Bom Waktu Itu Bukan Hanya Vaksin Palsu

Juni 27, 2016 Mashuri Mashar S.KM 0 Comments



Laksana bom waktu, akhirnya kasus vaksin palsu “meledak”. Yang menarik, vaksin palsu ini mencuat setelah sebelumnya sempat beredar di beberapa daerah. Walau belakangan pihak yang terkait, dalam hal ini Kementrian Kesehatan sudah berkoordinasi dengan pihak berwajib untuk menindak otak dibalik produksi vaksin palsu ini, tetap saja kondisi tadi menyimpan beberapa hal mengganjal.

Konon peredaran vaksin palsu ini sudah berlangsung sejak 2003. Dan jika kondisi ini benar adanya, sebuah pertanyaan kemudian akhirnya muncul, sejak 2003, bagaimana peran dari berbagai pihak yang berkepentingan sehingga kecolongan akan peredaran vaksin palsu tersebut. Meskipun pihak berwajib baru menemukan keberadaan vaksin palsu tersebut pada tiga provinsi, namun tetap saja ini semakin mempertegas kelalaian negara terhadap warganya.

Selain itu, untuk saat ini, langkah-langkah yang terlihat terkait penanganan vaksin palsu tersebut lebih kepada penindakan langsung kepada pelaku. Akibatnya korban dari vaksin palsu ini yang sejak 2003 menjadi terbengkalai.   

Salah satu bukti keterbengkalaian itu adalah jika dihubungkan dengan anjuran dari pihak terkait untuk masyarakat jangan panik dan jangan tertipu dengan vaksin palsu. Anjuran ini sendiri jika ditelisik lebih jauh hanya merupakan upaya “cuci tangan” dari pemerintah terkait kondisi mereka yang telah mengalami kecolongan itu sendiri. Karena anjuran itu sebenarnya sangat absurd.

Adalah absurd ketika berharap masyarakat untuk tidak panik, sedangkan kenyataannya vaksin palsu ini sudah beredar sejak 2003. Disatu sisi mereka( masyarakat), masih berada dalam rantai terakhir dari implementasi sebuah pelaksanaan program kesehatan di negeri ini. Ini tentunya menjadi sebuah kekhawatiran tersendiri. Disaat masyarakat diharapkan tidak terjebak pada sebuah kepanikan, disatu sisi pemerintah mengakui sejak 2003 mereka tidak berbuat apa-apa dalam mengantisipasi penyebaran vaksin palsu ini.

Dan karena masyarakat berada dalam posisi terakhir untuk sebuah rantai pelaksanaan program kesehatan, apakah berlebihan mereka menjadi panik. Tentunya kepanikan ini adalah sebuah yang niscaya.

Selain itu, anjuran lainnya, adalah meminta masyarakat untuk tidak tertipu dengan vaksin palsu. Pertanyaanya lagi, bagaimana mungkin masyarakat berkuasa untuk terhindar dari pemberian vaksin palsu tersebut. Bukankah secara terang-terangan berbagai pesan kesehatan masyarakt yang selalu didengung-dengungkan oleh pemerintah berisi tentang wajibnya imunisasi lengkap pada balita?. Atau lebih jauh lagi, apakah kami (masyarakat) sebelumnya sudah mendapat informasi terkait vaksin palsu ini sehingga berhak menolak. Apalagi jika kita membayangkan kira-kira bagaimana sebuah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk sebuah pelayanan posyandu yang dihubungkan dengan kondisi dimana yang berkunjung pada saat itu melakukan verifikasi manual terhadap vaksin yang diberikan apakah palsu atau asli.

Tanpa bermaksud untuk menghujat pemerintah, namun ada baiknya ini jadi pelajaran bersama, karena dengan beredarnya vaksin palsu ini, sedikit banyak memberi gambaran kepada kita semua bahwa akhirnya masyarakatlah kembali yang menjadi korban. Korban akan ketidakbecusan dari para penyelenggara negara, dan sialnya ini berhubungan dengan kesehatan yang dimana merupakan salah satu aspek yang dihitung dalam indeks pembangunan manusia.

Walau sebenarnya jika mau jujur, ini bukan kali pertama untuk hal yang berhubungan dengan kesehatan itu sendiri para penyelenggara negara mengalami kecolongan. Tentunya ingatan kita belum terlalu lupa pada kejadian tiga pasien meninggal di Lampung beberapa bulan yang lalu.

Jika ingin ditelisik lebih jauh, permasalahan obat-obatan dinegeri ini sudah sedemikian silang sengkarutnya sehingga tidak berlebihan kiranya lebih menyerupai sebuah bentuk kerja mafia. Kenapa demikian, karena disaat tenaga kesehatan dalam hal ini dokter melakukan kerjasama dengan sebuah prusahaan farmasi, disaat bersamaan justru hanya mengorbankan pasien yang tidak memiliki kuasa untuk menolak diperlakukan demikian. Maksud saya, ketika mereka (dokter) tadi kemudian menerima pengajuan sebuah produk obat-obatan dari sebuah perusahaan farmasinya tentunya diikuti dengan sebuah kewajiban untuk memasukkannya dalam sebuah “coretan” resep dan bisa jadi sebelumnya tidak pernah memeriksa daya beli dari calon pasiennya.

Disinilah praktek mafia bermula, hanya dengan berbagai iming-iming yang ditawarkan oleh perusahaan farmasi kepada dokter kemudian menjadikan mereka secara sadar mencerabut rasa kemanusiaan mereka kepada sesama. Sehingga pertanyaannya kemudian ialah: bagaimana ini berakhir?

Namun sekali lagi, kondisi muasal tadi tidak berlaku pada tenaga kesehatan dalam hal ini dokter yang masih memperlakukan pasiennya sebagai manusia yang utuh dan tentunya dokter ini masih dengan konsisten mengamalkan sumpah Hipocrates.

Trus bagaimana dengan dokter disekeliling anda?