SOEKARNO S.KM

Agustus 26, 2016 Mashuri Mashar S.KM 0 Comments


Mumpung Agustus dengan semangat perjuangan para pejuang berpuluh dekade yang lalu belum meninggalkan kita, sehingga membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan isu tersebut tentunya belum bisa dikatakan sebagai sesuatu yang usang. Dan dari sekian banyak tokoh pejuang paling berpengaruh dalam rangka merebut kemerdekaan, yang mencapai puncak pada bulan Agustus tahun 1945, sosok Soekarno merupakan salah satu di dalamnya.

Terlepas dari segala bentuk kontroversi laku beliau, tentunya kita tidak bisa menutup mata pada berbagai peran intelektual beliau yang juga justru berpengaruh besar pada proses menuju kemerdekaan Republik ini. Taruhlah contoh, sebuah karya monumental pertama beliau; Islamisme, Nasionalisme, dan Marxisme. Melalui karya tersebut, Soekarno muda akhirnya menemukan patron sendiri untuk menuju bentuk Republik Indonesia yang masih diangan-angan sebelumnya.

Dan menariknya, beliau bukan berlatar belakang pendidikan politik atau bahkan tata negara. Dia hanya alumni pendidikan sarjana sipil, bung.

Nah, mumpung sekarang masih bulan Agustus, dan di satu sisi kita kenal Soekarno sebagai salah satu sosok yang paling berpengaruh di Republik ini, mari kita berandai-andai, jika Soekarno adalah seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM).

Merombak Naskah Proklamasi

Berhubung berlatarbelakang Kesehatan Masyarakat, tentunya beliau berkepentingan memasukkan isu kesehatan dalam naskah Proklamasi. Untuk itu tentunya beliau memerlukan energi yang tidak sedikit. Dan energi itu awalnya akan disalurkan para proses meyakinkan dua orang yang turut serta secara aktif dalam penyusunan naskah usulan proklamasi, Moh. Hatta, dan Ahmad Soebardjo. Berbeda dengan posisi sebagai alumni Sarjana Sipil, ketika beliau memiliki latar belakang sebagai SKM, setidaknya, alasan untuk memasukkan isu kesehatan dalam naskah usulan Proklamasi menjadi sangat kuat. Minimal sebuah pembenaran dari beliau ialah pembelajaran dari pola kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan Inggris pasca Perang Dunia II.

Walau perdebatan panjang diantara ketiga tokoh bangsa tadi akhirnya menjadi tidak terhindar dengan masukkan isu kesehatan dalam naskah usulan Proklamasi. Namun begitu, dengan memasukkan isu kesehatan di dalam naskah proklamasi, kita akhirnya bisa berharap banyak pada arah kebijakan pemerintahan Republik ini kedepannya.

Setelah mampu meyakinkan Moh. Hatta dan Ahmad Soebardjo untuk memasukkan isu kesehatan, tantangan selanjutnya terletak pada pengetikan naskah usulan untuk menjadi sebuah naskah jadi yang akan dibacakan dalam keesokan harinya. Tentunya, kemampuan negosiasi Bung Besar kembali diuji untuk hal yang satu ini, terutama terhadap Bung Sayoeti Melik, seperti yang kita ketahui bersama tentang sosok bung yang satu ini. Walau dalam kadar yang berbeda, tetap membutuhkan negosiasi untuk sekedar mempertahankan gagasan masuknya isu kesehatan dalam naskah monumental tersebut. Selain itu, negosiasi juga tetap dibutuhkan dalam rangka memandang sebagai seorang manusia yang utuh pada siapapun yang terlibat dalam proses peletakan fondasi awal berdirinya Republik ini.
Akhirnya naskah proklamasi akan berbunyi seperti berikut:

P R O K L A M A S I

Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia

Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoesaan, pembangoenan kesehatan masjarakat, d.l.l, diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, Hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia

Soekarno / Hatta



Merombak Pembukaan UUD 1945

Setelah berhasil memasukkan isu kesehatan masyarakat dalam naskah proklamasi, sebagai seorang SKM yang bertanggung jawab terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat pasca kemerdekaan pada Republik yang dibidaninya, tentunya tugas Bung Besar belum selesai. Lagi-lagi ini ada hubungannya dengan posisi tawar Bung Besar sebagai Presiden Pertama tentunya.

Dan momentum yang bisa digunakan adalah pada semakin alotnya perdebatan pada rapat pleno PPKI pada keesokan harinya, alih-alih menengahi pertentangan kaum nasionalis dan kaum agama, hal ihwal perubahan pembukaan UUD 1945 juga bisa digunakan untuk memasukkan isu kesehatan masyarakat. Dengan tetap tidak merubah konteks sebenarnya, dan cukup menambahkan isu kesehatan masyarakat.

Berbeda dengan kondisi ketika memasukkan isu kesehatan masyarakat dalam naskah proklamasi, Bung Besar akhirnya “terpaksa” menaikkan tingkatnya kemampuan negosiasi, dan ini jelas sekali berhubungan dengan tingkat keragaman orang-orang yang lebih kompleks pada suasana rapat pleno PPKI tanggal 18 Agustus 1945.

Setelah melalui perdebatan yang alot, dan tanpa meninggalkan usulan Ki Bagus Hadikusumo untuk menghilangkan dua kalimat “ menurut dasar”, akhirnya disepakati masuknya kalimat :” ...dalam rangka peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang berkelanjutan...” dalam pembukaan UUD 1945 yang akhirnya diberlakukan seterusnya.

Arah Kebijakan Kesehatan Masyarakat

Karena kedua dokumen penting Republik tadi sudah memasukkan isu kesehatan masyarakat, atau dengan meminjam bahasa hari ini mengarusutamakan pembangunan kesehatan masyarakat, tentunya wajib hukumnya untuk menjadikannya lebih aplikatif sifatnya dalam masa pasca proklamasi.

Bung Besar bisa mulai dengan mengatasi permasalah klasik pelayanan kesehatan masyarakat, yaitu : kualitas layanan dan pemerataan. Tidak bisa dipungkiri untuk konteks Indonesia pasca masa penjajahan, satu-satunya harapan mengatasi permasalahan kesehatan masyarakat hanya tertumpu pada keberadaan STOVIA. Untuk itu, sebagai sebuah negara yang baru merdeka, Bung Besar berkewajiban memikirkan hal tersebut, ambil contoh menasionalisasi STOVIA. Ini tentunya tetap dilakukan sambil tetap berjuang mempertahankan eksistensi sebuah negara baru merdeka yang untuk konteks saat itu, yang mana “gangguan” pihak asing baik dipengaruhi geopolitik setelah perang dunia kedua atau karena negara asing tadi masih mengalami Post Power Syndrome.

Perlu saya tambahkan, kenapa langkah untuk “mengambil alih” Stovia ini menjadi penting, ini tidak lepas dari permasalahan kesehatan masyarakat yang terjadi di Republik ini di awal abad 20, misalnya penyebaran wabah Pes, dan lain-lain. Selain itu, bisa saya bayangkan, ketika Bung Besar mengambil alih STOVIA, pendekatan pengobatan dan rehabilitatif akhirnya tidak menjadi dominan dalam mengatasi masalah kesehatan masyarakat. Dan ketika diakumulasikan, Lambat laun, ini akan berdampak dengan arah kebijakan kesehatan hari ini.

*

Namun apa daya, untung tak dapat diraih rugi tak dapat ditolak, karena Bung Besar hanya berlatar belakang Sarjana Sipil, dan sejak pra hingga pasca kemerdekaan, masalah kesehatan hanya berparadigma sakit. Makanya, jangan heran ketika membaca lembar sejarah kesehatan masyarakat, bentuk penanganan terhadap wabah Pes di sebagian besar masyarakat Jawa pada masa sebelum tahun 50-an masih lebih banyak bersifat kuratif dan sedikit (sekali bahkan) menggunakan pendekatan preventif.

Sehingga jangan heran jika hari ini, atau tepatnya ketika mendengar pembacaan nota keuangan APBN 2017, alokasi anggaran kesehatan masih jauh dari yang diharapkan, hanya 58 T atau hanya 2,5 % dari total APBN, tentunya tidak  sesuai dengan UU No.36 Tahun 2009 yang sebesar 5 % dari total APBN. Dan ini kita belum berbicara tentang efektivitas serapan alokasi anggaran kesehatan yang sudah sangat kecil itu.


Ah, ini Indonesia, Bung!!!semuanya bisa terjadi, termasuk kami masih terbiasa saling memangsa sesama!!!tidak terkecuali para rekan sejawat TENAGA KESEHATANNYA....