SKM dan Pemberdayaan (?)
Pemberdayaan. Kata ini begitu
menyihir, setidaknya untuk beberapa belas tahun belakangan. Sebegitu
menyihirnya, sehingga kata ini sudah sangat fasih dilekatkan dengan berbagai
aspek dalam kehidupan sehari-hari. Melalui kata ini pula, sebagian dari kita memberi
harapan besar terhadap berbagai permasalahan yang masih menjadi bagian dalam
kita berbangsa saat ini. Dan ini tidak lepas dari persoalan kemiskinan yang
selalu fluktuatif, setidaknya jika mengacu pada angka-angka yang disampaikan
para pengelolah negara melalui lembaga negaranya.
Jika mengacu pada Kamus Besar
Bahasa Indonesia, pemberdayaan itu sendiri bermakna proses, cara, perbuatan memberdayakan. Sedangkan memberdayakan
disini bermakna membuat berdaya. Dan
berdaya adalah berkekuatan; berkemampuan;
bertenaga atau mempunyai
akal/cara/dan sebagainya untuk mengatasi sesuatu. Atau jika kita merujuk
pada kata dasarnya adalah daya yang bermakna kemampuan melakukan sesuatu atau bertindak.
Dari batasan pembardayaan tadi,
akhirnya memberi sedikit gambaran kenapa kemudian pemberdayaan senantiasa
dilekatkan pada sebuah kondisi yang disebut dengan miskin/kemiskinan itu
sendiri. Harapannya, kemiskinan dengan
serta merta teratasi dengan pemberdayaan dilain pihak. Sehingga jangan kaget
dengan berbagai program yang berlabel pemberdayaan untuk rakyat miskin juga
senantiasa “diperkenalkan” oleh pengelolah negara hari ini. Walau bagi sebagian
pihak, pemerintahan kali ini masih sulit menerima konsep pemberdayaan, karena
kurang terukur untuk jangka pendek, katanya.
Disaat bersamaan akhirnya,
kondisi tadi hanya membikin kita bersepakat bahwa rakyat yang menjadi miskin
itu adalah karena tidak berdaya tanpa kemudian memperhatikan berbagai faktor
lain yang justru hanya memperteguh rantai kemiskinan itu sendiri, misalnya
akses transportasi. Semoga ingatan kita belum menghapus kosep miskin absolut.
Pemberdayaan dan Aspek Kesehatan
Bagaimana dengan aspek
kesehatan?. Ini juga tidak jauh berbeda. Berbagai program pengelola negara hari
ini yang baik sedang berlangsung maupun yang telah usai, selalu melekatkan kata
pemberdayaan dalam program kesehatan, baik secara kasat mata maupun dalam
bentuk yang nyata. Satu sisi ini merupakan sebuah kemajuan dan layak diapresiasi,
walau disisi lain dengan tidak diikutkannya dengan berbagai bentuk nyata dari
sebuah konsep pemberdayaan masyarakat itu sendiri untuk dibidang kesehatan
adalah hal yang menyedihkan tentunya.
Salah satu contoh dari bentuk
implementasi pemberdayaan masyarakat-setidaknya ini menurut mereka- dibidang
kesehatan adalah program nusantara sehat. Secara garis besar program ini sendiri
dilaksanakan dibawah naungan Kementrian Kesehatan. Dan, program tersebut, salah
satunya berangkat dari sebuah kajian distribusi tenaga kesehatan yang dilakukan
oleh Kementrian Kesehatan pada tahun 2012. Berdasarkan informasi itu akhirnya
dilahirkanlah program nusantara sehat, dengan harapan persoalan distribusi
tenaga kesehatan yang tidak merata di Indonesia bisa diatasi, selain itu segala
bentuk permasalahan kesehatan juga turut teratasi.
Adalah tahun 2014 kemudian
program ini diujicobakan pada empat kabupaten di 4 Propinsi Indonesia (Prop.
SUMUT, KALBAR, MALUKU, dan PAPUA). Dan keberhasilan dari program tersebut-klaim
Kementrian Kesehatan juga- mampu meningkatkan angka kunjungan masyarakat di
fasilitas kesehatan tingkat pertama yang dalam hal ini adalah PUSKESMAS.
Sekilas hal ini bisa menjadi
sebuah angin segar, setidaknya berhasil menterjemahkan program Jokowi dalam Nawa
Cita yang menginginkan pembangunan Indonesia dimulai dari pinggiran. Namun itu
hanya sekilas, jika dua kilas, ada beberapa hal bisa menjadi pertanyaan serius
jika kata meragukan masih terlalu kasar. Yang pertama, apakah memang persoalan
kesehatan masyarakat kita dipengaruhi oleh distribusi tenaga kesehatan sajakah?
Dengan sebuah program yang
mengusung konsep berbasis tim, akhirnya diharapkan distribusi tenaga kesehatan
semua daerah yang berada di pinggiran Indonesia bisa teratasi. Sekali lagi,
bagi saya pola pikir ini masih berparadigma sakit. Karena masalah kesehatan
masyarakat, tidak semata berhubungan rendahnya angka kunjungan, apalagi jika
dihubungkan dengan berbagai budaya masing-masing daerah.
Sebagai ilustrasi, dengan formasi
tim program nusantara sehat untuk masing-masing puskesmas atau fasilitas
kesehatan lainnya yang berjumlah lima hingga sembilan orang (syarat dan kondisi
yang berlaku menurut Kementrian Kesehatan) ditempatkan selama 2 tahun.
Harapannya adalah hingga daerah yang menjadi sasaran dari program tersebut
mampu memenuhi kebutuhan tersebut secara mandiri.
Artinya, sejak dari awal program
ini, masih terlalu malu-malu untuk secara full berjibaku meningkatkan derajat
kesehatan. Karena masih menaruh harapan yang besar hanya terhadap distribusi
tenaga kesehatan itu sendiri. Hal inilah yang bagi saya adalah bentuk lain dari
sebuah konsep paradigma sakit. Dengan sebuah tanggung jawab tim untuk
meningkatkan angka kunjungan saja hanya bagian terkecil dari sebuah konsep meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat.
Salah satunya, karena bisa jadi
rendahnya angka kunjungan di sebuah fasilitas kesehatan tingkat pertama bukan
karena terbatasnya jumlah tenaga kesehatan, namun karena berhubungan dengan
aksebilitas terhadap fasilitas kesehatan itu sendiri (karena Puskesmas hanya
melayani untuk ruang lingkup kecamatan).
Atau bisa juga rendahnya angka kunjungan di fasilitas kesehatan tersebut,
karena sebagian tenaga kesehatan misalnya Dokter tidak terlalu lama melakukan
pelayanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama.
Atau kita juga bisa berbicara
kasus membludaknya jumlah kunjungan pada Puskesmas Majalaya Baru, Kabupaten
Bandung. Jumlah kunjungan yang banyak itu bukan karena Puskesmas ini adalah
salah satu sasaran program Nusantara Sehat, atau bukan juga karena Puskesmas
ini memiliki jumlah tenaga kesehatan yang mumpuni. Satu-satunya alasan
melimpahnya jumlah kunjungan tersebut adalah karena Puskesmas ini terletak
sangat strategis, selain itu untuk ke fasilitas kesehatan lain, paling tidak
masyarakat harus menempuh waktu selama 2 jam.
Dari dua perbandingan diatas bisa
sedikit mendapat gambaran, mengapa program pengelola negara untuk bidang
kesehatan masih terlalu jauh dari niatan untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat.
Hal kedua yang jadi pertanyaan
serius, dengan memberikan bekal seperti materi bela negara atau sebuah keahlian
medis/non-medis serta harapan pelaksanan program-program pemberdayaan
masyarakat, dan disatusisi mentikberatkan pada peningkatan akses dan kualitas
pelayanan kesehatan untuk konteks sebuah fasilitas kesehatan tingkat pertama ,
laksana menggabungkan air dan minyak dalam satu wadah dengan harapan kemurnian
air tetap terjaga. Kenapa, karena antara peningkatan akses dan kualiatas
layanan kesehatan dalam sebuah fasilitas kesehatan dan program pemberdayaan
masyarakat adalah dua bentuk yang saling bertolak belakang.
Ketika kita berbicara tentang
akses dan kualitas pelayanan sebuah fasilitas kesehatan, disaat bersamaan kita
juga mengakui akan tingginya angka kesakitan masyarakat dalam sebuah wilayah,
setidaknya ini menurut petugas kesehatan tadi. Sedangkan, jika merujuk pada
makna pemberdayaan masyarakat itu sendiri, kita akan tiba pada kenyataan bahwa
persoalan kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat secara langsung wajib disadari
(dengan atau tanpa petugas kesehatan tentunya). Nah, dari dua kondisi tadi,
bukankah akhirnya jadi bertolak belakang, satu sisi masalah kesehatan pada
suatau masyarakat dianggap hanya diketahui oleh tenaga kesehatan, dan disaat
bersamaan diaharapkan masyarakat juga menyadari. Sehingga jangan heran jika dilapangan,
para tenaga nusantara sehat akhirnya hanya melakukan penyuluhan/sosialisasi
untuk aspek pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Atau paling jauh ikut
mendampingi tenaga kesehatan yang akan menjalankan tugas harian di fasilitas
kesehatan yang menjadi target dari program nusantara sehat tadi.
Apakah ini keliru, bagi saya
belum bisa dikatakan demikian. Karena sosialisasi hanya salah satu bagian dari
pemberdayaan masyarakat. Sedangkan salah dua atau salah tiga dan seterusnya
masih banyak lagi tahapan dari pemberdayaan masyarakat, sialnya ini tidak atau
belum dimasukkan dalam tehnis kemampuan yang harus dikuasai oleh tim nusantara
sehat. Disinilah menurut saya peran seorang SKM diperlukan untuk lebih
maksimal.
SKM dan Pemberdayaan Masyarakat
Kenapa SKM, karena diantara jenis
tenaga kesehatan, hanya SKM yang “berani” memasukkan kata masyarakat dalam
gelar kesarjanaanya. Coba bandingkan dengan dengan jenis tenaga kesehatan
lainnya. Karena hal tersebut, tidak berlebihan kiranya masyarakat akhirnya
menaruh harapan besar pada SKM itu sendiri. Pertanyaanya seberapa siap SKM
dalam menjawab harapan besar tadi.
Dari sekian banyak literatur yang
menjelaskan tentang kapan pertama kali SKM lahir dan siapa yang membidani,
setidaknya bisa diambil kesimpulan bahwa seorang SKM itu lahir dari FKM sebuah
universitas di Indonesia adalah efektif di era 70-an. Walau proses berdirinya
sebuah FKM itu sendiri sudah mulai dirancang sejak 1965. Sedangkan niatan
tersebut sebenarnya berangkat dari berbagai permaslahan kesehatan masyarakat
yang terjadi di Indonesia.
Dari kondisi tersebut, akhirnya
SKM angkatan pertama tadi, melalui kurikulum yang disusun pada tahun 70an itu
mewajibkan seorang calon sarjana kesehatan masyarakat untuk magang dilapangan
selama setengah tahun hingga satu tahun dalam rangka perencanaan dan pendidikan
kesehatan dalam sebuah program kesehatan pada lokasi yang menjadi tempat magang
tadi.
Bagaimana dengan sekarang, jika
mengacu pada hasil-hasil RAKERNAS AIPTKMI IX di Padang, dalam kurikulum FKM yang
wajib diterapkan pada semua tidak terlihat secuilpun semangat untuk
menitikberatkan pada skill/kompetensi seorang SKM seperti yang termaktub dalam
kurikulum pertama SKM tadi. Walau kemudian acara tersebut atau saya lebih suka
menyebutkan sebuah dagelan/lawakan, semangatnya ingin menciptakan delapan
kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang SKM, tetap saja itu hanya kulit
yang membungkus demi terwujudnya sebuah niatan untuk mewajibkan kepemilikan STR
bagi calon sarjana tersebut.
Point saya bukan STR itu tidak
penting, cuma masih belum dibutuhkan oleh seorang SKM saat ini. selain karena
kurikulum yang wajib diterapkan di semua Universitas tadi yang masih miskin
atau hampir tidak ada yang menguatkan secara tehnis kedelapan kompetensi tadi,
juga karena adanya tumpang tindih antara uji kompetensi itu sendiri dengan
rangkaian ujian akhir seorang calon sarjana Kesehatan Masyarakat.
Sedangkan jika mengacu pada UU
No.12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, tertuang pada pasal 44 ayat 2 :” Serifikat
kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Perguruan Tinggi
bekerja sama dengan organisasi profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga
sertifikasi yang terakreditasi kepada lulusan yang lulus uji kompetensi ”. Pertanyaanya
kemudian, organisasi manakah yang merupakan organisasi profesi dari SKM itu
sendiri.
Atau lebih jauh lagi kita
bertanya, apakah pantas kemudian SKM menjadi sebuah profesi saat ini. ini
dengan asumsi bahwa seorang SKM diwajibkan mempelajari hampir seluruh peminatan
yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat itu sendiri. Ini menurut saya
cukup penting untuk kembali dipertegas, karena ditengah arus tarik menarik dari
berbagai pihak untuk mengklaim bahwa SKM itu (bisa) menjadi sebuah profesi,
apakah sebagai seorang SKM atau calon sekalipun, pernah bertanya secara jujur
kepada diri sendiri bahwa sudah pantaskah SKM dikatakan sebagai profesi.
Karena kata kunci dari sebuah
profesi adalah keahlian ( Pasal 44 ayat 1, UU No 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi). Sejalan dengan itu dengan masih beragamnya peminatan dan
disaat bersamaan sangat terbatas jumlah peminatan yang akhirnya dengan berani
mendeklarasikan dirinya untuk menjadi profesi, hanya menambah daftar panjang
akan waktu yang dibutuhkan bagi seorang SKM untuk menjadi sebuah profesi
tentunya.
Dus, jika SKM saja belum selesai
pada perdebatan layak tidaknya disebut sebagi sebuah profesi, bagaimana mungkin
kemudian kita berharap pada kemampuan seorang SKM untuk melaksanakan sebuah
bentuk pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, selain hanya
menitikberatkan pada penyuluhan/sosialisasi saja nantinya. Ini kita belum
melihat secara detil isi kurikulum yang termaktub dalam hasil-hasil RAKERNAS AIPTKMI
IX tadi, yang masih menaruh harapan besar pada pelaksanaan Praktek Belajar Lapangan
untuk mengasah kemampuan/skill seorang SKM dilapangan.
Oh iya, apa kabar dengan RAKERNAS PERSAKMI??