SKM dan Pemberdayaan (?)

Juli 22, 2016 Mashuri Mashar S.KM 0 Comments


Pemberdayaan. Kata ini begitu menyihir, setidaknya untuk beberapa belas tahun belakangan. Sebegitu menyihirnya, sehingga kata ini sudah sangat fasih dilekatkan dengan berbagai aspek dalam kehidupan sehari-hari. Melalui kata ini pula, sebagian dari kita memberi harapan besar terhadap berbagai permasalahan yang masih menjadi bagian dalam kita berbangsa saat ini. Dan ini tidak lepas dari persoalan kemiskinan yang selalu fluktuatif, setidaknya jika mengacu pada angka-angka yang disampaikan para pengelolah negara melalui lembaga negaranya.

Jika mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, pemberdayaan itu sendiri bermakna proses, cara, perbuatan memberdayakan. Sedangkan memberdayakan disini bermakna membuat berdaya. Dan berdaya adalah berkekuatan; berkemampuan; bertenaga atau mempunyai akal/cara/dan sebagainya untuk mengatasi sesuatu. Atau jika kita merujuk pada kata dasarnya adalah daya yang bermakna kemampuan melakukan sesuatu atau bertindak.

Dari batasan pembardayaan tadi, akhirnya memberi sedikit gambaran kenapa kemudian pemberdayaan senantiasa dilekatkan pada sebuah kondisi yang disebut dengan miskin/kemiskinan itu sendiri.  Harapannya, kemiskinan dengan serta merta teratasi dengan pemberdayaan dilain pihak. Sehingga jangan kaget dengan berbagai program yang berlabel pemberdayaan untuk rakyat miskin juga senantiasa “diperkenalkan” oleh pengelolah negara hari ini. Walau bagi sebagian pihak, pemerintahan kali ini masih sulit menerima konsep pemberdayaan, karena kurang terukur untuk jangka pendek, katanya.

Disaat bersamaan akhirnya, kondisi tadi hanya membikin kita bersepakat bahwa rakyat yang menjadi miskin itu adalah karena tidak berdaya tanpa kemudian memperhatikan berbagai faktor lain yang justru hanya memperteguh rantai kemiskinan itu sendiri, misalnya akses transportasi. Semoga ingatan kita belum menghapus kosep miskin absolut.

Pemberdayaan dan Aspek Kesehatan

Bagaimana dengan aspek kesehatan?. Ini juga tidak jauh berbeda. Berbagai program pengelola negara hari ini yang baik sedang berlangsung maupun yang telah usai, selalu melekatkan kata pemberdayaan dalam program kesehatan, baik secara kasat mata maupun dalam bentuk yang nyata. Satu sisi ini merupakan sebuah kemajuan dan layak diapresiasi, walau disisi lain dengan tidak diikutkannya dengan berbagai bentuk nyata dari sebuah konsep pemberdayaan masyarakat itu sendiri untuk dibidang kesehatan adalah hal yang menyedihkan tentunya.

Salah satu contoh dari bentuk implementasi pemberdayaan masyarakat-setidaknya ini menurut mereka- dibidang kesehatan adalah program nusantara sehat. Secara garis besar program ini sendiri dilaksanakan dibawah naungan Kementrian Kesehatan. Dan, program tersebut, salah satunya berangkat dari sebuah kajian distribusi tenaga kesehatan yang dilakukan oleh Kementrian Kesehatan pada tahun 2012. Berdasarkan informasi itu akhirnya dilahirkanlah program nusantara sehat, dengan harapan persoalan distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata di Indonesia bisa diatasi, selain itu segala bentuk permasalahan kesehatan juga turut teratasi.

Adalah tahun 2014 kemudian program ini diujicobakan pada empat kabupaten di 4 Propinsi Indonesia (Prop. SUMUT, KALBAR, MALUKU, dan PAPUA). Dan keberhasilan dari program tersebut-klaim Kementrian Kesehatan juga- mampu meningkatkan angka kunjungan masyarakat di fasilitas kesehatan tingkat pertama yang dalam hal ini adalah PUSKESMAS.

Sekilas hal ini bisa menjadi sebuah angin segar, setidaknya berhasil menterjemahkan program Jokowi dalam Nawa Cita yang menginginkan pembangunan Indonesia dimulai dari pinggiran. Namun itu hanya sekilas, jika dua kilas, ada beberapa hal bisa menjadi pertanyaan serius jika kata meragukan masih terlalu kasar. Yang pertama, apakah memang persoalan kesehatan masyarakat kita dipengaruhi oleh distribusi tenaga kesehatan sajakah?

Dengan sebuah program yang mengusung konsep berbasis tim, akhirnya diharapkan distribusi tenaga kesehatan semua daerah yang berada di pinggiran Indonesia bisa teratasi. Sekali lagi, bagi saya pola pikir ini masih berparadigma sakit. Karena masalah kesehatan masyarakat, tidak semata berhubungan rendahnya angka kunjungan, apalagi jika dihubungkan dengan berbagai budaya masing-masing daerah.
Sebagai ilustrasi, dengan formasi tim program nusantara sehat untuk masing-masing puskesmas atau fasilitas kesehatan lainnya yang berjumlah lima hingga sembilan orang (syarat dan kondisi yang berlaku menurut Kementrian Kesehatan) ditempatkan selama 2 tahun. Harapannya adalah hingga daerah yang menjadi sasaran dari program tersebut mampu memenuhi kebutuhan tersebut secara mandiri.

Artinya, sejak dari awal program ini, masih terlalu malu-malu untuk secara full berjibaku meningkatkan derajat kesehatan. Karena masih menaruh harapan yang besar hanya terhadap distribusi tenaga kesehatan itu sendiri. Hal inilah yang bagi saya adalah bentuk lain dari sebuah konsep paradigma sakit. Dengan sebuah tanggung jawab tim untuk meningkatkan angka kunjungan saja hanya bagian terkecil  dari sebuah konsep meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Salah satunya, karena bisa jadi rendahnya angka kunjungan di sebuah fasilitas kesehatan tingkat pertama bukan karena terbatasnya jumlah tenaga kesehatan, namun karena berhubungan dengan aksebilitas terhadap fasilitas kesehatan itu sendiri (karena Puskesmas hanya melayani untuk ruang lingkup kecamatan).  Atau bisa juga rendahnya angka kunjungan di fasilitas kesehatan tersebut, karena sebagian tenaga kesehatan misalnya Dokter tidak terlalu lama melakukan pelayanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama.

Atau kita juga bisa berbicara kasus membludaknya jumlah kunjungan pada Puskesmas Majalaya Baru, Kabupaten Bandung. Jumlah kunjungan yang banyak itu bukan karena Puskesmas ini adalah salah satu sasaran program Nusantara Sehat, atau bukan juga karena Puskesmas ini memiliki jumlah tenaga kesehatan yang mumpuni. Satu-satunya alasan melimpahnya jumlah kunjungan tersebut adalah karena Puskesmas ini terletak sangat strategis, selain itu untuk ke fasilitas kesehatan lain, paling tidak masyarakat harus menempuh waktu selama 2 jam.

Dari dua perbandingan diatas bisa sedikit mendapat gambaran, mengapa program pengelola negara untuk bidang kesehatan masih terlalu jauh dari niatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Hal kedua yang jadi pertanyaan serius, dengan memberikan bekal seperti materi bela negara atau sebuah keahlian medis/non-medis serta harapan pelaksanan program-program pemberdayaan masyarakat, dan disatusisi mentikberatkan pada peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan untuk konteks sebuah fasilitas kesehatan tingkat pertama , laksana menggabungkan air dan minyak dalam satu wadah dengan harapan kemurnian air tetap terjaga. Kenapa, karena antara peningkatan akses dan kualiatas layanan kesehatan dalam sebuah fasilitas kesehatan dan program pemberdayaan masyarakat adalah dua bentuk yang saling bertolak belakang.

Ketika kita berbicara tentang akses dan kualitas pelayanan sebuah fasilitas kesehatan, disaat bersamaan kita juga mengakui akan tingginya angka kesakitan masyarakat dalam sebuah wilayah, setidaknya ini menurut petugas kesehatan tadi. Sedangkan, jika merujuk pada makna pemberdayaan masyarakat itu sendiri, kita akan tiba pada kenyataan bahwa persoalan kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat secara langsung wajib disadari (dengan atau tanpa petugas kesehatan tentunya). Nah, dari dua kondisi tadi, bukankah akhirnya jadi bertolak belakang, satu sisi masalah kesehatan pada suatau masyarakat dianggap hanya diketahui oleh tenaga kesehatan, dan disaat bersamaan diaharapkan masyarakat juga menyadari. Sehingga jangan heran jika dilapangan, para tenaga nusantara sehat akhirnya hanya melakukan penyuluhan/sosialisasi untuk aspek pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Atau paling jauh ikut mendampingi tenaga kesehatan yang akan menjalankan tugas harian di fasilitas kesehatan yang menjadi target dari program nusantara sehat tadi. 

Apakah ini keliru, bagi saya belum bisa dikatakan demikian. Karena sosialisasi hanya salah satu bagian dari pemberdayaan masyarakat. Sedangkan salah dua atau salah tiga dan seterusnya masih banyak lagi tahapan dari pemberdayaan masyarakat, sialnya ini tidak atau belum dimasukkan dalam tehnis kemampuan yang harus dikuasai oleh tim nusantara sehat. Disinilah menurut saya peran seorang SKM diperlukan untuk lebih maksimal.

SKM dan Pemberdayaan Masyarakat

Kenapa SKM, karena diantara jenis tenaga kesehatan, hanya SKM yang “berani” memasukkan kata masyarakat dalam gelar kesarjanaanya. Coba bandingkan dengan dengan jenis tenaga kesehatan lainnya. Karena hal tersebut, tidak berlebihan kiranya masyarakat akhirnya menaruh harapan besar pada SKM itu sendiri. Pertanyaanya seberapa siap SKM dalam menjawab harapan besar tadi.

Dari sekian banyak literatur yang menjelaskan tentang kapan pertama kali SKM lahir dan siapa yang membidani, setidaknya bisa diambil kesimpulan bahwa seorang SKM itu lahir dari FKM sebuah universitas di Indonesia adalah efektif di era 70-an. Walau proses berdirinya sebuah FKM itu sendiri sudah mulai dirancang sejak 1965. Sedangkan niatan tersebut sebenarnya berangkat dari berbagai permaslahan kesehatan masyarakat yang terjadi di Indonesia.

Dari kondisi tersebut, akhirnya SKM angkatan pertama tadi, melalui kurikulum yang disusun pada tahun 70an itu mewajibkan seorang calon sarjana kesehatan masyarakat untuk magang dilapangan selama setengah tahun hingga satu tahun dalam rangka perencanaan dan pendidikan kesehatan dalam sebuah program kesehatan pada lokasi yang menjadi tempat magang tadi.

Bagaimana dengan sekarang, jika mengacu pada hasil-hasil RAKERNAS AIPTKMI IX di Padang, dalam kurikulum FKM yang wajib diterapkan pada semua tidak terlihat secuilpun semangat untuk menitikberatkan pada skill/kompetensi seorang SKM seperti yang termaktub dalam kurikulum pertama SKM tadi. Walau kemudian acara tersebut atau saya lebih suka menyebutkan sebuah dagelan/lawakan, semangatnya ingin menciptakan delapan kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang SKM, tetap saja itu hanya kulit yang membungkus demi terwujudnya sebuah niatan untuk mewajibkan kepemilikan STR bagi calon sarjana tersebut.

Point saya bukan STR itu tidak penting, cuma masih belum dibutuhkan oleh seorang SKM saat ini. selain karena kurikulum yang wajib diterapkan di semua Universitas tadi yang masih miskin atau hampir tidak ada yang menguatkan secara tehnis kedelapan kompetensi tadi, juga karena adanya tumpang tindih antara uji kompetensi itu sendiri dengan rangkaian ujian akhir seorang calon sarjana Kesehatan Masyarakat.

Sedangkan jika mengacu pada UU No.12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, tertuang pada pasal 44 ayat 2 :” Serifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan organisasi profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi kepada lulusan yang lulus uji kompetensi ”. Pertanyaanya kemudian, organisasi manakah yang merupakan organisasi profesi dari SKM itu sendiri.  

Atau lebih jauh lagi kita bertanya, apakah pantas kemudian SKM menjadi sebuah profesi saat ini. ini dengan asumsi bahwa seorang SKM diwajibkan mempelajari hampir seluruh peminatan yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat itu sendiri. Ini menurut saya cukup penting untuk kembali dipertegas, karena ditengah arus tarik menarik dari berbagai pihak untuk mengklaim bahwa SKM itu (bisa) menjadi sebuah profesi, apakah sebagai seorang SKM atau calon sekalipun, pernah bertanya secara jujur kepada diri sendiri bahwa sudah pantaskah SKM dikatakan sebagai profesi.

Karena kata kunci dari sebuah profesi adalah keahlian ( Pasal 44 ayat 1, UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi). Sejalan dengan itu dengan masih beragamnya peminatan dan disaat bersamaan sangat terbatas jumlah peminatan yang akhirnya dengan berani mendeklarasikan dirinya untuk menjadi profesi, hanya menambah daftar panjang akan waktu yang dibutuhkan bagi seorang SKM untuk menjadi sebuah profesi tentunya.


Dus, jika SKM saja belum selesai pada perdebatan layak tidaknya disebut sebagi sebuah profesi, bagaimana mungkin kemudian kita berharap pada kemampuan seorang SKM untuk melaksanakan sebuah bentuk pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, selain hanya menitikberatkan pada penyuluhan/sosialisasi saja nantinya. Ini kita belum melihat secara detil isi kurikulum yang termaktub dalam hasil-hasil RAKERNAS AIPTKMI IX tadi, yang masih menaruh harapan besar pada pelaksanaan Praktek Belajar Lapangan untuk mengasah kemampuan/skill seorang SKM dilapangan.  

Oh iya, apa kabar dengan RAKERNAS PERSAKMI??