Lelucon (satir) dari Timur

Juni 20, 2016 Mashuri Mashar S.KM 0 Comments



Pernah dengar, membaca atau menonton Mob (anekdot khas)Papua?, iya, itu adalah rangkaian cerita atau adegan yang merupakan sketsa hidup yang disajikan dalam bentuk narasi, lisan maupun film. Yang menarik dalam sebuah Mob Papua ialah senantiasa menampilkan kejadian sehari-hari. Bentuknyapun beragam mulai dari sebuah percakapan, hingga sebuah kondisi yang menggilitik. Serta disetiap Mob selalu menitikberatkan pada berbagai kejutan yang senantiasa diluardugaan dari kita sebagai penikmat,  dan disitulah kelucuannya terjadi.

Selain itu, kelucuan tersebut juga memberi pesan ke kita bahwa dengan menertawakan diri sendiri bisa memberi dampak positif pada diri kita, setidaknya semakin mengenal akan kekurangan dalam diri sendiri.

By the way,  kali ini saya tidak akan bercerita Mob Papua. Selain itu sudah banyak tersaji disekitar kita, juga karena pemilik TV swasta Nasional yang lagi gencar kampanye Mars Partai sudah memberikan tempat khusus acara yang berisi tentang Mob Papua. Dan juga ketika Mob Papua berisi sketsa sehari-hari yang dianggap lucu (setidaknya bagi penikmat), diruang yang berbeda ternyata sebuah kejadian cukup menggelikan atau lebih tepatnya satir telah terjadi di Propinsi paling Timur Indonesia itu.
*
Papua, sebuah provinsi yang konon betuknya menyerupai kepala burung cendrawasih ini senantiasa selalu menarik untuk diperhatikan. Diperhatikan disini dalam arti sepenuhnya, mulai dari keadaan alamnya yang konon masih banyak yang belum tersentuh hingga potensi pariwisata yang terkandung didalamnya. Dan tak lupa juga potensi Sumber Daya Alamnya yang melimpah, sudah barang tentu menjadi “perhatian khusus” International.

Bahkan tidak berlebihan kiranya, jika kondisi diatas menjadikan salah satu alasan sehingga pertemuan antara kelompok kecil pejabat Departemen Luar Negeri dan Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat George Ball di akhir Agustus 1965 menegaskan bahwa Indonesia palng tidak sama pentingnya dengan seluruh Indocina. Walaupun konteks pernyataan tadi ada hubungannya dengan invasi Amerika ke Vietnam serta kondisi geopolitik dunia saat itu, tetap saja tidak bisa lepas dari hubungannya dengan Sumber Daya Alam yang terkandung di sebuah negara.

Asumsi ini semakin diperkuat dengan kondisi pasca transisi berdarah 65, Soeharto kemudian mengeluarkan UU Modal Asing; UU No.1 Tahun 1967. Yang isinya kurang lebih sebuah justifikasi kegiatan meneer  Langbourne Williams untuk meneruskan proyek Ertsberg. Dan kondisi tadi ditandai dengan terbentuknya Kontrak Karya Pertama (KK-1). Terlapas dari berbagai kondisi politik yang melatari dari saat itu atau bagaimana bentuk pembagian bagi negara, keberadaan KK-1 ternyata berlanjut terus.

Karena bentuknya KK-1, sekiranya banyak hal yang menajdi tanggung jawab pihak pertama dalam hal ini meneer  Langbourne Williams yang mewakili perusahaanya terhadap Pihak Kedua yang dalam hal ini Indonesia. Antara lain kewajiban untuk mengantisipasi segala bentuk ancaman yang sewaktu-waktu bisa terjadi di sekitar pelaksanaan proyek Ertsberg, yang juga sudah berganti menajdi sebuah perusahaan multiinternational.

Selain berbagai bentuk persoalan yang terjadi di Pulau paling Timur Indonesia itu beberapa belakangan, entah itu berhubungan dengan Papua yang senantasa memanas, atau intensitas perang suku yang sudah jadi hal lumrah, ada juga sebuah kejadian menarik yang terjadi baru-baru ini. Dan ini ada hubungannya dengan keberadaan aktivitas perusahaan multiinternational (yang menjadi obyek vital nasional) yang berhubungan dengan penambangan disana.

Adalah pada awal bulan April tahun ini, masyarakat kabupaten Mimika atau tepatnya yang mendiami sekitar kargo Dok Amamapare dikagetkan oleh kematian jutaan ikan yang mendadak. Akibat dari kematian ikan ini juga berdampak pada ekonomi masyarakt pesisir yang mendiami daerah tersebut. Yang mana, bangkai ikan yang merupakan varian ikan penghuni laut dalam ini memproduksi sejenis cairan menyerupai minyak yang akhirnya menutupi hampir menyeluruh pada permukaan pertemuan sungai dan laut tadi.

Sehingga akhirnya berpengaruh pada sistem ekologi di perairan kargo Dok Amamapera ini sendiri.
Awalnya ini belum menjadi masalah setidaknya bagi pemerintah setempat atau bahkan obyek vital nasional tadi, hinga kemudian masyarakat yang diwakili oleh Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro (Lemasko) melaporkan kondisi ini. Perlu diketahui bersama fungsi dari kargo Dok ini merupakan tempat penyimpanan limbah pembuangan sisa penambangan sebelum pengangkutan untuk dimusnahkan (karena limbah tambang masuk kateogri B3).

Karena ini adalah Mob Papua, dimana lucunya?

Jadi begini, bagi pihak yang berkepentingan, kematian ikan-ikan tersebut bukan masalah sampai Lemasko melaporkan ini ke mereka. Dan selang beberapa hari setelah laporan masuk baru Tim Polda Papua bersama perwakilan BLH Provinsi Papua mulai mengusut kematian jutaan ikan disekitar tanggul barat kargo Dok Amamapera. Lucu, karena pengusutan itu bukan sifatnya antisipatif tapi lebih mengarah pada sikap reaksionis belaka.

Hal yang lucu lagi, pasca pengusutan atau lebih tepatnya kunjungan yang sarat akan kesan formalitas itu akhirnya disepakati untuk mengambil sampel dan diteliti. Dan selain perwakilan dari pihak pemerintah, juga menghadirkan pihak pengelola kargo Dok yang notabene pemilik dari sedimen limbah B3 buangan penambangan tadi. Lagi-lagi hasil dari uji laboratorium dari pengelola Kargo Dok sudah bisa diramalkan akan tidak merugikan pihak mereka.

Sketsa komedi ini semakin mengocok perut sehubungan dengan pernyataan pihak terkait. Misalnya titik tekan dari perwakilan POLDA Papua yang menginginkan hasil uji laboratorium yang sama dari masing-masing instansi (lucu kan?). Alih-alih mengungkap kebenaran akan kematian ikan tadi, ternyata baik pihak pemerintah yang diwakili oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan atau pemilik  sedimen limbah B3 mempunyai hasil yang sama, yaitu kematian ikan merupakan fenomena alam.

Bagi saya yang awam akan persoalan tersebut, tetap saja merasa sebuah keanehan sekaligus sesuatu yang lucu terjadi disana. Pertama, jika betul itu merupakan bagian dari fenomena alam, kenapa jenis ikan yang mati merupakan penghuni laut dalam. Ini menarik, mengingat limbah buangan tambang yang merupakan kategori B3 akan bersedimentasi pada wadah pembuangan, dan bukan tidak mungkin kematian ikan penghuni laut dalam tersebut berhubungan erat dengan sedimentasi tadi.

Yang kedua, jika betul itu merupakan bagian dari fenomena alam, kenapa konon sejak berdirinya kargo Dok Amamapera ini tidak pernah terjadi kondisi serupa. Atau dengan kata lain, penjelasan logis dari fenomena alam jika kematian ikan  di tempat tadi adalah ketika itu sudah merupakan kejadian berulang. Selain itu, jika betul ikan ini melakukan migrasi, pertanyaan mendasarnya kenapa lokasi yang dituju merupakan pertemuan air tawar dan air laut yang notabene bukan merupakan bagian dari habitatnya?

Yang ketiga, jika maksud dari para penyelenggara negara untuk menghindari keresahan masyarakat dengan mengeluarkan pernyataan ini berhubungan dengan fenomena alam, seharusnya sebelumnya melakukan antisipatif. Langkah antisipatif ini bisa berupa lebih memaksimalkan peran dari masing-masing pihak yang terkait, yang dalam hal ini Badan Lingkungan Hidup. Karena dengan menyerahkan sepenuhnya pengolahan limbah pada si pemilik, sebenarnya masih sangat beresiko untuk terjadinya pencemaran. Dan bukankah ketika Lemasko melapor sebenarnya sudah bentuk keresahan masyarakat, jadi niatan mencegah keresahan sebenarnya untuk siapa?

Dan yang terakhir, konon kematian jutaan ikan tadi sudah lebih dulu diketahui oleh pemilik limbah penambangan. Serta secara diam-diam setelah mengetahui bahwa Lemasko melapor pada pihak terkait, mereka kemudian melakukan pembersihan terhadap bangkai ikan tersebut disekitar kargo Dok Amamapera. Sehingga tim Polda Papua dan BLH Provinsi Papua hanya mendapati sisa-sisa dari bangkai ikan tersebut.

Kalau cerita tadi betul, bertambah lagi sebuah adegan lucu dipertontonkan pada saat itu. Karena kondisi pembersihan itu, setidaknya bisa bermakna dua. Pertama, sebagai bentuk pembelaan diri dari pemilik limbah terhadap tuduhan jumlah ikan mati yang membludak. Yang kedua, memperlihatkan kepada Tim, bahwa mereka masih konsisten terhadap pelaksanaan kewajiban yang tertuang dalam Kontrak Karya.
**
Harapan Lemasko berakhir pada keberadaan lembaga Wahana Lingkungan Hidup (WALHI). Melalui Walhi, Lemasko berharap terungkap kejadian di tanggul barat Kargo Dok Amamapera merupakan akibat dampak buruk dari pengendapan Tailing buangan limbah penambangan. Walau sebenarnya mereka (Lemasko) sudah mengetahui hal tersebut, mereka tetap berharap Walhi untuk mengungkap ini berdasarkan hasil uji laboratorium yang independent

Semoga saja.


Dan ini bisa jadi merupakan dampak buruk dari sebuah bentuk upaya pembangunan yang niatan awalnya meningkatkan kesejahtraan masyarakat Indonesia khususnya yang berada di sekitar sungai Yamaima, Mimika, Papua.



Disclaimer gambar:
Ribuan ikan yang mati di Sungai Yamaima, Papua. Sumber gambar: menentukan.wordpress.com