Bom Waktu Itu Bukan Hanya Vaksin Palsu
Laksana bom waktu, akhirnya kasus
vaksin palsu “meledak”. Yang menarik, vaksin palsu ini mencuat setelah
sebelumnya sempat beredar di beberapa daerah. Walau belakangan pihak yang
terkait, dalam hal ini Kementrian Kesehatan sudah berkoordinasi dengan pihak berwajib
untuk menindak otak dibalik produksi vaksin palsu ini, tetap saja kondisi tadi
menyimpan beberapa hal mengganjal.
Konon peredaran vaksin palsu ini
sudah berlangsung sejak 2003. Dan jika kondisi ini benar adanya, sebuah
pertanyaan kemudian akhirnya muncul, sejak 2003, bagaimana peran dari berbagai
pihak yang berkepentingan sehingga kecolongan akan peredaran vaksin palsu
tersebut. Meskipun pihak berwajib baru menemukan keberadaan vaksin palsu
tersebut pada tiga provinsi, namun tetap saja ini semakin mempertegas kelalaian
negara terhadap warganya.
Selain itu, untuk saat ini,
langkah-langkah yang terlihat terkait penanganan vaksin palsu tersebut lebih
kepada penindakan langsung kepada pelaku. Akibatnya korban dari vaksin palsu
ini yang sejak 2003 menjadi terbengkalai.
Salah satu bukti keterbengkalaian
itu adalah jika dihubungkan dengan anjuran dari pihak terkait untuk masyarakat
jangan panik dan jangan tertipu dengan vaksin palsu. Anjuran ini sendiri jika
ditelisik lebih jauh hanya merupakan upaya “cuci tangan” dari pemerintah
terkait kondisi mereka yang telah mengalami kecolongan itu sendiri. Karena
anjuran itu sebenarnya sangat absurd.
Adalah absurd ketika berharap
masyarakat untuk tidak panik, sedangkan kenyataannya vaksin palsu ini sudah beredar
sejak 2003. Disatu sisi mereka( masyarakat), masih berada dalam rantai terakhir
dari implementasi sebuah pelaksanaan program kesehatan di negeri ini. Ini
tentunya menjadi sebuah kekhawatiran tersendiri. Disaat masyarakat diharapkan
tidak terjebak pada sebuah kepanikan, disatu sisi pemerintah mengakui sejak
2003 mereka tidak berbuat apa-apa dalam mengantisipasi penyebaran vaksin palsu
ini.
Dan karena masyarakat berada
dalam posisi terakhir untuk sebuah rantai pelaksanaan program kesehatan, apakah
berlebihan mereka menjadi panik. Tentunya kepanikan ini adalah sebuah yang
niscaya.
Selain itu, anjuran lainnya,
adalah meminta masyarakat untuk tidak tertipu dengan vaksin palsu. Pertanyaanya
lagi, bagaimana mungkin masyarakat berkuasa untuk terhindar dari pemberian
vaksin palsu tersebut. Bukankah secara terang-terangan berbagai pesan kesehatan
masyarakt yang selalu didengung-dengungkan oleh pemerintah berisi tentang wajibnya
imunisasi lengkap pada balita?. Atau lebih jauh lagi, apakah kami (masyarakat)
sebelumnya sudah mendapat informasi terkait vaksin palsu ini sehingga berhak
menolak. Apalagi jika kita membayangkan kira-kira bagaimana sebuah lamanya
waktu yang dibutuhkan untuk sebuah pelayanan posyandu yang dihubungkan dengan
kondisi dimana yang berkunjung pada saat itu melakukan verifikasi manual
terhadap vaksin yang diberikan apakah palsu atau asli.
Tanpa bermaksud untuk menghujat
pemerintah, namun ada baiknya ini jadi pelajaran bersama, karena dengan
beredarnya vaksin palsu ini, sedikit banyak memberi gambaran kepada kita semua
bahwa akhirnya masyarakatlah kembali yang menjadi korban. Korban akan
ketidakbecusan dari para penyelenggara negara, dan sialnya ini berhubungan
dengan kesehatan yang dimana merupakan salah satu aspek yang dihitung dalam indeks
pembangunan manusia.
Walau sebenarnya jika mau jujur,
ini bukan kali pertama untuk hal yang berhubungan dengan kesehatan itu sendiri
para penyelenggara negara mengalami kecolongan. Tentunya ingatan kita belum terlalu
lupa pada kejadian tiga pasien meninggal di Lampung beberapa bulan yang lalu.
Jika ingin ditelisik lebih jauh,
permasalahan obat-obatan dinegeri ini sudah sedemikian silang sengkarutnya
sehingga tidak berlebihan kiranya lebih menyerupai sebuah bentuk kerja mafia. Kenapa
demikian, karena disaat tenaga kesehatan dalam hal ini dokter melakukan
kerjasama dengan sebuah prusahaan farmasi, disaat bersamaan justru hanya
mengorbankan pasien yang tidak memiliki kuasa untuk menolak diperlakukan
demikian. Maksud saya, ketika mereka (dokter) tadi kemudian menerima pengajuan sebuah
produk obat-obatan dari sebuah perusahaan farmasinya tentunya diikuti dengan
sebuah kewajiban untuk memasukkannya dalam sebuah “coretan” resep dan bisa jadi sebelumnya tidak pernah memeriksa daya
beli dari calon pasiennya.
Disinilah praktek mafia bermula,
hanya dengan berbagai iming-iming yang ditawarkan oleh perusahaan farmasi
kepada dokter kemudian menjadikan mereka secara sadar mencerabut rasa
kemanusiaan mereka kepada sesama. Sehingga pertanyaannya kemudian ialah:
bagaimana ini berakhir?
Namun sekali lagi, kondisi muasal
tadi tidak berlaku pada tenaga kesehatan dalam hal ini dokter yang masih
memperlakukan pasiennya sebagai manusia yang utuh dan tentunya dokter ini masih
dengan konsisten mengamalkan sumpah Hipocrates.
Trus bagaimana dengan dokter
disekeliling anda?