Lelucon (satir) dari Timur
Pernah dengar, membaca atau
menonton Mob (anekdot khas)Papua?, iya, itu adalah rangkaian cerita atau adegan
yang merupakan sketsa hidup yang disajikan dalam bentuk narasi, lisan maupun
film. Yang menarik dalam sebuah Mob Papua ialah senantiasa menampilkan kejadian
sehari-hari. Bentuknyapun beragam mulai dari sebuah percakapan, hingga sebuah
kondisi yang menggilitik. Serta disetiap Mob selalu menitikberatkan pada
berbagai kejutan yang senantiasa diluardugaan dari kita sebagai penikmat, dan disitulah kelucuannya terjadi.
Selain itu, kelucuan tersebut
juga memberi pesan ke kita bahwa dengan menertawakan diri sendiri bisa memberi
dampak positif pada diri kita, setidaknya semakin mengenal akan kekurangan
dalam diri sendiri.
By the way, kali ini saya tidak akan bercerita Mob Papua.
Selain itu sudah banyak tersaji disekitar kita, juga karena pemilik TV swasta
Nasional yang lagi gencar kampanye Mars Partai sudah memberikan tempat khusus
acara yang berisi tentang Mob Papua. Dan juga ketika Mob Papua berisi sketsa sehari-hari
yang dianggap lucu (setidaknya bagi penikmat), diruang yang berbeda ternyata
sebuah kejadian cukup menggelikan atau lebih tepatnya satir telah terjadi di
Propinsi paling Timur Indonesia itu.
*
Papua, sebuah provinsi yang konon
betuknya menyerupai kepala burung cendrawasih ini senantiasa selalu menarik
untuk diperhatikan. Diperhatikan disini dalam arti sepenuhnya, mulai dari
keadaan alamnya yang konon masih banyak yang belum tersentuh hingga potensi
pariwisata yang terkandung didalamnya. Dan tak lupa juga potensi Sumber Daya
Alamnya yang melimpah, sudah barang tentu menjadi “perhatian khusus”
International.
Bahkan tidak berlebihan kiranya,
jika kondisi diatas menjadikan salah satu alasan sehingga pertemuan antara
kelompok kecil pejabat Departemen Luar Negeri dan Wakil Menteri Luar Negeri Amerika
Serikat George Ball di akhir Agustus 1965 menegaskan bahwa Indonesia palng
tidak sama pentingnya dengan seluruh Indocina. Walaupun konteks pernyataan tadi
ada hubungannya dengan invasi Amerika ke Vietnam serta kondisi geopolitik dunia
saat itu, tetap saja tidak bisa lepas dari hubungannya dengan Sumber Daya Alam
yang terkandung di sebuah negara.
Asumsi ini semakin diperkuat
dengan kondisi pasca transisi berdarah 65, Soeharto kemudian mengeluarkan UU
Modal Asing; UU No.1 Tahun 1967. Yang isinya kurang lebih sebuah justifikasi
kegiatan meneer Langbourne Williams untuk meneruskan proyek Ertsberg.
Dan kondisi tadi ditandai dengan terbentuknya Kontrak Karya Pertama (KK-1).
Terlapas dari berbagai kondisi politik yang melatari dari saat itu atau
bagaimana bentuk pembagian bagi negara, keberadaan KK-1 ternyata berlanjut
terus.
Karena bentuknya KK-1, sekiranya
banyak hal yang menajdi tanggung jawab pihak pertama dalam hal ini meneer Langbourne Williams yang mewakili perusahaanya
terhadap Pihak Kedua yang dalam hal ini Indonesia. Antara lain kewajiban untuk
mengantisipasi segala bentuk ancaman yang sewaktu-waktu bisa terjadi di sekitar
pelaksanaan proyek Ertsberg, yang
juga sudah berganti menajdi sebuah perusahaan multiinternational.
Selain berbagai bentuk persoalan
yang terjadi di Pulau paling Timur Indonesia itu beberapa belakangan, entah itu
berhubungan dengan Papua yang senantasa memanas, atau intensitas perang suku
yang sudah jadi hal lumrah, ada juga sebuah kejadian menarik yang terjadi
baru-baru ini. Dan ini ada hubungannya dengan keberadaan aktivitas perusahaan
multiinternational (yang menjadi obyek vital nasional) yang berhubungan dengan
penambangan disana.
Adalah pada awal bulan April
tahun ini, masyarakat kabupaten Mimika atau tepatnya yang mendiami sekitar
kargo Dok Amamapare dikagetkan oleh kematian jutaan ikan yang mendadak. Akibat
dari kematian ikan ini juga berdampak pada ekonomi masyarakt pesisir yang
mendiami daerah tersebut. Yang mana, bangkai ikan yang merupakan varian ikan
penghuni laut dalam ini memproduksi sejenis cairan menyerupai minyak yang
akhirnya menutupi hampir menyeluruh pada permukaan pertemuan sungai dan laut
tadi.
Sehingga akhirnya berpengaruh
pada sistem ekologi di perairan kargo Dok Amamapera ini sendiri.
Awalnya ini belum menjadi masalah
setidaknya bagi pemerintah setempat atau bahkan obyek vital nasional tadi, hinga
kemudian masyarakat yang diwakili oleh Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro
(Lemasko) melaporkan kondisi ini. Perlu diketahui bersama fungsi dari kargo Dok
ini merupakan tempat penyimpanan limbah pembuangan sisa penambangan sebelum
pengangkutan untuk dimusnahkan (karena limbah tambang masuk kateogri B3).
Karena ini adalah Mob Papua,
dimana lucunya?
Jadi begini, bagi pihak yang
berkepentingan, kematian ikan-ikan tersebut bukan masalah sampai Lemasko
melaporkan ini ke mereka. Dan selang beberapa hari setelah laporan masuk baru
Tim Polda Papua bersama perwakilan BLH Provinsi Papua mulai mengusut kematian
jutaan ikan disekitar tanggul barat kargo Dok Amamapera. Lucu, karena
pengusutan itu bukan sifatnya antisipatif tapi lebih mengarah pada sikap
reaksionis belaka.
Hal yang lucu lagi, pasca
pengusutan atau lebih tepatnya kunjungan yang sarat akan kesan formalitas itu
akhirnya disepakati untuk mengambil sampel dan diteliti. Dan selain perwakilan
dari pihak pemerintah, juga menghadirkan pihak pengelola kargo Dok yang
notabene pemilik dari sedimen limbah B3
buangan penambangan tadi. Lagi-lagi hasil dari uji laboratorium dari pengelola
Kargo Dok sudah bisa diramalkan akan tidak merugikan pihak mereka.
Sketsa komedi ini semakin mengocok
perut sehubungan dengan pernyataan pihak terkait. Misalnya titik tekan dari
perwakilan POLDA Papua yang menginginkan hasil uji laboratorium yang sama dari
masing-masing instansi (lucu kan?). Alih-alih mengungkap kebenaran akan
kematian ikan tadi, ternyata baik pihak pemerintah yang diwakili oleh
Kementrian Kelautan dan Perikanan atau pemilik
sedimen limbah B3 mempunyai hasil
yang sama, yaitu kematian ikan merupakan fenomena alam.
Bagi saya yang awam akan
persoalan tersebut, tetap saja merasa sebuah keanehan sekaligus sesuatu yang
lucu terjadi disana. Pertama, jika betul itu merupakan bagian dari fenomena
alam, kenapa jenis ikan yang mati merupakan penghuni laut dalam. Ini menarik,
mengingat limbah buangan tambang yang merupakan kategori B3 akan bersedimentasi
pada wadah pembuangan, dan bukan tidak mungkin kematian ikan penghuni laut
dalam tersebut berhubungan erat dengan sedimentasi tadi.
Yang kedua, jika betul itu
merupakan bagian dari fenomena alam, kenapa konon sejak berdirinya kargo Dok
Amamapera ini tidak pernah terjadi kondisi serupa. Atau dengan kata lain,
penjelasan logis dari fenomena alam jika kematian ikan di tempat tadi adalah ketika itu sudah
merupakan kejadian berulang. Selain itu, jika betul ikan ini melakukan migrasi,
pertanyaan mendasarnya kenapa lokasi yang dituju merupakan pertemuan air tawar
dan air laut yang notabene bukan merupakan bagian dari habitatnya?
Yang ketiga, jika maksud dari
para penyelenggara negara untuk menghindari keresahan masyarakat dengan
mengeluarkan pernyataan ini berhubungan dengan fenomena alam, seharusnya
sebelumnya melakukan antisipatif. Langkah antisipatif ini bisa berupa lebih memaksimalkan
peran dari masing-masing pihak yang terkait, yang dalam hal ini Badan
Lingkungan Hidup. Karena dengan menyerahkan sepenuhnya pengolahan limbah pada
si pemilik, sebenarnya masih sangat beresiko untuk terjadinya pencemaran. Dan
bukankah ketika Lemasko melapor sebenarnya sudah bentuk keresahan masyarakat,
jadi niatan mencegah keresahan sebenarnya untuk siapa?
Dan yang terakhir, konon kematian
jutaan ikan tadi sudah lebih dulu diketahui oleh pemilik limbah penambangan.
Serta secara diam-diam setelah mengetahui bahwa Lemasko melapor pada pihak
terkait, mereka kemudian melakukan pembersihan terhadap bangkai ikan tersebut
disekitar kargo Dok Amamapera. Sehingga tim Polda Papua dan BLH Provinsi Papua hanya
mendapati sisa-sisa dari bangkai ikan tersebut.
Kalau cerita tadi betul,
bertambah lagi sebuah adegan lucu dipertontonkan pada saat itu. Karena kondisi
pembersihan itu, setidaknya bisa bermakna dua. Pertama, sebagai bentuk
pembelaan diri dari pemilik limbah terhadap tuduhan jumlah ikan mati yang membludak.
Yang kedua, memperlihatkan kepada Tim, bahwa mereka masih konsisten terhadap
pelaksanaan kewajiban yang tertuang dalam Kontrak Karya.
**
Harapan Lemasko berakhir pada
keberadaan lembaga Wahana Lingkungan Hidup (WALHI). Melalui Walhi, Lemasko
berharap terungkap kejadian di tanggul barat Kargo Dok Amamapera merupakan
akibat dampak buruk dari pengendapan Tailing buangan limbah penambangan. Walau
sebenarnya mereka (Lemasko) sudah mengetahui hal tersebut, mereka tetap
berharap Walhi untuk mengungkap ini berdasarkan hasil uji laboratorium yang
independent
Semoga saja.
Dan ini bisa jadi merupakan
dampak buruk dari sebuah bentuk upaya pembangunan yang niatan awalnya
meningkatkan kesejahtraan masyarakat Indonesia khususnya yang berada di sekitar
sungai Yamaima, Mimika, Papua.
Disclaimer gambar:
Ribuan ikan yang mati di Sungai Yamaima, Papua. Sumber gambar: menentukan.wordpress.com