SANITASI dan Air Minum Tahun 2018

Desember 25, 2017 Mashuri Mashar S.KM 0 Comments




Tidak terasa, beberapa hari kedepan kita tinggalkan tahun 2017 dan masuk tahun 2018. Yang bagi sebagian orang di beberapa kabupaten/kota serta provinsi adalah tahun politik. Apakah tahun depan hanya melulu ihwal politik saja ? bagi saya tidak. Hal lain yang menjadikan tahun depan menarik ialah evaluasi kondisi sanitasi dan air minum dalam rangka mewujudkan Universal Access 2019 (UA2019).

Bagi tuan dan puan yang baru mendengar dua kata terakhir diatas, izinkan hamba memberikan secuil gambaran terkait sebagai pembuka tulisan ini.

Program UA2019 adalah program yang mencakup pencapaian tiga aspek. Akses terhadap air minum yang layak (100%), aspek kekumuhan (0%), dan aspek sanitasi yang aman (100%). Sehingga program ini dikenal juga dengan jargon 100-0-100. Ketiga aspek tadi diharapkan tercapai di tahun 2019 pada 30 provinsi di Republik ini. Sekali lagi ini merupakan penjabaran dari salah satu amanat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025: “Pembangunan dan penyediaan air minum dan sanitasi diarahkan untuk mewujudkan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat”

Kita kembali pada jawaban pertanyaan awal paragraph pertama tulisan ini.

Apakah gaung UA2019 ini begitu terasa? Jawabannya bisa iya bisa juga tidak. Iya, karena para penyelenggara negara begitu seriusnya dalam mewujudkan mimpi terkait sanitasi di tahun 2019 ini. Salah satu sebabnya program ini masuk dalam NAWACITA pemerintahan Jokowi. Sehingga jangan kaget jika komitmen ini berbuah beragam kegiatan di tingkat masyarakat. Mulai dari hasil prakarsa lembaga pemerintah --dari kementrian hingga Satuan Kerja Pemerintah Daerah—hingga lembaga non pemerintah.

Bahkan, sumber anggarannya beraneka ragam. Mulai dari Pendapatan Asli Daerah, hingga sumber lain-lain penerimaan daerah yang sah. Namun pertanyaannya kemudian; mengingat tidak sedikit upaya serta lembaga atau program yang telah jalan untuk mewujudkan UA2019, apakah berlebihan jika di penghujung tahun 2017 ini kita optimis?

Bagi saya, rasa optimis ini kita tahan dulu. Bukan karena besarnya energy yang dihabiskan untuk keluar dari permasalahan sanitasi, air minum dan kekumuhan tadi adalah sia-sia belaka. Namun, apakah semangat yang sama juga dirasakan oleh masyarakat sebagai subyek dari program tersebut. Disinilah soalnya bermula.

Hal lain yang masih perlu untuk ditelaah adalah tingkat pemahaman masyarakat kita terkait pentingnya sanitasi yang aman, pengolahan air minum yang layak, serta keluar dari kondisi kumuh itu sendiri. Karena jika ketiga aspek diatas bisa terwujud, yang paling merasakan manfaatnya adalah masyarakat itu sendiri. Dan menariknya, tanpa bermaksud menyampingkan aspek kumuh, kenyataannya antara sanitasi yang aman dan air minum yang layak sebenarnya saling berhubungan.

SANITASI dan PERTUMBUHAN PENDUDUK

Jika kita mengacu pada data Bank Dunia, populasi penduduk Indonesia di desa dan kota pada tahun 2010 mengalami lonjakan cukup berarti. Bahkan, di tahun 2015 terdapat sekitar 54% atau 110-130 juta jiwa dari total jumlah penduduk Indonesia yang bermukim di Kota. Dari sini kita bisa berkesimpulan bahwa sejak tahun 2010 minat masyarakat pedesaan untuk datang ke kota sangat besar. Yang disaat bersamaan juga akan memberi dampak pada peluang terciptanya masalah kesehatan baru. Salah satunya pemukiman. Termasuk didalamnya sanitasi, sumber air minum dan kekumuhan tadi.

Inilah yang sebelumnya saya katakan sebagai permasalahan dimana hubungannya dengan pemahaman. Tanpa bermaksud menggugat aras niat mereka untuk urbanisasi, bagi saya mimpi untuk mengais secuil rejeki di kota adalah sah-sah saja, masalahnya kemudian ialah; tanpa dibekali sebuah rencana yang matang bukankah jusru hanya menjerumuskan diri pada masalah kesehatan baru.

Sebabnya tidak lain karena 54% masyarakat Indonesia yang bermukim di daerah perkotaan masih belum bisa keluar dari permasalahan mendasar seputar sanitasi dan air minum, apa lagi kekumuhan itu sendiri. Bayangkan, data dari Asian Developmen Bank (2013) dan UNICEF (2012) dari 110-130 juta jiwa yang hidup di perkotaan, sekitar 62% rumah yang menggunakan tangki septik tanpa melalui pengolahan air limbah. Belum lagi dari total jumlah penduduk yang diperkotaan tadi sekitar 14% masih berprilaku buang air besar sembarangan.

Bisa dibayangkan bagaimana kesemrawutan yang terjadi di kota, bukan? Sialnya jika hal ini tidak menjadi perhatian dari para pelaku urbanisasi yang jamak dilakukan pada arus balik paska peringatan hari-hari besar agama tertentu. Apalagi mereka yang saat ini tengah bermukim di perkotaan.

Masalah lain terkait pertumbuhan penduduk dan sanitasi/air minum adalah pada masyarakat yang telah mendiami perkotaan. Selain pertumbuhan penduduk akibat dari urbanisasi, bukankah jumlah pertumbuhan penduduk juga terjadi karena banyak faktor. Salah satunya perkawinan dan mobilisasi penduduk antar daerah perkotaan itu sendiri. Dan bukan tidak mungkin bisa berimplikasi pada meningkatnya permasalah sanitasi dan air minum.

Berangkat dari permasalahan diatas, pertanyaan lanjutannya ialah apa yang bisa dilakukan, terkhusus untuk masyarakat perkotaan atau mereka yang berniat untuk bermukim di perkotaan?

SOLUSI

Untuk menjawab ini, terlebih dahulu saya ingin memulai dengan sebuah informasi kesehatan yang mengatakan konon jarak yang aman untuk membangun penampung limbah kloset dengan sumber air adalah 10 meter.

Secara sepintas tidak ada yang keliru dengan pernyataan ini. Namun jika dua pintas, apakah jarak tersebut memungkinkan diterapkan pada masyarakat kota dimana pemukimannya dari hari kehari semakin padat? Jawabannya tentu saja tidak. Sehingga diperlukan sebuah jalan keluar untuk konteks masyarakat perkotaan yang makin padat dari hari ke hari.

Salah satu jalan keluarnya adalah penampung tinja harus dibangun kedap. Sehingga meskipun berdampingan dengan sumber air, tidak ada masalah yang mengikuti. Namun, ihwal penampungan tinja ini tidak berhenti ternyata. Karena pun jika dibangun kedap, bukankah peluang untuk menjadi penuh kemudian mengancam.

Disinilah kemudian dibutuhkan informasi terkait pilihan teknologi dan system pengolahan lumpur tinja. Salah satu pilhan teknologinya adalah upflow filter. Atau, salah duanya dengan membangun resapan pada bak kedua setelah bak penampungan tinja yang kedap . Selain itu, seperti yang saya katakan diawal paragraph ini, system pengolahan lumpur tinja juga harus berjalan. Untuk bagian yang terakhir ini adalah adalah menjadi peran dari pengelola negara, terlebih lagi tingkat satuan pelaksana pemerintah daerah.

Berangkat dari kondisi tersebut, bagaimanakah dengan system pengolahan limbah rumah tangga kita, masing-masing? Atau untuk mereka yang tergoda melakukan urbanisasi, sudah matangkah persiapan anda terkait hal diatas ? jika belum, silahkan berfikir kembali sebelum menjadi penyumbang baru terhadap berbagai kerusakan  tanah dan sumber air baku yang dari hari ke hari semakin sempit di perkotaan.


Salam takzim.