Jadi Pencemar atau Pencegah
Membincang seputar sanitasi, terutama dalam lingkup rumah tangga, bagiku bukan hal baru lagi. Setidaknya, mulai dari tahun lalu sudah mulai saya coba sampaikan. Terlebih dalam laman pribadi ini. Tujuannya cuma satu, masyarakat awam jadi paham masalah mendasarnya. Teristimewa jika itu mengancam namun tidak disadari. Karena bagi saya, cepat atau lambat penanggulangan masalah sanitasi harus diutamakan.
Hari ini, kepala berita salah
satu koran nasional membahas khusus soal ini. Bukan tanpa alasan, menurut saya.
Untaian kata terurai jadi pokok bahasan dalam koran tersebut
berhubungan dengan peringatan hari ini, Hari Toilet Sedunia. Selain itu, juga
dalam rangka menarik (sedikit) perhatian kita pada masalah limbah domestic.
Sialnya, hingga sekarang masih saja ini belum jadi prioritas. Setidaknya kebanyakan
dari kita. Mungkin ada hubungannya dengan “letak” dalam pembagian ruang rumah
kita. Dibelakang. Jadi tidak diindahkan.
Namun apakah karena letaknya di bagian
belakang rumah, menjadikan bahasan sanitasi ikut-ikutan tidak penting
?Menurut saya, justru sebaliknya. Ini penting. Apalagi mencakup berbagai dampak
buruk. Misalnya berpengaruh pada kualitas air.
Jika kita mengacu pada bahasan
media cetak tadi, meski sudah ada provinsi dengan akses sanitasi layak diatas
80%, tidak menjadikan program 100 – 0 – 100 di tahun 2019 bisa terwujud dengan
mudah. Penyebabnya, jika diakumulasi 30 provinsi dan memasukkan variable akses
sanitasi layak, persentasnya hanya menyentuh angka 76%. Ini belum termasuk
aspek kepemilikan sarana pengolahan limbah domestic (IPLT) pada tingkat provinsi,
baik berfungsi secara optimal atau bahkan belum memiliki. Angka tersebut tentu
akan semakin menurun.
Tapi tenang, pengelola negara
hingga saat ini baru memasukkan kategori sanitasi layak. Jika dinaikkan
statusnya jadi sanitasi aman, akumulasi persentasi akses tadi saya yakin akan turun.
Perbedaan mendasar antara sanitasi layak dan aman, telah saya bahas disini.
Meskipun sampel dari media diatas
adalah DKI Jakarta, tetap saja kondisi tidak jauh berbeda terjadi
di provinsi
lain. Terutama masyarakat perkotaan. Karena di kota, lahan jadi masalah pokok.
Mungkin kita pernah mendengar jarak ideal penampungan tinja dan sumber air (sumur)
adalah 10 meter. Dan, mungkin (lagi) jarak tersebut sudah kita (upayakan) penuhi di rumah kita. Namun bagaimana dengan tetangga ?Bagaimana jika
penampungan tinja mereka bersebelahan dengan sumber air rumah kita ?Parahnya
lagi, jika dari sumber tersebut digunakan untuk minum. Bukankah secara tidak
langsung kita minum air tinja tetangga ?Maaf.
Masalah ini belum seberapa, jika
ternyata disandingkan dengan fakta prilaku buang air besar sembarang masih
jamak. Apalagi jika sumber air baku (sungai, kali, mata air, dll) sebuah sebuah
kota jadi sasaran masyarakatnya. Bisa dibayangkan, bukan?
***
Gambaran diatas bukan imajinasi
saya semata. Karena jika mau jujur, pernahkah kita bertanya pada keluarga dan
orang sekitar, apakah penampungan tinja sehari-hari pernah disedot ?kalaupun
pernah, apa penyebabnya? Jika belum pernah, kira-kira kemana tinja yang kita
hasilkan setiap hari? Terserap ketanah, tentu saja. Sangat menjijikkan bukan. Apalagi
jika diakumulasi dengan jumlah tahun kita hidup.
Saya ambil contoh disini.
Sejak akhir tahun 2016 saya
berada di Provinsi Maluku. Tepatnya kabupaten Maluku Tengah. Jika kita mengacu
pada koran milik Jakob Oetama hari ini, Provinsi Maluku masuk dalam sepuluh
besar provinsi pemilik akses sanitasi layak. Tidak tanggung-tanggung, angkanya
menyentuh pada titik 84,6%. Cukup menggembirakan, bukan?
Satu sisi ini cukup
menggembirakan. Disisi lain, jika angka tersebut benar adanya tentu masih perlu
pemeriksaan lebih jauh. Diantaranya, apa saja kategori dari sanitasi layak tadi
?Pun kita berandai-andai, kategori sanitasi layak tadi adalah penampungan tinja
kedap, pertanyaan kembali muncul. Sudahkah 11 kabupaten/kota memiliki sarana
pengolahan lumpur tinja ?
Kepemilikan sarana tersebut untuk
saat ini tentu jadi soal terpisah pada peningkatan sarana sanitasi. Namun bukan
berarti tidak penting untuk jadi perhatian 9 Bupati dan 2 Walikota di Provinsi
Maluku. Karena bagaimanapun, jika kita bersepakat bahwa memiliki penampungan
tinja kedap adalah sebuah keniscayaan, maka memiliki sarana pengolahan lumpur
tinja tingkat kabupaten/kota tadi jadi sebuah keharusan dengan sendirinya.
Akhir kata, dalam rangka peringatan
hari toilet sedunia kali ini, sebaiknya kita renungkan pertanyaan; sudah berapa
kubik kita dan keluarga turut serta dalam berbagai bentuk pencemaran tanah
akibat limbah sendiri ?
Tabik.