Merasionalisasi(kan) Kawasan Tanpa Rokok di Indonesia (?)
He who can, does! he who cannot, teaches! he who cannot teach, takes up Research! he who fails at all of these, write textbook!.
Membaca kalimat yang tersurat dalam kata pengantar buku An Introduction to The Economic of Education
tahun 1979 dan ditulis seorang guru besar ilmu ekonomi di Universitas of London, kembali menegaskan kepada kita fungsi dari
guru besar dalam dunia pendidikan. Yang sebagai penjaga nilai, juga adalah
garda terakhir dari sebuah sistem besar pengelolaan pendidikan tinggi. Walau itu
merupakan hasil improvisasi dari perkataan komedian satir George Bernard Shaw,
tetap saja tidak mencerabut makna kunci awalnya, seputar carut marut wajah
pendidikan.
Sialnya, carut marut dalam dunia pendidikan, masih terjaga hingga saat ini. Salah satu buktinya, adalah apa yang terjadi pada beberapa bahkan berpuluh perguruan tinggi di Indonesia yang hubungannya dengan pemberlakuan kawasan tanpa rokok (KTR). Berbagai dalih dikemukakan untuk menguatkan keputusan tersebut, mulai dari dalih merusak kesehatan, hingga alasan pembeli rokok hanya menjadikan segelintir pihak/orang saja menjadi kaya raya.
Sekilas, kumpulan alasan tadi masuk akal, setidaknya bagi mereka-mereka yang merasa terganggu dengan asap rokok itu sendiri. Sampai pada kondisi bahwa asap rokok itu bisa saja mengganggu bagi sebagian orang, itu tidak bisa dipungkiri. Namun begitu, terganggu karena asap rokok menjadi sebuah keanehan tersendiri ketika disaat bersamaan tidak merasa terganggu dengan keterpaparan akan berbagai bentuk gas lain - radikal bebas - yang sudah begitu mencemari lingkungan sekitar kita hingga saat ini.
Selain keanehan diatas, pemberlakuan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di beberapa perguruan tinggi, juga memiliki sisi yang berlawanan. Satu sisi, berlakunya KTR sudah barang tentu merupakan sebuah kabar yang menggembirakan, setidaknya bagi civitas akademika yang merasa terganggu dengan asap rokok ini. Dan disisi yang lain, berlakunya KTR di perguruan tinggi menyisakan sebuah pertanyaan seputar landasan ilmiah yang komprehensif sifatnya.
Salah satu bukti kurangnya landasan ilmiah yang komprehensif, bisa kita lihat pada informasi seputar rokok dan kandungannya yang berkembang di beberapa perguruan tinggi belakangan ini. Semuanya hanya berisi informasi negatif terkait rokok. Dan parahnya informasi tersebut terus menerus direproduksi dengan atau tanpa informasi tambahan diruang-ruang kuliah. Sehingga, pun akhirnya ada penelitian mandiri (skripsi, tesis, ataupun desertasi) berhubungan dengan rokok yang dilakukan oleh mahasiswa, senantiasa berangkat dari asumsi awal bahwa rokok itu berbahaya bagi kesehatan (saja). Parahnya, dari mahasiswa sendiri, hampir bisa dibilang tidak ada usaha untuk mencari alternatif informasi yang berhubungan dengan rokok selain yang direproduksi oleh perguruan tinggi melalui corongnya –dosen- diruang-ruang kuliah.
Tentu saja sebagai sebuah alternatif informasi, apalagi yang diharapkan bisa (atau wajib) dikonsumsi sebuah almamater, nuansa ilmiahnya tetap harus dikedepankan, setidaknya ada aspek ilmiah yang menjadi fondasi bangunan dari informasi tersebut. Karena akan menjadi rancu akhirnya jika ternyata informasi yang tidak ilmiah dijadikan acuan sebagai informasi alternatif, apalagi jika dilakukan dalam lingkungan yang menjunjung tinggi nuansa ilmiah seperti perguruan tinggi.
Alternatif Informasi
Berbicara tentang alternatif informasi seputar kandungan rokok dan dampaknya terhadap manusia, setidaknya mulai tahun 1960-an hingga 2000-an awal ada sekitar kurang lebih 30 buah. Menariknya, jumlah tersebut, selain berbentuk buku, juga ada yang merupakan kumpulan penelitian yang terangkum dalam beberapa jurnal ilmiah, atau yang termasuk dalam artikel kesehatan yang memiliki landasan ilmiah. Dan untuk dua kelompok informasi yang terakhir itu, setidaknya bisa jadi acuan alternatif informasi bagi perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi yang telah atau akan memberlakukan Kawasan Tanpa Rokok.
Ambil contoh, informasi alternatif tersebut adalah wawancara Neil Sherman kepada Dr. David Pinsky , MD yang merupakan anggota asosiasi guru besar dari Columbia University, New York, Tahun 2001. Dalam wawancaranya, David Pinsky mengungkapkan, Carbon Monoksida (CO) pada kadar terendah ternyata mampu membantu penderita stroke dan penderita serangan jantung. Walau dia mengakui bahwa sejatinya CO adalah racun, namun tetap saja kata kuncinya terletak pada kadar dan konsentrasinya. Sekaligus kondisi ini memberi penjelasan kepada kita bahwa antara asap CO keluaran kendaraan bermotor atau asap pabrik dan dengan asap CO yang berasal dari rokok kretek memiliki kadar dan konsentrasi yang berbeda.
Atau informasi alternatif lain seputar pengurangan resiko Preekslamsia atau bahasa sehari-harinya pendarahan pada ibu hamil. Dalam sebuah penelitian yang menggunakan uji laboratorium pada tahun 1999, Women Research Institute the Department of Obstetrics, Gynecology, and Reproductive Sciences, menemukan bahwa paparan tembakau mampu menurunkan resiko Preekslamsia pada ibu hamil. Menariknya informasi ini, juga dimuat dalam American Journal of Obstetrics and Gynecology.
Selain beberapa penelitian tadi, ada juga artikel kesehatan yang merupakan resensi dari beberapa penelitian berhubungan dengan rokok itu sendiri. Salah satunya seperti yang dimuat dalam www.sott.net pada 15 Maret 2012 yang ditulis James P. Siepmann MD. Dalam artikelnya, Siepmann menekankan bahwa kita keliru jika mengatakan bahwa merokok penyebab utama kanker yang menyebabkan kematian. Berdasarkan beberapa penelitian dan tulisan para ahli yang dia kumpulkan, terungkap bahwa peyakit kanker yang kompleks bisa disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain: genetika, sistem kekebalan tubuh, paparan radiasi seluler, perubahan DNA, berbagai zat kimia yang masuk dalam tubuh. Sehingga, baginya, merokok bukanlah penyebab utama terjadinya kanker, seperti yang banyak direproduksi oleh berbagai orang atau lembaga terutama lembaga pendidikan belakangan ini.
Berangkat dari alternatif informasi seputar rokok tadi, dan hubungannya dengan ungkapan guru besar ekonomi Universitas Of London, tidak berlebihan kiranya jika civitas akademika yang berasal dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, terutama yang memberlakukan KTR, mempertanyakan kembali para Guru Besar yang dimilikinya untuk memberikan sebuah penjelasan yang bernas serta ilmiah tanpa meninggalkan obyektifitasnya sebagai guru besar dan atau peneliti terkait seputar pemberlakuan KTR di Kampus-kampus.
Sisi obyektifitas menjadi penekanan, dengan maksud mempertegas kualitas keilmuan dari posisi tertinggi dalam semesta pengetahuan. Selain itu, sebagai bahan acuan dalam mengukur kuantitas keilmuan para penyandang gelar guru besar. Bagi saya, ini penting untuk menarik garis tegas pembeda antara guru besar sebagai sebuah “ganjaran” tingkat keilmuan seseorang dan guru besar sebagai sebuah jabatan – dengan relasi kuasa didalamnya- yang diberikan oleh negara (PERMENPAN No.46 Tahun 2013).