Tampilkan postingan dengan label Lain-lain. Tampilkan semua postingan

SKM itu Petarung (?)




Entitas SKM dalam sistem terbuka Roy Bhaskar (1976)


Beberapa malam yang lalu, layar telepon seluler (ponsel) pintarku tidak berhenti terkedip-kedip. Setelah memeriksanya, ternyata ada tumpukan pemberitahuan dari salah satu program aplikasi obrolan. Dan, itu berasal dari obrolan grup alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) yang menjadi tempatku dulu mendapatkan gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM). Rasa penasaranku pun muncul. Meskipun secara tehnis saya telah tergabung pada kurang lebih tujuh grup obrolan di program aplikasi yang sama, riuh pemberitahuan ini akhirnya menjadi begitu menarik.

Salah satu sebab; dibandingkan enam grup lainnya, grup yang satu ini biasanya lebih sepi. Paling jauh, kami riuh hanya pada beberapa momentum saja. Misalnya; perayaan capaian-capaian keberhasilan. Mulai dari keberhasilan individu dari kami (baca: alumni) hingga keberhasilan kelembagaan (Universitas dan atau Fakultas). Memang benar bahwa keberhasilan itu patut dirayakan, tapi tidak bisa dipungkiri ada juga di antara kami yang merasa bosan akhirnya.

Kembali pada  sebab utama menjadi riuh. Setelah mengusap layar ponsel pintar dan memeriksanya, ternyata kami (anggota grup) saling berkomentar perihal eksistensi seorang SKM. Berangkat dari pertanyaan salah seorang alumni; apakah Kesehatan Masyarakat adalah sebuah (dan atau layak menjadi) profesi atau bukan ?

Terlepas dari berbagai tanggapan yang muncul, untuk saya pribadi, pertanyaan ini sudah lama mengganggu pikiran. Tepatnya sejak 2004, saat bergabung dengan berbagai program kemasyarakat yang spesifik mencoba ambil bagian untuk mengatasi segala permasalahan kesehatan masyarakat di republik kita. Ini juga salah satunya yang melatari keberadaan blog ini sebagai sarana menyalurkan pikiran-pikiran yang berhubungan dengan seputar masalah Kesehatan Masyarakat.

Tapi, baiklah. Saya kira, persoalan eksistensi SKM selalu menarik untuk dibahas. Setidaknya ini bisa kita tujukan pada adik-adik imut calon mahasiswa atau yang telah menjadi mahasiswa FKM dimanapun itu.

Jadi begini, sebelum menjawab pertanyaan; apakah Kesehatan Masyarakat—atau SKM-- itu sebuah profesi atau bukan? Ada bagusnya kita urai SKM itu memakai Atomisme Metodeologis terlebih dahulu. Atau sederhananya, kita memulai dengan pertanyaan; apakah SKM itu? Dan apa saja unsur penyusun seorang SKM?

Setelah kedua pertanyaan ini terjawab, baru kita bisa lanjut pada pokok bahasan awal.

SKM adalah ?

Jika bertanya pada adik-adik imut calon mahasiswa atau mahasiswa FKM dan bahkan para alumni yang tergabung dalam organisasi kesehatan masyarakat; apa itu SKM? bisa dipastikan akan muncul jawaban yang merujuk pada setumpuk aturan pemerintah, diktat, karya ilmiah, bahkan buku-buku yang berkenaan dengan ilmu kesehatan masyarakat itu sendiri. Tidak berbeda juga dengan saya, awalnya. Ini tentu saja tidak keliru. Soalnya sekarang adalah; apakah SKM hanya sebatas dari sumber-sumber tadi?

Tentu saja tidak.

Berangkat dari kondisi inilah dan dengan segala keterbatasan yang ada, saya mencoba-coba cari tau perihal SKM.

Sebelum jauh melangkah, tidak adil kiranya jika saya tidak menjelaskan sedikit tentang atomisme metodeologis dan kenapa saya memilih cara ini. Atomisme metodeologi (metode pemecahan entitas ke entitas lebih kecil) adalah salah satu pendekatan dalam melakukan analisis. Pendekatan ini kebanyakan digunakan filsuf dalam upaya menjawab pertanyaan eksistensi (ontology epistemic). Walaupun disaat bersamaan tidak jarang penjelasan yang didapatkan tidak memadai karena keterbatasan sumber. 

Saya memakai pendekatan ini karena metodenya yang memilah unsur penyusun dari pokok bahasan. Selain itu, pendekatan ini pula meletakkan segala hal yang berhubungan secara adil dan setara.

Melalui pendekatan ini akhirnya saya tersadar, bahwa SKM adalah sebuah entitas yang tidak berdiri sendiri dan bukan tanpa sebab bisa terwujud. Dan dengan pendekatan ini pula, kita bisa melihat berbagai hal didalamnya.

Seperti halnya entitas-entitas lain, (untuk menjadi seorang) SKM juga tersusun atas banyak entitas. Secara garis besar saya akan memilih lima entitas besar saja yang berhubungan dengan SKM. Entitas itu adalah; Masyarakat, Kampus (FKM), Mahasiswa, (masalah dan ilmu) Kesehatan Masyarakat, dan yang terakhir Lembaga Mahasiswa (yang berhubungan dengan Kesehatan Masyarakat).

Pemilihan lima entitas tadi bukan tanpa sebab, selain dalam rangka mencari kelompok entitas terbesar dalam melihat unsur penyusun SKM, juga karena kelima-limanya memiliki hubungan langsung dengan seorang SKM. Baik sebelum dan atau  dalam proses pembentukan bahkan setelahnya.

Walau begitu, kelima entitas tadi juga tidak berdiri sendiri. Masing-masing memiliki unsur penyusun. Namun ini nanti kita akan bahas tersendiri dilain kesempatan.

Mari kembali pada lima entitas penyusun SKM.

Untuk menjadi seorang SKM, lima entitas tadi tidak bisa kita lepaskan begitu saja dan akan menjadi satu disaat sebuah proses membidani lahirnya seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat secara utuh dimulai. Menariknya, jika meminjam distingsi buatan Roy Bhaskar (A Realist Theory of Science ,1976) kelima-limanya juga saling terhubung antara satu dengan lainnya. Baik itu ketika dimasukkan pada system terbuka atau system tertutup buatan beliau.

Saya akan mencoba letakkan kelimanya dalam sistem terbuka Roy Bhaskar.

Kelima entitas ini saling terhubung untuk membentuk SKM sejak sebelum hingga sesudahnya bahkan saat sementara berproses. Misalnya entitas masyarakat. Entitas ini berpengaruh langsung baik untuk konteks sebelum maupun sesudah. Untuk konteks “sebelum”, kita bisa lihat pada fenomena tingginya minat calon mahasiswa untuk masuk di FKM. Baik kampus yang bergelar negeri maupun swasta. Meskipun belakangan hampir tidak ada perbedaan yang signifikan antara kampus milik pemerintah maupun swasta.

Sedangkan untuk konteks “sesudah” adalah saat seorang telah mendapat gelar SKM dan kembali ke masyarakat. Untuk konteks inipun tidak sedikit mengalami anomali. Ini bisa dilihat pada banyak SKM memilih atau akhirnya terjun dilapangan kerja yang tidak berhubungan sama sekali dengan ilmu kesehatan masyarakat. Tentu saja ini tidak keliru, selama itu tidak melanggar norma-norma yang berlaku pada masyarakat kita.

Sedangkan jika ditarik hubungannya dengan entitas lain, misalnya kampus dan mahasiswa; masyarakat senantiasa menjadi tempat untuk mengaktualkan tiga darma perguruan tinggi. Atau juga hubungan entitas masyarakat dengan entitas kesehatan masyarakat yang senantiasa menjadi bagian tidak bisa dipisahkan. Yang sedikit berbeda adalah hubungan antara entitas masyarakat dengan entitas lembaga masyarakat.

Dibandingkan dengan tiga entitas sebelumnya, keterkaitan lembaga mahasiswa disebabkan oleh beberapa hal. Salah satunya jargon social control. Meskipun jargon tersebut adalah upaya memparafrasakan bagian pengabdian masyarakat yang termasuk dalam tiga darma perguruan tinggi, hal tersebut akhirnya tidak membatasi ruang gerak dari lembaga mahasiswa untuk berbuat sesuatu yang baik di tengah masyarakat. Apapun bentuk lembaga dan kegiatannya kemudian.

Demikianlah kelima entitas ini terbangun dan saling terhubung.

Profesi atau bukan ?

Setelah kita menguraikan SKM berdasarkan unsur terkecil pembentuknya, ada baiknya kita kembali pada pertanyaan awal; SKM sebagai profesi atau bukan.

Jika mengacu pada distingsi Roy Bhaskar diatas, ada beberapa catatan yang bisa menjadi bahan perenungan kita untuk mencari jawaban dari pertanyaan awal tersebut.

Renungan pertama. Layak tidaknya SKM menjadi profesi tentu saja berhubungan dengan seberapa efektif peran SKM di tengah masyarakat nantinya ketika menjadi sebuah profesi. Karena berbicara tentang sebuah profesi, kita akan diperhadapkan pada kenyataan seberapa dianggap pentingnya SKM bagi masyarakat kita. Pun akhirnya SKM menjadi sebuah profesi, tingkat spesifikasi masalah kesehatan masyarakat manakah yang akan mampu diatasinya dan mempunyai ciri yang berbeda dengan tenaga kesehatan lain diluar SKM.

Mungkin untuk soal spesifikasi SKM bisa dijawab mudah dengan bercermin pada jurusan-jurusan yang ada di FKM saat ini. Mulai dari epidemilogi, hingga promosi kesehatan. Tapi jika dilihat lebih jauh, ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian. Salah satunya, apakah masing-masing jurusan itu sudah mampu menjadi pembeda dengan jurusan lain di luar FKM yang notabene juga membahas hal serupa. Atau lebih jauh lagi, seberapa rumit ilmu dari SKM itu sendiri dimata masyarakat awam.  

Renungan kedua. Kebutuhan menjadi profesi apakah berangkat dari keinginan menyelesaikan masalahkah, atau ini tidak lebih dari bentuk reaksi berlebihan karena diperlakukan tidak adil dalam system penjenjangan di pemerintahan kita. Jika karena hal yang kedua, akhirnya kita (SKM) hanya bersikap lebih reaktif dibandingkan seharusnya proaktif untuk segala masalah yang mengancam nantinya.

Renungan ketiga. Siapkah kampus, sebagai pelaksana tehnis yang diamanatkan undang-undang untuk menjadikan SKM sebuah profesi.

Ketiga renungan diatas bagi saya masih senafas dengan tulisan saya sebelumnya terkait kurikulum dan segala bentuk ancaman yang senantiasa mengancam SKM sebagai individu maupun sebagai kelompok yang tergabung dalam Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Pertanyaan kemudian; apakah  menjadi SKM adalah sebuah panggilan jiwa atau bukan. Jika merupakan panggilan jiwa, coba tanyakan pada jiwa anda; sudah siapkah anda menarung. Menarung untuk menjaga dan mempertegas eksistensi ditengah berbagai permasalahan kesehatan masyarakat kita?

Ngomong-ngomong; anda SKM atau petarung?



Masohi, 10 Maret 2017    


SUDAHKAH ANDA BERAK HARI INI(?)




“BACOOO, SUDAH MOKO BERAK?” teriak Indo’ dari dapur yang tengah menyiapkan sarapan

“BLUMPI MAK, SEMENTARA PROSES INI?” teriak Baco dari Kamar Mandi.

“KENAPAKAH LAMA SKALI?, MAU KA BERAK JUGA INIEEE”

“SABAR SAI KI’, MAK, AGAK KERAS INI TAI KU” 
(suatu ketika di sudut Kota Makassar)

Sekilas, pertanyaan ini seolah menjijikkan dan jorok. Setidaknya bagi mereka yang scatophobia akut, atau tidak sadar sedang mengalami scatophobia tingkat terendah yang biasa disebut rasa jijik berlebihan. Namun siapa sangka, baik “keluaran”, “capaian”, maupun “pengaruhnya”, ternyata berdampak positif pada kesehatan. Tidak tanggung-tanggung, bahkan melalui berak, manusia bisa dikatakan sehat atau tidak.

Meminjam sudut pandang Badan Kesehatan Dunia, tentang Sehat, adalah suatu keadaan sejahtera fisik, jiwa, dan sosial yang memungkinkan hidup secara produktif sosial dan ekonomi. Maka berak dan segala hal yang berhubungan dengannya, bisa dimasukkan tiga pendekatan kondisi Sehat menurut Badan Kesehatan Dunia tadi. Misalnya, pertama, dengan berak memberi bukti manusia secara biologis-- organ pencernaannya—bekerja (fisik) .

Dan, berak juga punya aturan main sendiri. Ini hubungannya dengan sistem pencernaan dalam keadaan bermasalah atau tidak. Ketika lambung mengirim signa  ke usus akan berdampak pada bentuk dan intensitas berak akhirnya.

Kedua, hubungannya dengan sensasi (kejiwaan) pascaberak. Kenikmatan. Iya, nikmat, bukan?. Sehingga tidak berlebihan kiranya jika keadaan setelah berak akhirnya disejajarkan (hampir) sama dengan sensasi pascaorgasme saat manusia bersetubuh. Karena melalui keduanya akan menghasilkan kenikmatan meski dalam kadar yang berbeda.

Ketiga, walaupun berak secara fisik dan kejiwaan menyehatkan, ternyata juga ada hubungannya dengan (status) sosial seseorang. Sebagai contoh, jika seseorang yang cukup terpandang di sebuah kampung, namun tidak memiliki tempat untuk berak yang sehat di rumah  , akan jadi sebuah pertanda buruk. Pertanda buruk dari segi kesehatan bagi masyarakat sekitar. Apatah lagi terhadap penilaian mereka yang berasal dari luar kampung itu.

Maka, Nikmat Berak lagi manakah yang bisa kalian pungkiri?

Lebih jauh saat berbicara berak, kita tidak akan bisa lepas dari tiga komponen inti yang jalin kelindan. Pertama, aktivitas berak itu sendiri, yang kemudian kita sebut dengan prilaku berak. Kedua, keluaran dari prilaku berak tadi, atau yang kita kenal dengan sebutan tahi. Ketiga, fasilitas yang berhubungan dengan berak itu tadi.

Prilaku Berak

Sebagai sebuah aktivitas yang tergolong purba, berak sudah ada sejak manusia di ciptakan. Karena itu, berak menjadi bagian dalam keseharian kita. Menariknya, aktivitas yang tergolong purba ini, belakangan mengalami makna peyoratif. Sehingga, menjadi sedemikian risihnya untuk dibicarakan secara terbuka. Khususnya mereka pengidap scatophobia. Padahal, berak merupakan salah satu kebutuhan vital setiap manusia yang masih hidup. Atau, mungkin juga karena letak ruang untuk menuntaskan hajat purba itu selalu diletakkan di bagian belakang sebuah rumah atau tempat tinggal. Sehingga prilaku berak yang awalnya (hanya) mengalami eufemisme “ Ke belakang “, makin ke sini lebih dikaitkan dengan kajian antropologisosiologi makro dari kata “belakang” yang identik dengan ketertinggalan, akibatnya eufemisme berubah menjadi peyoratif.

Padahal, berak-tidaknya seseorang sangat berhubungan dengan status kesehatannya.

Secara garis besar, prilaku berak terbagi atas dua golongan besar. Prilaku berak secara terbuka dan prilaku berak secara tertutup. Pembagian ini, tidak berhubungan dengan tampak-tidaknya prilaku itu secara kasat mata (saja), namun ini lebih pada hubungannya dengan bentuk “intervensi” dari tahi yang keluar.

Prilaku berak terbuka, atau yang dikenal dengan istilah Buang Air Besar Sembarangan (BABS) lebih sering dijumpai pada tipe masyarakat holtikultura dan Industri awal, meskipun begitu, masih saja  ada tipe masyarakat industri yang BABS; sepuluh, atau duapuluh keluarga saja.

Pada tipe ini, kedekatan terhadap alam sekitar menjadi salah satu faktor pendorong utama melakukan BABS. Prinsipnya, dengan BABS, mereka merasa menyatu dengan alam sekitar. Syarat untuk melakukan BABS pun sederhana, misalnya, cukup “lokasinya” jauh dari rumah dan berpindah-pindah, atau merupakan tempat yang cenderung bergerak (sungai dan atau laut). Atau, bisa juga hubungannya dengan waktu BABS. BABS tidak akan mungkin dilakukan seharian dalam intensitas sering (kecuali sedang diare). Biasanya memilih waktu-waktu tertentu, misalnya subuh hari atau menjelang malam. Makanya, meskipun BABS itu kesannya dekat dengan alam, tetap saja  ada Syarat dan Kondisi berlaku.

Berbeda dengan prilaku sebelumnya, prilaku berak tertutup lebih menekankan pada kondisi terpusat. Maksudnya, jika prilaku sebelumnya cenderung berpindah-pindah, maka prilaku berak tertutup adalah kebalikannya. Dan, prilaku berak tertutup menitikberatkan pada tata kelola “keluarannya” yang terpusat karena tidak mencemari sekitarnya, misalnya; sumber air baku dan lain-lain. Karena itu, prilaku berak tertutup, lebih erat hubungannya dengan pola pikir dan sikap seseorang. Pola pikir berhubungan dengan pengetahuan terkait berbagai dampak buruk dari BABS. Dan, sikap, lebih erat kaitannya dengan nilai-nilai yang dipercaya.

Kelompok yang berprilaku berak tertutup memiliki pemahaman berbeda dengan kelompok sebelumnya terkait kedekatan dengan alam sekitar. Bagai kelompok kedua ini, kedekatan alam sekitar dibuktikan dengan tidak merusaknya melalui tahi yang tersebar. Meskipun secara jamak, tahi dipercaya mengandung senyawa yang dibutuhkan tanaman, namun jika ternyata bukan hanya tanaman yang menikmati tahi tadi (misalnya lalat), di situlah masalah kesehatan ini bermula.

Bagi mereka yang telah mengetahui hubungan prilaku berak dan sampar, mencegah adalah sebuah pilihan yang paling masuk akal.  Minimal untuk lingkup keluarga mereka, ancaman seperti diare dan “teman-temannya” bisa terhindar. Selain itu, dengan berprilaku berak tertutup juga mencegah mereka dan keluarganya untuk di cap sebagai keluarga yang berprilaku jorok (tidak sehat) secara sosial.  

Jika mengacu pada tipe masyarakat, kelompok kedua ini banyak dijumpai pada masyarakat industri dan pascaindustri, bahkan pada tipe masyarakat hyperindustri.
  
Tahi

Karena berak itu adalah sebuah proses, maka, tanpa sebuah keluaran tentu saja cacat sistem. Dan, bentuk keluaran dari berak disebut tahi. Tahi sendiri lebih sering diabaikan oleh kita. Padahal, tahi bisa menjadi alat tolak ukur keadaan sistem kesehatan kita, terutama yang berhubungan dengan pencernaan. Ini kaitannya dengan warna dan bentuk dari tahi itu sendiri.

Secara garis besar, warna tahi ada enam jenis. Warna-warna ini bukan berjalin sebab dengan warna makanan yang dikonsumsi, namun berhubungan dengan kesehatan dan keadaan pencernaan kita secara khusus.

Pertama adalah warna merah terang. Jika mengeluarkan tahi berwarna tersebut, bisa dipastikan sedang terjadi pendarahan pada saluran usus yang lebih rendah atau lebih dekat dengan anus. Ini termasuk usus besar, atau bahkan sedang mengalami wasir.

Selain warna merah terang, ada lagi tahi berwarna hitam. Jika tahi berwarna merah terang berhubungan dengan pendarahan pada usus yang lebih rendah atau dekat dengan anus, maka penyebab tahi berwarna hitam karena terjadi pendarahan pada saluran pencernaan bagian atas. Atau usus yang letaknya dekat dengan lambung.

Warna lain lagi, adalah warna kuning berminyak dan cenderung lebih busuk. Untuk tahi berwarna ini karena kelebihan lemak yang terkandung. Penyebabnya telah terjadi malabsorbsi, atau bahasa sederhana; tubuh sedang kesulitan untuk menyerap nutrisi dari makanan.

Meskipun warna kuning berminyak lebih terang dibanding warna merah, ternyata masih ada lagi warna tahi terang lain. Warna putih terang. Jika tahi anda berwarna putih, maka bisa dipastikan empedu anda sedang bermasalah. Salah satunya karena empedu tidak mampu menghasilkan cairan  yang cukup dalam perannya untuk mengurai makanan.

Warna tahi juga ada yang hijau, loh. Tahi menjadi berwarna hijau setelah melewati anus karena proses pencernaan makanan di dalam usus bisa dipastikan tidak maksimal dalam arti terlalu cepat. Atau, bisa juga ini disebabkan karena jumlah bakteri E.Coli lebih banyak dari seharusnya. Mungkin, mereka sedang demonstrasi besar karena salah seorang kandidat pemimpin mereka telah melakukan penistaan atau salah satu pasangan dari kalompoknya sedang melangsungkan pesta perkawinan, entahlah.

Pertanyaannya, bagaimanakah warna tahi yang bisa menjadi tolak ukur pencernaan kita sehat? Warna cokelat.

Selain warnanya, bentuk Tahi juga bisa jadi acuan sehat-tidaknya seseorang. Untuk masalah bentuk, secara garis besar terbagi atas dua. Pertama, encer dan kedua, tidak encer. Untuk Tahi yang berbentuk encer, penyebabnya tidak lain karena dalam pencernaan kita sedang terjadi infeksi. Karena demonstrasi besar E.Coli, eh, maksud saya, jumlah E.Coli lebih banyak.

Untuk bentuk Tahi tidak encer, terbagi lagi dalam lima jenis bentuk. Pertama, berbentuk gumpalan kecil menyerupai biji kacang. Penyebabnya makanan yang mengandung unsur serat dan cairan tidak menjadi menu harian. Misalnya, sayur-sayuran atau buah-buahan.

Kedua, tahi yang berbentuk gumpalan lebih besar dari yang pertama. Jika bentuk pertama disebabkan karena kurangnya konsumsi makanan yang berserat dan mengandung cairan, untuk jenis kedua ini tidak jauh berbeda. Perbedaannya hanya, kadar makanan yang mengandung dua hal tadi perlu ditambah sedikit untuk dikonsumsi.

Ketiga, tahi yang berbentuk lonjong lebih mirip sosis. Untuk bentuk yang terakhir ini, bisa dipastikan baik makanan yang dikonsumsi maupun sistem pencernaan kita dalam keadaan sehat dan normal.
Intinya, makanan yang mengandung serat dan cairan sangat dibutuhkan oleh tubuh, terkhusus untuk membantu kerja alat-alat pencernaan. Selain itu, pastikan tidak ada mobilisasi besar-besaran E.Coli ke dalam tubuh kita. Entah itu alasan demonstrasi susulan setelah berubah isu atau terindikasi adanya upaya makar pada sistem pencernaan kita. Untuk yang terakhir ini, tidak perlu cari di google dalangnya, cukup liat saja warna dan bentuk tahi anda.

Fasilitas Berak

Konon, sejak manusia menemukan cara membuat kumpulan tahi jadi terpusat, disaat bersamaan telah berhasil membangun sebuah sistem pengelolaannya. Yang termasuk sistem pengelolaan itu dimulai dengan bangunan tempat pembuangan tahi hingga tempat berkumpul akhir. Karena ini pula, bentuk fasilitas berak dahulu kala hanya berupa lubang kecil dengan kedalaman tertentu. Meskipun masih saja ada yang mempertahankan bentuk (cubluk) hingga kini, revolusi dalam berak dimulai ketika manusia menemukan kloset pertama kali.

Tidak tanggung-tanggung, akibat dari penemuan fenomenal ini berujung pada terciptanya dua kelompok besar. Kelompok yang mempertahankan sistem pengelolaan tahi purba dan kelompok pengusung revolusi dalam berak. Walau akhirnya perbedaan kedua kelompok ini sudah di jembatani dengan penemuan kloset jongkok, tetap saja masih terjadi perdebatan didalamnya. Karena pengusung revolusi dalam berak akhirnya memperkenalkan jenis kloset duduk. Adalah “kenyamanan” yang membuat dua kelompok tadi masih terjebak dalam perbedaan laten.

Untuk wakil kelompok pertama, yang telah menerima hadirnya kloset, meski jenis jongkok, nyaman adalah ketika membuang hajat ada jarak di antara tubuh (selain kaki tempat berpijak) dan kloset. Karena dipercaya tahi mengandung bahan yang kotor. Sedangkan untuk kelompok kedua, yang memilih pakai kloset duduk, tidak demikian. Dengan duduk ketika membuang hajat, tahi yang jatuh ke dalam terhindar dari tersebar (percikan). Sehingga kesan lebih bersih jadi menguat. Karena itu, hotel-hotel bahkan beberapa bandara lebih sering/banyak memasang jenis kloset duduk dibanding kloset jongkok.

Terlepas dari perdebatan kenyamanan, bagi saya, selama berak itu terpusat dan dikelola dengan baik tentu akan menyehatkan. Tata kelola tahi seharusnya berhubungan dengan beberapa prinsip dasar pada fasilitas berak. Mulai dari keberadaan tempat pembuangan (baik yang duduk atau jongkok) hingga tempat berkumpul akhir tahi (septic tank). Antara tempat pembuangan dan tempat berkumpul akhir tahi dihubungkan oleh saluran (pipa). Dan terakhir, pastikan septic tank tadi kedap udara dan terdapat  batu kali pada dasar sebagai pemecah tahi setelah melewati lewat pipa dari kloset. Selain itu, pastikan septic tank jauh dari sumber air baku. Kalaupun harus dekat, harus diperhitungkan khusus. 

***

Untuk konteks Indonesia, ada dua hal yang menarik terkait berak. Pertama prilaku berak dan kedua fasilitas berak.

Meskipun sudah ada program pembagian seribu kloset duduk (jamban) tiap tahunnya ketika Orde Baru, tetap saja masih ada penduduk Indonesia yang saat ini penganut berak terbuka (BABS). Ada beberapa penyebab terkait itu, salah satunya tidak diiringi pengetahuan saat jamban dibagikan. Atau, karena masyarakat tidak dilibatkan penuh dalam proses (pembangunan jamban umum) tersebut. sehingga ada jarak. Jangan kaget akhirnya, jika masih saja ada Kota Besar di Indonesia yang tinggi BABS masyarakatnya.

Selain prilaku berak, fasilitas juga memegang peranan penting. Dalam hal pengelolaan dan peran serta penyelenggara negara.

Contoh kasus di kota Makassar.

Dengan peluncuran program Sistem Layanan Lumpur Tinja Terjadwal (LLTT) sejak Agustus 2015, Makassar diharapkan mampu terbebas dari segala masalah kesehatan yang terkait pengelolaan lumpur tinja. Program ini berangkat dari kenyataan bahwa dari 1,3 juta jiwa penduduk Makassar, masih ada 13 % yang melakukan BABS.

Angka tadi berhubungan dengan data Kementrian Lingkungan Hidup per Desember 2013, sekitar 75% badan-badan air tercemar limbah domestik di Indonesia. Tidak terkecuali kota Makassar. Mulai dari sungai Jeneberang, Sungai Tallo, hingga kanal Jongaya. Menurut data yang sama, kandungan bakteri coliform dan fecal coliform yang terkandung dalam ketiga badan air tadi melebihi ambang batas.

Misalnya sungai Jeneberang (salah satu sumber air baku dari PDAM Kota Makassar), total pencemaran coliform mencapai 35.000/100 ml dari ambang batas maksimum 10.000/100 ml. Tidak jauh berbeda juga dengan cemaran fecal coliform mencapai 2.300/100 ml dari ambang batas maksimum 2.000/100 ml.   

Kedua jenis cemaran itu (coliform dan fecal coliform) akan menjadi parasit patogen, yang berujung munculnya E.Coli dalam sumber air baku. Walau penanganan air minum tingkat rumah tangga telah berkembang dari memasak hingga menggunakan Air RahMAT, tetap saja yang sulit dihindari adalah agen penyebaran penyakit yang melalui lalat (Diagram F).   

***

Akhirnya, soal berak yang selama ini disepelekan ternyata bisa menjadi tolak ukur kesehatan seseorang atau sebuah komunitas, sekaligus jika prilaku dan fasilitasnya tidak dikelola secara baik akan berujung pada sebuah ancaman.


Pertanyaanya, Sudahkah Anda Berak hari ini?

KAMI TAU HARUS BAGAIMANA BUNG!!!

  
   Kita bertanya :
                             Kenapa maksud baik tidak selalu berguna
          Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga
                                          Orang berkata : “Kami punya maksud baik”
                                                              Dan kita bertanya : “Maksud baik saudara untuk siapa ?”
Sajak: Pertemuan Mahasiswa- Rendra (1977)


Kami tersentak, sekaligus terhenyak, mendadak tersebar melalui viral, secarik resep obat yang sedikit aneh. Ini aneh, bukan karena jenis obat yang dituliskan merupakan varian obat palsu. Atau bukan juga karena obat tersebut sudah memakan korban jiwa. Namun, karena resep obat tersebut dikeluarkan oleh seseorang; atau sebut saja oknum yang memiliki latar belakang Sarjana Kesehatan Masyarakat. Walau bagi masyarakat awam, kata obat dianggap setali dengan kesehatan itu sendiri, jadi sekilas ini bagi mereka biasa-biasa saja.

Namun bagi kami, laku oknum tersebut bukan hal yang lumrah atau lebih tepatnya merupakan bentuk khianat tugas dari seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat. Alasannya, karena dengan adanya kata masyarakat diakhir gelar kesarjanaan itu sendiri, mengisyaratkan lingkup kerja kami adalah kumpulan individu-individu di dalam masyarakat, dan disaat bersamaan selembar resep obat hanya bekerja pada satu individu (saja). Meskipun kejadian tersebut masih perlu sebuah kajian mendalam, minimal latar belakang sehingga muncul “inisiatif” dari oknum SKM tadi.

Bahwa kemudian “inisiatif” oknum tadi merupakan sebuah bentuk kekeliruan yang fatal, kami dengan tegas menyatakan setuju, walau begitu kami juga menolak jika kemudian masalah ini membuat kalian semakin menganggap komitmen persatuan kami yang dilandasi sebuah idealisme merupakan sebuah ruang hampa tanpa penghuni. Karena bagi kami, kalian juga sebenarnya sangat membutuhkan kami, dan itu kalian malu untuk mengakuinya.

Perlu kami tegaskan disini, inisiatif oknum tadi sebenarnya tidak berdiri sendiri. Setidaknya, bisa jadi ini merupakan sebuah fenomena gunung es, yang muncul hanya satu dua kasus saja, dan sebenarnya lebih banyak kejadian di masyarakat seperti itu. Misalnya, bisa jadi oknum tadi sehingga akhirnya berinisiatif untuk menulis sebuah resep obat, sebenarnya karena diperhadapkan pada dua kondisi yang saling berhubungan, pertama, karena pengetahuan dasar yang dimiliki oleh oknum tadi sebelum menjadi SKM, bisa jadi berprofesi sebagai perawat atau bidan, dan yang kedua, karena angka kunjungan fasilitas kesehatan tempat oknum tadi bertugas mengalami jumlah kunjungan yang membludak. Tentunya kita masih ingat bagaimana jumlah pasien di Puskesmas Majalaya Baru, Kabupaten Bandung.

Mungkin kalian merasa sebagai pihak yang paling dirugikan atas inisiatif dari oknum tadi, sepertihalnya kami seringkali merasa dirugikan ketika kalian dalam kesadaran penuh berusaha dengan sungguh-sungguh membajak ruang lingkup kerja kami di lain pihak. Sehingga rasa kecewa kalian, kami bisa pahami, jadi jangan khawatir.

Terlepas dari kejadian kemarin dimana inisiatif oknum tadi yang kesannya menyandera ruang lingkup kerja kalian dan atau ruang lingkup kerja kami yang kalian juga sering bajak, setidaknya kejadian ini membuka mata masing-masing dari kita.

Misalnya, tidakkah pernah kalian bertanya kepada kami, tentang seberapa besarnya kekecewaan kami terhadap kalian yang dengan kesadaran penuh berusaha membajak ilmu kesehatan masyarakat. Dan dengan kejadian ini pun membuat kami tersadar bahwa antara kami dan kalian ternyata memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Sebagai contoh, kami yang merupakan hasil reproduksi kalian, akhirnya dari muasalnya terbuka untuk masuknya dari berbagai latar belakang keilmuan. Bukankah ini salah satu bukti bahwa jika jenis aliran darah yang mengalir dalam tubuh kami awalnya merupakan pembauran dan tidak murni. Ini kita belum berbicara antara kami dan kalian sebenarnya hanya berhubungan secara kebetulan dan bukan murni hubungan genetika.

Atau, kemudian, kami bertanya, kenapa kalian hingga saat ini belum jemu untuk terus mengurusi kami, sedangkan jika mau jujur, kami sudah bukan seperti seorang anak ingusan yang masih banyak bergantung sama orang tua yang sebenarnya berstatus orang tua angkat. Bukan maksud kami untuk durhaka dan melupakan amalan baik kalian terhadap kami, namun sekali lagi ini soalnya pada jati diri kami sesungguhnya.

Contoh lain, yang masih juga terjadi beberpa waktu lalu, ketika kalian menuduh kami memecahbelah. Bukankah ini contoh lain dari bentuk kepanikan kalian, dan secara tidak sadar menjadi seperti laku cinta monyet sepasang muda-mudi dimana cemburu menjadi menu setiap saat diantara mereka. Jadi, apa sebenarnya yang membuat kalian pantas untuk menceburui kami, wahai puan dan tuan sekalian. Entoh, kami merupakan produk kalian beberapa puluh tahun silam.

Kami juga akhirnya mampu dalam membiakkan diri dengan atau tanpa kalian sebenarnya. Ataukah kalian akhirnya sadar bahwa kami ini hanya seperti seperti bahan percobaan yang belakangan ternyata mengalami mutasi genetika. Dan itu sebenarnya diluar perkiraan kalian. Ayolah bung, nasi sudah jadi bubur, kami sudah berbiak, dan tinggal menunggu waktu kami kemudian menjadi lebih kuat dari sekarang. Maksud kami, karena nasi sudah jadi bubur, dan supaya itu bisa tetap menarik untuk dimakan, mungkin biarkan kami mencari beberapa jenis sayur dan sepotong ayam, agar nasi yang sudah berubah jadi bubur tadi bisa menjadi lebih menarik.

Akhirnya, tanpa bermaksud membenarkan laku khianat oknum diatas, kami juga ingin mempertegas dengan kalian, biarkanlah Kami Ber(l)a(n)gam dan Kalian M(e)ono(n)ton, itu saja!!! Karena pelan tapi pasti pada ujung cerita jati diri kami akan semakin kokoh dan ini bukan merupakan bentuk dari mutasi genetika. Karena KAMI TAU HARUS BAGAIMANA BUNG!!! Dan maksud baik sodara untuk siapa??



Golongan Penyusup pada RAKERNAS VI PERSAKMI

Ilustrasi


Mungkin belum terlambat untuk mengucapkan selamat ber-RAKERNAS untuk PERSAKMI. Organisasi yang berisikan para Sarjana Kesehatan Masyarakat yang tersebar diseluruh Indonesia ini melaksanakan Rapat Kerja Nasional yang ke 6 pada tahun ini. Pelaksanaannyapun mengusung tema yang serius: “ Urgensi Menyusun Road Map Pendidikan Profesi Kesehatan Masyarakat Tahun 2016”. Dari segi susunan kata dalam tema tersebut mengandung sikap optimisme akan status PERSAKMI kedepannya sebagai satu-satunya wadah yang dengan bangganya mengakui (hanya) berisi Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Kali ini, bukan susunan kata demi kata yang termaktub dalam tema Rakernas tersebut yang menarik perhatian saya, selain karena tingkat kepercayaan saya terhadap tim penyusun yang sudah melewati beberapa kali kajian yang mendalam untuk kondisi SKM hari ini, juga karena segi optimisme yang terkandung didalamnya yang bagi saya patut diapresiasi secara tulus. Namun saya tertarik dengan beberapa tagar yang tersebar di linimasa sosial media ketika dihubungkan dengan eksistensi organisatoris orang-orang yang ber-swafoto ria di depan x-banner kegiatan atau spanduk kegiatan itu.

Dari beberapa tagar yang beredar, tagar yang menarik perhatian saya adalah PersakmiRumahSKM. Tagar ini ini seakan mengisyaratkan kepada kita, khususnya pemilik gelar SKM diseluruh Indonesia, pernah (minimal merasa) tidak memiliki rumah/wadah. Nah, pertanyaannya kemudian, selama SKM belum memiliki atau minimal menyadari bahwa Persakmi adalah Rumah/wadah mereka yang sah, kemanakah selama ini SKM bernaung. Kenyataannya ada banyak jawaban untuk itu, misalnya kemudian masing-masing SKM  menjadi bagian anggota dari kelompok alumni khusus FKM untuk masing-masing kampus di Indonesia, atau paling sial akhirnya berbaur dengan organisasi  yang mengusung tema kumpulan Ahli Kesehatan Masyarakat atau yang sejenis.

Sial, karena ternyata SKM berusaha menyatu dengan siapapun dan dengan yang memiliki latar belakang keilmuan apapun dalam organisasi tadi hanya karena semuanya menganggap ikut serta dalam upaya kesehatan masyarakat, dan itu, pelan tapi pasti bisa saja menggerus eksistensi seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat, baik kemurnian ilmu kesehatan masyarakat maupun fokus dan lokus dari kesehatan masyarakat itu sendiri.

Pertanyaanya lagi, bagaimana dengan reaksi orang-orang yang baik secara sadar maupun tidak masih bergabung dalam organisasi itu terhadap realitas hari ini bahwa SKM sudah memiliki rumah yang sah bernama PERSAKMI. Bagi saya, orang-orang tadi yang baik secara sadar maupun tidak masih bergabung di organisasi tersebut dan memilih ikut serta dalam RAKERNAS PERSAKMI tahun ini dikategorikan sebagai PENYUSUP.

Jika dibayangkan PERSAKMI sebagai sebuah rumah, kiranya tidak keliru jika secara jujur kita akui rumah ini masih terlalu dini untuk dikatakan sebagai rumah yang sempurna (rumah=wadah) dalam sudut pandang apapun. Salah satunya, misalnya,  karena umur dari rumah ini sendiri yang masih terlalu muda jika dibandingan dengan rumah yang sejenis untuk kalangan tenaga profesional kesehatan lainnya. Juga karena rumah ini, sebelumnya masih sering mengalami pemugaran demi pemugaran (baca: gonta-ganti struktur, persoalan eksistensi organisasi, dll). Namun, jika kita melihat itu (pemugaran demi pemugaran) sebagai bagian dari niatan mencapai bentuk rumah yang lebih sempurna, kiranya tidak mengapa.

Kembali ke para Penyusup tadi. Sebagai sebuah rumah, wajar menurut saya jika ada saja pihak baik perseorangan maupun kelompok yang kurang berkenan dengan semakin jelasnya keberadaan PERSAKMI secara kelembagaan dari masa ke masa. Selain karena akhirnya PERSAKMI dianggap sebagai ancaman bagi organisasi tersebut yang kebetulan sejenis, juga karena semakin meningkatnya optimisme SKM terhadap PERSAKMI itu sendiri. Dan ini merupakan salah satu dari sekian banyak alasan untuk menyusup di RAKERNAS PERSAKMI, selain alasan salah dua, salah tiga, dan seterusnya tentu saja.

Secara garis besar, ada beberapa golongan Penyusup pada RAKERNAS PERSAKMI yang bisa jadi turut hadir tahun ini, diantaranya:

PENYUSUP Penggembira

Golongan pertama ini adalah golongan yang masuk kategori selemah-lemahnya Penyusup. Karena berstatus sebagai penggembira, mereka kemudian tidak punya targetan apapun yang terkait PERSAKMI kedepannya, apa lagi pada RAKERNAS-nya. Selain itu Penyusup golongan ini kebanyakan menjadi Penyusup karena terjebak. Dalam artian, ketika mereka pulang dari acara RAKERNAS, tidak ada sedikitpun yang berubah dari sudut pandangnya terhadap PERSAKMI. Karena kenyataanya, di tempat mereka berasal, PERSAKMI tidak se-eksis di tempat lain.

Atau dengan kata lain, keberadaan PERSAKMI tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap kondisi kerja mereka selama ini, dan justru organisasi lain yang berlabel kelompok ahli kesehatan masyarakat-lah atau sejenisnya yang lebih berpengaruh di tempat asal mereka. Pada kondisi inilah mereka mengalami keterjebakan, karena disatu-sisi lingkungan kerja mereka selama ini hanya mengakui organisasi tadi dan bukan PERSAKMI, akhirnya “memaksa” mereka baik individu maupun kelompok untuk bergabung didalamnya.

Sehingga ketika ada momentum RAKERNAS PERSAKMI, kalaupun dipaksakan memiliki target, bagi mereka RAKERNAS PERSAKMI hanyalah sebagai ajang kumpul-kumpul dan temu alumni SKM lainnya, baik yang berasal dari satu institusi/kampus, atau bahkan hanya dalam rangka mempererat hubungan emosional antara sesama SKM.

PENYUSUP Moderat

Berbeda dengan kelompok golongan sebelumnya, golongan ini paling tidak memiliki beberapa targetan dalam keikutsertaannya di RAKERNAS PERSAKMI. Minimal mereka yang masuk dalam golongan ini, ketika berada ditengah-tengah peserta RAKERNAS PERSAKMI, berusaha mengidentifikasi kuantitas dari anggota PERSAKMI yang tersebar di Seluruh Indonesia. Ini tentu saja masih berhubungan dengan organisasi lain yang berlabel kelompok ahli kesehatan masyarakat tadi atau yang sejenis.

Selain itu, keanggotaan kelompok Penyusup ini pada organisasi tersebut sudah masuk dalam keadaan sadar. Selain karena didorong sikap yang oportunis, juga keanggotaan mereka pada organisasi diatas lebih erat hubungannya dengan jabatan mereka hari ini di masing-masing instansi pemerintah tempat mereka berasal. Namun begitu, niatan untuk identifikasi kuantitas anggota PERSAKMI pada RAKERNAS masih ada hubungannya dengan kemungkinan golongan ini untuk beralihatau berpidah keangotaan dan lebih aktif di PERSAKMI nantinya.

Dengan kata lain, golongan ini senantiasa berparadigma abu-abu (antara hitam-putih) dalam rangka menilai organisasi apapun itu bentuknya. Salah satu penyebab dari cara pandang kelompok ini menjadi demikian ialah traumatik yang berkepanjangan ketika masih menjadi mahasiswa dan memiliki kesempatan untuk aktif dalam lembaga kemahasiswaan. Bisa jadi pengalaman traumatik ini berhubungan dengan kekecewaan yang pernah dialami dalam bentuk apapun.

PENYUSUP Garis Keras

Golongan ketiga ini adalah golongan yang paling kritis dalam melihat segala hal. Selain karena mereka-mereka ini sudah sedemikian jauhnya terlibat didalam organisasi selain PERSAKMI seperti organisasi yang berlabel kelompok ahli kesehatan masyarakat tadi atau yang sejenis, juga karena mereka ingin melihat PERSAKMI semakin jauh dari rasa optimisme dan akhirnya mati dengan sendirinya.

Berangkat dari niatan tersebutlah mereka kemudian hadir dalam RAKERNAS PERSAKMI. Dan untuk itu berbagai upaya mereka lakukan demi mendapat selembar mandat dalam rangka mewakili PERSAKMI cabang yang berasal dari daerah tempat dimana mereka berasal. Sejurus dengan itu, sambil mengasah daya kritis mereka terhadap organisasi sesungguhnya dalam rangka memberikan masukan yang bersifat membangun sehingga lebih mudah untuk “menyerang” PERSAKMI baik secara langsung maupun tidak langsung.

Karena RAKERNAS PERSAKMI kali ini juga mengagendakan pelantikan pengurus PERSAKMI yang berasal dari beberapa DPD atau DPC yang berasal dari seluruh Indonesia, bisa jadi golongan ini juga mengkondisikan masuknya mereka dalam susunan pengurus inti DPD maupun DPC PERSAKMI yang akan dilantik tersebut. Kondisi ini bisa dipahami dalam rangka turut serta berperan aktif dalam merusak organisasi PERSAKMI yang berada di masing-masing daerah di Indonesia.

PENYUSUP Pokemon-Go

Salah satu permainan online dan hanya bisa di mainkan pada perangkat seluler yang berbasis augmented-reality ini sejak peluncurannya sudah diunduh sebanyak 30 Juta kali. Dan menariknya jumlah ini jauh lebih banyak dari pengguna aktif harian untuk jenis sosial media manapun. Permainan besutan John Hanke ini akhirnya menciptkan kehebohan sendiri.

Nah, hubungannya dengan RAKERNAS PERSAKMI terletak pada niatan awal dari masing-masing peserta sebelum mengikuti kegiatan tersebut. Maksud saya, bisa jadi diantara seluruh peserta RAKERNAS PERSAKMI yang berasal dari perwakilan DPD dan atau DPC seluruh Indonesia itu, ada saja pihak atau orang-orang yang berusaha menunggangi kegiatan tersebut untuk mewujudkan keinginan melengkapi jenis pokemon yang didapatkan atau yang dikoleksi. Salah satunya mungkin karena masih berstatus trainer kelompok beginner dalam permainan Pokemon-Go.

Disinilah status Penyusup dilekatkan kepada mereka. Karena keikutsertaan mereka memiliki latarbelakang berganda dan bukannya berangkat dari tujuan utama untuk melihat PERSAKMI lebih maju kedepannya serta berangkat dari rasa optimisme yang mulai menguat antara SKM itu sendiri.
Hasilnya, bisa dibayangkan, untuk golongan Penyusup ini lebih banyak meninggalkan kegiatan-kegiatan inti dari RAKERNAS PERSAKMI demi mencari jenis-jenis pokemon untuk ditaklukkan/di-trainer. Dan dengan begitu, tanpa disadari, mereka juga memberikan kontribusi aktif terhadap kemunduran dari PERSAKMI. Makanya mereka masuk dalam kategori Penyusup.
*
Akhir kata, tentunya besar harapan kita, dari semua yang hadir dalam RAKERNAS PERSAKMI ke 6 tahun ini tidak ada satupun yang berstatus sebagai Penyusup. Jikapun ada, semoga mereka cepat atau lambat menyadari, bahwa sebuah tindakan sia-sia kiranya kemudian membendung optimisme yang terbangun dari kami para pemiliki gelar SKM itu sendiri. Apalagi jika itu kemudian berangkat dari anggapan bahwa PERSAKMI akan mati dengan sendirinya.

Karena walau umur PERSAKMI masih tergolong muda, setidaknya dengan optimisme yang terbangun hari ini melalui kegiatan demi kegiatan yang menyatukan kami akhirnya memberi gambaran seberapa kuatnya persatuan yang tercipta diatara kami. Dan bukankah hanya SKM-lah yang paling pantas berbicara tentang SKM itu sendiri, ini juga termasuk hanya SKM yang pantas menentukan nasibnya sendiri.


WAHAI SKM BERSATULAH!!!

SKM BERSATU TAK TERKALAHKAN!!!

Surat Tertutup Untuk Anak-Cucuku Kelak



Dear anak-anakku dan cucu-cucuku kelak,

Apa kabar nak, semoga kalian senantiasa dalam keadaan sehat tidak kurang sesuatupun.

Jadi begini nak, kutuliskan surat ini dengan harapan suatu saat nanti, kalian berdua akan membaca surat ini, setidaknya memahami kondisi hari ini pada konteks kalian kedepannya.

Kalian tau Kota Makassar nak?

Iya betul, itu kota kelahiranku. Kota yang terletak di bagian tengah Indonesia ini, merupakan salah satu kota yang terkenal dengan berbagai jenis kulinernya, mulai dari coto, sop konro, sop sodara, pisang hijau hingga pisang epe.

Bukan itu saja nak, kota makassar sudah terkenal sejak abad ke 16, karena Makassar menjadi salah satu pusat perdagangan    yang dominan di Indonesia Timur, sekaligus menjadi salah satu kota terbesar di Asia Tenggara.

Selain itu nak, antara tahun 1971 hingga 1999, nama Makassar pernah diganti dengan nama Ujung Pandang oleh penguasa pada zaman itu, entah dengan pertimbangan apa.

Makassar hingga kini merupakan salah satu kota di kawasan timur Indonesia yang tersibuk dan terpadat. Salah satu buktinya adalah perkembangan jumlah penduduk di kota Makassar dari tahun ketahun sangat signifikan, tercatat tembus di angka kurang lebih 20% (BPS-2013).

Makanya nak, jangan kaget jika suatu saat nanti ketika kalian berkunjung ke kota kelahiranku, jumlah penduduknya sudah lebih banyak dari sekarang. Di tahun 2013 saja jumlah penduduk yang kota Makassar sudah mencapai angka 1,6 juta jiwa. Bisa dibayangkan 10 hingga 20 tahun kedepan.

Dengan jumlah penduduk yang cenderung bertambah dari hari kehari juga meniscayakan akhirnya sebuah perkembangan, atau meminjam terminologi para penyelenggara negara yaitu pembangunan. Kita ambil contoh infrastruktur yang berhubungan dengan ekonomi. Sekarang saja, jumlah pusat perbelanjaan yang secara arsitektur berupa bangunan tertutup dengan suhu diatur dan memiliki jalur untuk berjalan yang teratur sehingga berada diantara toko-toko kecil yang saling berhadapan (Mall) di kota Makassar sudah menyentuh angka sembilan buah. Dan sudah barang tentu, bukan tidak mungkin akan terus bertambah.

Kembali lagi nak, ini merupakan keniscayaan dari sebuah konsep modernisasi. Dan kota Makassar sudah melalui berbagai ciri pokok dari modernisasi tersebut, mulai dari: proses bertahap, homogenisasi, westernisasi, hingga perubahan progresif. Salah satu contoh modernisasi adalah keberadaan Mall di kota Makassar, sependek yang saya tahu nak, awalnya mall di makassar hanya ada 2 buah yaitu Makassar Mall  dan Maricaya Mall. Tidak cukup beberapa tahun kemudian berdiri Mall Ratu Indah, dan seterusnya.

Disatu sisi nak, keberadaan mall tadi menjadi penanda akan peningkatan daya beli masyarakat, namun disisi yang lain sebenarnya hanya memperteguh relasi kelas sosial yang ada di Kota Makassar. Yang menarik nak, ketika menurut Brundtland Report dari PBB-1987 mengatakan konsep sustainable development (Pembangunan Berkelanjutan) merupakan bagian dari modernisasi, dengan tujuan tidak mengorbankan atau mengurangi kebutuhan generasi akan datang, iya, generasi kalian nak. Namun apa yang terjadi nak, mengambil contoh pembangunan mall, justru hanya menjadikan Makassar langganan banjir dari tahun ke tahun. Disini lagi titik kontradiksinya nak!

Selain ancaman banjir tadi, modernisasi kota Makassar juga berdampak pada hilangnya ingatan kolektif kita tentang hal yang berhubungan dengan Makassar. Untuk konteks modernisasi Makassar, mungkin tidak berlebihan nak, jika ingatan kita kembali pada Teori Wacana dan Kekuasaan milik Michel Foucault. Beliau menyatakan konsep kekuasaan yang berbeda dari yang lain. Menurutnya ciri kekuasaan itu tersebar dan tidak dapat dilokalisasi. Bisa jadi inilah yang menjadi dasar dari para penyelenggara negara khususnya dari tingkat pemerintah provinsi Sulawesi Selatan hingga pemerintah kota Makassar.

Tahukah kau nak, salah satu yang menjadi daya tarik wisatawan baik domestik maupun international untuk berkunjung ke Makassar adalah keberadaan Pantai Losari dengan bermacam dagangannya dimalam hari. Saking terkenalnya, konon pantai losari pernah mendapat predikat tenda terpanjang karena sejauh 2 Km saling sambung menyambung. Dan beberapa penjual makanan dan minuman di tempat tersebut sangat terkenal, karena selain nikmat juga tentunya murah.

Walau jumlah pasti pedagang pada waktu itu tidak sempat kami hitung, namun satu hal yang pasti nak, pada waktu malam pantai losari jadi meriah layaknya pasar malam, karena selain pedagang makanan dan minuman pantai losari juga dipenuhi dengan profesi yang lain, dari pengemen hingga tukang semir sepatu. Namun kini kondisi tersebut hanya tinggal ceritaku kepadamu nak.

Belakangan, atau tepatnya tahun 2006, Pantai Losari mengalami perombakan besar-besaran. Mulai dari dalil mengembalikan fungsi ruang publik hingga penertiban dalam rangka memperindah bentuk Pantai Losari kemudian dilafazhkan  oleh para penyelenggara negara pada waktu itu. Untuk itu kemudian para pedagang yang tadinya berada di sepanjang pantai losari, berangsur-angsur dipindahkan ke bagian selatan, atau tepatnya pantai Laguna.

Oh iya nak, Pantai Laguna ini kami sebut Taman Gajah, karena disitu, dulunya terdapat taman bermain yang juga dilengkapi beberapa patung binatang yang sangat mirip dengan aslinya, baik ukuran maupun bentuk.

Pindahnya mereka (pedagang makanan dan minuman, serta para pengamen dan lain-lain) ke Pantai Laguna, hanya memperburuk keadaan mereka secara finansial. Karena bukannya jumlah pengunjung bertambah justru hanya berkurang berangsur-angsur. Dan sekali lagi nak, hal ini tidak menjadi perhatian para penyelenggara negara saat ini.  

Untuk sekedar kalian ketahui nak, pantai Losari dulu bagi kami sangat romantis. Karena walau Pantai Losari tidak seperti pantai kebanyakan yang terkenal dengan pasir putihnya, Pantai losari menawarkan bentuk romantisme yang lain, yaitu kita bisa menikmati momentum tenggelamnya matahari (Sunset) di sore hari dengan sempurna.

Namun nak, belum usai permasalahan relokasi pedagang pantai losari, para penyelenggara negara kembali lagi melakukan hal yang justru hanya berdampak pada hilangnya ingatan kolektif kita tentang pantai Losari nantinya. Pembangunan Mega Proyek Center Point Of Indonesia (CPI) di Makassar. 

Iya nak, bisa jadi ketika kau membaca surat ini CPI telah berdiri dengan megahnya. Taukah kau nak, pantai losari kembali lagi yang “korban” untuk membangun CPI. Karena untuk mendukung CPI, setidaknya total area laut yang akan direklamasi adalah 150 Ha. Luas bukan nak? Dan bayangkan nak, untuk menutupi daerah seluas itu dibutuhkan material sebanyak 5.000.000 m3!

Ini kita belum berbicara tentang ekosistem mangrove yang akan terancam hilang di enam Kecamatan, karena pembangunan CPI tadi. Atau reklamasi tadi akhirnya menggusur 45 KK yang tinggal di daerah pesisir yang mendiami lahan seluar 10 Ha. Selain itu nak, ternyata reklamasi tadi akhirnya menghilangkan mata pencaharian 456 nelayan!

Banyak hal yang kemudian sebenarnya menjadi masalah dari CPI itu sendiri nak. Secara analisis dampak lingkungan, Reklamasi tadi mempercepat proses pendangkalan daerah rawa di Kecamatan Tamalate, sehingga masyarakat sekitarnnya akan terancam dilanda banjir rob akibat proses reklamasi tadi.

Ketika para penyelenggara negara berdalih CPI didirikan, diperuntukan bagi masyarakat. Ini merupakan kebohongan nak!ingat itu!, Karena jika merujuk pada bangunan peruntukannya di CPI sendiri, akan berdiri kawasan perdagangan dan jasa, pelabuhan, industri, RTH, perkantoran, pergudangan, Energi Centre, Bisnis Global. Artinya kelompok masyarakat kelas yang mana menurut para penyelenggara negara kepadanya diperuntukkan pembangunan CPI kira-kira nak?

Jadi nak, jangan heran jika kalian nanti merasa iri dengan kami, ketika kalian menikmati keindahan proses terbenamnya matahari di Pantai Losari sudah tidak gratis seperti kami saat ini. Atau ketika kalian mendapati rusaknya ekosistem laut disekitar CPI dan berdampak pada 11 Pulau kecil yang berada dalam wilayah kota Makassar.

Selain iri kepada kami, kalian nanti nak, pasti akan miris dengan kami hari ini, dengan atau tanpa sengaja justru hanya berkonstribusi terhadap berbagai kerusakan, disatu sisi justru mengorbankan ingatan kolektif kita tentang Pantai Losari.

Namun Nak, ketika surat ini kami tulis nak, kami tengah berupaya mendesak para penyelenggara negara untuk meninjau kembali gagasan reklamasi yang include dalam megaproyek CPI di Makassar. Walaupun beberapa hari yang lalu, telah ditandatangani kontrak pembangunan CPI oleh KSO Ciputra Yasmin dan PT. Boskalis International Indonesia, tapi kami tetap semangat nak, untuk menyelamatkan pemandangan indah sore hari yang gratis di Pantai Losari.

Sedikit gambaran betapa berat gerakan kami saat ini nak, ketika para pemimpin di Sulawesi Selatan (Sulsel) hanya sibuk berbicara tentang perebutan kursi pada momentum Pilkada Gubernur Sulsel yang akan dilaksanakan tahun depan (2017) atau wacana Bupati yang ingin jadi Raja, kami tetap konsisten melakukan penolakan terhadap Reklamasi Losari Nak!. Konsistensi kami mulai berupa parade poster TOLAK REKLAMASI atau TOLAK CIPUTRA ketika momentum car free day di Sepanjang Jalan Penghibur (Jalan Penghibur berada didepan Anjungan Pantai Losari), hingga diskusi maraton dari kampus ke kampus.

Bisa dibayangkan kan nak?bagaimana kami saat ini yang hidup dizaman dimana pergeseran paradigma sudah merupakan hal yang niscaya. Ketika makna sebuah ruang spasial yang sebelumnya diukur berdasarkan takaran nilai budaya yang sakral pada gilirannya dimaknai berdasarkan nilai jual yang profan. Tapi kami tetap semangat nak, demi kalian dan cucu kami kelak!!

Akhir kata, hari ini kami cuma bisa berucap:

TOLAK REKLAMASI LOSARI!!!

TOLAK CIPUTRA!!!!

MAKASSAR TOLAK REKLAMASI!!!


Yogyakarta, 29 Maret 2016



Disclaimer gambar:
Suasana Pantai Losari tahun 2001, sumber: google.com

Menyoal Vandalisme HmI



Mungkin adagium Mulutmu Harimaumu belum bisa dikatakan usang di era digital saat ini. Walau adagium ini kemudian pernah juga dipelesetkan menjadi twitmu harimaumu atau jarimu harimaumu, namun tetap saja akhirnya kita kembali pada kondisi azali kita sebagai manusia yang dilengkapi oleh mulut yang bisa menjadi sebuah senjata dan justru balik menikam kita ketika tidak bijak menggunakannya.

Menyusul sebuah kejadian, dimana salah satu wakil ketua KPK yang karena kurang bijak dalam berkomentar, akhirnya membuatnya vis a vis  dengan salah satu organisasi mahasiswa yang memiliki anggota terbanyak di nusantara ini.  Tidak perlu menunggu lama, komentar panas beliau akhirnya menjadikan seluruh anggota organisasi tersebut baik yang sudah purna maupun yang masih berstatus aktif kemudian menyatu, dan memposisikan diri berhadap-hadapan dengan beliau.

Berbagai analisispun berkembang terkait kejadian tersebut. Mulai dari perspektif latar belakang si penutur kontroversi tersebut hingga hubungan beliau dengan berbagai kejadian bangsa belakangan ini. Akumulasi dari analisis inipun berujung pada beberapa hal. Mulai dari hubungan beliau dengan musuh masa silam dari organisasi tersebut hingga organisasi tersebut akhirnya behadap-hadapan dengan institusi negara yang menaungi beliau.

Kali ini saya tidak akan mencoba menyoal sosok si penutur kontroversial itu. Selain karena saya bukan siapa-siapa, juga karena muncul ketakutan dalam diri ini jika akhirnya menyerang pribadi dan menjadi tidak obyektif. Tapi saya akan menyoal beberapa hal tentang reaksi yang akhirnya muncul oleh organisasi mahasiswa tersebut. Walau berbagai reaksi tersebut tidak semuanya akhirnya bisa dikatakan keliru.

Sebagai salah satu anggota yang pernah terlibat aktif dalam organisasi mahasiswa tersebut, sedikit banyak juga mengerti bagaimana berbagai fenomena maupun nomena yang pernah terjadi di dalamnya. Mulai dari pertarungan ideologis hingga berbagai bentuk politik praktis yang secara vulgar sering dipertotonkan dalam organisasi tersebut. Mulai dari mobilisasi massa anggota untuk kepentingan senior tertentu hingga memanfaatkan pengkaderan untuk memperoleh simpati lawan jenis. Walau kemudian kejadian diatas adalah kategori prilaku oknum (saja).

Selain itu, organisasi ini juga memiliki materi maupun pola pengkaderan yang sangat mumpuni. Belakangan setelah akhirnya Nurcholis Majid (Cak Nur) memperkenalkan Nilai Dasar Perjuangan yang sulit dipungkiri membawa organisasi mahasiswa ini menjadi sebuah organisasi yang modern. Berangkat dari keyakinan pada persamaan hak dan egalitarianisme dalam kehidupan bermasyarakat untuk Indonesia senafas dengan cita-cita demokrasi yang ditempuh bangsa ini.

Adalah pada Kongres Ke-IX, akhirnya Cak Nur memperkenalkan pemikirannya yang tertuang dalam Nilai Dasar Perjuangan. Dalam pemikirannya, Cak Nur menegaskan bahwa sebagai mahasiswa islam yang diharapkan mampu memberikan dukungan terhadap nilai-nilai keIslaman namun tidak bisa lepas dari keIndonesiaan serta keMahasiswaan. Karena sebagai konteks berdirinya organisasi ini,Indonesia, dirasa perlu kemudian untuk tetap lebih memaknai kompleksitas suku, agama, dan ras yang mendiami bumi Indonesia.

Selebihnya penjelasan tentang itu bisa kita dapatkan dalam berbagai buku-buku yang merupakan pemikiran Cak Nur, dan atau berbagai teman sejawat yang kemudian juga tidak bisa lepas pengaruhnya terhadap Cak Nur.
*
Yang menjadi persoalan dari pernyataan kontroversial tersebut adalah Korupsi, dan hubungannya secara langsung dengan organisasi mahasiswa Islam tersebut. Memang sebuah kekeliruan jika tidak terlebih dahulu membuat sebuah pembatasan kelompok dari seluruh anggota untuk kemudian melakukan sebuah penghakiman, karena akan terjebak dalam sebuah bentuk generalisasi. Disini letak soalnya dan akhirnya adik-adik dan kakak-kakak kami beraksi.

Hal diatas adalah soal lain, dan sudah banyak pihak yang mencoba menyoal itu.

Namun bagaimana jika pernyataan tersebut kemudian kita jadikan sebuah autokritik. Karena jika mau jujur, sebenarnya tidak sedikit kakak-kakak kami yang dulunya dikenal sebagai sosok idealis akhirnya terperosok dalam status tersangka korupsi. Terlepas dari segala faktor yang melatari, laku korupsi bagi semua orang memang menjadi sebuah masalah. Karena laku ini setidaknya berdampak secara fisik, mental, spritual dan emosional.

Pertanyaanya, apakah yang dimaksud dengan korupsi itu. Dari sekian banyak informasi yang terkait definisi, maupun ciri korupsi, secara panjang kali lebar, korupsi itu adalah sebuah prilaku penyalahgunaan kepercayaan publik untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Jadi korupsi bukan hanya berhubungan dengan hal-hal fisik saja misalnya sejumlah uang, namun juga sesuatu non fisik juga, misalnya kesepakatan bersama.

Karena sedemikian luasnya konsep korupsi itu sendiri, Nah, bagaimana dengan organisasi mahasiswa islam dan bagaimana hubungannya. Menyusul pernyataan yang kontroversial tersebut, hampir sebagian besar kemudian reaksi yang muncul berangkat dari stigma yang berkembang diantara kita terkait korupsi yang (hanya) berhubungan dengan fisik (saja). Sehingga berbondong-bondonglah adik-adik dan kakak-kakak kami mencoba memposisikan diri diluar stigma tersebut.

Namun apa lacur, apakah kemudian memposisikan diri diluar stigma tersebut adalah berlaku selama hayat dikandung badan?, jawabannya belum tentu. Misalnya adik-adik mahasiswa kita, ketika kalian meneriakkan slogan kami alumni LK 1 dan benci Korupsi, bagaimana dengan tingkat kedisplinan waktu kalian dalam mengikuti sebuah kuliah misalnya. Ingat dik, datang terlambat untuk mengikuti kuliah juga itu korupsi, atau dikenal dengan korupsi waktu.

Tentunya bagi adik-adik, akan terbangun berjuta afirmasi terkait datang terlambat. Mulai dari benturan berbagai agenda organisasi dengan jadwal kuliah hingga manajemen waktu pribadi yang menjadi soalnya. Namun apapun itu, selama bersebrangan dengan sebuah bentuk penyelewengan kepercayaan publik yang terbangun diawal (lewat kontrak belajar) untuk mendapatkan keuntungan sepihak (jadi permisif tidak disiplin), menurut saya masuk kategori laku korupsi.

Atau budaya copy-paste sebuah karya ilmiah yang belakangan jadi trend pada mahasiswa hari ini. Tentunya ini juga jika mau jujur sebenarnya adalah laku korupsi dikalangan mahasiswa. Karena disaat bersamaan melakukan penyalahgunaan kepercayaan publik (orisinil pemikiran mahasiswa) demi mendapatkan keuntungan sepihak (yang penting tugas selesai). Ini juga korupsi loh dik, korupsi kepercayaan dosen.

Untuk kakak-kakak sendiri, sudah banyak contoh. Yang dulunya sangat diagungkan karena idealismenya, belakangan mempertonton laku korupsi, apapun bentuk dan yang melatarinya.

Walau juga, menurut Kak Mahfud MD, banyak sekali kakak-kakak kami yang masih konsisten untuk memperjuangkan terbentuknya negara Indonesia yang anti korupsi. Tentunya saya tidak perlu menyebutkan satu-satu. Selain karena kurangnya pengetahuan saya tentang itu, juga tidak cukup ruang disini untuk memetakan jutaan kader terbaik yang pernah dicetak oleh salah satu organisasi mahasiswa islam tertua di Indonesia ini.
**
Jika meminjam piramida kebutuhannya Maslow, dimana kabutuhan tertinggi manusia bukannya sex dan makanan, namun penghargaan dan aktualisasi diri, maka tidak berlebihan kiranya jika kita mengatakan laku korupsi dalam diri kita merupakan sebuah potensi. Karena setelah terpenuhinya berbagai kebutuhan fisiologis, rasa aman, dan kasih sayang, kita/manusia kemudian cenderung  mencari jalan untuk memenuhi berbagai hasrat yang berujung pada sebuah penghargaan dan sebagai bentuk aktualisasi diri.

Dalam mencari jalan untuk sebuah penghargaanlah kemudian laku korupsi berpotensi besar unutk menjadi aktual, dengan catatan pemenuhan hasrat ini hanya bagian dari sekumpulan keinginan saja dan bukan rangkaian yang menjadi kebutuhan. Sehingga kita/manusia cenderung memaksakan kondisi, yang bisa jadi akhirnya mengorbankan berbagai bentuk kepercayaan publik untuk sebuah keuntungan sepihak (penghargaan dan aktualisasi diri).

Akhir kata, sebagai manusia yang memiliki agama, sakira tidak ada salahnya kemudian kita mencoba memaafkan beliau yang mengeluarkan pernyataan kontroversial tersebut karena alasan kesilapan, namun juga saya dengan seluruh hayat dikandung badan mendukung proses hukum yang berlangsung karena overgeneralisasi yang berdampak pada pencemaran nama organisasi. Yang terakhir tadi juga menjadi penting, setidaknya pembelajaran agar terhindar dari segala bentuk overgeneralisasi, apa lagi itu berhubungan dengan sebuah organisasi yang mencetak banyak kader terbaik di negeri ini.


Selain itu, juga menurut saya untuk kembali melakukan koreksi kedalam organisasi, sehingga bisa menjadi sebuah pembuktian terbalik dari kondisi yang coba digambarkan oleh pihak-pihak yang tidak senang terhadap organisasi ini. Contohnya, hindari melakukan aksi massa yang anarkis, apa lagi sampai merusak fasilitas publik (Gedung KPK). 



Disclaimer gambar:
Vandalisme HMI digedung KPK, sumber: detik.com