SKM dan STR; Solusi atau Masalah (?)
Apapun jalan ceritanya dan
bagaimanapun bentuknya, saat berbicara soal ilmu kesehatan masyarakat pasti
akan bermuara pada terwujudnya cita-cita masyarakat yang sehat. Mulai dengan
cara mempelajari sejarah atau trend dari sebuah penyakit hingga beragam upaya penyebarluasan
informasi yang bertujuan mencegah terjadinya kesakitan. Sederhananya, semua itu
akan lebih detil tertuang di dalam pembahasan spesifik ilmu kesehatan
masyarakat.
Persoalannya kemudian ialah;
bagaimana menjembatani kesenjangan antara “das
sollen” (cita ideal) ilmu kesehatan masyarakat dan “das sein” (kenyataan) kesehatan masyarakat di republik ini.
Kesenjangan tersebut pastinya telah mengganggu tidur pada para penggiat
kesehatan masyarakat di negeri ini, mulai dari sang pembaharu Tirto Adhi Soerjo
hingga adik-adik yang akan lulus dan mendapat gelar yang berhubungan dengan
kesehatan esok hari.
Atau jika kita lebih spesifik
lagi, bagaimana dengan SKM sendiri terhadap kesenjangan tersebut ?
Saat ini, jika berbicara ihwal
SKM, kita tidak bisa lepas dari terminologi baru berdasarkan UU No. 36 Tahun
2014 tentang tenaga kesehatan. Yang mana, Sarjana Kesehatan Masyarakat terbagi
lagi dalam enam jenis tenaga kesehatan sesuai dengan keahliannya. Atau yang
saat ini dikenal dengan istilah kompetensi.
Berbicara ihwal kompetensi, saya
tertarik dengan sebuah tulisan yang muncul pada laman kemas.id seminggu yang
lalu. Yang mana, penulis memaparkan persoalan Surat Tanda Registrasi (STR) untuk
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM). Mulai dari penjelasan landasan hukum dari
STR hingga permasalahan SKM terkait STR itu sendiri.
Sekilas tulisan tersebut dengan
terang benderang menjelaskan permasalahan STR bagi SKM. Namun jika dua kilas,
ternyata ada beberapa hal yang menyisakan pertanyaan terkait SKM dan STR.
KEILMUAN
Hal pertama yang mengganggu
pikiran saya ialah persoalan keilmuan dari SKM itu sendiri. Bagi saya ini
penting, karena sebelum kita meminta dengan penuh kesadaran untuk diberi
dispensasi mekanisme pengurusan STR bagi SKM ada baiknya kita (masing-masing
SKM) bertanya secara jujur seberapa pantas kita memperoleh selembar surat tanda
registrasi tersebut.
Karena jika mengacu pada berbagai
mata kuliah yang harus ditempuh oleh seorang calon SKM, seberapa banyak yang
secara penuh menunjukkan kompetensi seorang SKM ketika tiba ditengah masyarakat
pasca kuliah nantinya.
Kita jangan berbicara berbagai
bentuk kuliah ditengah masyarakat (baca: Praktek Belajar Lapangan/PBL) yang
selalu jadi jualan masing-masing kampus. Yang mana itupun masih menjadi polemik
jika diperhadapkan pada sebuah pertanyaan retoris; seberapa berguna pengalaman
di PBL tadi saat keluar dari kampus? Paling jauh bagi anak FKM, pengalaman PBL
tadi hanya berguna ketika Kuliah Kerja Nyata (KKN). Makanya, saat KKN profesi
kesehatan posisi strategis banyak diduduki oleh anak FKM. Misalnya ketua kelompok
atau bahkan Koordinator Kabupaten/Kota. Itu saja. Selebihnya belum tentu.
Terlebih lagi jika kita berbicara
muatan-muatan materi pada setiap perkuliahan yang menurut saya masih jauh
panggang dari api jika mengacu pada hasil-hasil rapat kerja AIPTKMI beberapa
tahun silam. Untuk lebih jelasnya permasalahan ini telah saya ulas disini
.
KOMPETENSI
Selain permasalahan keilmuan,
masalah mendasar dari SKM atau mahasiswa calon SKM itu sendiri adalah
kompetensi. Anggaplah semua mata kuliah yang diajarkan pada bangku kuliah
masing-masing universitas sudah sesuai dengan porsinya untuk seorang calon SKM.
Pertanyaan lanjutannya, apakah kompetensi yang tercipta kemudian layak atau
berhak untuk mendapatkan selembar STR ?
Hal ini tentu saja akan jadi
sebuah perdebatan sendiri. Karena jika kita kembali pada jargon ilmu kesehatan
masyarakat yang bermuara pada terciptanya kondisi yang sehat dari sebuah
komunitas, bagaimana seorang SKM dengan STR-nya berperan. Pertanyaan ini
bermaksud melihat dari sudut pandang berbeda untuk sebuah eksistensi SKM. Apakah
SKM membutuhkan STR atau tidak.
Karena jika berbicara keberadaan
SKM, terutama saat berada ditengah-tengah masyarakat, kebanyakan dari mereka
sering terjebak dalam sebuah kegamangan: bisa berbuat apa ? seberapa berperan ?
dan masih banyak lagi pertanyaan yang sebenarnya akan bermuara seberapa dibutuhkannya
ilmu kesehatan masyarakat yang didapatkan pada bangku kuliah saat mereka
diperhadapkan permasalahan kesehatan yang terjadi di masyarakat.
STR Jaminan kerja (?)
Belum usai pertanyaan terkait
keilmuan dan kompetensi tersebut, kenyataannya berbagai informasi yang
berhubungan dengan peluang kerja bagi SKM telah mewajibkan kepemilikan selembar
STR. Ini tentu jadi persoalan lagi. Karena ketika dua isu diatas belum
diselesaikan, sebuah hil yang mustahal seorang mahasiswa FKM akan begitu percaya
dirinya menyandang gelar SKM nantinya. Sebab setelah bersusah payah menempuh
waktu studi di sebuah kampus, toh lagi diperhadapkan pada kenyataan untuk
memiliki selembar kertas yang menjadi penanda bahwa dia berkompetensi SKM.
Meskipun pada kenyataanya,
informasi lowongan kerja yang mensyarakan kepemilikan STR masih lebih spesifik
berasal dari institusi pemerintah beserta turunannya, tetap saja ini menjadi
sebuah permasalahan serius.
Sehubungan dengan hal diatas, ada
sebuah fenomena menarik pada postingan
saya disini
terkait lowongan untuk SKM pada waktu kemarin (14 Juli 2017). Dalam kurun waktu
24 jam, jumlah pengunjungnya sudah menempuh angka 250. Yang mengacu pada
layanan analisis milik sebuah mesin pencari raksasa saat ini; jumlah
pengunjungnya permenit adalah 1 orang. Dan hingga pengeposan tulisan ini pada laman
pribadi daring saya sudah menembus angka 700 yang melihat.
Meskipun jumlah kunjungan
tersebut masih terbilang kecil namun ada beberapa informasi yang kita bisa
dapatkan dari kondisi itu. Pertama, tingginya antusiasme para pencari kerja
saat ini. Terkhusus bagi seorang SKM. Disaat makin menjamur pendirian FKM,
tentu saja diikuti dengan peningkatan secara signifikan jumlah SKM setiap
tahunnya. Hal ini, jika tidak diikuti dengan ketersediaan lapangan kerja yang memungkinkan
tentu saja akan terjadi ledakan jumlah SKM. Jadi sebelum kita mempermasalahkan
ledakan penduduk dan hubunganya dengan masalah kesehatan yang mengancam,
sebaiknya ledakan jumlah SKM yang tidak bekerja juga harus mendapat perhatian
yang cukup.
Kedua, info lowongan tersebut
tidak mensyaratkan kepemilikan STR. Terlepas dari baik-buruk atau penting
tidaknya sebuah STR bagi SKM, info lowongan ini bisa jadi sebuah angin segar
bagi seorang SKM. Apa pasal ? karena cukup bermodalkan pengalaman (dengan
jumlah tahun tertentu) dan komitmen bekerja dengan masyarakat yang dibuktikan
dengan daftar riwayat hidup beserta surat lamaran, seorang SKM sudah bisa
mengikuti seleksi penerimaan kerja. Cukup mudah bukan?
Ketiga, lebih mengena dengan ilmu
kesehatan masyarakat. Dari semua informasi yang di khususkan untuk seorang SKM,
info lowongan tersebut menjadi salah satu pilihan. Terutama untuk adik-adik
calon SKM mohon buang jauh-jauh keinginan bekerja hanya menjadi Aparatur Sipil
Negara/ASN (saja). Karena selain kuota penerimaannya yang sangat terbatas atau
seleksi penerimaannya yang masih jauh dari kondisi yang diinginkannya, bekerja
itu bukan hanya menjadi ASN saja.
Akhir kata, menyitir adagium Rane
Descartes: “Aku berfikir maka aku ada”, maka untuk seorang SKM menjadi : “Aku SKM maka aku bekerja”(dengan atau
tanpa STR), mungkin tidak terlalu berlebihan. Karena dengan bekerja seorang SKM
menjadi lebih memiliki eksistensi. Terlepas dari apakah dia membutuhkan STR
atau tidak. Atau jangan-jangan justru STR-lah yang jadi penghalang SKM untuk
bisa bekerja. Semoga saja tidak.
Amin.