BPJS akan Naik(?)

Juni 20, 2016 Mashuri Mashar S.KM 0 Comments

      
      
Iuran BPJS Kesehatan akan dinaikkan?tidak...tidak...ini pasti mimpi buruk. Setidaknya, kemungkinan prasangka ini yang berkecamuk di kepala para peserta BPJS yang berjumlah 163,3 Juta peserta (per Maret 2016-BPJS Kesehatan). Baik kategori Peserta Mandiri maupun kategori Pekerja Penerima Upah, pasti gelisah dengan kebijakan yang katanya akan diberlakukan per April 2016 itu.

            Bagi penyelenggara BPJS, kenaikan iuran itu adalah pilihan paling rasional ditengah defisit operasional dari tahun ke tahun akibat klaim kesehatan yang membludak. Atau dalam bahasa sederhana jumlah Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang meningkat, setidaknya menurut Fahmi Idris (Direktur Utama BPJS Kesehatan). Peningkatan itu menurut penyelenggara BPJS sangat signifikan, dari 86,4 Juta jiwa di tahun 2015 meningkat menjadi 92,4 Juta jiwa di tahun 2016.

            Siapa mereka yang merupakan PBI tersebut?. Jika merujuk pada Peraturan Presiden No.19 Tahun 2016, Pasal 1 Ayat 1 Butir 3: “Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan yang selanjutnya disebut PBI Jaminan Kesehatan adalah fakir miskin dan orang tidak mampu sebagai peserta program Jaminan Kesehatan”.

            Pertanyaan lanjutannya, bagaimana dengan jumlah dari PBI itu sendiri?. Untuk data BPS, jumlah warga miskin di tahun 2015 adalah 28,5 Juta jiwa. Angka warga miskin ini jauh berbeda hubungannya yang dikemukakan oleh Fahmi Idris ketika PBI disamakan dengan jumlah warga miskin ( PP No.19 Tahun 2016). Sehingga tidak berlebihan kemudian jika banyak pihak yang mempertanyakan PBI sejumlah 57,9 Juta jiwa(selisih BPS dan BPJS Kesehatan) diperoleh dari mana.
*
Adalah Heri Susanto sebagai Koordinator Masyarakat Peduli BPJS yang mengungkapkan bahwa jumlah tersebut merupakan dampak dari politisasi BPJS Kesehatan oleh para penyelenggara negara (yang selanjutnya saya sebut oknum). Oknum ini tadi, dengan sewenang-wenang memanfaatkan  kategorisasi PBI sebagai bagian dari kampanye politik dan sebagainya. Dampaknya kemudian adalah membludaknya jumlah PBI/KIS, dan disaat bersamaan justru mengorbankan peserta BPJS kategori mandiri.

            Mereka dikorbankan melalui kurang maksimalnya pelayanan kesehatan tingkat dasar dalam hal ini di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, namun tetap dibebani iuran untuk PBI tadi. Bisa jadi negara bisa berkilah dengan mengatakan bahwa iuran peserta mandiri tadi tidak sepenuhnya digunakan untuk PBI, karena ada juga konstribusi negara melalui alokasi APBN untuk BPJS (di tahun 2015 sebesar Rp. 5 Triliun).

            Sedikit gambaran, betapa jumlah itu menurut BPJS tidak cukup. Menurut Direktur Keuangan BPJS Kesehatan, pada tahun 2014 BPJS Kesehatan mengalami defisit sebesar Rp.3,3 Triliun. Salah satu faktor defisit tersebut, ialah karena aturan pemerintah kala itu mengizinkan rumah sakit menagih hingga dua tahun pasca pengobatan, sehingga berdampak pada arus kas yang unpredictable.  

            Suntikan APBN perubahan tahun 2015 untuk BPJS sudah memiliki alokasi sendiri. Adalah sebesar Rp. 3,46 T digunakan untuk dana operasional, dengan harapan akan terkumpul seluruh iuran untuk digunakan membayar klaim. Dan sisanya digunakan untuk cadangan sebagi langkah antisipatif jika defisit semakin membesar. Artinya defisit Rp 3,3 T tadi jika dijumlahkan dengan dana operasional masih belum cukup, dalam artian tetap menunggu terkumpulnya iuran peserta untuk membayar klaim.

            Namun apa lacur, di tahun 2016 ini BPJS kemudian berencana untuk menaikkan iuran. Dengan dalih ingin meningkatkan pelayanan dan infrastruktur dari BPJS sendiri. Ada beberapa hal yang bisa dilihat dari rencana menaikkan iuran tersebut oleh BPJS. Salah satunya tarik menarik kepentingan antara lembaga Penanaman Modal Negara (PMN) dengan BPJS. Ini hubungannya dengan suntikan APBN tadi yang melalui PMN.

            Sebagai salah satu lembaga pemerintah yang bernaung di bawah Kementrian Kesehatan, kucuran dana dari PMN ke BPJS tentu saja menuai kecaman dari para wakil rakyat. Alasannya sederhana, karena BPJS bukan BUMN dan atau Lembaga Keuangan. Sehingga kucuran dana dari PMN ditakutkan tidak akan memberi dampak secara signifikan terhadap peningkatan kas negara.

            Itu satu soal lagi.

      Untuk sementara mari kita singkirkan persoalan tarik menarik antara wakil rakyat yang hubungannya dengan PMN dan BPJS. Dan mari kita meminjam sudut pandang BPJS dalam menaikkan iuran, yang mana menurut mereka hal tersebut akan berhubungan dengan meningkatnya pelayanan dan infrastruktur dari BPJS sendiri.

            Jika melihat pola pelayanan pemegang kartu BPJS (PBI atau mandiri) menurut Kementrian Kesehatan, mereka awalnya harus mendatangi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama/Primer (FKTP) dalam hal ini Puskesmas, Klinik Polri, Klinik TNI, dan lain-lain. Setelah dari FKTP tadi jika dibutuhkan pelayanan tingkat lanjut kemudian dirujuk atau rujuk balik di atau dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Dua (Rumah Sakit). Hal ini tidak berlaku untuk kasus yang darurat, yang lagi-lagi sangat bergantung pada kategorisasi Tenaga Kesehatan.

            Dari skema diatas, sejatinya para pemegang kartu BPJS akan mengalami hal yang indah atau dengan kata lain angka kunjungan FKTP sejatinya merata, setidaknya menurut mereka yang menyusun konsep diatas. Namun jika melihat data dilapangan untuk tahun 2015, untuk konteks BPJS Cabang Jakarta Barat saja, ada perbedaan signifikan antara Puskesmas Cengkareng dan Puskesmas Kalideras untuk biaya kapitasi.

            Pertanyaan lanjutan kemudian ialah, bentuk pelayanan bagaimanakah yang kemudian akan ditingkatkan oleh pihak BPJS terkait fenomena kelebihan kapasitas layanan untuk Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama. Karena jumlah kapitas berhubungan dengan angka kunjungan pada FKTP. Dan kunjungan sangat bergantung pada banyak faktor, salah satunya mobilitas penduduk yang dari hari kehari kian tinggi.

            Hal lain yang menjadi perhatian penulis ialah dengan tingginya perbedaan junlah kapitasi pada FKTP semakin mempertegas arah program Kementrian Kesehatan masih Paradigma Sakit. Selain itu jika kita bersepakat jumlah kapitasi menggambarkan tidak adanya hambatan financial dari BPJS dalam pencairan, hal lain yang hendaknya menjadi perhatian kita bersama adalah angka kunjungan ke FKTP.

            Angka kunjungan atau visit (contact) Rate di Puskesmas untuk tahun 2015, hanya 40 orang dari 1000 orang yang terdaftar di Puskesmas tersebut. Ini juga menjadi persoalan sendiri menurut penulis. Karena jika betul bahwa BPJS tidak menghambat dana kapitasi, kenapa justru tidak berdampak pada meningkatnya angka kunjungan pada FKTP peserta seperti yang terdaftar pada kartu BPJS.

            Apakah ini kemudian berhubungan dengan kekecewaan kelompok peserta mandiri atau penerima upah terhadap PBI yang notabene mereka subsidi melalui iuran dan dibantu pemerintah. Ataukah kekecawaan ini berhubungan dengan fasilitas dan bentuk pelayanan yang tersedia pada FKTP yang tercantum di kartu peserta tersebut. Pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh BPJS dan Negara.

            Selain persoalan layanan, infrastruktur juga menjadi dalih dari BPJS untuk menaikkan iuran. Untuk diketahui sependek pengetahuan saya ada beberapa Provinsi di negara ini menerapkan kebijakan upgrade status Puskesmas. Adalah jenis Puskesmas Global, Medical Center, dan Puskesmas Standar. Masing-masing dengan tugas dan fungsinya, misalnya keberadaan ruangan rawat inap, dan lain-lain.

            Nah, bagaimana kemudian BPJS melihat fenomena klasifikasi Puskesmas tadi. Karena Puskesmas sendiri merupakan Unit Pelaksana Tehnis Daerah di bidang kesehatan. Dalam artian masih di bawah komando Dinas Kesahatan Kabupaten/Kota.

            Artinya infrastruktur yang dimaksud oleh BPJS tadi akan ditingkatkan sebaiknya lebih dijabarkan lebih tehnis oleh bapak Fahmi Idris. Karena pun misalnya yang dimaksud dengan hal tersebut adalah Puskesmas, otomatis kembali lagi akan mengalami tarik menarik dengan pemerintah Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia. Tapi disatu sisi Puskesmas merupakan ujung tombak pelayanan di tingkat masyarakat, sehingga agak aneh kemudian jika terminologi peningkatan infrastruktur hanya didominasi oleh Rumah Sakit (saja).

**
            Setidaknya ada dua point yang menjadi titik tekan saya dalam tulisan kali ini. Pertama, persoalan rasionalisasi jumlah PBI menurut BPJS yang merujuk pada PP No.19 Tahun 2016. Ini juga menjadi penting, mengingat kapabilitas lembaga sebesar BPS menjadi taruhannya. Selain itu meningkatnya jumlah PBI sejatinya, jangan menjadi jualan pihak BPJS untuk menyusun rasionalisasi kenaikan BPJS, karena itu akhirnya sangat politis sifatnya.

            Yang kedua adalah alasan kenaikan iuran BPJS. Walaupun kenaikan iuran BPJS ini hanya berlaku untuk peserta mandiri, tetap saja tidak melepaskan dengan sertamerta kewajiban dari pihak BPJS untuk terlebih dahulu memperbaiki sistem kedalam. Karena tetap saja kenaikan tersebut akhirnya justru hanya mengorbankan masyarakat. Setelah masyarakat mengalami kenaikan harga barang pokok di tahun 2015, akan sangat memberatkan kemudian jika harus lagi menanggung kenaikan iuran BPJS.

            Mungkin pihak BPJS bisa berkilah, bahwasanya peserta mandiri BPJS merupakan kelompok menengah keatas. Ini lagi-lagi masih perlu ditelisik lebih lanjut, karena untuk konteks Indonesia sendiri jumlah produk asuransi kesehatan swasta sudah sangat banyak. Artinya masyarakat punya banyak pilihan untuk yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan mereka.

            Dan lagi-lagi semoga kenaikan iuran BPJS justru tidak bertentangan dengan UUD 1945 pasal 34, yang justru merupakan landasan dari berdirinya BPJS di negara ini.


Yogyakarta, 20 Maret 2016



Disclaimer gambar:
Kesibukan disalahsatu kantor BPJS Kesehatan,Sumber: Liputan6.com