(sekali lagi) Memaafkan Ibu Menkes
Beberapa waktu silam, ibu Menteri Kesehatan (MENKES) : Nila F. Moeloek mengeluarkan pernyataan yang mengundang reaksi, terkait hubungan kurangnya pemberian Air Susu Ibu (ASI) dan tabiat porno dari si jabang bayi kemudian. Reaksi ini kemudian beragam mulai dari yang mendukung, dan juga tidak sedikit yang mencibir pernyataan tersebut. Ini kembali lagi berhubungan dengan siapa yang menjadi penutur.
Jika kita membedah pernyataan ibu Menkes tadi, ada tiga
sebenarnya yang menjadi point penting, yang pertama kurangnya pemberian ASI
pada bayi, yang kedua prilaku menyimpang (yang berhubungan dengan pornografi),
dan yang ketiga adalah dampak dari hubungan kedua hal tersebut.
Ini menjadi menarik karena persoalan kurangnya pemberian
ASI berhubungan dengan banyak hal dan pihak. Mulai dari pengetahuan laktasi
dari calon ibu hingga budaya yang melingkupi si calon ibu tadi dalam pola asuh
anak kedepannya. Selain itu ada juga faktor pengetahuan tenaga kesehatan (Nakes)
yang masih kurang akan persoalan laktasi, dan atau tidak mau tau dengan
pentingnya ASI karena “desakan” susu formula (SuFor).
Yang kedua fenomena prilaku menyimpang yang berhubungan dengan pornografi (atau meminjam istilah ibu menkes Tabiat Porno). Tabiat porno merupakan salah satu dari sekumpulan besar tabiat atau prilaku-prilaku yang melingkupi kita dalam keseharian. Ini berangkat dari definisi prilaku menurut Mark P. Zanna dkk ialah sekumpulan prilaku yang dimiliki oleh manusia dan dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan atau genetika.
Dalam artian tabiat porno dalam diri seseorang sebenarnya
bisa termasuk dalam kategori potensi. Karena prilaku sendiri terdiri dalam tiga
kategori, yaitu prilaku dapat diterima, prilaku aneh, dan prilaku menyimpang.
Dan tabiat porno tadi termasuk dalam potensi karena sangat bergantung pada
masing-masing individu dalam kesehariannya.
Point terakhir dari pernyataan ibu Menkes tadi adalah
hubungan antara kurangnya pemberian ASI dan Tabiat Porno. Disinilah yang
merupakan puncak keanehannya. Karena antara aktiftas pemberian ASI dan Tabiat
Porno, sangat jauh dari kata berhubungan, jika kita bersepakat pilihan kata TIDAK
BERHUBUNGAN sangat tidak sopan.
Jauh dari kata berhubungan, antara lain karena kurangnya
pemberian ASI sangat erat pengaruh dari tingkat pengetahuan sang Ibu, atau
minimal tenaga kesehatan yang berhubungan dengan laktasi. Disatu sisi tabiat
porno jika merujuk pada sebuah prilaku menyimpang adalah akibat dari pergaulan dengan sekelompok orang yang telah menyimpang,
sehingga prilaku menyimpang diperoleh dari proses alih budaya (Edwin
H.Sutherland-1934).
Mengapa aneh, jika merujuk pada pernyataan ibu Menkes disini , ada perbedaan yang tegas antara kata kurang munum ASI dan tidak minum ASI. Ini belum berbicara tentang kontribusi beberapa budaya kita yang justru memberi pengaruh besar terhadap rendahnya angka pemberian ASI, atau bagaimana para nakes yang begitu gigihnya memperjuangkan peningkatan penerimaan paket SuFor di Fasilitas Kesehatan pasca melahirkan.
Atau pernyataan dari Ibu Menkes tadi sebenarnya ditujukan kepada calon Ibu ataukah calon jabang bayi. Mari kita lihat.
Mengapa aneh, jika merujuk pada pernyataan ibu Menkes disini , ada perbedaan yang tegas antara kata kurang munum ASI dan tidak minum ASI. Ini belum berbicara tentang kontribusi beberapa budaya kita yang justru memberi pengaruh besar terhadap rendahnya angka pemberian ASI, atau bagaimana para nakes yang begitu gigihnya memperjuangkan peningkatan penerimaan paket SuFor di Fasilitas Kesehatan pasca melahirkan.
Atau pernyataan dari Ibu Menkes tadi sebenarnya ditujukan kepada calon Ibu ataukah calon jabang bayi. Mari kita lihat.
*
Tantangan
Pemberian ASI saat ini
Menjadi seorang ibu yang baik, merupakan cita-cita
dari sebagian besar anak perempuan di negara ini yang nantinya memilih untuk
menikah. Begitupun dengan konsepsi ibu yang baik, sudah sejak dini dipupuk oleh
industri melalui bentuk mainan boneka bayi yang lengkap dengan botolnya. Atau
paket mainan boneka bayi lengkap dengan pakaian bayinya dan atau peralatan yang
berhubungan dengan pengasuhan boneka bayi tadi.
Namun jika kita telusuri, bahkan mainan yang memberikan
pengaruh terhadap konsepsi seorang ibu yang baikpun, justru di satu sisi tidak
memberikan edukasi yang maksimal tentang pentingnya laktasi. Dengan bentuk
boneka yang telah dilengkapi dengan botol susu, secara tidak sadar menanamkan
konsepsi dipikiran anak perempuan kita bahwa ASI tidak diproduksi oleh manusia.
Ibu Menkes dan jajarannya bisa berkilah, jika anak-anak kita diberikan mainan maket mammae, justru hanya mereproduksi pornografi secara tidak langsung. Ini sebenarnya masih perlu perdebatan panjang, karena secara tidak langsung, hal ini semakin memperteguh tentang rendahnya kualitas sex education di negara ini.
Atau mereka bisa berkilah lagi, bahwa saya lebay dengan
mengatakan mainan untuk anak perempuan dahulu kala, berkontribusi pada
rendahnya pengetahuan calon ibu hari ini akan pentingnya laktasi. Entah siapa
yang tidak keliru untuk hal ini, namun sepakat atau tidak, dimasa
kanak-kanaklah kenangan indah demikian terekam dengan baik. Dan permainan
sedikit banyak berkontribusi terhadap jiwa dan prilaku anak kedepannya.
Selain persoalan mainan untuk anak perempuan tadi,
pemberian ASI juga mendapat tantangan yang tidak kalah hebatnya dari budaya
masyarakat kita saat ini. Ambil contoh seorang ibu ketika dinyatakan hamil
pertama kali, ibu disibukkan dengan aktivitas mencari pilihan nama yang terbaik
untuk si jabang bayi. Walau jenis kelamin dari si jabang bayipun belum
diketahui, setidaknya dipersiapkan calon nama terbaik untuk anak laki-laki dan
anak perempuan.
Selain itu, calon ibu dan ayah tadi juga disibukkan
dengan mencari layanan dokter praktek ahli kandungan, setidaknya yang
kapabilitasnya tidak diragukan lagi. Kita belum berbicara tentang syndrome morning sick yang menimpa calon
ibu diawal kehamilan. Sehingga akumulasinya bagi calon ibu dan ayah tadi
kemudian melewatkan untuk mencari informasi terkait laktasi yang juga tidak
kalah pentingnya dibanding calon nama bayi atau pilihan dokter ahli kandungan
yang kapabel.
Disatu sisi, pasca melahirkan, si ibu tadi terancam
mengalami yang namanya baby blues
syndrome. Ini juga menjadi salah satu faktor penghambat pemberian ASI ke
bayi tadi. Dan disaat bersamaan menjadi kesempatan dari para tenaga kesehatan
yang telah berkolaborasi dengan pelaku industri Susu Formula dalam mencekoki si jabang bayi. Sehingga
pemberian ASI Esklusif menjadi tidak maksimal di satu sisi.
**
Solusi
Untuk Ibu Menteri
Nah, dari beberapa contoh permasalahan terkait pemberian ASI, apakah adil kemudian jika akhirnya titik beratnya hanya pada persoalan kurangnya pemberian ASI, Tanpa sebelumnya menelusuri segala hal yang berhubungan. Artinya penurunan menyusui eksklusif jika dihubungkan dengan peningkatan kelompok umur bayi pada Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013, bisa dilihat dari berbagai faktor.
Nah, dari beberapa contoh permasalahan terkait pemberian ASI, apakah adil kemudian jika akhirnya titik beratnya hanya pada persoalan kurangnya pemberian ASI, Tanpa sebelumnya menelusuri segala hal yang berhubungan. Artinya penurunan menyusui eksklusif jika dihubungkan dengan peningkatan kelompok umur bayi pada Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013, bisa dilihat dari berbagai faktor.
Sekedar saran untuk ibu Menkes, daripada sibuk
menyalahkan masyarakat atas kurangnya pemberian ASI, ada baiknya ibu Menkes
lebih maksimal dalam mengawasi pola perkembangan Susu Formula, terutama di
fasilitas kesehatan yang berhubungan dengan persalinan. Ini juga penting,
karena ditengah massifnya informasi terkait laktasi, peredaran SuFor juga mengambil peran aktif dalam menjual produk mereka pada ibu yang
mengalami baby blues syndrome tadi.
Semoga
kita sebagai masyarakat biasa senantiasa menyediakan kata maaf bagi ibu Menkes,
setelah sebelumnya telah menghakimi para ibu yang kurang memberikan ASI tanpa
menelusuri penyebabnya, dan atau menganggap jabang bayi yang kurang mendapat
ASI tadi akan memiliki tabiat menyimpang yang berhubungan dengan pornografi.
Seperti kata maaf yang telah kita berikan kepada beliau
setelah menganggap Kabut Asap Riau Belum Berbahaya
,Walau Indeks Standart Pencemaran Udara untuk Riau pada saat itu sudah
menunjukkan angka BERBAHAYA. Atau seperti kita memaafkan beliau, setelah
mengatakan Dokter Internship
merupakan mahasiswa dan bukan dibawah wewenang Kementrian Kesehatan.
Yogyakarta, 25
Maret 2016
Disclaimer gambar:
Menteri Kesehatan RI, Sumber: Payakumbuhkota.co.id