BELAJAR DARI JAMBI

Januari 28, 2017 Mashuri Mashar S.KM 0 Comments

Sumber Gambar: www.kbr.id

Inspeksi mendadak (sidak) Gubernur Jambi pada Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mataher menyisakan sebuah pertanyaan. Terutama pada arah kebijakan pelayanan kesehatan masyarakat di Republik ini. Walaupun inisiatif sang Gubernur yang juga bekas publik figur dalam dunia hiburan tidak lepas dari “desakan” konstituen, tetap saja masalah ini erat hubungannya dengan persoalan mendasar kesehatan masyarakat di Jambi, dan Indonesia keseluruhan.

Masyarakat Jambi menaruh harapan besar pada sang Gubernur untuk berperan aktif dalam menyelesaikan masalah pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan milik pemerintah. Dan akhirnya terwujud. Pada Jumat tengah malam, rumah yang sejatinya menjadi tempat untuk mendapatkan panasea berubah menjadi sebuah tribunal tenaga kesehatan.

Sontak kejadian ini memancing reaksi, terutama dari beberapa organisasi profesi kesehatan yang menjadi “korban” pada malam kelam itu.

Pertanyaanya, apakah tenaga kesehatan adalah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap segala permasalahan kesehatan masyarakat?

Tidak.

Masalah kesehatan masyarakat di Republik ini sejatinya melibatkan semua pihak. Mulai dari pemerintah, tenaga kesehatan, hingga masyarakat itu sendiri. Ini penting, karena buruknya pelayanan kesehatan adalah bagian dari masalah kesehatan dan juga berhubungan kerangka sistem kesehatan yang kompleks.

Misalnya peran pemerintah. Jika kita mau jujur, penanganan masalah kesehatan masyarakat di Republik ini masih belum dianggap prioritas. Bahkan anggaran belanja untuk kesehatan menempati urutan kelima. Itupun, dalam pengalokasiannya masih berorientasi pada pengobatan/rehabilitasi dibandingkan dengan promosi dan pencegahan. Bukankah ini juga masalah.

Selain itu peran serta aktif masyarakat dalam kesehatan masyarakat juga masih menjadi masalah dilain pihak. Masyarakat secara sadar menyerahkan sepenuhnya penanganan masalah kesehatan hanya kepada pemerintah, dan disaat bersamaan lupa bahwa kesehatan masyarakat bisa terwujud jika kesehatan individu mencapai titik optimal. Tentu saja ini berhubungan dengan bagaimana pola pikir masyarakat kita dalam melihat dan melaksanakan keempat terminologi kesehatan tadi (pengobatan, rehabilitasi, pencegahan, dan promosi).

Jika pemerintah merasa sudah memberikan hak masyarakat melalui alokasi anggaran kesehatan dan masyarakat menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah untuk menangani masalah kesehatan masyarakat, maka sial bagi tenaga kesehatan yang berada ditengah-tengah kedua kelompok tersebut.
Tenaga kesehatan kemudian dibebani tanggung jawab yang sedemikian beratnya, tanpa memperhatikan sisi manusia dari masing-masing mereka. Karena merasa sudah mengalokasikan anggaran kesehatan yang sesuai dengan amanat undang-undang, seolah tugas pemerintah sudah selesai. Dan merasa paling berhak untuk menjadi hakim terhadap tenaga kesehatan yang dimilikinya.

Pada titik inilah masalah kesehatan masyarakat akhirnya tidak teratasi. Bagaimana tidak, disaat seharusnya antara ketiga kelompok itu bekerja sama, yang terjadi justru hanya pada kelompok tertentu semua dibebankan.


Maksud tulisan ini bukan untuk membela laku mangkir pada jam tugas tenaga kesehatan. Ini semata-mata mengajak kita untuk melihat persoalan ini lebih jauh lagi. Terlebih lagi sebagai bagian masyarakat kita seharusnya tidak lepas tangan terhadap masalah kesehatan masyarakat.