SANITASI dan Air Minum Tahun 2018
Tidak terasa, beberapa hari
kedepan kita tinggalkan tahun 2017 dan masuk tahun 2018. Yang bagi sebagian
orang di beberapa kabupaten/kota serta provinsi adalah tahun politik. Apakah tahun
depan hanya melulu ihwal politik saja ? bagi saya tidak. Hal lain yang
menjadikan tahun depan menarik ialah evaluasi kondisi sanitasi dan air minum dalam
rangka mewujudkan Universal Access 2019 (UA2019).
Bagi tuan dan puan yang baru
mendengar dua kata terakhir diatas, izinkan hamba memberikan secuil gambaran terkait
sebagai pembuka tulisan ini.
Program UA2019 adalah program
yang mencakup pencapaian tiga aspek. Akses terhadap air minum yang layak (100%),
aspek kekumuhan (0%), dan aspek sanitasi yang aman (100%). Sehingga program ini
dikenal juga dengan jargon 100-0-100. Ketiga aspek tadi diharapkan tercapai di
tahun 2019 pada 30 provinsi di Republik ini. Sekali lagi ini merupakan
penjabaran dari salah satu amanat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
2005-2025: “Pembangunan dan penyediaan air minum dan sanitasi diarahkan untuk
mewujudkan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat”
Kita kembali pada jawaban pertanyaan
awal paragraph pertama tulisan ini.
Apakah gaung UA2019 ini begitu
terasa? Jawabannya bisa iya bisa juga tidak. Iya, karena para penyelenggara
negara begitu seriusnya dalam mewujudkan mimpi terkait sanitasi di tahun 2019
ini. Salah satu sebabnya program ini masuk dalam NAWACITA pemerintahan Jokowi. Sehingga
jangan kaget jika komitmen ini berbuah beragam kegiatan di tingkat masyarakat.
Mulai dari hasil prakarsa lembaga pemerintah --dari kementrian hingga Satuan
Kerja Pemerintah Daerah—hingga lembaga non pemerintah.
Bahkan, sumber anggarannya beraneka
ragam. Mulai dari Pendapatan Asli Daerah, hingga sumber lain-lain penerimaan
daerah yang sah. Namun pertanyaannya kemudian; mengingat tidak sedikit upaya serta
lembaga atau program yang telah jalan untuk mewujudkan UA2019, apakah
berlebihan jika di penghujung tahun 2017 ini kita optimis?
Bagi saya, rasa optimis ini kita
tahan dulu. Bukan karena besarnya energy yang dihabiskan untuk keluar dari
permasalahan sanitasi, air minum dan kekumuhan tadi adalah sia-sia belaka. Namun,
apakah semangat yang sama juga dirasakan oleh masyarakat sebagai subyek dari
program tersebut. Disinilah soalnya bermula.
Hal lain yang masih perlu untuk
ditelaah adalah tingkat pemahaman masyarakat kita terkait pentingnya sanitasi
yang aman, pengolahan air minum yang layak, serta keluar dari kondisi kumuh itu
sendiri. Karena jika ketiga aspek diatas bisa terwujud, yang paling merasakan
manfaatnya adalah masyarakat itu sendiri. Dan menariknya, tanpa bermaksud menyampingkan
aspek kumuh, kenyataannya antara sanitasi yang aman dan air minum yang layak
sebenarnya saling berhubungan.
SANITASI dan PERTUMBUHAN PENDUDUK
Jika kita mengacu pada data Bank
Dunia, populasi penduduk Indonesia di desa dan kota pada tahun 2010 mengalami
lonjakan cukup berarti. Bahkan, di tahun 2015 terdapat sekitar 54% atau 110-130
juta jiwa dari total jumlah penduduk Indonesia yang bermukim di Kota. Dari sini
kita bisa berkesimpulan bahwa sejak tahun 2010 minat masyarakat pedesaan untuk
datang ke kota sangat besar. Yang disaat bersamaan juga akan memberi dampak
pada peluang terciptanya masalah kesehatan baru. Salah satunya pemukiman. Termasuk
didalamnya sanitasi, sumber air minum dan kekumuhan tadi.
Inilah yang sebelumnya saya katakan
sebagai permasalahan dimana hubungannya dengan pemahaman. Tanpa bermaksud
menggugat aras niat mereka untuk urbanisasi, bagi saya mimpi untuk mengais
secuil rejeki di kota adalah sah-sah saja, masalahnya kemudian ialah; tanpa
dibekali sebuah rencana yang matang bukankah jusru hanya menjerumuskan diri
pada masalah kesehatan baru.
Sebabnya tidak lain karena 54%
masyarakat Indonesia yang bermukim di daerah perkotaan masih belum bisa keluar
dari permasalahan mendasar seputar sanitasi dan air minum, apa lagi kekumuhan
itu sendiri. Bayangkan, data dari Asian Developmen Bank (2013) dan UNICEF
(2012) dari 110-130 juta jiwa yang hidup di perkotaan, sekitar 62% rumah yang
menggunakan tangki septik tanpa melalui pengolahan air limbah. Belum lagi dari
total jumlah penduduk yang diperkotaan tadi sekitar 14% masih berprilaku buang
air besar sembarangan.
Bisa dibayangkan bagaimana
kesemrawutan yang terjadi di kota, bukan? Sialnya jika hal ini tidak menjadi
perhatian dari para pelaku urbanisasi yang jamak dilakukan pada arus balik
paska peringatan hari-hari besar agama tertentu. Apalagi mereka yang saat ini
tengah bermukim di perkotaan.
Masalah lain terkait pertumbuhan
penduduk dan sanitasi/air minum adalah pada masyarakat yang telah mendiami
perkotaan. Selain pertumbuhan penduduk akibat dari urbanisasi, bukankah jumlah
pertumbuhan penduduk juga terjadi karena banyak faktor. Salah satunya
perkawinan dan mobilisasi penduduk antar daerah perkotaan itu sendiri. Dan
bukan tidak mungkin bisa berimplikasi pada meningkatnya permasalah sanitasi dan
air minum.
Berangkat dari permasalahan
diatas, pertanyaan lanjutannya ialah apa yang bisa dilakukan, terkhusus untuk
masyarakat perkotaan atau mereka yang berniat untuk bermukim di perkotaan?
SOLUSI
Untuk menjawab ini, terlebih
dahulu saya ingin memulai dengan sebuah informasi kesehatan yang mengatakan
konon jarak yang aman untuk membangun penampung limbah kloset dengan sumber air
adalah 10 meter.
Secara sepintas tidak ada yang
keliru dengan pernyataan ini. Namun jika dua pintas, apakah jarak tersebut
memungkinkan diterapkan pada masyarakat kota dimana pemukimannya dari hari
kehari semakin padat? Jawabannya tentu saja tidak. Sehingga diperlukan sebuah
jalan keluar untuk konteks masyarakat perkotaan yang makin padat dari hari ke
hari.
Salah satu jalan keluarnya adalah
penampung tinja harus dibangun kedap. Sehingga meskipun berdampingan dengan
sumber air, tidak ada masalah yang mengikuti. Namun, ihwal penampungan tinja
ini tidak berhenti ternyata. Karena pun jika dibangun kedap, bukankah peluang
untuk menjadi penuh kemudian mengancam.
Disinilah kemudian dibutuhkan
informasi terkait pilihan teknologi dan system pengolahan lumpur tinja. Salah satu
pilhan teknologinya adalah upflow filter.
Atau, salah duanya dengan membangun resapan pada bak kedua setelah bak
penampungan tinja yang kedap . Selain itu, seperti yang saya katakan diawal paragraph
ini, system pengolahan lumpur tinja juga harus berjalan. Untuk bagian yang
terakhir ini adalah adalah menjadi peran dari pengelola negara, terlebih lagi
tingkat satuan pelaksana pemerintah daerah.
Berangkat dari kondisi tersebut,
bagaimanakah dengan system pengolahan limbah rumah tangga kita, masing-masing? Atau
untuk mereka yang tergoda melakukan urbanisasi, sudah matangkah persiapan anda
terkait hal diatas ? jika belum, silahkan berfikir kembali sebelum menjadi
penyumbang baru terhadap berbagai kerusakan
tanah dan sumber air baku yang dari hari ke hari semakin sempit di
perkotaan.
Salam takzim.