(sekali lagi) Memaafkan Ibu Menkes

Juni 20, 2016 Mashuri Mashar S.KM 0 Comments

          
           

Beberapa waktu silam, ibu Menteri Kesehatan (MENKES) : Nila F. Moeloek mengeluarkan pernyataan yang mengundang reaksi, terkait hubungan kurangnya pemberian Air Susu Ibu (ASI) dan tabiat porno dari si jabang bayi kemudian. Reaksi ini kemudian beragam mulai dari yang mendukung, dan juga tidak sedikit yang mencibir pernyataan tersebut. Ini kembali lagi berhubungan dengan siapa yang menjadi penutur.

Jika kita membedah pernyataan ibu Menkes tadi, ada tiga sebenarnya yang menjadi point penting, yang pertama kurangnya pemberian ASI pada bayi, yang kedua prilaku menyimpang (yang berhubungan dengan pornografi), dan yang ketiga adalah dampak dari hubungan kedua hal tersebut.

Ini menjadi menarik karena persoalan kurangnya pemberian ASI berhubungan dengan banyak hal dan pihak. Mulai dari pengetahuan laktasi dari calon ibu hingga budaya yang melingkupi si calon ibu tadi dalam pola asuh anak kedepannya. Selain itu ada juga faktor pengetahuan tenaga kesehatan (Nakes) yang masih kurang akan persoalan laktasi, dan atau tidak mau tau dengan pentingnya ASI karena “desakan” susu formula (SuFor).

Yang kedua fenomena prilaku menyimpang yang berhubungan dengan pornografi (atau meminjam istilah ibu menkes Tabiat Porno). Tabiat porno merupakan salah satu dari sekumpulan besar tabiat atau prilaku-prilaku yang melingkupi kita dalam keseharian. Ini berangkat dari definisi prilaku menurut Mark P. Zanna dkk ialah sekumpulan prilaku yang dimiliki oleh manusia dan dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan atau genetika.

Dalam artian tabiat porno dalam diri seseorang sebenarnya bisa termasuk dalam kategori potensi. Karena prilaku sendiri terdiri dalam tiga kategori, yaitu prilaku dapat diterima, prilaku aneh, dan prilaku menyimpang. Dan tabiat porno tadi termasuk dalam potensi karena sangat bergantung pada masing-masing individu dalam kesehariannya.

Point terakhir dari pernyataan ibu Menkes tadi adalah hubungan antara kurangnya pemberian ASI dan Tabiat Porno. Disinilah yang merupakan puncak keanehannya. Karena antara aktiftas pemberian ASI dan Tabiat Porno, sangat jauh dari kata berhubungan, jika kita bersepakat pilihan kata TIDAK BERHUBUNGAN sangat tidak sopan.

Jauh dari kata berhubungan, antara lain karena kurangnya pemberian ASI sangat erat pengaruh dari tingkat pengetahuan sang Ibu, atau minimal tenaga kesehatan yang berhubungan dengan laktasi. Disatu sisi tabiat porno jika merujuk pada sebuah prilaku menyimpang adalah akibat dari pergaulan dengan sekelompok orang yang telah menyimpang, sehingga prilaku menyimpang diperoleh dari proses alih budaya (Edwin H.Sutherland-1934).

Mengapa aneh, jika merujuk pada pernyataan ibu Menkes disini , ada perbedaan yang tegas antara kata kurang munum ASI dan tidak minum ASI. Ini belum berbicara tentang kontribusi beberapa budaya kita yang justru memberi pengaruh besar terhadap rendahnya angka pemberian ASI, atau bagaimana para nakes yang begitu gigihnya memperjuangkan peningkatan penerimaan paket SuFor di Fasilitas Kesehatan pasca melahirkan.

Atau pernyataan dari Ibu Menkes tadi sebenarnya ditujukan kepada calon Ibu ataukah calon jabang bayi. Mari kita lihat.
*
Tantangan Pemberian ASI saat ini

Menjadi seorang ibu yang baik, merupakan cita-cita dari sebagian besar anak perempuan di negara ini yang nantinya memilih untuk menikah. Begitupun dengan konsepsi ibu yang baik, sudah sejak dini dipupuk oleh industri melalui bentuk mainan boneka bayi yang lengkap dengan botolnya. Atau paket mainan boneka bayi lengkap dengan pakaian bayinya dan atau peralatan yang berhubungan dengan pengasuhan boneka bayi tadi.

Namun jika kita telusuri, bahkan mainan yang memberikan pengaruh terhadap konsepsi seorang ibu yang baikpun, justru di satu sisi tidak memberikan edukasi yang maksimal tentang pentingnya laktasi. Dengan bentuk boneka yang telah dilengkapi dengan botol susu, secara tidak sadar menanamkan konsepsi dipikiran anak perempuan kita bahwa ASI tidak diproduksi oleh manusia.

Ibu Menkes dan jajarannya bisa berkilah, jika anak-anak kita diberikan mainan maket mammae, justru hanya mereproduksi pornografi secara tidak langsung. Ini sebenarnya masih perlu perdebatan panjang, karena secara tidak langsung, hal ini semakin memperteguh tentang rendahnya kualitas sex education di negara ini.

Atau mereka bisa berkilah lagi, bahwa saya lebay dengan mengatakan mainan untuk anak perempuan dahulu kala, berkontribusi pada rendahnya pengetahuan calon ibu hari ini akan pentingnya laktasi. Entah siapa yang tidak keliru untuk hal ini, namun sepakat atau tidak, dimasa kanak-kanaklah kenangan indah demikian terekam dengan baik. Dan permainan sedikit banyak berkontribusi terhadap jiwa dan prilaku anak kedepannya.

Selain persoalan mainan untuk anak perempuan tadi, pemberian ASI juga mendapat tantangan yang tidak kalah hebatnya dari budaya masyarakat kita saat ini. Ambil contoh seorang ibu ketika dinyatakan hamil pertama kali, ibu disibukkan dengan aktivitas mencari pilihan nama yang terbaik untuk si jabang bayi. Walau jenis kelamin dari si jabang bayipun belum diketahui, setidaknya dipersiapkan calon nama terbaik untuk anak laki-laki dan anak perempuan.

Selain itu, calon ibu dan ayah tadi juga disibukkan dengan mencari layanan dokter praktek ahli kandungan, setidaknya yang kapabilitasnya tidak diragukan lagi. Kita belum berbicara tentang syndrome morning sick yang menimpa calon ibu diawal kehamilan. Sehingga akumulasinya bagi calon ibu dan ayah tadi kemudian melewatkan untuk mencari informasi terkait laktasi yang juga tidak kalah pentingnya dibanding calon nama bayi atau pilihan dokter ahli kandungan yang kapabel.

Disatu sisi, pasca melahirkan, si ibu tadi terancam mengalami yang namanya baby blues syndrome. Ini juga menjadi salah satu faktor penghambat pemberian ASI ke bayi tadi. Dan disaat bersamaan menjadi kesempatan dari para tenaga kesehatan yang telah berkolaborasi dengan pelaku industri Susu Formula dalam mencekoki si jabang bayi. Sehingga pemberian ASI Esklusif menjadi tidak maksimal di satu sisi.
**
Solusi Untuk Ibu Menteri

Nah, dari beberapa contoh permasalahan terkait pemberian ASI, apakah adil kemudian jika akhirnya titik beratnya hanya pada persoalan kurangnya pemberian ASI, Tanpa sebelumnya menelusuri segala hal yang berhubungan. Artinya penurunan menyusui eksklusif jika dihubungkan dengan peningkatan kelompok umur bayi pada Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013, bisa dilihat dari berbagai faktor.

Sekedar saran untuk ibu Menkes, daripada sibuk menyalahkan masyarakat atas kurangnya pemberian ASI, ada baiknya ibu Menkes lebih maksimal dalam mengawasi pola perkembangan Susu Formula, terutama di fasilitas kesehatan yang berhubungan dengan persalinan. Ini juga penting, karena ditengah massifnya informasi terkait laktasi, peredaran SuFor juga mengambil peran aktif dalam menjual produk mereka pada ibu yang mengalami baby blues syndrome tadi.

Semoga kita sebagai masyarakat biasa senantiasa menyediakan kata maaf bagi ibu Menkes, setelah sebelumnya telah menghakimi para ibu yang kurang memberikan ASI tanpa menelusuri penyebabnya, dan atau menganggap jabang bayi yang kurang mendapat ASI tadi akan memiliki tabiat menyimpang yang berhubungan dengan pornografi.

Seperti kata maaf yang telah kita berikan kepada beliau setelah menganggap Kabut Asap Riau Belum Berbahaya ,Walau Indeks Standart Pencemaran Udara untuk Riau pada saat itu sudah menunjukkan angka BERBAHAYA. Atau seperti kita memaafkan beliau, setelah mengatakan Dokter Internship merupakan mahasiswa dan bukan dibawah wewenang Kementrian Kesehatan.

Yogyakarta, 25 Maret 2016



Disclaimer gambar:
Menteri Kesehatan RI, Sumber: Payakumbuhkota.co.id