SUDAHKAH ANDA BERAK HARI INI(?)
“BACOOO, SUDAH MOKO BERAK?”
teriak Indo’ dari dapur yang tengah menyiapkan sarapan
“BLUMPI MAK, SEMENTARA PROSES
INI?” teriak Baco dari Kamar Mandi.
“KENAPAKAH LAMA SKALI?, MAU KA
BERAK JUGA INIEEE”
“SABAR SAI KI’, MAK, AGAK KERAS
INI TAI KU”
(suatu ketika di sudut Kota
Makassar)
Sekilas, pertanyaan ini seolah
menjijikkan dan jorok. Setidaknya bagi mereka yang scatophobia akut, atau tidak sadar sedang mengalami scatophobia tingkat terendah yang biasa
disebut rasa jijik berlebihan. Namun siapa sangka, baik “keluaran”, “capaian”,
maupun “pengaruhnya”, ternyata berdampak positif pada kesehatan. Tidak
tanggung-tanggung, bahkan melalui berak, manusia bisa dikatakan sehat atau
tidak.
Meminjam sudut pandang Badan
Kesehatan Dunia, tentang Sehat, adalah suatu
keadaan sejahtera fisik, jiwa, dan sosial yang memungkinkan hidup secara
produktif sosial dan ekonomi. Maka berak dan segala hal yang berhubungan
dengannya, bisa dimasukkan tiga pendekatan kondisi Sehat menurut Badan
Kesehatan Dunia tadi. Misalnya, pertama, dengan berak memberi bukti manusia
secara biologis-- organ pencernaannya—bekerja (fisik) .
Dan, berak juga punya aturan main
sendiri. Ini hubungannya dengan sistem pencernaan dalam keadaan bermasalah atau
tidak. Ketika lambung mengirim signa ke
usus akan berdampak pada bentuk dan intensitas berak akhirnya.
Kedua, hubungannya dengan sensasi
(kejiwaan) pascaberak. Kenikmatan. Iya, nikmat, bukan?. Sehingga tidak berlebihan
kiranya jika keadaan setelah berak akhirnya disejajarkan (hampir) sama dengan
sensasi pascaorgasme saat manusia bersetubuh. Karena melalui keduanya akan menghasilkan
kenikmatan meski dalam kadar yang berbeda.
Ketiga, walaupun berak secara
fisik dan kejiwaan menyehatkan, ternyata juga ada hubungannya dengan (status)
sosial seseorang. Sebagai contoh, jika seseorang yang cukup terpandang di
sebuah kampung, namun tidak memiliki tempat untuk berak yang sehat di
rumah , akan jadi sebuah pertanda buruk.
Pertanda buruk dari segi kesehatan bagi masyarakat sekitar. Apatah lagi
terhadap penilaian mereka yang berasal dari luar kampung itu.
Maka, Nikmat Berak lagi manakah
yang bisa kalian pungkiri?
Lebih jauh saat berbicara berak,
kita tidak akan bisa lepas dari tiga komponen inti yang jalin kelindan.
Pertama, aktivitas berak itu sendiri, yang kemudian kita sebut dengan prilaku
berak. Kedua, keluaran dari prilaku berak tadi, atau yang kita kenal dengan
sebutan tahi. Ketiga, fasilitas yang berhubungan dengan berak itu tadi.
Prilaku Berak
Sebagai sebuah aktivitas yang tergolong
purba, berak sudah ada sejak manusia di ciptakan. Karena itu, berak menjadi
bagian dalam keseharian kita. Menariknya, aktivitas yang tergolong purba ini,
belakangan mengalami makna peyoratif. Sehingga, menjadi sedemikian risihnya
untuk dibicarakan secara terbuka. Khususnya mereka pengidap scatophobia. Padahal, berak merupakan
salah satu kebutuhan vital setiap manusia yang masih hidup. Atau, mungkin juga karena
letak ruang untuk menuntaskan hajat purba itu selalu diletakkan di bagian
belakang sebuah rumah atau tempat tinggal. Sehingga prilaku berak yang awalnya (hanya)
mengalami eufemisme “ Ke belakang “,
makin ke sini lebih dikaitkan dengan kajian antropologisosiologi makro dari kata
“belakang” yang identik dengan ketertinggalan, akibatnya eufemisme berubah
menjadi peyoratif.
Padahal, berak-tidaknya seseorang
sangat berhubungan dengan status kesehatannya.
Secara garis besar, prilaku berak
terbagi atas dua golongan besar. Prilaku berak secara terbuka dan prilaku berak
secara tertutup. Pembagian ini, tidak berhubungan dengan tampak-tidaknya
prilaku itu secara kasat mata (saja), namun ini lebih pada hubungannya dengan bentuk
“intervensi” dari tahi yang keluar.
Prilaku berak terbuka, atau yang
dikenal dengan istilah Buang Air Besar Sembarangan (BABS) lebih sering dijumpai
pada tipe masyarakat holtikultura dan Industri awal, meskipun begitu, masih saja ada tipe masyarakat industri yang BABS; sepuluh,
atau duapuluh keluarga saja.
Pada tipe ini, kedekatan terhadap
alam sekitar menjadi salah satu faktor pendorong utama melakukan BABS.
Prinsipnya, dengan BABS, mereka merasa menyatu dengan alam sekitar. Syarat
untuk melakukan BABS pun sederhana, misalnya, cukup “lokasinya” jauh dari rumah
dan berpindah-pindah, atau merupakan tempat yang cenderung bergerak (sungai dan
atau laut). Atau, bisa juga hubungannya dengan waktu BABS. BABS tidak akan mungkin
dilakukan seharian dalam intensitas sering (kecuali sedang diare). Biasanya
memilih waktu-waktu tertentu, misalnya subuh hari atau menjelang malam.
Makanya, meskipun BABS itu kesannya dekat dengan alam, tetap saja ada Syarat dan Kondisi berlaku.
Berbeda dengan prilaku
sebelumnya, prilaku berak tertutup lebih menekankan pada kondisi terpusat. Maksudnya,
jika prilaku sebelumnya cenderung berpindah-pindah, maka prilaku berak tertutup
adalah kebalikannya. Dan, prilaku berak tertutup menitikberatkan pada tata
kelola “keluarannya” yang terpusat karena tidak mencemari sekitarnya, misalnya;
sumber air baku dan lain-lain. Karena itu, prilaku berak tertutup, lebih erat
hubungannya dengan pola pikir dan sikap seseorang. Pola pikir berhubungan
dengan pengetahuan terkait berbagai dampak buruk dari BABS. Dan, sikap, lebih
erat kaitannya dengan nilai-nilai yang dipercaya.
Kelompok yang berprilaku berak
tertutup memiliki pemahaman berbeda dengan kelompok sebelumnya terkait
kedekatan dengan alam sekitar. Bagai kelompok kedua ini, kedekatan alam sekitar
dibuktikan dengan tidak merusaknya melalui tahi yang tersebar. Meskipun secara
jamak, tahi dipercaya mengandung senyawa yang dibutuhkan tanaman, namun jika
ternyata bukan hanya tanaman yang menikmati tahi tadi (misalnya lalat), di
situlah masalah kesehatan ini bermula.
Bagi mereka yang telah mengetahui
hubungan prilaku berak dan sampar, mencegah adalah sebuah pilihan yang paling
masuk akal. Minimal untuk lingkup
keluarga mereka, ancaman seperti diare dan “teman-temannya” bisa terhindar. Selain
itu, dengan berprilaku berak tertutup juga mencegah mereka dan keluarganya
untuk di cap sebagai keluarga yang berprilaku jorok (tidak sehat) secara sosial.
Jika mengacu pada tipe
masyarakat, kelompok kedua ini banyak dijumpai pada masyarakat industri dan
pascaindustri, bahkan pada tipe masyarakat hyperindustri.
Tahi
Karena berak itu adalah sebuah
proses, maka, tanpa sebuah keluaran tentu saja cacat sistem. Dan, bentuk
keluaran dari berak disebut tahi. Tahi sendiri lebih sering diabaikan oleh
kita. Padahal, tahi bisa menjadi alat tolak ukur keadaan sistem kesehatan kita,
terutama yang berhubungan dengan pencernaan. Ini kaitannya dengan warna dan bentuk
dari tahi itu sendiri.
Secara garis besar, warna tahi ada
enam jenis. Warna-warna ini bukan berjalin sebab dengan warna makanan yang dikonsumsi, namun berhubungan dengan
kesehatan dan keadaan pencernaan kita secara khusus.
Pertama adalah warna merah
terang. Jika mengeluarkan tahi berwarna tersebut, bisa dipastikan sedang
terjadi pendarahan pada saluran usus yang lebih rendah atau lebih dekat dengan
anus. Ini termasuk usus besar, atau bahkan sedang mengalami wasir.
Selain warna merah terang, ada
lagi tahi berwarna hitam. Jika tahi berwarna merah terang berhubungan dengan
pendarahan pada usus yang lebih rendah atau dekat dengan anus, maka penyebab tahi
berwarna hitam karena terjadi pendarahan pada saluran pencernaan bagian atas.
Atau usus yang letaknya dekat dengan lambung.
Warna lain lagi, adalah warna
kuning berminyak dan cenderung lebih busuk. Untuk tahi berwarna ini karena
kelebihan lemak yang terkandung. Penyebabnya telah terjadi malabsorbsi, atau
bahasa sederhana; tubuh sedang kesulitan untuk menyerap nutrisi dari makanan.
Meskipun warna kuning berminyak
lebih terang dibanding warna merah, ternyata masih ada lagi warna tahi terang
lain. Warna putih terang. Jika tahi anda berwarna putih, maka bisa dipastikan
empedu anda sedang bermasalah. Salah satunya karena empedu tidak mampu
menghasilkan cairan yang cukup dalam
perannya untuk mengurai makanan.
Warna tahi juga ada yang hijau,
loh. Tahi menjadi berwarna hijau setelah melewati anus karena proses pencernaan
makanan di dalam usus bisa dipastikan tidak maksimal dalam arti terlalu cepat.
Atau, bisa juga ini disebabkan karena jumlah bakteri E.Coli lebih banyak dari
seharusnya. Mungkin, mereka sedang demonstrasi besar karena salah seorang
kandidat pemimpin mereka telah melakukan penistaan atau salah satu pasangan
dari kalompoknya sedang melangsungkan pesta perkawinan, entahlah.
Pertanyaannya, bagaimanakah warna
tahi yang bisa menjadi tolak ukur pencernaan kita sehat? Warna cokelat.
Selain warnanya, bentuk Tahi juga
bisa jadi acuan sehat-tidaknya seseorang. Untuk masalah bentuk, secara garis
besar terbagi atas dua. Pertama, encer dan kedua, tidak encer. Untuk Tahi yang
berbentuk encer, penyebabnya tidak lain karena dalam pencernaan kita sedang
terjadi infeksi. Karena demonstrasi besar E.Coli, eh, maksud saya, jumlah
E.Coli lebih banyak.
Untuk bentuk Tahi tidak encer,
terbagi lagi dalam lima jenis bentuk. Pertama, berbentuk gumpalan kecil
menyerupai biji kacang. Penyebabnya makanan yang mengandung unsur serat dan
cairan tidak menjadi menu harian. Misalnya, sayur-sayuran atau buah-buahan.
Kedua, tahi yang berbentuk gumpalan
lebih besar dari yang pertama. Jika bentuk pertama disebabkan karena kurangnya
konsumsi makanan yang berserat dan mengandung cairan, untuk jenis kedua ini
tidak jauh berbeda. Perbedaannya hanya, kadar makanan yang mengandung dua hal
tadi perlu ditambah sedikit untuk dikonsumsi.
Ketiga, tahi yang berbentuk
lonjong lebih mirip sosis. Untuk bentuk yang terakhir ini, bisa dipastikan baik
makanan yang dikonsumsi maupun sistem pencernaan kita dalam keadaan sehat dan
normal.
Intinya, makanan yang mengandung
serat dan cairan sangat dibutuhkan oleh tubuh, terkhusus untuk membantu kerja
alat-alat pencernaan. Selain itu, pastikan tidak ada mobilisasi besar-besaran
E.Coli ke dalam tubuh kita. Entah itu alasan demonstrasi susulan setelah
berubah isu atau terindikasi adanya upaya makar pada sistem pencernaan kita.
Untuk yang terakhir ini, tidak perlu cari di google dalangnya, cukup liat saja
warna dan bentuk tahi anda.
Fasilitas Berak
Konon, sejak manusia menemukan
cara membuat kumpulan tahi jadi terpusat, disaat bersamaan telah berhasil
membangun sebuah sistem pengelolaannya. Yang termasuk sistem pengelolaan itu
dimulai dengan bangunan tempat pembuangan tahi hingga tempat berkumpul akhir.
Karena ini pula, bentuk fasilitas berak dahulu kala hanya berupa lubang kecil
dengan kedalaman tertentu. Meskipun masih saja ada yang mempertahankan bentuk
(cubluk) hingga kini, revolusi dalam berak dimulai ketika manusia menemukan
kloset pertama kali.
Tidak tanggung-tanggung, akibat
dari penemuan fenomenal ini berujung pada terciptanya dua kelompok besar.
Kelompok yang mempertahankan sistem pengelolaan tahi purba dan kelompok
pengusung revolusi dalam berak. Walau akhirnya perbedaan kedua kelompok ini
sudah di jembatani dengan penemuan kloset jongkok, tetap saja masih terjadi
perdebatan didalamnya. Karena pengusung revolusi dalam berak akhirnya
memperkenalkan jenis kloset duduk. Adalah “kenyamanan” yang membuat dua
kelompok tadi masih terjebak dalam perbedaan laten.
Untuk wakil kelompok pertama,
yang telah menerima hadirnya kloset, meski jenis jongkok, nyaman adalah ketika
membuang hajat ada jarak di antara tubuh (selain kaki tempat berpijak) dan
kloset. Karena dipercaya tahi mengandung bahan yang kotor. Sedangkan untuk
kelompok kedua, yang memilih pakai kloset duduk, tidak demikian. Dengan duduk
ketika membuang hajat, tahi yang jatuh ke dalam terhindar dari tersebar
(percikan). Sehingga kesan lebih bersih jadi menguat. Karena itu, hotel-hotel
bahkan beberapa bandara lebih sering/banyak memasang jenis kloset duduk
dibanding kloset jongkok.
Terlepas dari perdebatan
kenyamanan, bagi saya, selama berak itu terpusat dan dikelola dengan baik tentu
akan menyehatkan. Tata kelola tahi seharusnya berhubungan dengan beberapa
prinsip dasar pada fasilitas berak. Mulai dari keberadaan tempat pembuangan
(baik yang duduk atau jongkok) hingga tempat berkumpul akhir tahi (septic tank).
Antara tempat pembuangan dan tempat berkumpul akhir tahi dihubungkan oleh
saluran (pipa). Dan terakhir, pastikan septic tank tadi kedap udara dan
terdapat batu kali pada dasar sebagai
pemecah tahi setelah melewati lewat pipa dari kloset. Selain itu, pastikan
septic tank jauh dari sumber air baku. Kalaupun harus dekat, harus diperhitungkan
khusus.
***
Untuk konteks Indonesia, ada dua
hal yang menarik terkait berak. Pertama prilaku berak dan kedua fasilitas
berak.
Meskipun sudah ada program pembagian
seribu kloset duduk (jamban) tiap tahunnya ketika Orde Baru, tetap saja masih
ada penduduk Indonesia yang saat ini penganut berak terbuka (BABS). Ada
beberapa penyebab terkait itu, salah satunya tidak diiringi pengetahuan saat
jamban dibagikan. Atau, karena masyarakat tidak dilibatkan penuh dalam proses (pembangunan
jamban umum) tersebut. sehingga ada jarak. Jangan kaget akhirnya, jika masih
saja ada Kota Besar di Indonesia yang tinggi BABS masyarakatnya.
Selain prilaku berak, fasilitas
juga memegang peranan penting. Dalam hal pengelolaan dan peran serta penyelenggara
negara.
Contoh kasus di kota Makassar.
Dengan peluncuran program Sistem
Layanan Lumpur Tinja Terjadwal (LLTT) sejak Agustus 2015, Makassar diharapkan
mampu terbebas dari segala masalah kesehatan yang terkait pengelolaan lumpur
tinja. Program ini berangkat dari kenyataan bahwa dari 1,3 juta jiwa penduduk
Makassar, masih ada 13 % yang melakukan BABS.
Angka tadi berhubungan dengan
data Kementrian Lingkungan Hidup per Desember 2013, sekitar 75% badan-badan air tercemar limbah
domestik di Indonesia. Tidak terkecuali kota Makassar. Mulai dari sungai
Jeneberang, Sungai Tallo, hingga kanal Jongaya. Menurut data yang sama, kandungan
bakteri coliform dan fecal coliform yang terkandung dalam
ketiga badan air tadi melebihi ambang batas.
Misalnya sungai Jeneberang (salah
satu sumber air baku dari PDAM Kota Makassar), total pencemaran coliform mencapai 35.000/100 ml dari
ambang batas maksimum 10.000/100 ml. Tidak jauh berbeda juga dengan cemaran fecal coliform mencapai 2.300/100 ml
dari ambang batas maksimum 2.000/100 ml.
Kedua jenis cemaran itu (coliform dan fecal coliform) akan menjadi parasit patogen, yang berujung
munculnya E.Coli dalam sumber air baku. Walau penanganan air minum tingkat
rumah tangga telah berkembang dari memasak hingga menggunakan Air RahMAT, tetap
saja yang sulit dihindari adalah agen penyebaran penyakit yang melalui lalat
(Diagram F).
***
Akhirnya, soal berak yang selama
ini disepelekan ternyata bisa menjadi tolak ukur kesehatan seseorang atau
sebuah komunitas, sekaligus jika prilaku dan fasilitasnya tidak dikelola secara
baik akan berujung pada sebuah ancaman.
Pertanyaanya, Sudahkah Anda Berak
hari ini?