Dagelan pada Rakernas AIPTKMI IX
Setelah
mengetahui peran budaya terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat, hal
yang cukup penting lainnya adalah mengulik
peran Perguruan Tinggi. Karena seperti yang kita ketahui bersama, Perguruan
Tinggi juga memiliki peran yang tidak sedikit dalam mempengaruhi peningkatan
derajat kesehatan masyarakat itu sendiri. Menyusul trend menjamurnya perguruan
tinggi yang akhirnya melahirkan sarjana yang berhubungan dengan kesehatan,
kembali lagi kualitas para alumnilah yang akhirnya bisa membedakan antara satu
dengan yang lain.
Dan berbicara tentang kualitas Perguruan Tinggi, kita tidak bisa lepas dengan kurikulum yang berlaku dalam unversitas tersebut. Kali ini penulis lebih spesifik dengan Perguruan Tinggi yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat, dan atau yang akhirnya memberi gelar dari alumninya sebagai Sarjana Kesehatan Masyarakat.
Dan berbicara tentang kualitas Perguruan Tinggi, kita tidak bisa lepas dengan kurikulum yang berlaku dalam unversitas tersebut. Kali ini penulis lebih spesifik dengan Perguruan Tinggi yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat, dan atau yang akhirnya memberi gelar dari alumninya sebagai Sarjana Kesehatan Masyarakat.
Jika mengacu pada kesepakatan
pemberlakuan kurikulum standart program studi kesehatan masyarakat Indonesia,
yang tertuang dalam kesepakatan bersama Direktur Eksekutif Asosiasi Institusi
Pendidikan Tinggi Kesehatan Masyarakat Indonesia (AIPTKMI) dan Ketua Umum
Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) pada rapat kerja AIPTKMI IX
di Padang, adalah kurikulum standar prodi Sarjana Kesehatan Masyarakat minimal
144 sks, dengan komposisi:
1. Mata
kuliah wajib program studi (70%):
a. Mata
kuliah wajib program studi sarjana Kesmas muatan nasional (86 SKS)
b. Mata
kuliah wajib program studi sarjana Kesmas muatan lokal (15 SKS)
2. Mata
kuliah wajib peminatan (30%)
Dan dari 86 SKS atau 35 mata
kuliah tersebut yang wajib, hanya 5 – 10 mata kuliah atau 25 hingga 35 SKS yang
bisa dikatakan berhubungan dan atau bersentuhan langsung dengan masyarakat,pun
jika akhirnya dengan mata kuliah wajib muatan lokal dan wajib peminatan yang
bisa jadi jika hal tadi berhubungan erat dengan masyarakat, akhirnya hanya
maksimal pada angka 50 % saja dari total keseluruhan mata kuliah yang
diberlakukan pada seluruh Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta dari
Sabang hingga Marauke yang melahirkan Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM).
Sekilas jumlah tersebut adalah
ideal, setidaknya kemungkinan besar ini yang berkembang pada peserta RAKERNAS AIPTKMI
IX di Padang. Namun jika dua kilas, jumlah sks yang paling maksimal hanya 20 %
dari total mata kuliah wajib program studi sebenarnya sangat memprihatinkan. Karena
jika berangkat dari harapan seorang SKM nantinya bisa berperan efektif dan
maksimal ditengah masyarakat, menurut hemat penulis, bobot mata kuliah yang berhubungan
langsung dengan masyarakat dan atau bermuatan lokal wajib hukumnya mengalami
penambahan. Setidaknya bisa berkolaborasi pada berbagai budaya konteks ke
Indonesiaan. Dalam artian, ketika mata kuliah muatan lokal ditambah atau
dikurangi jumlah SKS-nya, sedikit banyak berpengaruh pada sudut pandang dari
setiap calon SKM nantinya, sebagai seorang problem
solver dan bukan malah menjadi problem
maker. Selain itu jika kita bersepakat bahwa seorang SKM dituntut harus mampu
survive dalam setiap mengatasi
permasalahan kesehatan masyarakat, adalah tidak adil jika sebelumnya para calon
SKM dilengkapi dengan “senjata” yang bisa digunakan dalam segala medan.
Ini kita belum berbicara tentang
bentuk mata kuliah yang sifatnya aplikatif dan disaat bersamaan berfungsi
ditengah masyarakat. Pun itu kita hanya lihat dalam beberapa mata kuliah saja.
Bisa dibayangkan kemudian, jika seorang SKM yang nantinya “terjebak” ditengah
masyarakat dan disaat bersamaan dituntut untuk mampu menyelesaikan berbagai
permasalahan kesehatan masyarakat namun hanya bermodalkan pengetahuan yang
aplikatif dari mata kuliah yang didapatkan di bangku kuliah berharap bisa
efektif dan maksimal. Salah satu atau bahkan bisa jadi hanya satu satunya mata
kuliah yang aplikatif dan disaat bersamaan berfungsi di tengah masyarakat (setidaknya ini yang diharapkan
oleh para pendidik di Perguruan Tinggi) adalah Praktek Belajar Lapangan (PBL).
Hampir diseluruh Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta, dan sependek yang
penulis tahu, PBL yang diberlakukan setidaknya memenuhi empat aspek, yaitu :
sosialisasi sekaligus pengumpulan data, identifikasi masalah sekaligus
prioritasi masalah, intervensi, dan yang terakhir evaluasi. Dengan catatan
terlepas dari berapa bagian pelaksanaan PBL tersebut, empat aspek diatas harus
berurut dalam pelaksanaannya. Untuk durasi, mahasiswa yang melakukan PBL
biasanya bersama masyarakat selama satu hingga dua minggu untuk setiap aspek
atau lebih. Kita ambil durasi terlama dalam pelaksanaan setiap aspek, yaitu dua
minggu. Artinya untuk mata kuliah PBL dibutuhkan waktu sekitar dua bulan waktu kalender. Pertanyaanya
kemudian dengan waktu sesingkat itu, kira-kira apa yang ada dalam kapala
masing-masing pihak, baik pengelola Perguruan Tinggi maupun mahasiswa. Bisa
jadi bagi pengelola Perguruan Tinggi, setidaknya mata kuliah PBL terlaksana dan
tidak ada complain dari masyarakat
yang mendiami lokasi PBL. Hal yang tidak jauh berbeda bisa jadi juga dialami
oleh mahasiswa sebagai peserta PBL. Disinilah letak persoalannya, karena hanya dengan
berharap waktu seminggu hingga dua minggu kemudian mahasiswa atau calon SKM
memperoleh data yang valid ketika memenuhi aspek pengumpulan data, bukankah ini
sesuatu yang mustahil?. Meski para pengelola mata kuliah PBL bisa berdalih pada
tools yang digunakan adalah rapid survei,
sekali lagi yang perlu diingat metode tersebut sangat berpotensi pada adanya gap informasi permasalahan yang terjadi
pada masyarakat sebenarnya. Sehingga pun, memasuki tahapan selanjutnya yang
berupa identifikasi masalah dan sekaligus penentuan bobot masalah untuk tujuan
prioritasi masalah akhirnya hanya terjebak pada persoalan yang artifisial saja, dan bahkan permasalahan
kesehatan masyarakat yang terungkap dalam rapid
survei, hanya menyesuaikan dengan keinginan dari Perguruan Tinggi/Kampus.
Karena daftar pertanyaan dalam rapid
survei sebelumnya adalah disusun oleh pihak Kampus dan atau pengelola mata
kuliah tersebut. Dan begitu seterusnya hingga evaluasi. Dalam artian masyarakat
dipandang sebagai obyek untuk sekedar mengukuhkan posisi Kampus seperti sebuah
Menara Gading yang (seolah) mengetahui segala permasalahan masyarakat hampir
mirip dengan konsep The Garden School
ciptaan Epikuros. Jangan heran jika
kemudian pada tahapan intervensi mata kuliah tersebut hanya berbentuk kegiatan
yang untuk mengugurkan kewajiban (saja), misalnya membersihkan halaman, membuat
tanaman obat keluarga, atau bahkan mengecat tempat sampah. Dan akhirnya calon
SKM semakin tercerabut dari trah
sebenarnya. Atau apakah ini yang diinginkan oleh Kampus?entahlah.
Selain itu RAKERNAS AIPTKMI IX di
Padang, juga melahirkan sebuah formula kompetensi seorang SKM yang nantinya
diharapkan mampu diterjemahkan dalam setiap kurikulum yang berlaku di
masing-masing Perguruan Tinggi. Kompetensi itu berjumlah delapan, antara lain:
-
Kemampuan mengkaji dan menganalisis situasi
-
Kemampuan mengembangkan perencanaan program dan
kebijakan
-
Kemampuan berkomunikasi secara efektif
-
Kemampuan memahami budaya setempat
-
Kemampuan memberdayakan masyarakat
-
Penguasaan terhadap dasar-dasar Ilmu Kesehatan
Masyarakat
-
Perencanaan keuangan dan keterampilan manajerial
-
Kemampuan memimpin dan berfikir sistem
Sekali lagi, kompetensi dasar
diatas seolah begitu sempurna. Begitu sempurna, karena jika betul runutan
kompetensi itu dikuasai seperti sejatinya makna dari setiap kata yang
dipadupadankan dalam masing-masing kompetensi, akhirnya Kampus mampu
mengembalikan trah serta meninggalkan
menara gading dan memilih lebih membumi seperti konsep academia yang dibangun oleh Plato
atau Lyceum yang dibangun oleh Aristoteles. Namun itu hanya kondisi
seolah-olah. Karena paduan dari kumpulan kompetensi diatas akhirnya semakin
mengaburkan kedirian seorang SKM itu sendiri akhirnya. Maksud saya, seharusnya
calon SKM terlebih dahulu dipetakan berdasarkan keinginannya dalam berperan
sebagai seorang problem solver yang
nantinya berada di dalam masyarakat atau di luar masyarakat. Dengan catatan
delapan kompetensi dasar tersebut, harus dipilah berdasarkan hubungannya dengan
masyarakat. Sehingga tercipta kelompok kompetensi dasar yang harus dikuasai
untuk SKM yang nantinya berada didalam masyarakat dan diluar masyarakat.
Sebagai
contoh, pada kompetensi kemampuan memberdayakan masyarakat. Untuk kompetensi
ini ada delapan topik yang wajib dikuasai oleh seorang SKM. Misalnya pada topik
pengembangan berbagai strategi pemberdayaan untuk interaksi dengan orang dari
berbagai latar belakang. Bukankah ini sesuatu yang cukup menggembirakan
sekaligus membuat penulis dan bisa jadi kita semua menjadi terbahak-bahak.
Bagaimana tidak, ketika seorang SKM diharapkan mampu untuk mengembangkan
berbagai strategi pemberdayaan, namun disatu sisi mereka (calon SKM) tidak
pernah diperkenalkan dan atau bahkan mempraktekkan konsep pemberdayaan itu
sendiri, bukankah ini sebuah kesewenang-wenangan. Ini belum termasuk apakah
mereka mengetahui atau bahkan mengenal siapa itu sosok Robert Chambers. Atau misalnya ada topik responbilitas kebutuhan
budaya dalam kesehatan sebagai konsekwensi pemberdayaan, masih pada kompetensi
yang sama. Ini juga akhirnya menjadi lucu, karena setelah sebelumnya calon SKM
tidak diperkenalkan dengan berbagai konsep pemberdayaan itu sendiri, kemudian
mereka dipaksa untuk “paham” konsep responbilitas kebutuhan budaya kemudian
ditambah lagi dengan menerima itu sebagai sebuah konsekwensi pemberdayaan,
bukankah ini cukup menggelitik?.
Ternyata, yang
saya gambarkan diatas bukan tanpa alasan. Misalnya, kenapa antara rangkaian
mata kuliah yang tidak sinkron dengan delapan kompetensi dasar bermuara pada
niatan awal dari para peserta RAKERNAS AIPTKMI IX di Padang. Karena diakhir
acara tersebut, mereka bersepakat untuk menyusun sebuah formula pertanyaan
untuk seorang SKM memperoleh Surat Tanda Registrasi (STR). Sekedar informasi,
STR untuk tenaga kesehatan menjadi wajib setelah keluarnya UU No. 36 Tahun
2014. Namun pertanyaanya ialah, apakah pantas kemudian itu diberlakukan pada
calon SKM, yang nota bene masih mengalami kegamangan akan identitas kedirian
dalam hubungannya dengan ilmu itu sendiri. Dalam artian, mensejajarkan SKM dengan
tenaga kesehatan lain yang notabene sudah menjadi sebuah profesi adalah bentuk
kekejaman dan atau bagian dari sebuah sesat fikir dalam kadar terendah. Kejam,
karena disaat unsur pembentuk dari seorang SKM atau meminjam bahasa peserta
RAKERNAS AIPTKMI IX di Padang adalah kompetensi, masih sangat premature dan syarat akan kelemahan,
kemudian coba dipersandingkan dengan tenaga kesehatan seperti Dokter. Adalah salah
satu bentuk sesat fikir, karena memposisikan SKM sejajar dengan Dokter mirip
dengan mencari kesamaan antara sesuatu dan yang bukan dirinya (Hukum
Nonkontradiksi). Ini kita belum berbicara tentang hal ihwal dari STR tersebut
adalah sebagai salah satu prasarat sebagai seorang tenaga kesehatan untuk
membuka praktek. Dan kita akhirnya tidak bisa terhindar pada kondisi memaknai
RAKERNAS AIPTKMI IX di Padang sebagai sebuah dagelan yang menghasilkan
lelucon-lelucon yang segar namun satir.
Pertanyaan
lanjutannya kemudian, jika Perguruan Tinggi atau kampus tidak mampu berperan
pada mengatasi permasalahan kesehatan masyarakat apalagi meningkatkan
pengetahuan mahasiswa atau calon SKM, bagaimana akhirnya dengan Calon SKM tadi.
Disinilah organisasi kemahasiswaan berperan dan menjadi sebuah ruang kuliah alternatif
selain yang formal dan setiap mata kuliahnya memiliki Satuan Kredit Semester
(SKS) berjumlah 4. Berjumlah 4 SKS dengan rincian 2 SKS teori dan 2 SKS
praktek. Salah satu organisasi kemahasiswaan berbasis agama yang cukup terkenal
bahkan paling besar pengaruhnya pada perkembangan bangsa ini adalah Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI). Melalui berbagai kegiatan yang coba diterjemahkan oleh
masing-masing bidang mulai dari tingkat Pengurus Besar hingga Pengurus tingkat
Komsariat, lebih banyak diharapkan mampu menyelesaikan permaslahan
kemasyarakatan, apalagi yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat. Melalui
lembaga kekaryaan atau lebih dikenal dengan Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam
lah(LKMI), peran HMI untuk bidang kesehatan lebih terasa. Melalui LKMI,
kemudian mahasiswa dari masing-masing fakultas yang berhubungan dengan
kesehatan kemudian berhimpun untuk sekedar melakukan hal kecil namun setidaknya
memberikan sumbangsih terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat
berbasis kebutuhan masing-masing cabang yang tersebar di seluruh Indonesia(
selama LKMI termasuk dalam HMI masing-masing Cabang). Karena kegiatan mereka
masih merupakan bentuk sumbangan terkecil, maka peran LKMI untuk kedepannya
diharapkan mampu lebih maksimal dengan, mengedepankan profesionalisme
masing-masing keilmuan kesehatan yang ada di masing-masing Perguruan Tinggi.
Selain itu,
inisiatif juga dibutuhkan. Dalam artian, untuk memenuhi 2 SKS pada ruang kuliah
alternatif tadi, seorang mahasiswa yag tergabung dalam HMI tetap dituntut untuk
lebih inisiatif dalam mengelola berbagai pengetahuan. Sehingga berbagai
kekosongan yang didapatkan pada ruang kualiah formal mampu diisi dalam ruang
kuliah alternatif tadi, atau dengan kata lain dengan bergabung di HMI tidak
dengan serta merta menjadi tahu akan banyak hal jika tidak diikuti dengan usaha
sendiri yang maksimal. Sekali lagi, disinilah letak keunikan lain HMI. Karena
sebagai sebuah organisasi mahasiswa yang berbasis agama, tidak menjadikan HMI
menjelma menjadi sebuah organisasi yang eksklusif, dan ini tidak bisa lepas
dari peran serta Nurcholis Madjid yang
membawa HMI menjadi salah satu organisasi mahasiswa islam modern sekaligus
tidak meninggalkan pengaruh ke Indonesiaan sebagai konteks tempat berkiprahnya
organisasi ini.
Disclaimer gambar:Rakernas AIPTKMI IX di Padang, sumber: Akun @AIPTKMI