SOEKARNO S.KM
Mumpung Agustus dengan semangat
perjuangan para pejuang berpuluh dekade yang lalu belum meninggalkan kita, sehingga
membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan isu tersebut tentunya belum bisa
dikatakan sebagai sesuatu yang usang. Dan dari sekian banyak tokoh pejuang
paling berpengaruh dalam rangka merebut kemerdekaan, yang mencapai puncak pada
bulan Agustus tahun 1945, sosok Soekarno merupakan salah satu di dalamnya.
Terlepas dari segala bentuk
kontroversi laku beliau, tentunya kita tidak bisa menutup mata pada berbagai
peran intelektual beliau yang juga justru berpengaruh besar pada proses menuju
kemerdekaan Republik ini. Taruhlah contoh, sebuah karya monumental pertama
beliau; Islamisme, Nasionalisme, dan Marxisme. Melalui karya tersebut, Soekarno
muda akhirnya menemukan patron sendiri untuk menuju bentuk Republik Indonesia
yang masih diangan-angan sebelumnya.
Dan menariknya, beliau bukan
berlatar belakang pendidikan politik atau bahkan tata negara. Dia hanya alumni
pendidikan sarjana sipil, bung.
Nah, mumpung sekarang masih bulan
Agustus, dan di satu sisi kita kenal Soekarno sebagai salah satu sosok yang
paling berpengaruh di Republik ini, mari kita berandai-andai, jika Soekarno
adalah seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM).
Merombak Naskah Proklamasi
Berhubung berlatarbelakang
Kesehatan Masyarakat, tentunya beliau berkepentingan memasukkan isu kesehatan
dalam naskah Proklamasi. Untuk itu tentunya beliau memerlukan energi yang tidak
sedikit. Dan energi itu awalnya akan disalurkan para proses meyakinkan dua
orang yang turut serta secara aktif dalam penyusunan naskah usulan proklamasi,
Moh. Hatta, dan Ahmad Soebardjo. Berbeda dengan posisi sebagai alumni Sarjana
Sipil, ketika beliau memiliki latar belakang sebagai SKM, setidaknya, alasan untuk
memasukkan isu kesehatan dalam naskah usulan Proklamasi menjadi sangat kuat.
Minimal sebuah pembenaran dari beliau ialah pembelajaran dari pola kebijakan
yang dilakukan oleh pemerintahan Inggris pasca Perang Dunia II.
Walau perdebatan panjang diantara
ketiga tokoh bangsa tadi akhirnya menjadi tidak terhindar dengan masukkan isu
kesehatan dalam naskah usulan Proklamasi. Namun begitu, dengan memasukkan isu
kesehatan di dalam naskah proklamasi, kita akhirnya bisa berharap banyak pada
arah kebijakan pemerintahan Republik ini kedepannya.
Setelah mampu meyakinkan Moh.
Hatta dan Ahmad Soebardjo untuk memasukkan isu kesehatan, tantangan selanjutnya
terletak pada pengetikan naskah usulan untuk menjadi sebuah naskah jadi yang
akan dibacakan dalam keesokan harinya. Tentunya, kemampuan negosiasi Bung Besar
kembali diuji untuk hal yang satu ini, terutama terhadap Bung Sayoeti Melik,
seperti yang kita ketahui bersama tentang sosok bung yang satu ini. Walau dalam
kadar yang berbeda, tetap membutuhkan negosiasi untuk sekedar mempertahankan
gagasan masuknya isu kesehatan dalam naskah monumental tersebut. Selain itu,
negosiasi juga tetap dibutuhkan dalam rangka memandang sebagai seorang manusia
yang utuh pada siapapun yang terlibat dalam proses peletakan fondasi awal berdirinya
Republik ini.
Akhirnya naskah proklamasi akan
berbunyi seperti berikut:
P R O K L A M A S
I
Kami bangsa Indonesia
dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia
Hal-hal jang mengenai pemindahan
kekoesaan, pembangoenan kesehatan
masjarakat, d.l.l, diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo
jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, Hari 17
boelan 8 tahoen 05
Atas
nama bangsa Indonesia
Soekarno / Hatta
Merombak Pembukaan
UUD 1945
Setelah berhasil memasukkan isu
kesehatan masyarakat dalam naskah proklamasi, sebagai seorang SKM yang
bertanggung jawab terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat pasca
kemerdekaan pada Republik yang dibidaninya, tentunya tugas Bung Besar belum
selesai. Lagi-lagi ini ada hubungannya dengan posisi tawar Bung Besar sebagai
Presiden Pertama tentunya.
Dan momentum yang bisa digunakan
adalah pada semakin alotnya perdebatan pada rapat pleno PPKI pada keesokan
harinya, alih-alih menengahi pertentangan kaum nasionalis dan kaum agama, hal
ihwal perubahan pembukaan UUD 1945 juga bisa digunakan untuk memasukkan isu
kesehatan masyarakat. Dengan tetap tidak merubah konteks sebenarnya, dan cukup
menambahkan isu kesehatan masyarakat.
Berbeda dengan kondisi ketika
memasukkan isu kesehatan masyarakat dalam naskah proklamasi, Bung Besar
akhirnya “terpaksa” menaikkan tingkatnya kemampuan negosiasi, dan ini jelas
sekali berhubungan dengan tingkat keragaman orang-orang yang lebih kompleks
pada suasana rapat pleno PPKI tanggal 18 Agustus 1945.
Setelah melalui perdebatan yang
alot, dan tanpa meninggalkan usulan Ki Bagus Hadikusumo untuk menghilangkan dua
kalimat “ menurut dasar”, akhirnya disepakati masuknya kalimat :” ...dalam
rangka peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang berkelanjutan...” dalam
pembukaan UUD 1945 yang akhirnya diberlakukan seterusnya.
Arah Kebijakan Kesehatan Masyarakat
Karena kedua dokumen penting
Republik tadi sudah memasukkan isu kesehatan masyarakat, atau dengan meminjam
bahasa hari ini mengarusutamakan pembangunan kesehatan masyarakat, tentunya
wajib hukumnya untuk menjadikannya lebih aplikatif sifatnya dalam masa pasca
proklamasi.
Bung Besar bisa mulai dengan
mengatasi permasalah klasik pelayanan kesehatan masyarakat, yaitu : kualitas
layanan dan pemerataan. Tidak bisa dipungkiri untuk konteks Indonesia pasca
masa penjajahan, satu-satunya harapan mengatasi permasalahan kesehatan
masyarakat hanya tertumpu pada keberadaan STOVIA. Untuk itu, sebagai sebuah
negara yang baru merdeka, Bung Besar berkewajiban memikirkan hal tersebut,
ambil contoh menasionalisasi STOVIA. Ini tentunya tetap dilakukan sambil tetap
berjuang mempertahankan eksistensi sebuah negara baru merdeka yang untuk
konteks saat itu, yang mana “gangguan” pihak asing baik dipengaruhi geopolitik
setelah perang dunia kedua atau karena negara asing tadi masih mengalami Post Power Syndrome.
Perlu saya tambahkan, kenapa
langkah untuk “mengambil alih” Stovia ini menjadi penting, ini tidak lepas dari
permasalahan kesehatan masyarakat yang terjadi di Republik ini di awal abad 20,
misalnya penyebaran wabah Pes, dan lain-lain. Selain itu, bisa saya bayangkan,
ketika Bung Besar mengambil alih STOVIA, pendekatan pengobatan dan rehabilitatif
akhirnya tidak menjadi dominan dalam mengatasi masalah kesehatan masyarakat.
Dan ketika diakumulasikan, Lambat laun, ini akan berdampak dengan arah
kebijakan kesehatan hari ini.
*
Namun apa daya, untung tak dapat
diraih rugi tak dapat ditolak, karena Bung Besar hanya berlatar belakang
Sarjana Sipil, dan sejak pra hingga pasca kemerdekaan, masalah kesehatan hanya
berparadigma sakit. Makanya, jangan heran ketika membaca lembar sejarah
kesehatan masyarakat, bentuk penanganan terhadap wabah Pes di sebagian besar
masyarakat Jawa pada masa sebelum tahun 50-an masih lebih banyak bersifat
kuratif dan sedikit (sekali bahkan) menggunakan pendekatan preventif.
Sehingga jangan heran jika hari
ini, atau tepatnya ketika mendengar pembacaan nota keuangan APBN 2017, alokasi
anggaran kesehatan masih jauh dari yang diharapkan, hanya 58 T atau hanya 2,5 %
dari total APBN, tentunya tidak sesuai
dengan UU No.36 Tahun 2009 yang sebesar 5 % dari total APBN. Dan ini kita belum
berbicara tentang efektivitas serapan alokasi anggaran kesehatan yang sudah
sangat kecil itu.
Ah, ini Indonesia, Bung!!!semuanya
bisa terjadi, termasuk kami masih terbiasa saling memangsa sesama!!!tidak
terkecuali para rekan sejawat TENAGA KESEHATANNYA....