayaan/ideology yang terorganisir, serta ledakan pendudukan. Sebagai penanda Revolusi Neolitik ini terjadi saat zaman Perunggu.

Salah satu hal yang mendorong revolusi perkembangan manusia ketika zaman perunggu ialah saat 12.000 tahun silam ketika zaman es berakhir. Dampaknya, banyak tercipta daratan dan oase kecil bermunculan. Dengan serta-merta “memaksa” hewan dan manusia hidup berdekatan dengan sumber air. Hal lain dari berakhirnya zaman es ialah punahnya hewan-hewan besar. Setelah sebelumnya menjadi sumber makanan manusia lewat bangkai ketika diantara hewan-hewan tadi saling memangsa. Dalam artian manusia saat itu dapat makanan lewat memulung bangkai hewan mati.   

Setelah manusia akhirnya memutuskan hidup dalam gerombolan dan menetap pada satu tempat, masalah tidak selesai. Selain akhirnya mendorong manusia untuk bercocok tanam, masalah pemenuhan kebutuhan protein hewani muncul. Disinilah, budaya domestifikasi hewan menemukan ruang untuk dimulai. Seiring berjalannya waktu, persoalan baru kemudian mengemuka, yaitu: ancaman terkait kebersihan lingkungan yang buruk dan sanitasi buruk.

Berdasarkan kenyataan tersebut, kita dapatkan fakta; permasalahan (kebersihan) lingkungan dan sanitasi buruk sudah ada sejak pertama kali manusia memutuskan untuk hidup bergerombol ketika zaman perunggu. Artinya, kebersihan lingkungan yang buruk dan sanitasi adalah masalah klasik saat manusia hidup bertetangga.

Bagaimana dengan sekarang?

Jadilah Tetangga yang Baik

Baru-baru ini, saya mengikuti sebuah bengkel kerja. Kegiatan ini sendiri pemrakarsanya adalah program terkait sanitasi dan air minum dan diadakan oleh sebuah lembaga yang dibiayai masyarakat asal negeri paman Sam. Dalam kesempatan tersebut hadir pula para undangan dari wakil kelompok masyarakat sipil, perwakilan lembaga pemerintahan bidang kesehatan (setingkat provinsi), dan juga wakil lembaga pemerintah bidang perencanaan tingkat nasional.

Dalam pertemuan tersebut, diperkenalkan jargon perubahan prilaku; “ Menjadi Tetangga yang Baik”.
Jika kita kembali pada fakta saat manusia pertama kali hidup bertetangga, maka salah satu masalah yang muncul adalah kebersihan lingkungan dan sanitasi buruk. Tiba pada keadaan tersebut, jargon “Menjadi tetangga yang baik” menurut saya jadi sangat relevan. Ada dua landasan argumen untuk mendukung tingkat relevansinya.

Pertama, aspek sejarah perkembangan manusia. Berdasarkan informasi diatas, sejak 10.000 tahun silam ketika manusia mulai hidup bertetangga masalah pertama yang muncul ialah tersangkut kebersihan lingkungan dan sanitasi, tidak berlebihan kiranya jargon ini jadi menemukan tempat untuk diterapkan. Selain itu, untuk konteks Indonesia, menjadi tetangga yang baik tentu saja jadi tantangan tersendiri. Terutama untuk masyarakat yang hidup di perkotaan (Urban).

Bukan apa-apa, saat masyarakat kota berhadap-hadapan dengan berbagai masalah terkait kemiskinan, ketimpangan ekonomi, serta ancaman bencana ekologis dalam hidup bertetangga secara tidak sadar kita sering terjebak ke kubangan individualistik nan egois akut. Jadi jangan heran jika semuanya berujung pada sikap masa bodoh dengan sekeliling kita, termasuk didalam itu para tetangga.

Landasan argumentasi kedua dari jargon diatas ialah; jawaban permasalahan masyarakat kota. Seperti yang kita ketahui bersama, beberapa waktu silam Badan Pusat Statistik telah merilis persentasi masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan. Bayangkan, sampai menyentuh angka 52 %, tidak hanya itu, bahkan ada kecendrungan bertumbuh tiap tahun. Jika sebatas angka saja tentu tidak masalah. Tapi, bagaimana jika angka tadi disandingkan dengan luas wilayah perkotaan.

Tentu saja masalah (kembali) bermula.

Dengan jumlah luas kota yang tidak bertambah, namun penghuni semakin banyak, niscaya akan bermuara pada tanggung jawab pada lingkungan. Sekali lagi tidak terkecuali saat hidup bertetangga. Soalnya bukan sebatas kemampuan tebar senyum pagi hari ke tetangga, namun pada sebarapa mengerti kita pada kewajiban bersama dalam hidup bertetangga. Salah satunya, seberapa aman dan nyaman tetangga kita terhadap segala bentuk tindak laku kita. Misalnya, apakah tangki penampungan tinja kita tidak mencemari sumber air tetangga?           

Nah, kenyataannya, dengan hamparan luas perkotaan yang tidak bertambah memaksa rumah yang dibangun tentunya akan berdekatan. Atau dengan kata lain, perumahan di perkotaan itu padat. Disaat bersamaan, jika mengacu pada PermenPUPR 33/2016 tentang jarak “ideal” antara sumber air (sumur dangkal) dan tangki penampungan tinja adalah diatas 10 meter. Bukankah ini mustahil. Pun, kita mampu membangun dengan jarak yang sesuai dengan aturan tersebut, pertanyaannya, bagaimana dengan rumah tetangga?

Disinilah jargon “Menjadi Tetangga yang Baik” menemukan tempat untuk bekerja. Bentuknya bisa dengan memastikan tangki penampungan tinja kita tidak menjadi penyebab tercemarnya sumber air tetangga. Bagaimana caranya? Tentu saja dengan membikin tangki penampungan tinja di rumah kita kedap. Ini bukan satu-satunya solusi tentu saja, minimal, satu potensi masalah antara hidup bertetangga jadi terhindar. Terutama untuk menjawab tantangan bangunan rumah yang padat di perkotaan.

Namun, apakah jargon ini selamanya bisa bekerja. Menurut saya tidak juga. Terutama bagi mereka yang mengidap ochlophobia (takut akan keramaian).

Jadi, jika anda tidak mampu menjadi tetangga yang baik, saran saya, sebaiknya periksa diri ke psikiater. Jangan-jangan anda pengidap ochlophobia.

Tabik.

FAKTA AIR MINUM DAN KERANGKA KERJA MODEL INTEGRASI PRILAKU

Sumber gambar: Beritasatu.com


Membincang perubahan prilaku, menyisakan beberapa pertanyaan. Salah satunya, bagaimana bentuk perubahan prilaku saat dihubungkan dengan kesehatan masyarakat. Salah duanya, terkait panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk terciptanya perubahan prilaku itu sendiri.  Dan masih banyak lagi.

Salah satu rujukan yang bisa digunakan dalam mendedah ihwal perubahan prilaku adalah Psikologi Komunikasi besutan Jalaludin Rakhmat. Dalam buku itu, dengan ciamik Kang Jalal (begitu orang-orang memanggilnya) menjelaskan segala hal yang berhubungan dengan komunikasi. Mulai dari aspek psikologi, hingga berbagai faktor yang mempengaruhi komunikasi yang efektif.

Berangkat dari kondisi itu, membicarakan perubahan prilaku menjadi sedemikian menariknya. Selain berhubungan dengan kesehatan masyarakat, juga karena kita sulit ingkar pada frasa “ Tidak ada yang tidak berubah di bawah matahari”. Dari sinilah saya akan memulai membahas terkait perubahan prilaku itu sendiri.

Jika titik berangkat kita pada kajian komprehensif  Kang Jalal, mendedah perubahan prilaku bisa dimulai pada faktor-faktor personal yang mempengaruhi prilaku manusia ( Hal: 32). Menurutnya ada dua hal bisa menjadi perhatian, pertama melalui pendekatan yang berpusat pada personal dan kedua melalui pendekatan yang berpusat pada situasi. Untuk yang pertama kita akan mempertimbangkan berbagai hal yang berhubungan dengan kebiasaan, sikap, motif, instink, dan lain sebagainya. Dan untuk yang kedua berhubungan dengan aturan, normal sosial, dan lain sebagainya.

FAKTA AIR MINUM

Beberapa hari yang lalu, saya berkesempatan gabung dalam sebuah kegiatan Bengkel Kerja Penyusunan Strategi Perubahan Prilaku Dan Pemasaran Sektor Air Minum, Sanitasi, Dan Prilaku Hygiene. Kegiatan ini sendiri diprakarsai oleh USAID, BAPPENAS, dan KEMENKES di Jakarta. Dalam kesempatan tersebut berbagai lembaga/organisasi mengambil bagian. Baik itu organisasi pemerintah maupun lembaga non pemerintah. Mulai dari tingkat kabupaten/kota hingga lembaga International.

Yang mencengangkan ialah paparan terkait fakta air minum, bahwa kadar E.Coli pada air minum tingkat rumah tangga adalah 67%, dan kadar E.Coli pada air minum pada sumber adalah 89% (Survei Kualitas Air; UNICEF dan BPS, 2015). Menariknya lagi, untuk pilihan teknologi pengolahan air minum jenis memasak  ternyata tidak ada pengurangan signifikan dari kadar E.Coli itu sendiri. Masih dalam survei yang sama, didapatkan fakta bahwa berkurangnya E.Coli dalam air minum tidak sampai 10%.

Terlepas dari lokasi survei tersebut adalah di Yogyakarta, tetap saja informasi diatas cukup mengganggu, bukan? Karena bisa jadi ini juga terjadi pada 99 kota dan 416 Kabupaten di Indonesia.
Selain terkait kualitas air minum, dalam kegiatan yang sama, program USAID IUWASH PLUS berkesempatan juga memaparkan hasil Study Formatif pada 9 Provinsi ( Sumatra Utara, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, dan Papua) di tahun 2017.

Fakta pertama dalam studi formatif tersebut adalah terkait akses air minum. Dari tiga tahapan (Observasi, survei rumah tangga, FGD, dan Wawancara mendalam) didapati bahwa cakupan air minum yang paling banyak adalah bersumber dari air isi ulang (39%). Bahkan air minum yang bersumber dari perpipaan (33%) masih kalah dibandingkan dengan sumur bor sebagai sumber air minum (36%).  

Fakta kedua, terkait pilihan rumah tangga dalam mengolah air sebelum diminum. Dari studi tersebut terungkap bahwa 84,4% rumah tangga memilih untuk memasak. Dan masih ada yang meminum langsung, sebesar 7%.

Jika kita hubungkan fakta kedua diatas dengan Survei Kualitas Air (SKA) yang dilakukan oleh UNICEF dan BPS, terkait kadar E.Coli pada air minum, sebenarnya tidak melulu berhubungan dengan pilihan pengolahan air saja. Hal yang patut dipertimbangkan adalah aspek wadah penyimpanan air minum dan tahapan dalam melakukan pengolahan air  sebelum diminum. Untuk itulah kita bisa lihat dari fakta berikutnya.

Fakta ketiga, 35% responden membersihkan wadah di hari yang sama ketika survei dilakukan. 34,5% responden membersihkan wadah air minum sehari sebelumnya. Dan 22,5% melakukannya kurang dari seminggu. Untuk hal yang terkait dengan tahapan dalam merebus, dari 3458 responden terungkap bahwa 57% menyatakan bahwa langsung mematikan kompor ketika air sudah mendidih.
Apakah tuan dan puan sudah bisa menghubungkan antara SKA dan Studi Formatif ?

Jadi, menurut saya, tingginya presentasi E.Coli pada air minum yang telah direbus bisa jadi berhubungan pada intensitas aktivitas membersihkan wadah penyimpanan air minum tadi. Bahkan, tidak menutup kemungkinan juga dipengaruhi kebiasaan mematikan kompor seketika air dipandang telah mendidih.

Ini jadi masalah, tentu saja. Bagaimana jika hal tersebut dihubungkan dengan perubahan prilaku?

PROGRAM PERUBAHAN PRILAKU

Pada hari kedua masih pada kegiatan bengkel kerja tersebut, kami kemudian menyusun fakta-fakta yang dipaparkan hari pertama ke dalam sebuah strategi bentuk kegiatan atau program. Alat yang digunakan adalah Kerangka kerja Model Integrasi Prilaku WASH (MIP WASH). Alat ini masih tergolong baru, setidaknya menurut saya.

Secara sederhana MIP WASH ini adalah metode berfikir sistem yang mencakup 5 tingkatan dihubungkan dengan tiga aspek. Untuk tingkatan, imulai dari tingkatan paling bawah adalah kebiasaan individu. Tingkatan selanjutnya adalah Perorangan, kemudian diikuti dengan tingkat rumah tangga, selanjutnya komunitas, dan yang tertinggi adalah sosial.

Sedangkan untuk tiga aspek yang ada antara lain: aspek kontekstual, aspek psikososial, dan terakhir dengan aspek teknologi.

Sebagai contoh tingkatan kebiasaan individu ketika dihubungkan dengan aspek teknologi, kita akan bisa melihat fakta bahwa hal ini berhubungan dengan kemudahan dalam menggunakan teknologi tersebut. Artinya, sebuah teknologi akan dengan mudah diterima jika lebih mengutamakan kemudahan dalam menggunakannya.

Atau contoh lain, saat tahapan rumah tangga ketika dihubungkan dengan aspek psikososial melulu berhubungan dengan norma sosial, rasa malu, dan aspirasi yang terakumulasi.

Dan seterusnya.

Kita kembali pada kegiatan bengkel kerja dua hari ini. Setelah memberi penjelasan singkat terkait kerangka kerja MIP WASH ini, kemudian kami peserta dibagikan beberapa informasi/fakta yang muncul ketika studi formatif dilakukan. Setelah itu dipilah dan dipasang pada kolom potongan tahapan dan aspek tadi.

Faktanya juga beragam. Mulai dari fakta yang berhubungan dengan regulasi (tahapan sosial dan aspek kontekstual), Lokasi bagunan sarana sarana air minum (tahapan komunitas dan aspek teknologi), hingga nilai diri, pengetahuan, rasa jijik (tahapan perorangan dan aspek psikososial).
Dari sini kemudian, akhirnya peserta bisa menentukan bentuk intervensi/kegiatan apa yang bisa dilakukan terkait perubahan prilaku itu sendiri.

Hasilnya beragam.

Di penghujung hari kedua, peserta bengkel kerja akhirnya tersadar bahwa kerangka kerja MIP WASH ini sejatinya bisa digunakan dalam menentukan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat. Dan tidak hanya terikat pada soal air minum dan sanitasi saja.

***

Tentu saja kegiatan ini merupakan angin segar dengan catatan peserta bengkel kerja yang juga berasal dari perwakilan sembilan provinsi mampu menerapkan kerangka kerja MIP ketika menyusun berbagai program kesehatan masyarakat. Namun akan menjadi sia-sia jika wakil dari pemerintah hanya menikmati fasilitas mewah dari tempat pelaksanaan kegiatan tersebut, dan tidak lebih.


Entahlah.  

Disclaimer:
Pesan sponsor. Bagi pembaca yang sedang membaca dan dibayar, berikut ini informasi berharga. Dibawah ini urutan untuk mewujudkannya. Bahkan cukup mudah. Mengisi survei dan dibayar. Jika tertarik ikuti langkah dibawah ini;

Pertama, mendaftar lewat peramban disini

Kedua, Isi form yang ada

Ketiga pilih survei yang anda minat ikuti

Keempat, tunggu bayarannya di transfer.

SANITASI dan Air Minum Tahun 2018




Tidak terasa, beberapa hari kedepan kita tinggalkan tahun 2017 dan masuk tahun 2018. Yang bagi sebagian orang di beberapa kabupaten/kota serta provinsi adalah tahun politik. Apakah tahun depan hanya melulu ihwal politik saja ? bagi saya tidak. Hal lain yang menjadikan tahun depan menarik ialah evaluasi kondisi sanitasi dan air minum dalam rangka mewujudkan Universal Access 2019 (UA2019).

Bagi tuan dan puan yang baru mendengar dua kata terakhir diatas, izinkan hamba memberikan secuil gambaran terkait sebagai pembuka tulisan ini.

Program UA2019 adalah program yang mencakup pencapaian tiga aspek. Akses terhadap air minum yang layak (100%), aspek kekumuhan (0%), dan aspek sanitasi yang aman (100%). Sehingga program ini dikenal juga dengan jargon 100-0-100. Ketiga aspek tadi diharapkan tercapai di tahun 2019 pada 30 provinsi di Republik ini. Sekali lagi ini merupakan penjabaran dari salah satu amanat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025: “Pembangunan dan penyediaan air minum dan sanitasi diarahkan untuk mewujudkan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat”

Kita kembali pada jawaban pertanyaan awal paragraph pertama tulisan ini.

Apakah gaung UA2019 ini begitu terasa? Jawabannya bisa iya bisa juga tidak. Iya, karena para penyelenggara negara begitu seriusnya dalam mewujudkan mimpi terkait sanitasi di tahun 2019 ini. Salah satu sebabnya program ini masuk dalam NAWACITA pemerintahan Jokowi. Sehingga jangan kaget jika komitmen ini berbuah beragam kegiatan di tingkat masyarakat. Mulai dari hasil prakarsa lembaga pemerintah --dari kementrian hingga Satuan Kerja Pemerintah Daerah—hingga lembaga non pemerintah.

Bahkan, sumber anggarannya beraneka ragam. Mulai dari Pendapatan Asli Daerah, hingga sumber lain-lain penerimaan daerah yang sah. Namun pertanyaannya kemudian; mengingat tidak sedikit upaya serta lembaga atau program yang telah jalan untuk mewujudkan UA2019, apakah berlebihan jika di penghujung tahun 2017 ini kita optimis?

Bagi saya, rasa optimis ini kita tahan dulu. Bukan karena besarnya energy yang dihabiskan untuk keluar dari permasalahan sanitasi, air minum dan kekumuhan tadi adalah sia-sia belaka. Namun, apakah semangat yang sama juga dirasakan oleh masyarakat sebagai subyek dari program tersebut. Disinilah soalnya bermula.

Hal lain yang masih perlu untuk ditelaah adalah tingkat pemahaman masyarakat kita terkait pentingnya sanitasi yang aman, pengolahan air minum yang layak, serta keluar dari kondisi kumuh itu sendiri. Karena jika ketiga aspek diatas bisa terwujud, yang paling merasakan manfaatnya adalah masyarakat itu sendiri. Dan menariknya, tanpa bermaksud menyampingkan aspek kumuh, kenyataannya antara sanitasi yang aman dan air minum yang layak sebenarnya saling berhubungan.

SANITASI dan PERTUMBUHAN PENDUDUK

Jika kita mengacu pada data Bank Dunia, populasi penduduk Indonesia di desa dan kota pada tahun 2010 mengalami lonjakan cukup berarti. Bahkan, di tahun 2015 terdapat sekitar 54% atau 110-130 juta jiwa dari total jumlah penduduk Indonesia yang bermukim di Kota. Dari sini kita bisa berkesimpulan bahwa sejak tahun 2010 minat masyarakat pedesaan untuk datang ke kota sangat besar. Yang disaat bersamaan juga akan memberi dampak pada peluang terciptanya masalah kesehatan baru. Salah satunya pemukiman. Termasuk didalamnya sanitasi, sumber air minum dan kekumuhan tadi.

Inilah yang sebelumnya saya katakan sebagai permasalahan dimana hubungannya dengan pemahaman. Tanpa bermaksud menggugat aras niat mereka untuk urbanisasi, bagi saya mimpi untuk mengais secuil rejeki di kota adalah sah-sah saja, masalahnya kemudian ialah; tanpa dibekali sebuah rencana yang matang bukankah jusru hanya menjerumuskan diri pada masalah kesehatan baru.

Sebabnya tidak lain karena 54% masyarakat Indonesia yang bermukim di daerah perkotaan masih belum bisa keluar dari permasalahan mendasar seputar sanitasi dan air minum, apa lagi kekumuhan itu sendiri. Bayangkan, data dari Asian Developmen Bank (2013) dan UNICEF (2012) dari 110-130 juta jiwa yang hidup di perkotaan, sekitar 62% rumah yang menggunakan tangki septik tanpa melalui pengolahan air limbah. Belum lagi dari total jumlah penduduk yang diperkotaan tadi sekitar 14% masih berprilaku buang air besar sembarangan.

Bisa dibayangkan bagaimana kesemrawutan yang terjadi di kota, bukan? Sialnya jika hal ini tidak menjadi perhatian dari para pelaku urbanisasi yang jamak dilakukan pada arus balik paska peringatan hari-hari besar agama tertentu. Apalagi mereka yang saat ini tengah bermukim di perkotaan.

Masalah lain terkait pertumbuhan penduduk dan sanitasi/air minum adalah pada masyarakat yang telah mendiami perkotaan. Selain pertumbuhan penduduk akibat dari urbanisasi, bukankah jumlah pertumbuhan penduduk juga terjadi karena banyak faktor. Salah satunya perkawinan dan mobilisasi penduduk antar daerah perkotaan itu sendiri. Dan bukan tidak mungkin bisa berimplikasi pada meningkatnya permasalah sanitasi dan air minum.

Berangkat dari permasalahan diatas, pertanyaan lanjutannya ialah apa yang bisa dilakukan, terkhusus untuk masyarakat perkotaan atau mereka yang berniat untuk bermukim di perkotaan?

SOLUSI

Untuk menjawab ini, terlebih dahulu saya ingin memulai dengan sebuah informasi kesehatan yang mengatakan konon jarak yang aman untuk membangun penampung limbah kloset dengan sumber air adalah 10 meter.

Secara sepintas tidak ada yang keliru dengan pernyataan ini. Namun jika dua pintas, apakah jarak tersebut memungkinkan diterapkan pada masyarakat kota dimana pemukimannya dari hari kehari semakin padat? Jawabannya tentu saja tidak. Sehingga diperlukan sebuah jalan keluar untuk konteks masyarakat perkotaan yang makin padat dari hari ke hari.

Salah satu jalan keluarnya adalah penampung tinja harus dibangun kedap. Sehingga meskipun berdampingan dengan sumber air, tidak ada masalah yang mengikuti. Namun, ihwal penampungan tinja ini tidak berhenti ternyata. Karena pun jika dibangun kedap, bukankah peluang untuk menjadi penuh kemudian mengancam.

Disinilah kemudian dibutuhkan informasi terkait pilihan teknologi dan system pengolahan lumpur tinja. Salah satu pilhan teknologinya adalah upflow filter. Atau, salah duanya dengan membangun resapan pada bak kedua setelah bak penampungan tinja yang kedap . Selain itu, seperti yang saya katakan diawal paragraph ini, system pengolahan lumpur tinja juga harus berjalan. Untuk bagian yang terakhir ini adalah adalah menjadi peran dari pengelola negara, terlebih lagi tingkat satuan pelaksana pemerintah daerah.

Berangkat dari kondisi tersebut, bagaimanakah dengan system pengolahan limbah rumah tangga kita, masing-masing? Atau untuk mereka yang tergoda melakukan urbanisasi, sudah matangkah persiapan anda terkait hal diatas ? jika belum, silahkan berfikir kembali sebelum menjadi penyumbang baru terhadap berbagai kerusakan  tanah dan sumber air baku yang dari hari ke hari semakin sempit di perkotaan.


Salam takzim.

MERDEKA dari TINJA sendiri




Merdeka.

Sekoyong-konyong kata merdeka kembali berkumandang, terutama pada bulan ini. Agustus. Tentu saja bukan tanpa makna. Salah satunya, karena Agustus ini, kita, bangsa Indonesia memperingati hari lahirnya. Lahir sebagai bangsa dan negara yang berdualat. Makanya kata itu begitu menyihir ketika dikumandangkan pada beberapa dekade lalu menjelang detik-detik pembacaan proklamasi oleh sang dwitunggal Republik ini.

Bagaimana dengan hari ini ? Apakah makna merdeka telah hadir dalam kehidupan sehari-hari kita.

Jika mengacu pada KBBI 5.0, kata merdeka bermakna;1 bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya); berdiri sendiri, 2 tidak terkena atau lepas dari tuntutan, 3 tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; leluasa. Artinya, merdeka itu lebih melekat pada sebuah kondisi yang bebas dari belenggu. Baik itu perorangan maupun kelompok. Lawannya tentu saja adalah sebuah kondisi dijajah.

Nah, kira-kira apa hubungan definisi kata merdeka dan tinja.

MERDEKA dari TINJA



Hubungannya akan dimulai dari melihat informasi pertumbuhan demografi Indonesia terlebih dulu. Berdasarkan data dari BPS;  laju pertumbuhan penduduk Indonesia pertahunnya adalah 1,38 % (per-Maret 2017). Sekilas angka ini tentu kecil sekali. Apalagi jika dibandingkan dengan presentasi pertumbuhan penduduk pada rentang tahun 1971-1980; 2,38 %.

Namun saat dua kilas, angka 1,38% tersebut cukup besar saat dihubungkan dengan jumlah penduduk sekarang ini. Adalah sekitar 2 jutaan penduduk bertambah tiap tahunnya. Anda tidak percaya ? silahkan kalikan presentasi pertumbuhan penduduk diatas dengan total penduduk Indonesia. Ini kita belum berbicara soal bonus demografi yang nantinya menjadi ancaman di Republik ini.

Dengan angka 2 jutaan jiwa yang bertambah tiap tahun di Indonesia, kira-kira bagaimana dengan tinja mereka dan pengolahannya. Disinilah menurut saya persoalan bermula. Jika tidak percaya, mari kita lihat data dari WHO dan UNICEF. Dari kedua badan dunia tersebut (dalam Join Monitoring Program) pada tahun 2015, sekitar 51 juta jiwa penduduk Indonesia masih Buang Air Besar Sembarangan (BABS). Angka ini tidak main-main, karena seperlima dari penduduk Indonesia ternyata masih BABS.

Sehingga, tidak berlebihan kiranya jika saya menghubungkan prilaku BABS dengan kondisi tidak merdeka. Saya punya 3 alasan.

Alasan pertama. Prilaku BABS adalah sebuah bentuk kesewang-wenangan terhadap alam. Karena dengan mempertahankan prilaku tersebut, secara tidak sadar kita (pelaku BABS) sedang meningkatkan kadar Biochemical Oksigen Demand (BOD) dan Chemical Oksigen Demand di air dan yang terparah adalah meningkatnya kadar E Coly. 

Dan sialnya, menurut Direktorat Jendral Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan; dari 100 aliran sungai pada 33 provinsi di Indonesia, 51 sungai sudah berstatus cemar berat, 20 aliran sungai berstatus cemar sedang hingga cemar berat, 7 sungai berstatus cemar ringan hingga berat, dan sisanya 21 sungai berstatus cemar ringan.

Ini kita belum berbicara tingkat pencemaran terhadap tanah. Salah satu kota yang tanahnya sudah tercamar adalah Solo. Berdasarkan informasi dari solopos.com yang terbit pada 19 Juni 2014, 70% tanah di Solo telah tercemar tinja.

Alasan kedua, prilaku BABS juga merupakan tindakan sewenang-wenang terhadap diri sendiri dan orang lain. Selain ini juga ada hubungannya dengan hal yang pertama diatas, prilaku BABS juga telah merampas hak tubuh sendiri dan orang lain untuk hidup lebih sehat.

Loh, kok bisa ?jadi begini, kenyataan pertama; tinja yang dibuang secara sembarang tersebut akan menjadikan air dan tanah tercemar. Jika sudah tercemar, tentu saja akan menurunkan kualitas air dan tanah yang notabene berhubungan langsung dengan hajat hidup orang lain. Kenyataan kedua, tinja yang terbuka tadi menjadi sasaran empuk bagi serangga terutama jenis lalat mencari makanan yang disaat bersamaan berpeluan “membawa” tinja tersebut ke makanan kita diatas meja. Yang ujungnya akan bermuara pada penyakit diare. Kenyataan ketiga, dengan air yang sudah tercemar tersebut tentu saja membutuhkan energi lebih dalam hal pengolahannya sebelum di konsumsi.

Alasan ketiga, prilaku BABS merupakan tindakan sewenang-wenang terhadap generasi mendatang. Setelah air dan tanah menjadi tercemar, dan tinja ada di makanan, prilaku BABS akan menjadi salah satu penyebab kejadian stunting.
Data Kementrian Kesehatan (sumber: Infodatin 2016) terkait kasus stunting di Indonesia tahun 2015 terdapat 29% balita masuk dalam kategori balita pendek. Yang mana, jika mengacu pada data WHO; jika pravalensi balita pendek menjadi masalah kesehatan masyarakat jika 20% atau lebih. Artinya, para pelaku BABS memberikan kontribusi (sebesar 27%) penderita stunting di Indonesia.

***

Mungkin kita (manusia) tidak bisa merdeka dari ketergantungan terhadap air dan tanah. Tapi, tentu saja kita bisa lepas dari bentuk penjajahan lain. Misalnya; dari tinja sendiri. Ini bisa dimulai dengan mengingatkan diri sendiri dan sekitar kita untuk tidak BABS. Bisa juga dengan mulai bertanya, apakah tanki septik tinja yang ada di rumah kita sudah kedap atau belum. Jika belum, percuma saja mengaku sudah tidak BABS tapi menjadi penyebab rusaknya air dan tanah karena tercemar tinja dari tanki septik kita sendiri.

Akhir kata, selamat bangsa dan negaraku. Semoga kedepannya kita bisa terbebas dari berbagai bentuk ancaman kesakitan.

Merdeka!!!



MEMBINCANG TANGKI SEPTIK




Sudahkah anda Buang Air Besar hari ini? Dimana? Jika sudah, berapa kali? Saat kapan? Bagaimana bentuknya? Cairkah? Lebih terang warnanya? Dan masih banyak lagi pertanyaan jika kita ingin membahas segala hal terkait kotoran manusia. 

Maaf, jika membukaanya dengan pertanyaan yang berhubungan dengan kotoran manusia atau secara jamak disebut tinja. Bukan apa-apa, tapi terkadang kita masih sering mengesampingkan ihwal tinja kita sendiri. Padahal, jika kita lebih jeli melihat dan mengamati “barang” milik sendiri itu, dengan serta merta kita sedang membaca hasil tes menyeluruh terhadap gambaran kondisi kesehatan kita. Entah itu berhubungan dengan warnanya, bentuknya, bahkan ukurannya.

Bukankah ini sangat menggembirakan ?

Namun begitu, kali ini saya tidak sedang ingin membahas hal tersebut. Salah satu penyebabnya, karena sudah ada yang membahas itu, tentu saja. Tapi jangan khawatir, yang akan kita bahas masih ada hubungannya dengan tinja juga. Atau lebih tepatnya; penampungan dan pengolahannya. Bagi saya, ini juga tidak kalah pentingnya, mengingat tinja manusia jika tidak terkelola dengan baik justru akan menjadi sumber pencemaran baru bagi lingkungan sekitarnya.

Mari kita mulai.

Penampungan dan pengolahan. Kedua kata ini begitu teknis sifatnya. Karena penampungan dan pengolahan juga berhubungan dengan bagaimana sebuah sistem tertentu bekerja. Bagaimana dengan penampungan dan pengolahan tinja ?

Selain penampungan dan pengolahan, kata lain yang juga berhubungan langsung dengan tinja adalah pengangkutan. Namun karena pangangkutan secara otomatis akan muncul ketika sistem penampungan dan pengolahan sudah berjalan. Saya mencba membagi dua sistem pengangkutan tinja. Sistem pertama itu adalah sistem langsung. Dimana, yang menjadi medianya adalah pipa yang langsung terhubung dengan sistem pengolahan. Jadi, dari kloset kemudian tinja menuju bak control dan kemudian mengalir ke sistem pengolahan

Sistem kedua, adalah tidak langsung. Sistem ini dikatakan tidak langsung karena menggunakan truk penyedotan tinja. Perbedaan mendasar sistem ini dengan yang sebelumnya terletak pada jalur perjalanan tinja sebelum tahapan pengolahan. Jika sebelumnya dari kloset langsung ke bak control dan kemudian diangkut atau lebih tepatnya dialirkan menuju ke sistem pengolahan (Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja), untuk sistem kedua ini tidak.  

Penampungan Tinja


Tanpa kata tinja, penampungan bermakna proses, cara perbuatan menampung; penadahan; penyambutan. Setidaknya, ini yang tetulis didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 5.0 (KBBI 5.0). Dari situ bisa kita simpulkan, bahwa kata penampungan ada hubungannya dengan sebuah proses.    

Hal yang tidak jauh berbeda ketika kita hubungkan kata tinja dengan penampungan. Sehingga kurang lebih bermakna proses, cara perbuatan menampung; penadahan; penyambutan kotoran hasil buangan yang dikeluarkan dari alat pencernaan keluar tubuh melalui dubur. Lagi-lagi batasan ini bersumber dari KBBI 5.0.

Setelah memahami batasan dari kata penampung tinja, bagaimanakah bentuk dari penampung tinja itu sendiri ? perlu diingat, saya tidak sedang membicarakan kloset. Karena kloset hanya medium untuk sampai ke penampung tinja itu sendiri. Jadi, kolset bukan penampung tinja. Yang dimaksud dengan penampung tinja adalah Septik Tank.

Menariknya, masing-masing daerah di Indonesia sudah mengenal ini dengan berbagai langgam penyebutan. Misalnya; sopitang, atau bahkan menyebutnya sepitang. Namun begitu, bagaimanapun penyebutannya, septik tank tetap dipahami sebagai penampung tinja.

Apakah masalah penampung tinja ini sudah selesai ? saya kira belum. Sebagai penampung tinja ada beberapa hal yang sebaiknya kita pahami. Dimulai dari pertanyaannya kenapa tinja harus ditampung?
Sekilas pertanyaan ini terdengar aneh. Namun saat dua kilas, pertanyaan ini bertujuan untuk mendedah segala hal yang berhubungan dengan tinja itu sendiri. Pertama, kandungannya. Secara garis besar minimal ada empat hal yang terkandung didalam tinja, antara lain; Mikroba, Materi Organik, Telur Cacing, dan Nutrien.

Kedua, dampaknya. Jika tinja tidak ditampung, keempat dari kandungan tersebut akan dengan mudahnya masuk dalam tanah. Dan, tanah pun bisa tercemar.

Sehingga, tidak ada alasan untuk tidak menampung tinja tadi. Kita belum berbicara soal penyebaran penyakit akibat tidak tertampungnya tinja manusia dengan baik, bukan ?

Pertanyaan lanjutnya, bagaimana penampung tinja yang benar ?

Pada prinsipnya penampung tinja yang baik itu harus tertutup dan kedap air. Karena jika tidak, bisa dipastikan limbah manusia yang nama lainnya blackwater, akan menjadi sumber penyakit melalui perantara entah itu melalui tangan, serangga (lalat), melalui air, makanan, atau bahkan terserap di tanah dan kemudian mencemari sumber air baku. Disebut mencemari karena keberadaan komposisi kimia yang yang sangat kompleks – merupakan paduan dari empat unsur tadi—yang kemudian berpotensi mencemari tanah. Salah satu contohya Chemical Oxygen Demand (COD).

COD, secara harfiah bermakna (jumlah) kebutuhan oksigen agar suatu bahan kimia terurai sempurna. Artinya, semakin tinggi COD semakin parah tingkat pencemarannya. Sialnya, pada tinja manusia nilai COD-nya adalah 10.000 (mg/L), sedangkan nilai COD yang ditoleransi hanya 80 (mg/L). Bisa dibayangkan bagaimana rumitnya kandungan kimia dari kotoran kita, bukan?

Jika anda bertanya; bagaimana mungkin tinja yang kandungan COD-nya sedemikian besar kemudian di tampung pada penampungan yang kedap air ? bukankah ini berpeluang untuk menimbulkan tekanan ?

Jawaban dari pertanyaan tersebut berhubungan dengan sistem pengolahan dari tinja tadi yang ada didalam penampungan atau septik tank. 

Pengolahan   



Seperti halnya kata penampungan, kata pengolahan menurut KBBI juga bermakna proses, cara, perbuatan mengolah. Apalagi jika dihubungkan dengan kata penampungan, tentu saja pembicaraan kita terkait tinja akan semakin meluas. Sehingga berbagai bentuk penanganan dalam rangka mengurangi nilai COD dari tinja kita bisa terwujud.

Alasan pertama tinja kita yang tertampung didalam septik tank harus diolah adalah karena nilai COD. Sehingga dibutuhkan suatu cara pengolahan tinja sehingga bisa menurunkan nilai COD. Salah satu cara atau sistemnya adalah septik tank up flow filter. Sistem ini menjadi menarik karena sistemnya sederhana. Cukup dengan memanfaatkan bakteri anaerob untuk mengurai tinja dalam bilik kedua pada pipa-pipa atau bamboo yang berpean sebagai filter sebelum dikeluarkan melalui pipa outlet.

Alasan kedua, karena sistem pengolahan tersebut berfungsi menurunkan tekanan akibat tingginya nilai COD pada tinja tadi. Karena itupula disetiap tanki septik yang kedap pasti dibangun lubang hawa. Tujuannya tidak lain untuk mengeluarkan biogas yang merupakan hasil dari pengolahan tinja tadi.

Alasan ketiga, bisa berdampak positif pada kualitas kandungan air baku. Hal ini terutama berlaku pada masyarakat perkotaan yang pemukimannya cenderung lebih padat. Sehingga ancaman rusaknya sumber air baku ketika tanki septik tidak kedap tidak terjadi.

***

Akhir kata, pembicaraan terkait tinja makin kesini makin menarik. Salah satu penyebabnya karena ini juga berhubungan dengan manusia itu sendiri sebagai “penghasil” yang disaat bersamaan jika tidak ditampung dengan benar dan dikelola dengan baik tentu saja akan kembali menjadikan manusia sebagai korbannya. Walaupun, pembicaraan terkait tinja dan pengelohannya bukan saja tentang penampungan, pengangkutan dan pengolahan saja tetapi terkait hal teknis yang lebih spesifik juga.

Tanpa bermaksud menghilangkan makna penting dari hal tehnis yang bersifat spesifik tadi, penekanan tulisan ini terletak pada prinsip dasar sistem pengolahan tinja yang aman.  

Apakah tanki septik dirumah anda sudah kedap?




Add caption

MASA DEPAN PROMOSI KESEHATAN




Sebagai salah satu bagian dari ilmu kesehatan masyarakat, promosi kesehatan (Promkes) memiliki cara tersendiri dan berbeda. Meski begitu promosi kesehatan tidak kehilangan daya tariknya. Ambillah contoh; salah satu tujuan  promkes yang berhubungan dengan perubahan prilaku.

Saat berbicara soal perubahan prilaku, ihwal paling mendasar adalah mengajak masyarakat untuk berkesadaran hidup sehat. (special untuk kata “berkesadaran” tentu harus digarisbawahi, ditebalkan dan dibuat miring. Karena kesadaran akan berhubungan dengan kondisi berkelanjutan)

Tentu saja ini  bukan tanpa kendala yang berarti. Selain karena kesadaran itu sendiri inheren dalam diri manusia, juga karena kesadaran manusia berhubungan dengan segala hal diluar dirinya. Entah itu tercipta karena pola asuh dalam keluarga hingga pengaruh lingkungan sekitar.

Disinilah peran seorang sarjana kesehatan masyarakat yang spesifik dalam lingkup promosi kesehatan menemui tantangan pertamanya.  

Sebelum jauh melangkah, dan dalam rangka mendedah secara utuh promosi kesehatan, ada baiknya tulisan ini saya buka dengan mengurai sedikit sejarah promosi kesehatan. Dari beberapa referensi, promosi kesehatan pertama kali resmi dilafazkan secara global pada awal abad 20 atau tepatnya di tahun 1986 dalam Konfrensi International promosi kesehatan di Otawa.

Jika secara resmi dunia mengakui keberadaan promosi kesehatan sejak tiga dasawarsa yang lalu, bagaimana dengan sejarah promosi kesehatan di Indonesia ?

Efektifnya, praktek promosi kesehatan sebenarnya sudah mulai dilakukan oleh Tirto Adhi Soerjo (1880 – 1918). Meski sebagai pribumi beliau secara tidak sadar melakukannya, tetap saja upaya untuk penyebarluasan informasi seputar masalah kesehatan serta berbagai bentuk penanganan dan pencegahannya yang dimuat pada  berbagai koran menjadi peletak awal prinsip promosi kesehatan di Republik ini.

Ambillah contoh tulisan beliau  yang berjudul “Obat-obat jang Perloe Disimpan di Rumah”, dimuat dalam koran Soenda Berita  No. 11 dan No. 13, tahun II, 5 Mei 1904 dan No 22 Mei 1904 (sumber: Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo, I:BOEKOE, 2008). Ditulisannya, beliau sudah memperkenalkan pentingnya jenis-jenis obat yang wajib ada dirumah. Yang saat ini lebih popular dengan istilah kotak obat atau kotak P3K (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan).

Atau tulisan lainnya yang berjudul “Hal Air Minoeman” yang dimuat dalam koran Poetra Hindia, No 17, Tahun II, 1 Juli 1909  (Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo, I:BOEKOE, 2008). Yang mana, beliau banyak bercerita ihwal air. Baik kualitas maupun kuantitasnya. Dan menariknya, tulisan beliau tersebut sudah memperkenalkan metode pengolahan air sebelum dikonsumsi. Entah itu metode penyaringan hingga merebus.

Bahkan beliau juga sudah memperkenalkan metode pengendapan material fisik pada air keruh sehingga layak minum jauh hari sebelum metode purin disebarluaskan. (Sebelum membahas lebih jauh, ingatkan saya untuk mengulik tulisan Tirto Adhi Soerjo yang berhubungan dengan kesehatan pada kesempatan lain) 

Dan lagi-lagi informasi diatas tentu saja bisa menjadi pembanding pada sejarah  promosi kesehatan di republic ini yang katanya baru dimulai di tahun 1997. Seperti sering diucap oleh para pengajar di ruang-ruang kuliah kampus atau sekolah tinggi pencetak sarjana kesehatan masyarakat di Indonesia.
Pertanyaannya kemudian, jika sejak awal abad 19 promkes sudah berbicara soal peyebarluasan informasi yang massif, bagaimana dengan arah promkes saat ini?

Jika masyarakat ditanya; apa itu promosi kesehatan ? saya yakin dan percaya jawabanya adalah penyuluhan kesehatan (saja). Jawaban tersebut tentu saja tidak bisa kita persalahkan. Karena secara jamak masyarakat kita – atau bahkan tenaga kesehatan–  masih kurang paham sepenuhnya apa yang dimaksud dengan promosi kesehatan itu sendiri. Mereka tidak mengetahui bahwa promosi kesehatan itu berbicara juga soal mempengaruhi arah kebijakan kesehatan (Advocacy). Atau fungsi promosi kesehatan yang sejatinya mampu menciptakan kondisi lingkungan sehat (Bina Suasana).

Promosi Kesehatan hari ini

Setelah kita mengetahui sejak kapan kaum pribumi di republik ini mencurahkan perhatiannya terhadap upaya-upaya promosi kesehatan, ada baiknya pandangan kita alihkan pada kondisi promosi kesehatan hari ini. Secara umum, jika kita lebih jeli melihat penyebab minimnya pengaruh bentuk promosi kesehatan terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat dimulai dari basis data/informasi yang masih kurang. Baik kuantitas maupun kualitas.

Ambillah contoh angka kepemilikan jamban yang sehat.

Jika kita bertanya kepada petugas kesehatan (Nakes) dari pihak pemerintah, informasi kepemilikan jamban untuk saat ini  masih terbatas pada akses. Ini tentu saja tidak keliru, namun jika hanya sebatas akses saja belum cukup. Karena berpadunya kata “jamban” dan kata “sehat”, selain persoalan akses juga terkait kondisi didalamnya. Apalagi dengan diawali dengan kata kepemilikan.

Maksud saya, jamban yang juga bagian integral dari sebuah rumah harus dipahami secara utuh. Bukan saja terbatas pada pengetahuan dan pentingnya menggunakan jamban, tapi kualitas jamban yang seharusnya juga menjadi perhatian. Termasuk didalamnya bentuk bangunan atas dan atau bangunan bawah dari jamban itu sendiri.

Karena ketika kata “jamban” bertemu kata “sehat” apalagi diawali dengan kata “kepemilikan”, dalam bayangan saya akan terpampang jumlah kepala keluarga yang memiliki jamban lengkap. Mulai dari kualitas fisik kloset, kuantitas air yang cukup, fasilitas cuci tangan pakai sabun, hingga bentuk tangki tinja yang kedap air. Dan sialnya, kondisi ideal tersebut belum merata disini (baca:Indonesia).

Dilain pihak, tenaga kesehatan yang berperan terhadap peningkatan kepemilikan jamban sehat masih diisi oleh pengetahuan yang bersifat tehnis (saja). Dalam artian, disaat konsep jamban sehat sudah ideal yang didapat lewat bangku-bangku perkualiahan ternyata tidak diikuti dengan bentuk penyampaian yang terang-benderang dilapangan.

Dilain pihak, jika kita mengacu pada informasi yang tertuang pada PERMENKES No. 3 Tahun 2014, pengetahuan yang bersifat tehnis dari tenaga kesehatan tersebut bermula. Yang mana, titik tekan aturan itu pada akses terhadap jamban saja. Informasi tersebut bukan bertolakbelakang dengan bentuk dari jamban sehat. Karena jika mengacu pada konsep jamban sehat dari KEMENKES (2004), sejatinya penampungan tinja harus kedap air. Dalam artian bukan hanya dinding penampungan tinja saja yang mengalami pengerasan, alas dari penampungan tersebut juga harus  mengalami pengerasan (Azwar, 1990).

Dan bagi saya, tantangan seorang promosi kesehatan menjadi bertambah.

Masa Depan Promosi Kesehatan

Kita tinggalkan sejenak pembicaraan seputar minimnya pengetahuan jamak ihwal promosi kesehatan atau perbedaan titik kisar dari sejarah promosi kesehatan di Indonesia dan mari berbicara masa depan promosi kesehatan.

Tema ini menjadi menarik karena dua penyebab. Penyebab pertama, perkembangan budaya manusia yang kian cepat. Dan kedua, karena perkembangan manusia yang tentu saja  diikuti dengan perkembangan jenis penyakit.

Berbicara soal perkembangan manusia, sebenarnya sudah pernah diingatkan oleh Fedrich H. Kanfer dalam karyanya; Personal Control, Social Control, dan Altruism: Can society survive the age of Individualism? Pada tahun 1979 dan  Gerald Klermen dalam karya; The Age of Melancholy tahun 1979. Bahwa yang tersisa dari era modern sebagai salah satu bagian perkembangan manusia adalah kecemasan, keterasingan, kekerasan, egoisme, dan depresi.

Berangkat dari peringatan Kanfer dan Klermen tadi, pertanyaan lanjutannya ialah bagaimana seharusnya promosi kesehatan berperan dan bagaimana bentuknya di era modern atau meminjam istilah Yasraf Amir Piliang era Hypermodernitas.

Jika dahulu penyebarluasan informasi atau jamak dikenal dengan kata penyuluhan, dimana lebih sering dilakukan dengan cara mengumpulkan orang dan informasinya hanya berdasarkan keinginan tanaga kesehatan saja sebagai penyampai pesan tanpa secara aktif melibatkan masyarakat untuk menggali kebutuhannya terlebih dahulu. Kedepannya cara ini bisa dipastikan sudah tidak efektif lagi. Selain karena kegiatan tersebut menyita waktu bagi masyarakat, juga karena permasalahan mendasar soal efektifitas pesan yang belum tentu tercapai melalui metode tersebut.

Saya bayangkan, penyebarluasan informasi kedepannya lebih banyak dilakukan oleh teknologi dan bukan lagi manusia. Misalnya, suatu saat akan ada E-Promkes yang berbasis android. Selain karena kemudahaan aksesnya yang tidak terikat ruang dan  waktu, alih fungsi alat atau metode penyebarluasan informasi ini juga jauh lebih efektif. Dalam artian, masing-masing orang akan berselancar dan mencari informasi yang sesuai kebutuhannya. Coba bandingkan dengan cara konvensional penyuluhan.

Sangat tidak efektif bukan?

Selain masalah efektif-tidaknya sebuah pesan, alih cara penyebarluasan informasi tadi jauh lebih murah dibandingkan metode konvensional selama ini. Dimana saat ini alokasi anggaran belanja kesehatan hanya habis untuk belanja pegawai atau  kegiatan demi kegiatan yang jika ditelisik lebih dalam masih jauh api dari panggang, untuk hal terciptanya masyarakat yang sehat dan berkesadaran. Ini tentu saja kita belum berbicara soal  kegamangan peran masing-masing tenaga kesehatan yang terjadi di tingkat terbawah tempat pelayanan kesehatan dalam hal ini Puskesmas. Dibandingkan dengan memakai E-Promkes yang cukup dengan mengupdate informasi dan membiayai kuota ruang dalam dunia maya, tugas dan peran promosi kesehatan sudah berjalan.

Kira-kira mana yang lebih murah?

Dilain pihak saat masalah promosi kesehatan ditarik lebih jauh pembahasannya tentu saja menjadi lebih tehnis. Contohnya media penyampaian. Jika mengacu pada bentuk, secara garis besar penyampaian pesan kesehatan terbagi atas dua. Yang pertama secara langsung dan kedua secara tidak langsung. Untuk bentuk pertama biasanya dalam bentuk penyampaian dalam tatap muka. Entah itu penyuluhan, seminar, talkshow atau bahkan pelatihan.

Dan, bentuk kedua menggunakan perantara. Entah itu brosur, pamphlet, X-banner bahkan iklan layanan masyarakat.  Ironisnya untuk bentuk promosi kesehatan yang terakhir ini masih masih jarang membuat masyarakat tertarik. Sehingga jangan kaget jika besaran biaya yang dihabiskan untuk sebuah media promosi kesehatan tidak berbanding lurus dengan peningkatan jumlah masyarakat yang mengubah prilaku tidak sehat menjadi prilaku sehat. Apatah lagi jika diharapkan secara sadar melakukan itu.

Berangkat dari beberapa kondisi diatas, menurut hemat saya belum terlambat kiranya untuk menelisik kembali bagaimana keadaan promosi kesehatan dalam beberapa dekade kedepannya. Dan sekali lagi, ini masih erat hubungannya dengan peran berbagai pihak di dalamnya.

Kita bisa mulai dengan mengidentifikasi apa yang menjadi permasalahan kesehatan didalam masyarakat. Tentu saja bentuk kegiatannya adalah memperbaiki segala bentuk informasi/data yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat. Karena jika mau jujur, permasalahan informasi/data masih merupakan momok tersendiri. Salah satu bentuknya misalnya perbedaan angka yang bersumber dari masing-masing instansi terkait. Dan sialnya, masing-masing instansi tersebut menganggap informasi/data yang mereka milikilah yang tervalid.

Setelah permasalahan informasi/data teratasi, tentu saja bisa melangkah pada tahapan berikutnya ialah penyusunan strategi promosi kesehatan yang akan dijalankan. Khusus untuk tahapan ini dibutuhkan kerjasama yang kuat antara berbagai lapisan kelembagaan. Baik lembaga pemerintah maupun lembaga masyarakat. Karena akan berhubungan dengan tahapan selanjutnya terkait implementasi dilapangan. Lagi-lagi kata kuncinya adalah komitmen.

Selebihnya tinggal bentuk monitoring dan evaluasi dari tahapan implementasi yang akan dijalankan. Karena tanpa proses monitoring dan evaluasi semua tahapan sebelumnya akan menjadi sia-sia. Ditahap inilah kemudian proses pembelajaran dan adaptasi dari segala bentuk perkembangan masyarakat yang diikuti dengan perkembangan penyakit  bisa terjadi.

Pertanyaan lanjutnya kemudian bagaimana memulainya ?



*Disclaimer: Sumber gambar https://www.slideshare.net