SUDAHKAH ANDA BERAK HARI INI(?)

November 24, 2016 Mashuri Mashar S.KM 0 Comments




“BACOOO, SUDAH MOKO BERAK?” teriak Indo’ dari dapur yang tengah menyiapkan sarapan

“BLUMPI MAK, SEMENTARA PROSES INI?” teriak Baco dari Kamar Mandi.

“KENAPAKAH LAMA SKALI?, MAU KA BERAK JUGA INIEEE”

“SABAR SAI KI’, MAK, AGAK KERAS INI TAI KU” 
(suatu ketika di sudut Kota Makassar)

Sekilas, pertanyaan ini seolah menjijikkan dan jorok. Setidaknya bagi mereka yang scatophobia akut, atau tidak sadar sedang mengalami scatophobia tingkat terendah yang biasa disebut rasa jijik berlebihan. Namun siapa sangka, baik “keluaran”, “capaian”, maupun “pengaruhnya”, ternyata berdampak positif pada kesehatan. Tidak tanggung-tanggung, bahkan melalui berak, manusia bisa dikatakan sehat atau tidak.

Meminjam sudut pandang Badan Kesehatan Dunia, tentang Sehat, adalah suatu keadaan sejahtera fisik, jiwa, dan sosial yang memungkinkan hidup secara produktif sosial dan ekonomi. Maka berak dan segala hal yang berhubungan dengannya, bisa dimasukkan tiga pendekatan kondisi Sehat menurut Badan Kesehatan Dunia tadi. Misalnya, pertama, dengan berak memberi bukti manusia secara biologis-- organ pencernaannya—bekerja (fisik) .

Dan, berak juga punya aturan main sendiri. Ini hubungannya dengan sistem pencernaan dalam keadaan bermasalah atau tidak. Ketika lambung mengirim signa  ke usus akan berdampak pada bentuk dan intensitas berak akhirnya.

Kedua, hubungannya dengan sensasi (kejiwaan) pascaberak. Kenikmatan. Iya, nikmat, bukan?. Sehingga tidak berlebihan kiranya jika keadaan setelah berak akhirnya disejajarkan (hampir) sama dengan sensasi pascaorgasme saat manusia bersetubuh. Karena melalui keduanya akan menghasilkan kenikmatan meski dalam kadar yang berbeda.

Ketiga, walaupun berak secara fisik dan kejiwaan menyehatkan, ternyata juga ada hubungannya dengan (status) sosial seseorang. Sebagai contoh, jika seseorang yang cukup terpandang di sebuah kampung, namun tidak memiliki tempat untuk berak yang sehat di rumah  , akan jadi sebuah pertanda buruk. Pertanda buruk dari segi kesehatan bagi masyarakat sekitar. Apatah lagi terhadap penilaian mereka yang berasal dari luar kampung itu.

Maka, Nikmat Berak lagi manakah yang bisa kalian pungkiri?

Lebih jauh saat berbicara berak, kita tidak akan bisa lepas dari tiga komponen inti yang jalin kelindan. Pertama, aktivitas berak itu sendiri, yang kemudian kita sebut dengan prilaku berak. Kedua, keluaran dari prilaku berak tadi, atau yang kita kenal dengan sebutan tahi. Ketiga, fasilitas yang berhubungan dengan berak itu tadi.

Prilaku Berak

Sebagai sebuah aktivitas yang tergolong purba, berak sudah ada sejak manusia di ciptakan. Karena itu, berak menjadi bagian dalam keseharian kita. Menariknya, aktivitas yang tergolong purba ini, belakangan mengalami makna peyoratif. Sehingga, menjadi sedemikian risihnya untuk dibicarakan secara terbuka. Khususnya mereka pengidap scatophobia. Padahal, berak merupakan salah satu kebutuhan vital setiap manusia yang masih hidup. Atau, mungkin juga karena letak ruang untuk menuntaskan hajat purba itu selalu diletakkan di bagian belakang sebuah rumah atau tempat tinggal. Sehingga prilaku berak yang awalnya (hanya) mengalami eufemisme “ Ke belakang “, makin ke sini lebih dikaitkan dengan kajian antropologisosiologi makro dari kata “belakang” yang identik dengan ketertinggalan, akibatnya eufemisme berubah menjadi peyoratif.

Padahal, berak-tidaknya seseorang sangat berhubungan dengan status kesehatannya.

Secara garis besar, prilaku berak terbagi atas dua golongan besar. Prilaku berak secara terbuka dan prilaku berak secara tertutup. Pembagian ini, tidak berhubungan dengan tampak-tidaknya prilaku itu secara kasat mata (saja), namun ini lebih pada hubungannya dengan bentuk “intervensi” dari tahi yang keluar.

Prilaku berak terbuka, atau yang dikenal dengan istilah Buang Air Besar Sembarangan (BABS) lebih sering dijumpai pada tipe masyarakat holtikultura dan Industri awal, meskipun begitu, masih saja  ada tipe masyarakat industri yang BABS; sepuluh, atau duapuluh keluarga saja.

Pada tipe ini, kedekatan terhadap alam sekitar menjadi salah satu faktor pendorong utama melakukan BABS. Prinsipnya, dengan BABS, mereka merasa menyatu dengan alam sekitar. Syarat untuk melakukan BABS pun sederhana, misalnya, cukup “lokasinya” jauh dari rumah dan berpindah-pindah, atau merupakan tempat yang cenderung bergerak (sungai dan atau laut). Atau, bisa juga hubungannya dengan waktu BABS. BABS tidak akan mungkin dilakukan seharian dalam intensitas sering (kecuali sedang diare). Biasanya memilih waktu-waktu tertentu, misalnya subuh hari atau menjelang malam. Makanya, meskipun BABS itu kesannya dekat dengan alam, tetap saja  ada Syarat dan Kondisi berlaku.

Berbeda dengan prilaku sebelumnya, prilaku berak tertutup lebih menekankan pada kondisi terpusat. Maksudnya, jika prilaku sebelumnya cenderung berpindah-pindah, maka prilaku berak tertutup adalah kebalikannya. Dan, prilaku berak tertutup menitikberatkan pada tata kelola “keluarannya” yang terpusat karena tidak mencemari sekitarnya, misalnya; sumber air baku dan lain-lain. Karena itu, prilaku berak tertutup, lebih erat hubungannya dengan pola pikir dan sikap seseorang. Pola pikir berhubungan dengan pengetahuan terkait berbagai dampak buruk dari BABS. Dan, sikap, lebih erat kaitannya dengan nilai-nilai yang dipercaya.

Kelompok yang berprilaku berak tertutup memiliki pemahaman berbeda dengan kelompok sebelumnya terkait kedekatan dengan alam sekitar. Bagai kelompok kedua ini, kedekatan alam sekitar dibuktikan dengan tidak merusaknya melalui tahi yang tersebar. Meskipun secara jamak, tahi dipercaya mengandung senyawa yang dibutuhkan tanaman, namun jika ternyata bukan hanya tanaman yang menikmati tahi tadi (misalnya lalat), di situlah masalah kesehatan ini bermula.

Bagi mereka yang telah mengetahui hubungan prilaku berak dan sampar, mencegah adalah sebuah pilihan yang paling masuk akal.  Minimal untuk lingkup keluarga mereka, ancaman seperti diare dan “teman-temannya” bisa terhindar. Selain itu, dengan berprilaku berak tertutup juga mencegah mereka dan keluarganya untuk di cap sebagai keluarga yang berprilaku jorok (tidak sehat) secara sosial.  

Jika mengacu pada tipe masyarakat, kelompok kedua ini banyak dijumpai pada masyarakat industri dan pascaindustri, bahkan pada tipe masyarakat hyperindustri.
  
Tahi

Karena berak itu adalah sebuah proses, maka, tanpa sebuah keluaran tentu saja cacat sistem. Dan, bentuk keluaran dari berak disebut tahi. Tahi sendiri lebih sering diabaikan oleh kita. Padahal, tahi bisa menjadi alat tolak ukur keadaan sistem kesehatan kita, terutama yang berhubungan dengan pencernaan. Ini kaitannya dengan warna dan bentuk dari tahi itu sendiri.

Secara garis besar, warna tahi ada enam jenis. Warna-warna ini bukan berjalin sebab dengan warna makanan yang dikonsumsi, namun berhubungan dengan kesehatan dan keadaan pencernaan kita secara khusus.

Pertama adalah warna merah terang. Jika mengeluarkan tahi berwarna tersebut, bisa dipastikan sedang terjadi pendarahan pada saluran usus yang lebih rendah atau lebih dekat dengan anus. Ini termasuk usus besar, atau bahkan sedang mengalami wasir.

Selain warna merah terang, ada lagi tahi berwarna hitam. Jika tahi berwarna merah terang berhubungan dengan pendarahan pada usus yang lebih rendah atau dekat dengan anus, maka penyebab tahi berwarna hitam karena terjadi pendarahan pada saluran pencernaan bagian atas. Atau usus yang letaknya dekat dengan lambung.

Warna lain lagi, adalah warna kuning berminyak dan cenderung lebih busuk. Untuk tahi berwarna ini karena kelebihan lemak yang terkandung. Penyebabnya telah terjadi malabsorbsi, atau bahasa sederhana; tubuh sedang kesulitan untuk menyerap nutrisi dari makanan.

Meskipun warna kuning berminyak lebih terang dibanding warna merah, ternyata masih ada lagi warna tahi terang lain. Warna putih terang. Jika tahi anda berwarna putih, maka bisa dipastikan empedu anda sedang bermasalah. Salah satunya karena empedu tidak mampu menghasilkan cairan  yang cukup dalam perannya untuk mengurai makanan.

Warna tahi juga ada yang hijau, loh. Tahi menjadi berwarna hijau setelah melewati anus karena proses pencernaan makanan di dalam usus bisa dipastikan tidak maksimal dalam arti terlalu cepat. Atau, bisa juga ini disebabkan karena jumlah bakteri E.Coli lebih banyak dari seharusnya. Mungkin, mereka sedang demonstrasi besar karena salah seorang kandidat pemimpin mereka telah melakukan penistaan atau salah satu pasangan dari kalompoknya sedang melangsungkan pesta perkawinan, entahlah.

Pertanyaannya, bagaimanakah warna tahi yang bisa menjadi tolak ukur pencernaan kita sehat? Warna cokelat.

Selain warnanya, bentuk Tahi juga bisa jadi acuan sehat-tidaknya seseorang. Untuk masalah bentuk, secara garis besar terbagi atas dua. Pertama, encer dan kedua, tidak encer. Untuk Tahi yang berbentuk encer, penyebabnya tidak lain karena dalam pencernaan kita sedang terjadi infeksi. Karena demonstrasi besar E.Coli, eh, maksud saya, jumlah E.Coli lebih banyak.

Untuk bentuk Tahi tidak encer, terbagi lagi dalam lima jenis bentuk. Pertama, berbentuk gumpalan kecil menyerupai biji kacang. Penyebabnya makanan yang mengandung unsur serat dan cairan tidak menjadi menu harian. Misalnya, sayur-sayuran atau buah-buahan.

Kedua, tahi yang berbentuk gumpalan lebih besar dari yang pertama. Jika bentuk pertama disebabkan karena kurangnya konsumsi makanan yang berserat dan mengandung cairan, untuk jenis kedua ini tidak jauh berbeda. Perbedaannya hanya, kadar makanan yang mengandung dua hal tadi perlu ditambah sedikit untuk dikonsumsi.

Ketiga, tahi yang berbentuk lonjong lebih mirip sosis. Untuk bentuk yang terakhir ini, bisa dipastikan baik makanan yang dikonsumsi maupun sistem pencernaan kita dalam keadaan sehat dan normal.
Intinya, makanan yang mengandung serat dan cairan sangat dibutuhkan oleh tubuh, terkhusus untuk membantu kerja alat-alat pencernaan. Selain itu, pastikan tidak ada mobilisasi besar-besaran E.Coli ke dalam tubuh kita. Entah itu alasan demonstrasi susulan setelah berubah isu atau terindikasi adanya upaya makar pada sistem pencernaan kita. Untuk yang terakhir ini, tidak perlu cari di google dalangnya, cukup liat saja warna dan bentuk tahi anda.

Fasilitas Berak

Konon, sejak manusia menemukan cara membuat kumpulan tahi jadi terpusat, disaat bersamaan telah berhasil membangun sebuah sistem pengelolaannya. Yang termasuk sistem pengelolaan itu dimulai dengan bangunan tempat pembuangan tahi hingga tempat berkumpul akhir. Karena ini pula, bentuk fasilitas berak dahulu kala hanya berupa lubang kecil dengan kedalaman tertentu. Meskipun masih saja ada yang mempertahankan bentuk (cubluk) hingga kini, revolusi dalam berak dimulai ketika manusia menemukan kloset pertama kali.

Tidak tanggung-tanggung, akibat dari penemuan fenomenal ini berujung pada terciptanya dua kelompok besar. Kelompok yang mempertahankan sistem pengelolaan tahi purba dan kelompok pengusung revolusi dalam berak. Walau akhirnya perbedaan kedua kelompok ini sudah di jembatani dengan penemuan kloset jongkok, tetap saja masih terjadi perdebatan didalamnya. Karena pengusung revolusi dalam berak akhirnya memperkenalkan jenis kloset duduk. Adalah “kenyamanan” yang membuat dua kelompok tadi masih terjebak dalam perbedaan laten.

Untuk wakil kelompok pertama, yang telah menerima hadirnya kloset, meski jenis jongkok, nyaman adalah ketika membuang hajat ada jarak di antara tubuh (selain kaki tempat berpijak) dan kloset. Karena dipercaya tahi mengandung bahan yang kotor. Sedangkan untuk kelompok kedua, yang memilih pakai kloset duduk, tidak demikian. Dengan duduk ketika membuang hajat, tahi yang jatuh ke dalam terhindar dari tersebar (percikan). Sehingga kesan lebih bersih jadi menguat. Karena itu, hotel-hotel bahkan beberapa bandara lebih sering/banyak memasang jenis kloset duduk dibanding kloset jongkok.

Terlepas dari perdebatan kenyamanan, bagi saya, selama berak itu terpusat dan dikelola dengan baik tentu akan menyehatkan. Tata kelola tahi seharusnya berhubungan dengan beberapa prinsip dasar pada fasilitas berak. Mulai dari keberadaan tempat pembuangan (baik yang duduk atau jongkok) hingga tempat berkumpul akhir tahi (septic tank). Antara tempat pembuangan dan tempat berkumpul akhir tahi dihubungkan oleh saluran (pipa). Dan terakhir, pastikan septic tank tadi kedap udara dan terdapat  batu kali pada dasar sebagai pemecah tahi setelah melewati lewat pipa dari kloset. Selain itu, pastikan septic tank jauh dari sumber air baku. Kalaupun harus dekat, harus diperhitungkan khusus. 

***

Untuk konteks Indonesia, ada dua hal yang menarik terkait berak. Pertama prilaku berak dan kedua fasilitas berak.

Meskipun sudah ada program pembagian seribu kloset duduk (jamban) tiap tahunnya ketika Orde Baru, tetap saja masih ada penduduk Indonesia yang saat ini penganut berak terbuka (BABS). Ada beberapa penyebab terkait itu, salah satunya tidak diiringi pengetahuan saat jamban dibagikan. Atau, karena masyarakat tidak dilibatkan penuh dalam proses (pembangunan jamban umum) tersebut. sehingga ada jarak. Jangan kaget akhirnya, jika masih saja ada Kota Besar di Indonesia yang tinggi BABS masyarakatnya.

Selain prilaku berak, fasilitas juga memegang peranan penting. Dalam hal pengelolaan dan peran serta penyelenggara negara.

Contoh kasus di kota Makassar.

Dengan peluncuran program Sistem Layanan Lumpur Tinja Terjadwal (LLTT) sejak Agustus 2015, Makassar diharapkan mampu terbebas dari segala masalah kesehatan yang terkait pengelolaan lumpur tinja. Program ini berangkat dari kenyataan bahwa dari 1,3 juta jiwa penduduk Makassar, masih ada 13 % yang melakukan BABS.

Angka tadi berhubungan dengan data Kementrian Lingkungan Hidup per Desember 2013, sekitar 75% badan-badan air tercemar limbah domestik di Indonesia. Tidak terkecuali kota Makassar. Mulai dari sungai Jeneberang, Sungai Tallo, hingga kanal Jongaya. Menurut data yang sama, kandungan bakteri coliform dan fecal coliform yang terkandung dalam ketiga badan air tadi melebihi ambang batas.

Misalnya sungai Jeneberang (salah satu sumber air baku dari PDAM Kota Makassar), total pencemaran coliform mencapai 35.000/100 ml dari ambang batas maksimum 10.000/100 ml. Tidak jauh berbeda juga dengan cemaran fecal coliform mencapai 2.300/100 ml dari ambang batas maksimum 2.000/100 ml.   

Kedua jenis cemaran itu (coliform dan fecal coliform) akan menjadi parasit patogen, yang berujung munculnya E.Coli dalam sumber air baku. Walau penanganan air minum tingkat rumah tangga telah berkembang dari memasak hingga menggunakan Air RahMAT, tetap saja yang sulit dihindari adalah agen penyebaran penyakit yang melalui lalat (Diagram F).   

***

Akhirnya, soal berak yang selama ini disepelekan ternyata bisa menjadi tolak ukur kesehatan seseorang atau sebuah komunitas, sekaligus jika prilaku dan fasilitasnya tidak dikelola secara baik akan berujung pada sebuah ancaman.


Pertanyaanya, Sudahkah Anda Berak hari ini?