Belajar Pada Dik AULIYAH (?)
Ditengah gegap gempita kekaguman
yang membuncah terhadap dik Nara, ternyata dik Auliyah hampir berubah wujud jadi
komoditi. Bertempat di sebuah pelayanan
kesehatan tingkat lanjut, sebuah kejadian akhirnya menyadarkan kita (kembali). Ini
tentang bagaimana kualitas sistem pelayanan kesehatan di
negeri ini. Parahnya, kejadian ini terjadi di sebuah tempat pelayanan kesehatan
yang dikelolah oleh pemerintah.
Terlepas dari berbagai pembenaran
yang dikemukakan oleh tenaga kesehatan disana terkait nominal kewajiban yang
dibebankan kepada orang tua dari Faradiba Auliyah Khumairah (Auliyah),
keputusan mereka untuk akhirnya menjual
anak di satu sisi menarik, setidaknya ketika kita coba tinjau dari sisi
psikologi.
Walau psikologi secara etimologi
adalah ilmu yang mempelajari tentang kejiwaan, maksud saya semata bukan untuk
kemudian menyerang aspek kejiwaan dari orang tua Auliyah. Atau dengan kata
lain, keputusan mereka untuk menjual anak bisa jadi tidak berangkat dari adanya
bentuk patologi psikis yang dialami. Pertama, karena saya bukan seorang psikolog
jadi tidak berwenang untuk melakukan penilaian ada tidaknya gangguan psikis
dari mereka. Dan kedua, sebagai SKM, titik tekan saya hanya pada bentuk
pelayanan kesehatan masyarakat yang diterapkan dan hubungannya dengan asing-masing
individu dalam memilih dan menikmati sebuah pelayanan kesehatan masyarakat.
*
Perjalanan perkembangan psikologi
dewasa ini sudah memasuk babak baru. Mulai dari yang disebut “psikologi
tradisional” hingga yang saat ini biasa disebut “Psikologi Modern”. Psikologi
tradisional, salah satu aras pendukungnya adalah penganut aliran Behaviorisme. Pendukungnya
antara lain I.Pavlov-J.B. Watson (Teori Classical
Condition), E. Thorndike (Teori Law
effect), B.F Skinner (Teori Operan
Condition), atau A. Bandura (Teori Modeling).
Inti dari psikologi tradisional
adalah melihat manusia sebagai machluk yang terkondisikan oleh lingkungan, atau
dengan kata lain, dalam rangka belajar manusia lebih banyak melibatkan apa yang
disebut Stimulus dan Respon terhadap berbagai fenomena di sekeliling mereka.
Karena ilmu dan pengetahuan
senantiasa berkembang, atau meminjam istilah Hegel- anti tesa- akhirnya Sigmund
Freud mengajukan pembanding dari aliran behaviorisme. Namanya aliran
Psikososial. Menurut Freud, Stimulus untuk Respon seseorang tidak selamanya
berasal dari luar dirinya. Adalah insting tidak sadar (The Unconscius) yang berada dari dalam diri juga turut serta berpengaruh.
Unsur inilah yang bagi penganut aliran behaviorisme tidak dimasukkan.
Berangkat dari aliran pembanding
yang diajukan oleh Freud, akhirnya muncul aliran humanistik untuk menjembatani “kekurangan”
pada aliran behaviorisme. Adalah Carl Rogers, Abraham Maslow, dan Victor
Frankl, sedikit dari deretan nama yang membidani lahirnya aliran huministik
dalam psikologi yang nantinya menjelma menjadi aliran Psikologi Modern saat
ini.
Bagi beberapa “Bidan Psikologi
Modern” tadi, baik aliran Behaviorisme atau aliran Psikologi hanya menjadikan
manusia tereduksi. Dalam artian, kedua aliran psikologi tersebut mengabaikan
aspek kapasitas dan potensialitas manusia yang menjadi titik tekan utama dari
aliran Humanistik.
Dari aliran Humanistik inilah,
akhirnya kita mengetahui bahwa manusia senantiasa menjadi dalam perkembangannya
(Being and Becoming). Sehingga,
keputusan apapun yang diambil seseorang, tidak bisa selalu dilepaskan dengan
konsep Cinta, Tanggung Jawab, Kebutuhan dasar Manusiawi, dan atau makna hidup. Yang
mana hal tersebut merupakan bahan kajian dari aliran huministik dalam
psikologi.
**
Mungkin sebagian besar dari kita,
ketika mendengar keputusan orang tua dik Auliyah untuk menjualnya, adalah
langsung menghujat mereka. Padahal, bisa jadi, keputusan tersebut berangkat
dari rasa cinta yang membuncah. Sehingga, pilihan paling rasional dan
bertanggungjawab yang bisa diambil oleh kedua orang tua dik Auliyah adalah
dengan merelakannya kepada orang lain. Karena, toh, sejumlah uang yang menjadi ganjaran
merupakan rincian kewajiban orang tua dik Auliyah yang harus diselesaikan
kepada pihak pelayanan kesehatan tingkat lanjut tersebut. Artinya, tidak
sehelai rambutpun dari mereka yang berfikir untuk mengambil keutungan dari dik
Auliyah.
Satu-satunya keuntungan atau
benefit yang didapat orang tua dik Auliyah, adalah ketika mengetahui dik
Auliyah mampu hidup dan bahagia nantinya.
Belajar dari kejadian yang hampir
menimpa dik Auliyah, kita bisa melihat potret salah urus dari sebuah sistem
pelayanan kesehatan di negeri ini. Sekaligus, keputusan orang tua dik Auliyah
tersebut secara tidak langsung menjelaskan kepada kita semua bahwa amanat
Undang-undang yang telah terurai secara detil dalam Rencana Strategis Kesehatan
2015-2019 adalah sebuah isapan jempol belaka. Ketika dalam RPJMN 2015-2019 terutama
untuk cakupan poin empat dan enam yang menjadi sentral adalah hubungan sistem pelayanan
kesehatan dan masyarakat.
Akhir kata, semoga kedepannya, akan
ada lagi dik Auliyah – dik Auliyah yang lain. Bukan apa-apa, kejadian yang
menimpanya memberikan pelajaran kepada kita bahwa negara belum mampu berfungsi
secara maksimal selain menentukan RPJMN setiap lima tahun tentunya. Sehingga para
penyelenggara negara hanya terjebak pada kepanikan-kepanikan saja tentunya. Artinya,
disaat para penyelenggara negara atau para elit masih memakai paradigma
psikologi tradisional (berdasarkan Stimulus dan Respon), masyarakat kita telah
berparadigma psikologi modern.
Semoga Dik Nara lah yang membantu
Dik Auliyah kemarin....loh kok?