Ini Tentang Kartini
Seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Sudah banyak informasi yang senantiasa direproduksi berhubungan dengan tanggal tersebut. Mulai dari kuantitas atau bentuk maupun kualitas perjuangan R.A Kartini dalam lokus emansipasi hingga bagaimana pengaruh dari perjuangan itu sendiri belakangan ini. Sehingga tidak berlebihan jika hari inipun berbagai bentuk kemeriahan peringatan terkait Hari Kartini dilaksanakan.
Kali ini kita tidak akan
berbicara tentang apa yang mendorong Kartini sehingga berinisiatif untuk
berkorespondensi dengan Rosa Abendanon
terkait persoalan ketimpangan struktural yang dialaminya pada waktu itu. Atau
apa yang menjadi alasan kuat dari besarnya ketertarikan beliau terhadap masalah
sosial mutakhir pada masa itu yang banyak termaktub dalam surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh oleh Pieter Brooshooft.
Ini juga bukan berbicara tentang
Hajjah Rangkayo Rasuna Said, yang entah ada hubungannya atau tidak dengan
semangat emansipasi yang menjadi issu sentral dalam setiap surat yang dikirmkan
Kartini kepada sahabatnya di Belanda. Karena tidak bisa dipungkiri sebagai
pimpinan redaksi majalah Raya, H.R Rasuna Said sedikit banyak memberikan
konstribusi terhadap bentuk lain perlawanan terhadap kolonialisme, setidaknya
untuk konteks Sumatra Barat pada tahun 1935.
Dalam kesempatan ini, dengan
segala keterbatasan, saya, akan mencoba melihat bagaimana kaum perempuan dewasa
ini.
Jika muncul pertanyaan, bagaimana
mungkin seorang lelaki (penulis) bisa maksimal dalam berbicara tentang
perempuan, yang jenis kelaminnya saja sudah berbeda, apa lagi informasi yang
ditampilkan sudah bisa dipastikan tidak mewakili apapun yang menjadi sentrum
informasi terkait perempuan itu sendiri. Atau pertanyaan lain, tidak bisakah
perempuan mewakili dirinya sendiri untuk berbicara terkait pergerakan kaum
perempuan hari ini.
Untuk pertanyaan pertama, jawaban
saya, tulisan ini semata-mata lahir murni berangkat dari ketertarikan terhadap
perempuan itu sendiri. Selain itu, tulisan ini juga sebagai bentuk lain dari
usaha penulis untuk mencoba terlibat dalam peringatan Hari Kartini. Karena bagi
penulis, peringatan Hari Kartini bisa berbagai bentuknya, mulai dari kebijakan internal sebuah kantor untuk mewajibkan
karyawatinya menggunakan kebaya hingga bentuk parade pakaian adat untuk
anak-anak.
Dan apakah perempuan tidak bisa mewakili
diri sendiri, bagi penulis sudah banyak rupa dan bentuk kaum perempuan dalam
upaya mewakili kaum mereka dalam rangka menyuarakan segala bentuk kegelisahan
yang dialami oleh golongan mereka. Dan tidak kecil akhirnya konsekwensi yang
menjadi taruhannya, mulai dari dikucilkan hingga kematian senantiasa mengintai,
kita tentu tidak lupa pada apa yang dialami Marsinah.
Sedikit pengantar, kenapa hingga
saat ini gerakan perempuan senantiasa bergelora, tidak bisa dilepaskan dari
dominasi kaum lelaki atas perempuan yang masih tinggi hingga saat ini, baik
disadari atau tidak. Walau disaat bersamaan kaum lelaki bisa berdalih dengan
mengatakan gerakan emansipasi perempuan yang diperjuangkan oleh Kartini di awal
abad 20 sudah mendekati kata berhasil. Salah satu bukti dibidang politik,
dimana kaum adam sudah mahfum jika implementasi keterwakilan perempuan dalam
parlemen harus mencapai angka 30%, atau jumlah penulis perempuan yang dari hari
kehari yang menunjukkan peningkatan.
Namun perkembangan demi
perkembangan tersebut kemudian tidak menjadikan aktivis pergerakan perempuan
mengalami kepuasan. Karena dominasi lelaki terhadap perempuan untuk konteks
negara kita adalah sebuah Habitus
(meminjam terminologi Bourdieu).
Mulai dari sistem kerajaan yang (mungkin saja) kebetulan sebagian besar raja
yang ada di negara ini adalah lelaki hingga bagaimana Orde Baru senantiasa
mereproduksi konsepsi lelaki adalah sentrum melalui terminologi Bapakisme selama 32 Tahun menjadi pemicu
Habitus tersebut.
Ini kita belum berbicara konsepsi
peran sosial dalam keseharian yang secara sadar atau tidak, sudah membagi peran
antara lelaki dan perempuan dalam tingkatan terkecil keluarga. Dalam artian,
bagaimanapun aktifnya perempuan diluar rumah baik secara politik, ekonomi,
sosial, dan lain-lain ketika kembali ke rumah, kedudukan dan perannya sebagai
perempuan sangat sulit dilepaskan. Ini bisa berangkat dari berbagai musabab,
mulai dari sebagai bentuk kesadaran praksis (meminjam terminologi Giddens) kaum
perempuan hingga pengkondisian masyarakat yang mencipta itu.
*
Dalam sebuah artikel majalah Marketers terbitan Agustus 2013 yang
mengangkat tema sentral What Women Think:
Memahami Hasrat Konsumen Wanita Indonesia, terungkap sebuah fenomena
menarik. Walau majalah ini terbit tiga tahun yang lalu, menurut penulis ternyata
masih relevan jika dibahas disini beberapa informasi penting terkait Apa Yang difikirkan oleh Perempuan.
Dalam sebuah sebuah survei pada
2.150 responden yang merupakan perempuan untuk rentang umur 16 – 50 Tahun di 10
Kota besar Indonesia pada tahun 2013 terungkap beberapa informasi yang menarik.
Dari survei tersebut terungkap kategorisasi perempuan Indonesia pada waktu itu,
ialah High-Fliyer (23,6%), Celebrity
(9,2%), Philantropist (53,9%), dan Socialite (13,3%). Kategorisasi tersebut
jika dilekatkan pada irisan antara konsepsi karakter perempuan dan impian
perempuan.
Untuk kategori High-Fliyer adalah
kelompok perempuan yang lebih mengejar kemapanan materi namun cenderung
mementingkan diri sendiri. Kaum ini menempatkan posisi kedua dalam survei
tersebut. Walau akhirnya survei ini tidak mengikutsertakan variabel tingkat
ekonomi responden perempuan, namun informasi ini sedikit banyak menjelaskan
bahwa kekurangan ekonomi menjadi landasan utama sehingga 23,6% responden
perempuan mendaku sebagai kelompok ini.
Sedangkan kategori Celebrity
adalah kelompok perempuan yang lebih fokus untuk mengejar prestasi dan
ketenaran namun cenderung mementingkan diri sendiri. Kategori ini sedikit
berbeda dengan katagori sebelumnya, karena yang menjadi titik tekan adalah
prestasi dan ketenaran, walau pangkal harapan dari kelompok ini tetap pada
kondisi kemapanan ekonomi, namun lebih besar pengaruh narsict.
Hal lain yang menarik ialah
besarnya jumlah responden perempuan yang mendaku sebagai kategori Philantropist
(53,9%). Philantropist adalah kelompok perempuan yang lebih memilih mengejar
kemapanan materi namun tetap cenderung memiliki kepedulian yang tinggi buat
orang lain. Sekilas kelompok perempuan ini adalah kelompok yang ideal, karena
mampu memaknai kata emansipasi secara utuh (berdaya secara ekonomi) namun
disaat bersamaan juga menyadari peran sebagai mahluk sosial, atau untuk tingkat
makro mampu menjadi wanita karir dan tetap aktif sebagai ibu rumah tangga.
Tapi itu sekilas, jika dua kilas
kondisi tersebut akhirnya terlihat sangat sulit terutama bagi kami kaum lelaki.
Tanpa bermaksud mengecilkan kemampuan kaum perempuan, namun dalam hal membagi
peran diluar rumah dan didalam rumah sudah barang tentu akan diikuti oleh
sebuah konsekwensi logis akan besarnya energi yang dibutuhkan. Dan besar
keyakinan saya perempuan memiliki energi yang besar itu, karena jika melihat
secara anatomis perempuan memiliki rahim yang akhirnya ketika berfungsi, belum
tentu kaum lelaki sanggup.
Yang terakhir adalah kelompok
Socialite, kelompok ini adalah perempuan yang lebih fokus untuk mengejar
prestasi dan ketenaran serta memiliki kepedulian tinggi buat orang lain.
Kelompok ini bisa saja diwakili dengan sedemikian maraknya terbentuk
solidaritas artis untuk korban atau penderita tertentu misalnya.
Pengelompokan diatas entah sudah
merupakan bagian settingan dari majalah dalam rangka mensegmentasi konsumen
perempuan sebagai bagian dari bentuk majalah keseluruhan atau itu merupakan
informasi yang tersaji dengan sendirinya, tetap saja ini menjadi menarik.
Menarik karena kelompok tersebut sudah barang tentu belum mewakili kaum
perempuan secara keseluruhan. Selain itu mengingat informasi ini disajikan
dalam sebuah majalah marketing, sehingga tafsir jadi berbeda.
**
Kembali ke soal kaum perempuan
hari ini. Jika berbicara soal kaum perempuan, kita tidak bisa lepas peran
mereka dalam berbangsa dan bernegara dewasa ini. Peran yang saya maksudkan
bukan soal berapa banyak perempuan hari ini yang terlibat diluar kondisi
domestik seperti menjadi aktris, penemu atau bahkan presiden perempuan. Namun
hubungan peran lain yang secara tidak sadar berpengaruh besar terhadap bangsa
ini.
Untuk itu ingatan kita, akan saya
tarik pada kejadian 29 tahun yang lalu. Kejadian tragedi Bintaro. Tragedi tabrakan
dua kereta yang terjadi di Stasiun Pondok Ranji, antara kereta patas ekonomi
jurusan Tanah Abang – Merak ( KA 220) dan kereta api ekonomi cepat jurusan
Rangkasbitung – Jakarta Kota (KA 225). Peristiwa ini merupakan musibah terburuk
dalam sejarah perkeretaapian di Indonesia. Dan ini setidaknya menyita perhatian
publik di tahun 1987.
Namun kali ini saya tidak
berbicara persoalan tehnis musabab terjadinya hal tersebut. Atau bukan juga
berapa korban jiwa khususnya perempuan dalam kejadian tersebut. Selain karena
sudah banyaknya informasi terkait hal yang saya sebutkan tadi, tulisan ini
tentu saja concern pada kaum
perempuan.
Apa hubungan kejadian Bintaro
dengan kaum perempuan, atau bagaimana kaitannya dengan hari Kartini. Sebuah
fenomena menarik diungkap oleh Daniel Dhakidae dalam buku Menerjang Badai
Kekuasaan (Kompas, 2015), adalah jawabannya.
Salah satu sosok yang diangkat
oleh beliau adalah Rohima atau
belakangan dikenal dengan nama Subaikah
dalam rangka menerjang badai kekuasaan pada tahun 1987. Sosok ini awalnya
merupakan salah satu dari sekian banyak ibu yang menjadi bagian dari keluarga
korban Tragedi Bintaro pada waktu itu. Yang menarik pada waktu itu, dari sekian
banyak korban Tragedi Bontaro, Ibu Rohima adalah salah satu keluarga Korban
Bintaro yang paling berat merasakan ujian tersebut.
Paling berat karena setelah
sebelumnya dia kehilangan kedua anaknya pada sebuah kebakaran pabrik konveksi di Angke, Jakarta Barat, kembali lagi dia
mengalami musibah karena salah satu korban Tragedi Bintaro adalah suaminya
sendiri. Sehingga tidak berlebihan akhirnya jika media cetak pada waktu itu
menjadikannya Teras dari Terasnya Tragedi Bintaro, dengan ketabahan yang
melebihi batas manusia biasa.
Walau akhirnya dia mendapatkan
ganti rugi sebagai sebuah konsekwensi dari kejadian yang human eror, tetap saja dianggap belum sepadan dengan bentuk
kehilangan yang dialami oleh ibu Rohima, setidaknya ini anggapan yang terbangun
dimasyarakat pada waktu itu.
Namun apa lacur, belakangan sosok
Rohima ternyata palsu dalam artian nama sebenarnya adalah Subaikah yang mengaku
bernama Rohima. Dan kepalsuan ini akhirnya diikuti oleh kepalsuan lain mulai
dua anak yang meninggal pada kebakaran di pabrik Konveksi bukan anaknya hingga
sosok lelaki yang menjadi korban dalam Tragedi Bintaro tidak dikenalnya.
Kejadian ini sebenarnya menggelikan sekaligus membuat miris.
Menggelikan karena Subaikah mampu
mempertontonkan sebuah diorama Teater Hati Nurani yang disaat bersamaan menjadi
aktor tunggal bersama Kekuasaan di sebuah Negara pada waktu itu yang disaat
bersamaan mengagungkan sebuah sistem keteraturan dan kedisiplinan yang ketat.
Sekaligus miris karena akhirnya ini tidak bisa lepas dari desakan ekonomi yang
mendorongnya untuk mendaku sebagai sosok Rohima yang fiktif dengan segala
kepalsuan-kepalsuan yang mengikuti.
Walau akhirnya dia, bagi penguasa
pada waktu itu masuk dalam kategori pelanggar aturan, namun tetap saja tidak
kecil nyali yang dibutuhkan untuk sekedar memikirkan menjadi Rohima pada waktu
itu. Dan itu mampu diatasi oleh sosok Subaikah hanya demi sebuah ganti rugi
total sebesar Rp. 3 Juta (Pada Tahun 1987 itu sangat besar, karena harga beras
perkilo hanya Rp.60,-) yang didapatnya.
Kejadian itu membuktikan betapa buruknya
sistem administrasi negara kita pada waktu itu. Karena entah karena disengaja
atau tidak, Subaikah mampu menunjukkan kapada kita semua bahwa politik ekonomi
dan ekonomi politik sedemikian carut marutnya pada waktu itu. Dalam artian
untuk sekedar memastikan apakah anak yang menjadi korban kebakaran konveksi
adalah anak dari Rohima misalnya setidaknya membutuhkan sebuah Akte Kelahiran.
Dan sekali lagi Subaikah berani
untuk menerjang dan menantang kekuasaan pada waktu itu.
Lain Subaikah, lain juga dengan
Deni Yulianti (28 Tahun). Ibu Deni (demikian beliau akrab dipanggil) bukan
menyuguhkan kepalsuan seperti apa yang disuguhkan oleh Subaikah. Bersama
delapan ibu lainnya, beliau kemudian melakukan aksi mengecor kaki mereka di
seberang Istana Negara (12/4/2016). Walau kemudian akhirnya cor kaki tersebut
dibuka atas permintaan Presiden, tetap saja aksi mereka berhasil menyita
perhatian publik dan akhirnya menarik perhatian Kepala Negara.
Aksi yang dilakukan oleh Ibu Deni
dan kawan-kawan (belakangan dikenal dengan sebutan 9 Kartini Kendeng),
dilakukan berangkat dari sebuah keinginan menyelamatkan alam sekitar mereka
dari bentuk eksploitasi. Ini demi menjaga ketersedian air di Pegunungan
Kendeng, yang menurut ibu Deni untuk saat ini saja banyak sumber air yang mati
di Grobogan (Kompas.com, 12/4/16).
Benang merah antara Subaikah dan
9 Kartini Kendeng tidak jauh dari motif ekonomi (Sumber Daya). Walau keduanya
menempuh jalur yang berbeda, namun tetap saja pengaruh akibat gerak kaum perempuan
ini juga akhirnya berdampak pada kaum lelaki. Jika kemudian muncul selentingan
tutur, kemana Kaum Lelaki sehingga akhirnya Kaum Perempuan yang harus bergerak.
Pernyataan tadi tentu saja besebrangan
dengan semangat awal dari Korespondensi Kartini sudah barang tentu.
***
Dalam semangat memperingati Hari
Kartini, pertanyaan mendasarnya kembali pada bagaimana kaum perempuan hari ini.
Apakah sudah puas dengan empat terminologi yang dibangun melalui survei majalah
Marketeers, ataukan ingin menjadi
Subaikah dan atau 9 Kartini Kendeng dalam menerjang dominasi Kaum Lelaki saat
ini? sambil menikmati parade kebaya cilik dihari ini, silahkan kaum perempuan
menjawab itu
Selamat Hari Kartini
Disclaimer gambar:
Sumber: Google.com