Menjadi Tetangga yang Baik
Sumber: www.plukme.com |
Membahas
manusia, senantiasa menyisakan banyak hal menarik. Diantaranya, terkait tema
manusia sebagai salah satu makhluk social. Kenapa saya memasukkan kata “salah
satu”, karena bukan hanya manusia satu-satunya makhluk di muka bumi yang
mendapat gelar ini. Ambillah contoh; lebah. Mereka juga tergolong makhluk
social. Tentu saja ini berhubungan dengan fakta; lebah terbiasa hidup dalam
koloni. Benang merah antara masing-masing kelompok makhluk yang hidup secara
social adalah altruism.
Terkait
sifat altruism dan dengan menggunakan
pertidaksamaan (matematika) Hamilton, sebenarnya kita bisa mendapat akar penjelasan
terkait sebab manusia adalah makhluk social. Ialah, hubungannya pada kesuksesan
mekanisme tubuh manusia menyalin gen altruism
pada manusia lain yang memiliki ikatan karabat (darah). Disaat bersamaan gen
tersebut jadi fondasi tercipta hubungan antara manusia dengan manusia yang
lain.
Namun
begitu, memiliki gen altruism tidak
melulu berdampak baik. Salah satu dampak buruk ialah tercipta ketergantungan
antar sesama manusia. Dalam artian, selama ketergantungan tadi maknanya jadi
saling menguntungkan tentu tidak soal. Tapi, saat kondisi yang tercipta hanya menguntungkan
sebagian manusia atas manusia lainnya, ihwali pengisapan manusia atas manusia
akhirnya tidak tercegah. Inilah dampak buruk dari gen altruism.
Berbicara
gen altruism, kita akan sulit
melewatkan kenyataan gen itu ada hubungannya dengan kondisi terkini;
manusia hidup berdampingan. Bahasa sederhananya, bertetangga. Dan ini satu fakta
yang sulit dipungkiri. Meskipun Zygmunt Bauman secara metaforis menenggarai
penyebab gerak perubahan sosial (manusia) karena maraknya “turisme”, “ziarah”,
dan “petualangan”, tetap saja keberadaan tetangga dalam kelompok manusia tidak
bisa dihilangkan begitu saja.
Sejarah manusia hidup
bertetangga
Sebelum
lanjut dengan metagagasan manusia hidup bertetangga dan kesehatan masyarakat,
menurut hemat saya penting untuk tahu sejarah manusia hidup bertetangga
terlebih dahulu.
Dari
berbagai dokumen terkait sejarah perkembangan manusia dalam hidup berdampingan, faktanya;
manusia mulai hidup dalam koloni-koloni di suatu tempat dan tidak
berpindah-pindah (nomaden) lagi ialah
sejak 10.000 tahun silam. Salah satu tanda dari kondisi ini ialah “Revolusi
Neolithik”, meminjam istilah Gordon Childe (The
Most Ancient East, Roudledge 1928). Revolusi ini sendiri bermakna: saat
manusia menemukan cara untuk menerobos keterbatasan sosio-kultural adalah menghasilkan agricultural, system kepercayaan/ideology yang terorganisir, serta
ledakan pendudukan. Sebagai penanda Revolusi Neolitik ini terjadi saat zaman
Perunggu.
Salah
satu hal yang mendorong revolusi perkembangan manusia ketika zaman perunggu ialah
saat 12.000 tahun silam ketika zaman es berakhir. Dampaknya, banyak tercipta daratan
dan oase kecil bermunculan. Dengan serta-merta “memaksa” hewan dan manusia
hidup berdekatan dengan sumber air. Hal lain dari berakhirnya zaman es ialah punahnya
hewan-hewan besar. Setelah sebelumnya menjadi sumber makanan manusia lewat
bangkai ketika diantara hewan-hewan tadi saling memangsa. Dalam artian manusia saat
itu dapat makanan lewat memulung bangkai hewan mati.
Setelah
manusia akhirnya memutuskan hidup dalam gerombolan dan menetap pada satu tempat,
masalah tidak selesai. Selain akhirnya mendorong manusia untuk bercocok tanam,
masalah pemenuhan kebutuhan protein hewani muncul. Disinilah, budaya
domestifikasi hewan menemukan ruang untuk dimulai. Seiring berjalannya waktu,
persoalan baru kemudian mengemuka, yaitu: ancaman terkait kebersihan lingkungan
yang buruk dan sanitasi buruk.
Berdasarkan kenyataan tersebut, kita dapatkan fakta; permasalahan (kebersihan)
lingkungan dan sanitasi buruk sudah ada sejak pertama kali manusia memutuskan
untuk hidup bergerombol ketika zaman perunggu. Artinya, kebersihan lingkungan
yang buruk dan sanitasi adalah masalah klasik saat manusia hidup bertetangga.
Bagaimana
dengan sekarang?
Jadilah Tetangga yang
Baik
Baru-baru
ini, saya mengikuti sebuah bengkel kerja. Kegiatan ini sendiri pemrakarsanya
adalah program terkait sanitasi dan air minum dan diadakan oleh sebuah lembaga
yang dibiayai masyarakat asal negeri paman Sam. Dalam kesempatan tersebut hadir
pula para undangan dari wakil kelompok masyarakat sipil, perwakilan lembaga
pemerintahan bidang kesehatan (setingkat provinsi), dan juga wakil lembaga
pemerintah bidang perencanaan tingkat nasional.
Dalam
pertemuan tersebut, diperkenalkan jargon perubahan prilaku; “ Menjadi Tetangga
yang Baik”.
Jika
kita kembali pada fakta saat manusia pertama kali hidup bertetangga, maka salah
satu masalah yang muncul adalah kebersihan lingkungan dan sanitasi buruk. Tiba
pada keadaan tersebut, jargon “Menjadi tetangga yang baik” menurut saya jadi sangat
relevan. Ada dua landasan argumen untuk mendukung tingkat relevansinya.
Pertama,
aspek sejarah perkembangan manusia. Berdasarkan informasi diatas, sejak 10.000
tahun silam ketika manusia mulai hidup bertetangga masalah pertama yang muncul
ialah tersangkut kebersihan lingkungan dan sanitasi, tidak berlebihan kiranya
jargon ini jadi menemukan tempat untuk diterapkan. Selain itu, untuk konteks
Indonesia, menjadi tetangga yang baik tentu saja jadi tantangan tersendiri.
Terutama untuk masyarakat yang hidup di perkotaan (Urban).
Bukan
apa-apa, saat masyarakat kota berhadap-hadapan dengan berbagai masalah terkait
kemiskinan, ketimpangan ekonomi, serta ancaman bencana ekologis dalam hidup
bertetangga secara tidak sadar kita sering terjebak ke kubangan individualistik
nan egois akut. Jadi jangan heran jika semuanya berujung pada sikap masa bodoh
dengan sekeliling kita, termasuk didalam itu para tetangga.
Landasan
argumentasi kedua dari jargon diatas ialah; jawaban permasalahan masyarakat
kota. Seperti yang kita ketahui bersama, beberapa waktu silam Badan Pusat
Statistik telah merilis persentasi masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan.
Bayangkan, sampai menyentuh angka 52 %, tidak hanya itu, bahkan ada
kecendrungan bertumbuh tiap tahun. Jika sebatas angka saja tentu tidak masalah.
Tapi, bagaimana jika angka tadi disandingkan dengan luas wilayah perkotaan.
Tentu
saja masalah (kembali) bermula.
Dengan
jumlah luas kota yang tidak bertambah, namun penghuni semakin banyak, niscaya
akan bermuara pada tanggung jawab pada lingkungan. Sekali lagi tidak terkecuali
saat hidup bertetangga. Soalnya bukan sebatas kemampuan tebar senyum pagi hari
ke tetangga, namun pada sebarapa mengerti kita pada kewajiban bersama dalam
hidup bertetangga. Salah satunya, seberapa aman dan nyaman tetangga kita
terhadap segala bentuk tindak laku kita. Misalnya, apakah tangki penampungan
tinja kita tidak mencemari sumber air tetangga?
Nah,
kenyataannya, dengan hamparan luas perkotaan yang tidak bertambah memaksa rumah
yang dibangun tentunya akan berdekatan. Atau dengan kata lain, perumahan di
perkotaan itu padat. Disaat bersamaan, jika mengacu pada PermenPUPR 33/2016
tentang jarak “ideal” antara sumber air (sumur dangkal) dan tangki penampungan
tinja adalah diatas 10 meter. Bukankah ini mustahil. Pun, kita mampu membangun
dengan jarak yang sesuai dengan aturan tersebut, pertanyaannya, bagaimana
dengan rumah tetangga?
Disinilah
jargon “Menjadi Tetangga yang Baik” menemukan tempat untuk bekerja. Bentuknya
bisa dengan memastikan tangki penampungan tinja kita tidak menjadi penyebab
tercemarnya sumber air tetangga. Bagaimana caranya? Tentu saja dengan membikin
tangki penampungan tinja di rumah kita kedap. Ini bukan satu-satunya solusi
tentu saja, minimal, satu potensi masalah antara hidup bertetangga jadi
terhindar. Terutama untuk menjawab tantangan bangunan rumah yang padat di
perkotaan.
Namun,
apakah jargon ini selamanya bisa bekerja. Menurut saya tidak juga. Terutama
bagi mereka yang mengidap ochlophobia
(takut akan keramaian).
Jadi,
jika anda tidak mampu menjadi tetangga yang baik, saran saya, sebaiknya periksa
diri ke psikiater. Jangan-jangan anda pengidap ochlophobia.
Tabik.