Jadi Pencemar atau Pencegah

November 19, 2018 Mashuri Mashar S.KM 0 Comments



Membincang seputar sanitasi, terutama dalam lingkup rumah tangga, bagiku bukan hal baru lagi. Setidaknya, mulai dari tahun lalu sudah mulai saya coba sampaikan. Terlebih dalam laman pribadi ini. Tujuannya cuma satu, masyarakat awam jadi paham masalah mendasarnya. Teristimewa jika itu mengancam namun tidak disadari. Karena bagi saya, cepat atau lambat penanggulangan masalah sanitasi harus diutamakan.

Hari ini, kepala berita salah satu koran nasional membahas khusus soal ini. Bukan tanpa alasan, menurut saya. Untaian kata terurai jadi pokok bahasan dalam koran tersebut berhubungan dengan peringatan hari ini, Hari Toilet Sedunia. Selain itu, juga dalam rangka menarik (sedikit) perhatian kita pada masalah limbah domestic. Sialnya, hingga sekarang masih saja ini belum jadi prioritas. Setidaknya kebanyakan dari kita. Mungkin ada hubungannya dengan “letak” dalam pembagian ruang rumah kita. Dibelakang. Jadi tidak diindahkan.

Namun apakah karena letaknya di bagian belakang rumah, menjadikan bahasan sanitasi ikut-ikutan tidak penting ?Menurut saya, justru sebaliknya. Ini penting. Apalagi mencakup berbagai dampak buruk. Misalnya berpengaruh pada kualitas air.

Jika kita mengacu pada bahasan media cetak tadi, meski sudah ada provinsi dengan akses sanitasi layak diatas 80%, tidak menjadikan program 100 – 0 – 100 di tahun 2019 bisa terwujud dengan mudah. Penyebabnya, jika diakumulasi 30 provinsi dan memasukkan variable akses sanitasi layak, persentasnya hanya menyentuh angka 76%. Ini belum termasuk aspek kepemilikan sarana pengolahan limbah domestic (IPLT) pada tingkat provinsi, baik berfungsi secara optimal atau bahkan belum memiliki. Angka tersebut tentu akan semakin menurun.

Tapi tenang, pengelola negara hingga saat ini baru memasukkan kategori sanitasi layak. Jika dinaikkan statusnya jadi sanitasi aman, akumulasi persentasi akses tadi saya yakin akan turun. Perbedaan mendasar antara sanitasi layak dan aman, telah saya bahas disini.

Meskipun sampel dari media diatas adalah DKI Jakarta, tetap saja kondisi tidak jauh berbeda terjadi 
di provinsi lain. Terutama masyarakat perkotaan. Karena di kota, lahan jadi masalah pokok. Mungkin kita pernah mendengar jarak ideal penampungan tinja dan sumber air (sumur) adalah 10 meter. Dan, mungkin (lagi) jarak tersebut sudah kita (upayakan) penuhi di rumah kita. Namun bagaimana dengan tetangga ?Bagaimana jika penampungan tinja mereka bersebelahan dengan sumber air rumah kita ?Parahnya lagi, jika dari sumber tersebut digunakan untuk minum. Bukankah secara tidak langsung kita minum air tinja tetangga ?Maaf.

Masalah ini belum seberapa, jika ternyata disandingkan dengan fakta prilaku buang air besar sembarang masih jamak. Apalagi jika sumber air baku (sungai, kali, mata air, dll) sebuah sebuah kota jadi sasaran masyarakatnya. Bisa dibayangkan, bukan?

***

Gambaran diatas bukan imajinasi saya semata. Karena jika mau jujur, pernahkah kita bertanya pada keluarga dan orang sekitar, apakah penampungan tinja sehari-hari pernah disedot ?kalaupun pernah, apa penyebabnya? Jika belum pernah, kira-kira kemana tinja yang kita hasilkan setiap hari? Terserap ketanah, tentu saja. Sangat menjijikkan bukan. Apalagi jika diakumulasi dengan jumlah tahun kita hidup.

Saya ambil contoh disini.

Sejak akhir tahun 2016 saya berada di Provinsi Maluku. Tepatnya kabupaten Maluku Tengah. Jika kita mengacu pada koran milik Jakob Oetama hari ini, Provinsi Maluku masuk dalam sepuluh besar provinsi pemilik akses sanitasi layak. Tidak tanggung-tanggung, angkanya menyentuh pada titik 84,6%. Cukup menggembirakan, bukan?

Satu sisi ini cukup menggembirakan. Disisi lain, jika angka tersebut benar adanya tentu masih perlu pemeriksaan lebih jauh. Diantaranya, apa saja kategori dari sanitasi layak tadi ?Pun kita berandai-andai, kategori sanitasi layak tadi adalah penampungan tinja kedap, pertanyaan kembali muncul. Sudahkah 11 kabupaten/kota memiliki sarana pengolahan lumpur tinja ?

Kepemilikan sarana tersebut untuk saat ini tentu jadi soal terpisah pada peningkatan sarana sanitasi. Namun bukan berarti tidak penting untuk jadi perhatian 9 Bupati dan 2 Walikota di Provinsi Maluku. Karena bagaimanapun, jika kita bersepakat bahwa memiliki penampungan tinja kedap adalah sebuah keniscayaan, maka memiliki sarana pengolahan lumpur tinja tingkat kabupaten/kota tadi jadi sebuah keharusan dengan sendirinya.

Akhir kata, dalam rangka peringatan hari toilet sedunia kali ini, sebaiknya kita renungkan pertanyaan; sudah berapa kubik kita dan keluarga turut serta dalam berbagai bentuk pencemaran tanah akibat limbah sendiri ?

Tabik.