BPJS akan Naik(?)
Iuran BPJS Kesehatan akan dinaikkan?tidak...tidak...ini pasti mimpi buruk. Setidaknya, kemungkinan prasangka ini yang berkecamuk di kepala para peserta BPJS yang berjumlah 163,3 Juta peserta (per Maret 2016-BPJS Kesehatan). Baik kategori Peserta Mandiri maupun kategori Pekerja Penerima Upah, pasti gelisah dengan kebijakan yang katanya akan diberlakukan per April 2016 itu.
Bagi penyelenggara BPJS, kenaikan iuran itu adalah
pilihan paling rasional ditengah defisit operasional dari tahun ke tahun akibat
klaim kesehatan yang membludak. Atau dalam bahasa sederhana jumlah Penerima
Bantuan Iuran (PBI) yang meningkat, setidaknya menurut Fahmi Idris (Direktur
Utama BPJS Kesehatan). Peningkatan itu menurut penyelenggara BPJS sangat
signifikan, dari 86,4 Juta jiwa di tahun 2015 meningkat menjadi 92,4 Juta jiwa
di tahun 2016.
Siapa mereka yang merupakan PBI tersebut?. Jika merujuk
pada Peraturan Presiden No.19 Tahun 2016, Pasal 1 Ayat 1 Butir 3: “Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan
yang selanjutnya disebut PBI Jaminan Kesehatan adalah fakir miskin dan orang
tidak mampu sebagai peserta program Jaminan Kesehatan”.
Pertanyaan lanjutannya, bagaimana dengan jumlah dari PBI
itu sendiri?. Untuk data BPS, jumlah warga miskin di tahun 2015 adalah 28,5
Juta jiwa. Angka warga miskin ini jauh berbeda hubungannya yang dikemukakan
oleh Fahmi Idris ketika PBI disamakan dengan jumlah warga miskin ( PP No.19
Tahun 2016). Sehingga tidak berlebihan kemudian jika banyak pihak yang
mempertanyakan PBI sejumlah 57,9 Juta jiwa(selisih BPS dan BPJS Kesehatan) diperoleh
dari mana.
*
Adalah
Heri Susanto sebagai Koordinator Masyarakat Peduli BPJS yang mengungkapkan
bahwa jumlah tersebut merupakan dampak dari politisasi BPJS Kesehatan oleh para
penyelenggara negara (yang selanjutnya saya sebut oknum). Oknum ini tadi,
dengan sewenang-wenang memanfaatkan kategorisasi
PBI sebagai bagian dari kampanye politik dan sebagainya. Dampaknya kemudian
adalah membludaknya jumlah PBI/KIS, dan disaat bersamaan justru mengorbankan
peserta BPJS kategori mandiri.
Mereka dikorbankan melalui kurang maksimalnya pelayanan
kesehatan tingkat dasar dalam hal ini di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama,
namun tetap dibebani iuran untuk PBI tadi. Bisa jadi negara bisa berkilah
dengan mengatakan bahwa iuran peserta mandiri tadi tidak sepenuhnya digunakan
untuk PBI, karena ada juga konstribusi negara melalui alokasi APBN untuk BPJS
(di tahun 2015 sebesar Rp. 5 Triliun).
Sedikit gambaran, betapa jumlah itu menurut BPJS tidak
cukup. Menurut Direktur Keuangan BPJS Kesehatan, pada tahun 2014 BPJS Kesehatan
mengalami defisit sebesar Rp.3,3 Triliun. Salah satu faktor defisit tersebut,
ialah karena aturan pemerintah kala itu mengizinkan rumah sakit menagih hingga
dua tahun pasca pengobatan, sehingga berdampak pada arus kas yang unpredictable.
Suntikan APBN
perubahan tahun 2015 untuk BPJS sudah memiliki alokasi sendiri. Adalah sebesar
Rp. 3,46 T digunakan untuk dana operasional, dengan harapan akan terkumpul
seluruh iuran untuk digunakan membayar klaim. Dan sisanya digunakan untuk
cadangan sebagi langkah antisipatif jika defisit semakin membesar. Artinya
defisit Rp 3,3 T tadi jika dijumlahkan dengan dana operasional masih belum
cukup, dalam artian tetap menunggu terkumpulnya iuran peserta untuk membayar
klaim.
Namun apa lacur, di tahun 2016 ini BPJS kemudian
berencana untuk menaikkan iuran. Dengan dalih ingin meningkatkan pelayanan dan
infrastruktur dari BPJS sendiri. Ada beberapa hal yang bisa dilihat dari
rencana menaikkan iuran tersebut oleh BPJS. Salah satunya tarik menarik
kepentingan antara lembaga Penanaman Modal Negara (PMN) dengan BPJS. Ini
hubungannya dengan suntikan APBN tadi
yang melalui PMN.
Sebagai salah satu lembaga pemerintah yang bernaung di
bawah Kementrian Kesehatan, kucuran dana dari PMN ke BPJS tentu saja menuai
kecaman dari para wakil rakyat. Alasannya sederhana, karena BPJS bukan BUMN dan
atau Lembaga Keuangan. Sehingga kucuran dana dari PMN ditakutkan tidak akan memberi dampak secara signifikan terhadap
peningkatan kas negara.
Itu satu soal lagi.
Untuk sementara mari kita singkirkan persoalan tarik
menarik antara wakil rakyat yang hubungannya dengan PMN dan BPJS. Dan mari kita
meminjam sudut pandang BPJS dalam menaikkan iuran, yang mana menurut mereka hal
tersebut akan berhubungan dengan meningkatnya pelayanan dan infrastruktur dari
BPJS sendiri.
Jika melihat pola pelayanan pemegang kartu BPJS (PBI atau
mandiri) menurut Kementrian Kesehatan, mereka awalnya harus mendatangi
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama/Primer (FKTP) dalam hal ini Puskesmas, Klinik
Polri, Klinik TNI, dan lain-lain. Setelah dari FKTP tadi jika dibutuhkan
pelayanan tingkat lanjut kemudian dirujuk atau rujuk balik di atau dari
Fasilitas Kesehatan Tingkat Dua (Rumah Sakit). Hal ini tidak berlaku untuk
kasus yang darurat, yang lagi-lagi sangat bergantung pada kategorisasi Tenaga
Kesehatan.
Dari skema diatas, sejatinya para pemegang kartu BPJS
akan mengalami hal yang indah atau dengan kata lain angka kunjungan FKTP
sejatinya merata, setidaknya menurut mereka yang menyusun konsep diatas. Namun
jika melihat data dilapangan untuk tahun 2015, untuk konteks BPJS Cabang
Jakarta Barat saja, ada perbedaan signifikan antara Puskesmas Cengkareng dan
Puskesmas Kalideras untuk biaya kapitasi.
Pertanyaan lanjutan kemudian ialah, bentuk pelayanan
bagaimanakah yang kemudian akan ditingkatkan oleh pihak BPJS terkait fenomena
kelebihan kapasitas layanan untuk Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama. Karena
jumlah kapitas berhubungan dengan angka kunjungan pada FKTP. Dan kunjungan
sangat bergantung pada banyak faktor, salah satunya mobilitas penduduk yang
dari hari kehari kian tinggi.
Hal lain yang menjadi perhatian penulis ialah dengan
tingginya perbedaan junlah kapitasi pada FKTP semakin mempertegas arah program
Kementrian Kesehatan masih Paradigma Sakit. Selain itu jika kita bersepakat
jumlah kapitasi menggambarkan tidak adanya hambatan financial dari BPJS dalam
pencairan, hal lain yang hendaknya menjadi perhatian kita bersama adalah angka
kunjungan ke FKTP.
Angka kunjungan atau visit
(contact) Rate di Puskesmas untuk tahun 2015, hanya 40 orang dari 1000
orang yang terdaftar di Puskesmas tersebut. Ini juga menjadi persoalan sendiri
menurut penulis. Karena jika betul bahwa BPJS tidak menghambat dana kapitasi,
kenapa justru tidak berdampak pada meningkatnya angka kunjungan pada FKTP
peserta seperti yang terdaftar pada kartu BPJS.
Apakah ini kemudian berhubungan dengan kekecewaan
kelompok peserta mandiri atau penerima upah terhadap PBI yang notabene mereka
subsidi melalui iuran dan dibantu pemerintah. Ataukah kekecawaan ini
berhubungan dengan fasilitas dan bentuk pelayanan yang tersedia pada FKTP yang
tercantum di kartu peserta tersebut. Pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh
BPJS dan Negara.
Selain persoalan layanan, infrastruktur juga menjadi
dalih dari BPJS untuk menaikkan iuran. Untuk diketahui sependek pengetahuan
saya ada beberapa Provinsi di negara ini menerapkan kebijakan upgrade status Puskesmas. Adalah jenis
Puskesmas Global, Medical Center, dan Puskesmas Standar. Masing-masing dengan
tugas dan fungsinya, misalnya keberadaan ruangan rawat inap, dan lain-lain.
Nah, bagaimana kemudian BPJS melihat fenomena klasifikasi
Puskesmas tadi. Karena Puskesmas sendiri merupakan Unit Pelaksana Tehnis Daerah
di bidang kesehatan. Dalam artian masih di bawah komando Dinas Kesahatan
Kabupaten/Kota.
Artinya infrastruktur yang dimaksud oleh BPJS tadi akan
ditingkatkan sebaiknya lebih dijabarkan lebih tehnis oleh bapak Fahmi Idris.
Karena pun misalnya yang dimaksud dengan hal tersebut adalah Puskesmas,
otomatis kembali lagi akan mengalami tarik menarik dengan pemerintah
Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia. Tapi disatu sisi Puskesmas merupakan
ujung tombak pelayanan di tingkat masyarakat, sehingga agak aneh kemudian jika
terminologi peningkatan infrastruktur hanya didominasi oleh Rumah Sakit (saja).
**
Setidaknya ada dua point yang menjadi titik tekan saya
dalam tulisan kali ini. Pertama, persoalan rasionalisasi jumlah PBI menurut
BPJS yang merujuk pada PP No.19 Tahun 2016. Ini juga menjadi penting, mengingat
kapabilitas lembaga sebesar BPS menjadi taruhannya. Selain itu meningkatnya
jumlah PBI sejatinya, jangan menjadi jualan pihak BPJS untuk menyusun
rasionalisasi kenaikan BPJS, karena itu akhirnya sangat politis sifatnya.
Yang kedua adalah alasan kenaikan iuran BPJS. Walaupun
kenaikan iuran BPJS ini hanya berlaku untuk peserta mandiri, tetap saja tidak
melepaskan dengan sertamerta kewajiban dari pihak BPJS untuk terlebih dahulu
memperbaiki sistem kedalam. Karena tetap saja kenaikan tersebut akhirnya justru
hanya mengorbankan masyarakat. Setelah masyarakat mengalami kenaikan harga
barang pokok di tahun 2015, akan sangat memberatkan kemudian jika harus lagi
menanggung kenaikan iuran BPJS.
Mungkin
pihak BPJS bisa berkilah, bahwasanya peserta mandiri BPJS merupakan kelompok
menengah keatas. Ini lagi-lagi masih perlu ditelisik lebih lanjut, karena untuk
konteks Indonesia sendiri jumlah produk asuransi kesehatan swasta sudah sangat
banyak. Artinya masyarakat punya banyak pilihan untuk yang berhubungan dengan
pelayanan kesehatan mereka.
Dan lagi-lagi semoga kenaikan iuran BPJS justru tidak
bertentangan dengan UUD 1945 pasal 34, yang justru merupakan landasan dari
berdirinya BPJS di negara ini.
Yogyakarta, 20
Maret 2016
Disclaimer gambar:
Kesibukan disalahsatu kantor BPJS Kesehatan,Sumber: Liputan6.com