Ini Tentang Kartini

Juni 20, 2016 Mashuri Mashar S.KM 0 Comments



Seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Sudah banyak informasi yang senantiasa direproduksi berhubungan dengan tanggal tersebut. Mulai dari kuantitas atau bentuk maupun kualitas perjuangan R.A Kartini dalam lokus emansipasi hingga bagaimana pengaruh dari perjuangan itu sendiri belakangan ini. Sehingga tidak berlebihan jika hari inipun berbagai bentuk kemeriahan peringatan terkait Hari Kartini dilaksanakan.

Kali ini kita tidak akan berbicara tentang apa yang mendorong Kartini sehingga berinisiatif untuk berkorespondensi dengan Rosa Abendanon terkait persoalan ketimpangan struktural yang dialaminya pada waktu itu. Atau apa yang menjadi alasan kuat dari besarnya ketertarikan beliau terhadap masalah sosial mutakhir pada masa itu yang banyak termaktub dalam surat kabar Semarang De Locomotief  yang diasuh oleh Pieter Brooshooft.

Ini juga bukan berbicara tentang Hajjah Rangkayo Rasuna Said, yang entah ada hubungannya atau tidak dengan semangat emansipasi yang menjadi issu sentral dalam setiap surat yang dikirmkan Kartini kepada sahabatnya di Belanda. Karena tidak bisa dipungkiri sebagai pimpinan redaksi majalah Raya, H.R Rasuna Said sedikit banyak memberikan konstribusi terhadap bentuk lain perlawanan terhadap kolonialisme, setidaknya untuk konteks Sumatra Barat pada tahun 1935.

Dalam kesempatan ini, dengan segala keterbatasan, saya, akan mencoba melihat bagaimana kaum perempuan dewasa ini.

Jika muncul pertanyaan, bagaimana mungkin seorang lelaki (penulis) bisa maksimal dalam berbicara tentang perempuan, yang jenis kelaminnya saja sudah berbeda, apa lagi informasi yang ditampilkan sudah bisa dipastikan tidak mewakili apapun yang menjadi sentrum informasi terkait perempuan itu sendiri. Atau pertanyaan lain, tidak bisakah perempuan mewakili dirinya sendiri untuk berbicara terkait pergerakan kaum perempuan hari ini.

Untuk pertanyaan pertama, jawaban saya, tulisan ini semata-mata lahir murni berangkat dari ketertarikan terhadap perempuan itu sendiri. Selain itu, tulisan ini juga sebagai bentuk lain dari usaha penulis untuk mencoba terlibat dalam peringatan Hari Kartini. Karena bagi penulis, peringatan Hari Kartini bisa berbagai bentuknya, mulai dari kebijakan internal sebuah kantor untuk mewajibkan karyawatinya menggunakan kebaya hingga bentuk parade pakaian adat untuk anak-anak.

Dan apakah perempuan tidak bisa mewakili diri sendiri, bagi penulis sudah banyak rupa dan bentuk kaum perempuan dalam upaya mewakili kaum mereka dalam rangka menyuarakan segala bentuk kegelisahan yang dialami oleh golongan mereka. Dan tidak kecil akhirnya konsekwensi yang menjadi taruhannya, mulai dari dikucilkan hingga kematian senantiasa mengintai, kita tentu tidak lupa pada apa yang dialami Marsinah.

Sedikit pengantar, kenapa hingga saat ini gerakan perempuan senantiasa bergelora, tidak bisa dilepaskan dari dominasi kaum lelaki atas perempuan yang masih tinggi hingga saat ini, baik disadari atau tidak. Walau disaat bersamaan kaum lelaki bisa berdalih dengan mengatakan gerakan emansipasi perempuan yang diperjuangkan oleh Kartini di awal abad 20 sudah mendekati kata berhasil. Salah satu bukti dibidang politik, dimana kaum adam sudah mahfum jika implementasi keterwakilan perempuan dalam parlemen harus mencapai angka 30%, atau jumlah penulis perempuan yang dari hari kehari yang menunjukkan peningkatan.

Namun perkembangan demi perkembangan tersebut kemudian tidak menjadikan aktivis pergerakan perempuan mengalami kepuasan. Karena dominasi lelaki terhadap perempuan untuk konteks negara kita adalah sebuah Habitus (meminjam terminologi Bourdieu). Mulai dari sistem kerajaan yang (mungkin saja) kebetulan sebagian besar raja yang ada di negara ini adalah lelaki hingga bagaimana Orde Baru senantiasa mereproduksi konsepsi lelaki adalah sentrum melalui terminologi Bapakisme selama 32 Tahun menjadi pemicu Habitus tersebut.

Ini kita belum berbicara konsepsi peran sosial dalam keseharian yang secara sadar atau tidak, sudah membagi peran antara lelaki dan perempuan dalam tingkatan terkecil keluarga. Dalam artian, bagaimanapun aktifnya perempuan diluar rumah baik secara politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain ketika kembali ke rumah, kedudukan dan perannya sebagai perempuan sangat sulit dilepaskan. Ini bisa berangkat dari berbagai musabab, mulai dari sebagai bentuk kesadaran praksis (meminjam terminologi Giddens) kaum perempuan hingga pengkondisian masyarakat yang mencipta itu.
*
Dalam sebuah artikel majalah Marketers terbitan Agustus 2013 yang mengangkat tema sentral What Women Think: Memahami Hasrat Konsumen Wanita Indonesia, terungkap sebuah fenomena menarik. Walau majalah ini terbit tiga tahun yang lalu, menurut penulis ternyata masih relevan jika dibahas disini beberapa informasi penting terkait Apa Yang difikirkan oleh Perempuan.

Dalam sebuah sebuah survei pada 2.150 responden yang merupakan perempuan untuk rentang umur 16 – 50 Tahun di 10 Kota besar Indonesia pada tahun 2013 terungkap beberapa informasi yang menarik. Dari survei tersebut terungkap kategorisasi perempuan Indonesia pada waktu itu, ialah High-Fliyer (23,6%), Celebrity (9,2%), Philantropist (53,9%), dan Socialite (13,3%). Kategorisasi tersebut jika dilekatkan pada irisan antara konsepsi karakter perempuan dan impian perempuan.  

Untuk kategori High-Fliyer adalah kelompok perempuan yang lebih mengejar kemapanan materi namun cenderung mementingkan diri sendiri. Kaum ini menempatkan posisi kedua dalam survei tersebut. Walau akhirnya survei ini tidak mengikutsertakan variabel tingkat ekonomi responden perempuan, namun informasi ini sedikit banyak menjelaskan bahwa kekurangan ekonomi menjadi landasan utama sehingga 23,6% responden perempuan mendaku sebagai kelompok ini.   
 
Sedangkan kategori Celebrity adalah kelompok perempuan yang lebih fokus untuk mengejar prestasi dan ketenaran namun cenderung mementingkan diri sendiri. Kategori ini sedikit berbeda dengan katagori sebelumnya, karena yang menjadi titik tekan adalah prestasi dan ketenaran, walau pangkal harapan dari kelompok ini tetap pada kondisi kemapanan ekonomi, namun lebih besar pengaruh narsict.

Hal lain yang menarik ialah besarnya jumlah responden perempuan yang mendaku sebagai kategori Philantropist (53,9%). Philantropist adalah kelompok perempuan yang lebih memilih mengejar kemapanan materi namun tetap cenderung memiliki kepedulian yang tinggi buat orang lain. Sekilas kelompok perempuan ini adalah kelompok yang ideal, karena mampu memaknai kata emansipasi secara utuh (berdaya secara ekonomi) namun disaat bersamaan juga menyadari peran sebagai mahluk sosial, atau untuk tingkat makro mampu menjadi wanita karir dan tetap aktif sebagai ibu rumah tangga.

Tapi itu sekilas, jika dua kilas kondisi tersebut akhirnya terlihat sangat sulit terutama bagi kami kaum lelaki. Tanpa bermaksud mengecilkan kemampuan kaum perempuan, namun dalam hal membagi peran diluar rumah dan didalam rumah sudah barang tentu akan diikuti oleh sebuah konsekwensi logis akan besarnya energi yang dibutuhkan. Dan besar keyakinan saya perempuan memiliki energi yang besar itu, karena jika melihat secara anatomis perempuan memiliki rahim yang akhirnya ketika berfungsi, belum tentu kaum lelaki sanggup.

Yang terakhir adalah kelompok Socialite, kelompok ini adalah perempuan yang lebih fokus untuk mengejar prestasi dan ketenaran serta memiliki kepedulian tinggi buat orang lain. Kelompok ini bisa saja diwakili dengan sedemikian maraknya terbentuk solidaritas artis untuk korban atau penderita tertentu misalnya.

Pengelompokan diatas entah sudah merupakan bagian settingan dari majalah dalam rangka mensegmentasi konsumen perempuan sebagai bagian dari bentuk majalah keseluruhan atau itu merupakan informasi yang tersaji dengan sendirinya, tetap saja ini menjadi menarik. Menarik karena kelompok tersebut sudah barang tentu belum mewakili kaum perempuan secara keseluruhan. Selain itu mengingat informasi ini disajikan dalam sebuah majalah marketing, sehingga tafsir jadi berbeda.

**
Kembali ke soal kaum perempuan hari ini. Jika berbicara soal kaum perempuan, kita tidak bisa lepas peran mereka dalam berbangsa dan bernegara dewasa ini. Peran yang saya maksudkan bukan soal berapa banyak perempuan hari ini yang terlibat diluar kondisi domestik seperti menjadi aktris, penemu atau bahkan presiden perempuan. Namun hubungan peran lain yang secara tidak sadar berpengaruh besar terhadap bangsa ini.

Untuk itu ingatan kita, akan saya tarik pada kejadian 29 tahun yang lalu. Kejadian tragedi Bintaro. Tragedi tabrakan dua kereta yang terjadi di Stasiun Pondok Ranji, antara kereta patas ekonomi jurusan Tanah Abang – Merak ( KA 220) dan kereta api ekonomi cepat jurusan Rangkasbitung – Jakarta Kota (KA 225). Peristiwa ini merupakan musibah terburuk dalam sejarah perkeretaapian di Indonesia. Dan ini setidaknya menyita perhatian publik  di tahun 1987.

Namun kali ini saya tidak berbicara persoalan tehnis musabab terjadinya hal tersebut. Atau bukan juga berapa korban jiwa khususnya perempuan dalam kejadian tersebut. Selain karena sudah banyaknya informasi terkait hal yang saya sebutkan tadi, tulisan ini tentu saja concern pada kaum perempuan.

Apa hubungan kejadian Bintaro dengan kaum perempuan, atau bagaimana kaitannya dengan hari Kartini. Sebuah fenomena menarik diungkap oleh Daniel Dhakidae dalam buku Menerjang Badai Kekuasaan (Kompas, 2015), adalah jawabannya.

Salah satu sosok yang diangkat oleh beliau adalah Rohima atau belakangan dikenal dengan nama Subaikah dalam rangka menerjang badai kekuasaan pada tahun 1987. Sosok ini awalnya merupakan salah satu dari sekian banyak ibu yang menjadi bagian dari keluarga korban Tragedi Bintaro pada waktu itu. Yang menarik pada waktu itu, dari sekian banyak korban Tragedi Bontaro, Ibu Rohima adalah salah satu keluarga Korban Bintaro yang paling berat merasakan ujian tersebut.

Paling berat karena setelah sebelumnya dia kehilangan kedua anaknya pada sebuah kebakaran pabrik konveksi  di Angke, Jakarta Barat, kembali lagi dia mengalami musibah karena salah satu korban Tragedi Bintaro adalah suaminya sendiri. Sehingga tidak berlebihan akhirnya jika media cetak pada waktu itu menjadikannya Teras dari Terasnya Tragedi Bintaro, dengan ketabahan yang melebihi batas manusia biasa.

Walau akhirnya dia mendapatkan ganti rugi sebagai sebuah konsekwensi dari kejadian yang human eror, tetap saja dianggap belum sepadan dengan bentuk kehilangan yang dialami oleh ibu Rohima, setidaknya ini anggapan yang terbangun dimasyarakat pada waktu itu.

Namun apa lacur, belakangan sosok Rohima ternyata palsu dalam artian nama sebenarnya adalah Subaikah yang mengaku bernama Rohima. Dan kepalsuan ini akhirnya diikuti oleh kepalsuan lain mulai dua anak yang meninggal pada kebakaran di pabrik Konveksi bukan anaknya hingga sosok lelaki yang menjadi korban dalam Tragedi Bintaro tidak dikenalnya. Kejadian ini sebenarnya menggelikan sekaligus membuat miris.

Menggelikan karena Subaikah mampu mempertontonkan sebuah diorama Teater Hati Nurani yang disaat bersamaan menjadi aktor tunggal bersama Kekuasaan di sebuah Negara pada waktu itu yang disaat bersamaan mengagungkan sebuah sistem keteraturan dan kedisiplinan yang ketat. Sekaligus miris karena akhirnya ini tidak bisa lepas dari desakan ekonomi yang mendorongnya untuk mendaku sebagai sosok Rohima yang fiktif dengan segala kepalsuan-kepalsuan yang mengikuti.

Walau akhirnya dia, bagi penguasa pada waktu itu masuk dalam kategori pelanggar aturan, namun tetap saja tidak kecil nyali yang dibutuhkan untuk sekedar memikirkan menjadi Rohima pada waktu itu. Dan itu mampu diatasi oleh sosok Subaikah hanya demi sebuah ganti rugi total sebesar Rp. 3 Juta (Pada Tahun 1987 itu sangat besar, karena harga beras perkilo hanya Rp.60,-) yang didapatnya.

Kejadian itu membuktikan betapa buruknya sistem administrasi negara kita pada waktu itu. Karena entah karena disengaja atau tidak, Subaikah mampu menunjukkan kapada kita semua bahwa politik ekonomi dan ekonomi politik sedemikian carut marutnya pada waktu itu. Dalam artian untuk sekedar memastikan apakah anak yang menjadi korban kebakaran konveksi adalah anak dari Rohima misalnya setidaknya membutuhkan sebuah Akte Kelahiran.

Dan sekali lagi Subaikah berani untuk menerjang dan menantang kekuasaan pada waktu itu.

Lain Subaikah, lain juga dengan Deni Yulianti (28 Tahun). Ibu Deni (demikian beliau akrab dipanggil) bukan menyuguhkan kepalsuan seperti apa yang disuguhkan oleh Subaikah. Bersama delapan ibu lainnya, beliau kemudian melakukan aksi mengecor kaki mereka di seberang Istana Negara (12/4/2016). Walau kemudian akhirnya cor kaki tersebut dibuka atas permintaan Presiden, tetap saja aksi mereka berhasil menyita perhatian publik dan akhirnya menarik perhatian Kepala Negara.

Aksi yang dilakukan oleh Ibu Deni dan kawan-kawan (belakangan dikenal dengan sebutan 9 Kartini Kendeng), dilakukan berangkat dari sebuah keinginan menyelamatkan alam sekitar mereka dari bentuk eksploitasi. Ini demi menjaga ketersedian air di Pegunungan Kendeng, yang menurut ibu Deni untuk saat ini saja banyak sumber air yang mati di Grobogan (Kompas.com, 12/4/16).

Benang merah antara Subaikah dan 9 Kartini Kendeng tidak jauh dari motif ekonomi (Sumber Daya). Walau keduanya menempuh jalur yang berbeda, namun tetap saja pengaruh akibat gerak kaum perempuan ini juga akhirnya berdampak pada kaum lelaki. Jika kemudian muncul selentingan tutur, kemana Kaum Lelaki sehingga akhirnya Kaum Perempuan yang harus bergerak. Pernyataan tadi tentu  saja besebrangan dengan semangat awal dari Korespondensi Kartini sudah barang tentu.    
***
Dalam semangat memperingati Hari Kartini, pertanyaan mendasarnya kembali pada bagaimana kaum perempuan hari ini. Apakah sudah puas dengan empat terminologi yang dibangun melalui survei majalah Marketeers, ataukan ingin menjadi Subaikah dan atau 9 Kartini Kendeng dalam menerjang dominasi Kaum Lelaki saat ini? sambil menikmati parade kebaya cilik dihari ini, silahkan kaum perempuan menjawab itu

Selamat Hari Kartini



Disclaimer gambar:
Sumber: Google.com