Menjadi Tetangga yang Baik

September 16, 2018 Mashuri Mashar S.KM 0 Comments

Sumber: www.plukme.com



Membahas manusia, senantiasa menyisakan banyak hal menarik. Diantaranya, terkait tema manusia sebagai salah satu makhluk social. Kenapa saya memasukkan kata “salah satu”, karena bukan hanya manusia satu-satunya makhluk di muka bumi yang mendapat gelar ini. Ambillah contoh; lebah. Mereka juga tergolong makhluk social. Tentu saja ini berhubungan dengan fakta; lebah terbiasa hidup dalam koloni. Benang merah antara masing-masing kelompok makhluk yang hidup secara social adalah altruism.

Terkait sifat altruism dan dengan menggunakan pertidaksamaan (matematika) Hamilton, sebenarnya kita bisa mendapat akar penjelasan terkait sebab manusia adalah makhluk social. Ialah, hubungannya pada kesuksesan mekanisme tubuh manusia menyalin gen altruism pada manusia lain yang memiliki ikatan karabat (darah). Disaat bersamaan gen tersebut jadi fondasi tercipta hubungan antara manusia dengan manusia yang lain.

Namun begitu, memiliki gen altruism tidak melulu berdampak baik. Salah satu dampak buruk ialah tercipta ketergantungan antar sesama manusia. Dalam artian, selama ketergantungan tadi maknanya jadi saling menguntungkan tentu tidak soal. Tapi, saat kondisi yang tercipta hanya menguntungkan sebagian manusia atas manusia lainnya, ihwali pengisapan manusia atas manusia akhirnya tidak tercegah. Inilah dampak buruk dari gen altruism.

Berbicara gen altruism, kita akan sulit melewatkan kenyataan gen itu ada hubungannya dengan kondisi terkini; manusia hidup berdampingan. Bahasa sederhananya, bertetangga. Dan ini satu fakta yang sulit dipungkiri. Meskipun Zygmunt Bauman secara metaforis menenggarai penyebab gerak perubahan sosial (manusia) karena maraknya “turisme”, “ziarah”, dan “petualangan”, tetap saja keberadaan tetangga dalam kelompok manusia tidak bisa dihilangkan begitu saja.

Sejarah manusia hidup bertetangga

Sebelum lanjut dengan metagagasan manusia hidup bertetangga dan kesehatan masyarakat, menurut hemat saya penting untuk tahu sejarah manusia hidup bertetangga terlebih dahulu.

Dari berbagai dokumen terkait sejarah perkembangan manusia dalam hidup berdampingan, faktanya; manusia mulai hidup dalam koloni-koloni di suatu tempat dan tidak berpindah-pindah (nomaden) lagi ialah sejak 10.000 tahun silam. Salah satu tanda dari kondisi ini ialah “Revolusi Neolithik”, meminjam istilah Gordon Childe (The Most Ancient East, Roudledge 1928). Revolusi ini sendiri bermakna: saat manusia menemukan cara untuk menerobos keterbatasan sosio-kultural adalah menghasilkan agricultural, system kepercayaan/ideology yang terorganisir, serta ledakan pendudukan. Sebagai penanda Revolusi Neolitik ini terjadi saat zaman Perunggu.

Salah satu hal yang mendorong revolusi perkembangan manusia ketika zaman perunggu ialah saat 12.000 tahun silam ketika zaman es berakhir. Dampaknya, banyak tercipta daratan dan oase kecil bermunculan. Dengan serta-merta “memaksa” hewan dan manusia hidup berdekatan dengan sumber air. Hal lain dari berakhirnya zaman es ialah punahnya hewan-hewan besar. Setelah sebelumnya menjadi sumber makanan manusia lewat bangkai ketika diantara hewan-hewan tadi saling memangsa. Dalam artian manusia saat itu dapat makanan lewat memulung bangkai hewan mati.   

Setelah manusia akhirnya memutuskan hidup dalam gerombolan dan menetap pada satu tempat, masalah tidak selesai. Selain akhirnya mendorong manusia untuk bercocok tanam, masalah pemenuhan kebutuhan protein hewani muncul. Disinilah, budaya domestifikasi hewan menemukan ruang untuk dimulai. Seiring berjalannya waktu, persoalan baru kemudian mengemuka, yaitu: ancaman terkait kebersihan lingkungan yang buruk dan sanitasi buruk.

Berdasarkan kenyataan tersebut, kita dapatkan fakta; permasalahan (kebersihan) lingkungan dan sanitasi buruk sudah ada sejak pertama kali manusia memutuskan untuk hidup bergerombol ketika zaman perunggu. Artinya, kebersihan lingkungan yang buruk dan sanitasi adalah masalah klasik saat manusia hidup bertetangga.

Bagaimana dengan sekarang?

Jadilah Tetangga yang Baik

Baru-baru ini, saya mengikuti sebuah bengkel kerja. Kegiatan ini sendiri pemrakarsanya adalah program terkait sanitasi dan air minum dan diadakan oleh sebuah lembaga yang dibiayai masyarakat asal negeri paman Sam. Dalam kesempatan tersebut hadir pula para undangan dari wakil kelompok masyarakat sipil, perwakilan lembaga pemerintahan bidang kesehatan (setingkat provinsi), dan juga wakil lembaga pemerintah bidang perencanaan tingkat nasional.

Dalam pertemuan tersebut, diperkenalkan jargon perubahan prilaku; “ Menjadi Tetangga yang Baik”.
Jika kita kembali pada fakta saat manusia pertama kali hidup bertetangga, maka salah satu masalah yang muncul adalah kebersihan lingkungan dan sanitasi buruk. Tiba pada keadaan tersebut, jargon “Menjadi tetangga yang baik” menurut saya jadi sangat relevan. Ada dua landasan argumen untuk mendukung tingkat relevansinya.

Pertama, aspek sejarah perkembangan manusia. Berdasarkan informasi diatas, sejak 10.000 tahun silam ketika manusia mulai hidup bertetangga masalah pertama yang muncul ialah tersangkut kebersihan lingkungan dan sanitasi, tidak berlebihan kiranya jargon ini jadi menemukan tempat untuk diterapkan. Selain itu, untuk konteks Indonesia, menjadi tetangga yang baik tentu saja jadi tantangan tersendiri. Terutama untuk masyarakat yang hidup di perkotaan (Urban).

Bukan apa-apa, saat masyarakat kota berhadap-hadapan dengan berbagai masalah terkait kemiskinan, ketimpangan ekonomi, serta ancaman bencana ekologis dalam hidup bertetangga secara tidak sadar kita sering terjebak ke kubangan individualistik nan egois akut. Jadi jangan heran jika semuanya berujung pada sikap masa bodoh dengan sekeliling kita, termasuk didalam itu para tetangga.

Landasan argumentasi kedua dari jargon diatas ialah; jawaban permasalahan masyarakat kota. Seperti yang kita ketahui bersama, beberapa waktu silam Badan Pusat Statistik telah merilis persentasi masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan. Bayangkan, sampai menyentuh angka 52 %, tidak hanya itu, bahkan ada kecendrungan bertumbuh tiap tahun. Jika sebatas angka saja tentu tidak masalah. Tapi, bagaimana jika angka tadi disandingkan dengan luas wilayah perkotaan.

Tentu saja masalah (kembali) bermula.

Dengan jumlah luas kota yang tidak bertambah, namun penghuni semakin banyak, niscaya akan bermuara pada tanggung jawab pada lingkungan. Sekali lagi tidak terkecuali saat hidup bertetangga. Soalnya bukan sebatas kemampuan tebar senyum pagi hari ke tetangga, namun pada sebarapa mengerti kita pada kewajiban bersama dalam hidup bertetangga. Salah satunya, seberapa aman dan nyaman tetangga kita terhadap segala bentuk tindak laku kita. Misalnya, apakah tangki penampungan tinja kita tidak mencemari sumber air tetangga?           

Nah, kenyataannya, dengan hamparan luas perkotaan yang tidak bertambah memaksa rumah yang dibangun tentunya akan berdekatan. Atau dengan kata lain, perumahan di perkotaan itu padat. Disaat bersamaan, jika mengacu pada PermenPUPR 33/2016 tentang jarak “ideal” antara sumber air (sumur dangkal) dan tangki penampungan tinja adalah diatas 10 meter. Bukankah ini mustahil. Pun, kita mampu membangun dengan jarak yang sesuai dengan aturan tersebut, pertanyaannya, bagaimana dengan rumah tetangga?

Disinilah jargon “Menjadi Tetangga yang Baik” menemukan tempat untuk bekerja. Bentuknya bisa dengan memastikan tangki penampungan tinja kita tidak menjadi penyebab tercemarnya sumber air tetangga. Bagaimana caranya? Tentu saja dengan membikin tangki penampungan tinja di rumah kita kedap. Ini bukan satu-satunya solusi tentu saja, minimal, satu potensi masalah antara hidup bertetangga jadi terhindar. Terutama untuk menjawab tantangan bangunan rumah yang padat di perkotaan.

Namun, apakah jargon ini selamanya bisa bekerja. Menurut saya tidak juga. Terutama bagi mereka yang mengidap ochlophobia (takut akan keramaian).

Jadi, jika anda tidak mampu menjadi tetangga yang baik, saran saya, sebaiknya periksa diri ke psikiater. Jangan-jangan anda pengidap ochlophobia.

Tabik.