Tampilkan postingan dengan label KESLING. Tampilkan semua postingan

SUDAHKAH ANDA BERAK HARI INI(?)




“BACOOO, SUDAH MOKO BERAK?” teriak Indo’ dari dapur yang tengah menyiapkan sarapan

“BLUMPI MAK, SEMENTARA PROSES INI?” teriak Baco dari Kamar Mandi.

“KENAPAKAH LAMA SKALI?, MAU KA BERAK JUGA INIEEE”

“SABAR SAI KI’, MAK, AGAK KERAS INI TAI KU” 
(suatu ketika di sudut Kota Makassar)

Sekilas, pertanyaan ini seolah menjijikkan dan jorok. Setidaknya bagi mereka yang scatophobia akut, atau tidak sadar sedang mengalami scatophobia tingkat terendah yang biasa disebut rasa jijik berlebihan. Namun siapa sangka, baik “keluaran”, “capaian”, maupun “pengaruhnya”, ternyata berdampak positif pada kesehatan. Tidak tanggung-tanggung, bahkan melalui berak, manusia bisa dikatakan sehat atau tidak.

Meminjam sudut pandang Badan Kesehatan Dunia, tentang Sehat, adalah suatu keadaan sejahtera fisik, jiwa, dan sosial yang memungkinkan hidup secara produktif sosial dan ekonomi. Maka berak dan segala hal yang berhubungan dengannya, bisa dimasukkan tiga pendekatan kondisi Sehat menurut Badan Kesehatan Dunia tadi. Misalnya, pertama, dengan berak memberi bukti manusia secara biologis-- organ pencernaannya—bekerja (fisik) .

Dan, berak juga punya aturan main sendiri. Ini hubungannya dengan sistem pencernaan dalam keadaan bermasalah atau tidak. Ketika lambung mengirim signa  ke usus akan berdampak pada bentuk dan intensitas berak akhirnya.

Kedua, hubungannya dengan sensasi (kejiwaan) pascaberak. Kenikmatan. Iya, nikmat, bukan?. Sehingga tidak berlebihan kiranya jika keadaan setelah berak akhirnya disejajarkan (hampir) sama dengan sensasi pascaorgasme saat manusia bersetubuh. Karena melalui keduanya akan menghasilkan kenikmatan meski dalam kadar yang berbeda.

Ketiga, walaupun berak secara fisik dan kejiwaan menyehatkan, ternyata juga ada hubungannya dengan (status) sosial seseorang. Sebagai contoh, jika seseorang yang cukup terpandang di sebuah kampung, namun tidak memiliki tempat untuk berak yang sehat di rumah  , akan jadi sebuah pertanda buruk. Pertanda buruk dari segi kesehatan bagi masyarakat sekitar. Apatah lagi terhadap penilaian mereka yang berasal dari luar kampung itu.

Maka, Nikmat Berak lagi manakah yang bisa kalian pungkiri?

Lebih jauh saat berbicara berak, kita tidak akan bisa lepas dari tiga komponen inti yang jalin kelindan. Pertama, aktivitas berak itu sendiri, yang kemudian kita sebut dengan prilaku berak. Kedua, keluaran dari prilaku berak tadi, atau yang kita kenal dengan sebutan tahi. Ketiga, fasilitas yang berhubungan dengan berak itu tadi.

Prilaku Berak

Sebagai sebuah aktivitas yang tergolong purba, berak sudah ada sejak manusia di ciptakan. Karena itu, berak menjadi bagian dalam keseharian kita. Menariknya, aktivitas yang tergolong purba ini, belakangan mengalami makna peyoratif. Sehingga, menjadi sedemikian risihnya untuk dibicarakan secara terbuka. Khususnya mereka pengidap scatophobia. Padahal, berak merupakan salah satu kebutuhan vital setiap manusia yang masih hidup. Atau, mungkin juga karena letak ruang untuk menuntaskan hajat purba itu selalu diletakkan di bagian belakang sebuah rumah atau tempat tinggal. Sehingga prilaku berak yang awalnya (hanya) mengalami eufemisme “ Ke belakang “, makin ke sini lebih dikaitkan dengan kajian antropologisosiologi makro dari kata “belakang” yang identik dengan ketertinggalan, akibatnya eufemisme berubah menjadi peyoratif.

Padahal, berak-tidaknya seseorang sangat berhubungan dengan status kesehatannya.

Secara garis besar, prilaku berak terbagi atas dua golongan besar. Prilaku berak secara terbuka dan prilaku berak secara tertutup. Pembagian ini, tidak berhubungan dengan tampak-tidaknya prilaku itu secara kasat mata (saja), namun ini lebih pada hubungannya dengan bentuk “intervensi” dari tahi yang keluar.

Prilaku berak terbuka, atau yang dikenal dengan istilah Buang Air Besar Sembarangan (BABS) lebih sering dijumpai pada tipe masyarakat holtikultura dan Industri awal, meskipun begitu, masih saja  ada tipe masyarakat industri yang BABS; sepuluh, atau duapuluh keluarga saja.

Pada tipe ini, kedekatan terhadap alam sekitar menjadi salah satu faktor pendorong utama melakukan BABS. Prinsipnya, dengan BABS, mereka merasa menyatu dengan alam sekitar. Syarat untuk melakukan BABS pun sederhana, misalnya, cukup “lokasinya” jauh dari rumah dan berpindah-pindah, atau merupakan tempat yang cenderung bergerak (sungai dan atau laut). Atau, bisa juga hubungannya dengan waktu BABS. BABS tidak akan mungkin dilakukan seharian dalam intensitas sering (kecuali sedang diare). Biasanya memilih waktu-waktu tertentu, misalnya subuh hari atau menjelang malam. Makanya, meskipun BABS itu kesannya dekat dengan alam, tetap saja  ada Syarat dan Kondisi berlaku.

Berbeda dengan prilaku sebelumnya, prilaku berak tertutup lebih menekankan pada kondisi terpusat. Maksudnya, jika prilaku sebelumnya cenderung berpindah-pindah, maka prilaku berak tertutup adalah kebalikannya. Dan, prilaku berak tertutup menitikberatkan pada tata kelola “keluarannya” yang terpusat karena tidak mencemari sekitarnya, misalnya; sumber air baku dan lain-lain. Karena itu, prilaku berak tertutup, lebih erat hubungannya dengan pola pikir dan sikap seseorang. Pola pikir berhubungan dengan pengetahuan terkait berbagai dampak buruk dari BABS. Dan, sikap, lebih erat kaitannya dengan nilai-nilai yang dipercaya.

Kelompok yang berprilaku berak tertutup memiliki pemahaman berbeda dengan kelompok sebelumnya terkait kedekatan dengan alam sekitar. Bagai kelompok kedua ini, kedekatan alam sekitar dibuktikan dengan tidak merusaknya melalui tahi yang tersebar. Meskipun secara jamak, tahi dipercaya mengandung senyawa yang dibutuhkan tanaman, namun jika ternyata bukan hanya tanaman yang menikmati tahi tadi (misalnya lalat), di situlah masalah kesehatan ini bermula.

Bagi mereka yang telah mengetahui hubungan prilaku berak dan sampar, mencegah adalah sebuah pilihan yang paling masuk akal.  Minimal untuk lingkup keluarga mereka, ancaman seperti diare dan “teman-temannya” bisa terhindar. Selain itu, dengan berprilaku berak tertutup juga mencegah mereka dan keluarganya untuk di cap sebagai keluarga yang berprilaku jorok (tidak sehat) secara sosial.  

Jika mengacu pada tipe masyarakat, kelompok kedua ini banyak dijumpai pada masyarakat industri dan pascaindustri, bahkan pada tipe masyarakat hyperindustri.
  
Tahi

Karena berak itu adalah sebuah proses, maka, tanpa sebuah keluaran tentu saja cacat sistem. Dan, bentuk keluaran dari berak disebut tahi. Tahi sendiri lebih sering diabaikan oleh kita. Padahal, tahi bisa menjadi alat tolak ukur keadaan sistem kesehatan kita, terutama yang berhubungan dengan pencernaan. Ini kaitannya dengan warna dan bentuk dari tahi itu sendiri.

Secara garis besar, warna tahi ada enam jenis. Warna-warna ini bukan berjalin sebab dengan warna makanan yang dikonsumsi, namun berhubungan dengan kesehatan dan keadaan pencernaan kita secara khusus.

Pertama adalah warna merah terang. Jika mengeluarkan tahi berwarna tersebut, bisa dipastikan sedang terjadi pendarahan pada saluran usus yang lebih rendah atau lebih dekat dengan anus. Ini termasuk usus besar, atau bahkan sedang mengalami wasir.

Selain warna merah terang, ada lagi tahi berwarna hitam. Jika tahi berwarna merah terang berhubungan dengan pendarahan pada usus yang lebih rendah atau dekat dengan anus, maka penyebab tahi berwarna hitam karena terjadi pendarahan pada saluran pencernaan bagian atas. Atau usus yang letaknya dekat dengan lambung.

Warna lain lagi, adalah warna kuning berminyak dan cenderung lebih busuk. Untuk tahi berwarna ini karena kelebihan lemak yang terkandung. Penyebabnya telah terjadi malabsorbsi, atau bahasa sederhana; tubuh sedang kesulitan untuk menyerap nutrisi dari makanan.

Meskipun warna kuning berminyak lebih terang dibanding warna merah, ternyata masih ada lagi warna tahi terang lain. Warna putih terang. Jika tahi anda berwarna putih, maka bisa dipastikan empedu anda sedang bermasalah. Salah satunya karena empedu tidak mampu menghasilkan cairan  yang cukup dalam perannya untuk mengurai makanan.

Warna tahi juga ada yang hijau, loh. Tahi menjadi berwarna hijau setelah melewati anus karena proses pencernaan makanan di dalam usus bisa dipastikan tidak maksimal dalam arti terlalu cepat. Atau, bisa juga ini disebabkan karena jumlah bakteri E.Coli lebih banyak dari seharusnya. Mungkin, mereka sedang demonstrasi besar karena salah seorang kandidat pemimpin mereka telah melakukan penistaan atau salah satu pasangan dari kalompoknya sedang melangsungkan pesta perkawinan, entahlah.

Pertanyaannya, bagaimanakah warna tahi yang bisa menjadi tolak ukur pencernaan kita sehat? Warna cokelat.

Selain warnanya, bentuk Tahi juga bisa jadi acuan sehat-tidaknya seseorang. Untuk masalah bentuk, secara garis besar terbagi atas dua. Pertama, encer dan kedua, tidak encer. Untuk Tahi yang berbentuk encer, penyebabnya tidak lain karena dalam pencernaan kita sedang terjadi infeksi. Karena demonstrasi besar E.Coli, eh, maksud saya, jumlah E.Coli lebih banyak.

Untuk bentuk Tahi tidak encer, terbagi lagi dalam lima jenis bentuk. Pertama, berbentuk gumpalan kecil menyerupai biji kacang. Penyebabnya makanan yang mengandung unsur serat dan cairan tidak menjadi menu harian. Misalnya, sayur-sayuran atau buah-buahan.

Kedua, tahi yang berbentuk gumpalan lebih besar dari yang pertama. Jika bentuk pertama disebabkan karena kurangnya konsumsi makanan yang berserat dan mengandung cairan, untuk jenis kedua ini tidak jauh berbeda. Perbedaannya hanya, kadar makanan yang mengandung dua hal tadi perlu ditambah sedikit untuk dikonsumsi.

Ketiga, tahi yang berbentuk lonjong lebih mirip sosis. Untuk bentuk yang terakhir ini, bisa dipastikan baik makanan yang dikonsumsi maupun sistem pencernaan kita dalam keadaan sehat dan normal.
Intinya, makanan yang mengandung serat dan cairan sangat dibutuhkan oleh tubuh, terkhusus untuk membantu kerja alat-alat pencernaan. Selain itu, pastikan tidak ada mobilisasi besar-besaran E.Coli ke dalam tubuh kita. Entah itu alasan demonstrasi susulan setelah berubah isu atau terindikasi adanya upaya makar pada sistem pencernaan kita. Untuk yang terakhir ini, tidak perlu cari di google dalangnya, cukup liat saja warna dan bentuk tahi anda.

Fasilitas Berak

Konon, sejak manusia menemukan cara membuat kumpulan tahi jadi terpusat, disaat bersamaan telah berhasil membangun sebuah sistem pengelolaannya. Yang termasuk sistem pengelolaan itu dimulai dengan bangunan tempat pembuangan tahi hingga tempat berkumpul akhir. Karena ini pula, bentuk fasilitas berak dahulu kala hanya berupa lubang kecil dengan kedalaman tertentu. Meskipun masih saja ada yang mempertahankan bentuk (cubluk) hingga kini, revolusi dalam berak dimulai ketika manusia menemukan kloset pertama kali.

Tidak tanggung-tanggung, akibat dari penemuan fenomenal ini berujung pada terciptanya dua kelompok besar. Kelompok yang mempertahankan sistem pengelolaan tahi purba dan kelompok pengusung revolusi dalam berak. Walau akhirnya perbedaan kedua kelompok ini sudah di jembatani dengan penemuan kloset jongkok, tetap saja masih terjadi perdebatan didalamnya. Karena pengusung revolusi dalam berak akhirnya memperkenalkan jenis kloset duduk. Adalah “kenyamanan” yang membuat dua kelompok tadi masih terjebak dalam perbedaan laten.

Untuk wakil kelompok pertama, yang telah menerima hadirnya kloset, meski jenis jongkok, nyaman adalah ketika membuang hajat ada jarak di antara tubuh (selain kaki tempat berpijak) dan kloset. Karena dipercaya tahi mengandung bahan yang kotor. Sedangkan untuk kelompok kedua, yang memilih pakai kloset duduk, tidak demikian. Dengan duduk ketika membuang hajat, tahi yang jatuh ke dalam terhindar dari tersebar (percikan). Sehingga kesan lebih bersih jadi menguat. Karena itu, hotel-hotel bahkan beberapa bandara lebih sering/banyak memasang jenis kloset duduk dibanding kloset jongkok.

Terlepas dari perdebatan kenyamanan, bagi saya, selama berak itu terpusat dan dikelola dengan baik tentu akan menyehatkan. Tata kelola tahi seharusnya berhubungan dengan beberapa prinsip dasar pada fasilitas berak. Mulai dari keberadaan tempat pembuangan (baik yang duduk atau jongkok) hingga tempat berkumpul akhir tahi (septic tank). Antara tempat pembuangan dan tempat berkumpul akhir tahi dihubungkan oleh saluran (pipa). Dan terakhir, pastikan septic tank tadi kedap udara dan terdapat  batu kali pada dasar sebagai pemecah tahi setelah melewati lewat pipa dari kloset. Selain itu, pastikan septic tank jauh dari sumber air baku. Kalaupun harus dekat, harus diperhitungkan khusus. 

***

Untuk konteks Indonesia, ada dua hal yang menarik terkait berak. Pertama prilaku berak dan kedua fasilitas berak.

Meskipun sudah ada program pembagian seribu kloset duduk (jamban) tiap tahunnya ketika Orde Baru, tetap saja masih ada penduduk Indonesia yang saat ini penganut berak terbuka (BABS). Ada beberapa penyebab terkait itu, salah satunya tidak diiringi pengetahuan saat jamban dibagikan. Atau, karena masyarakat tidak dilibatkan penuh dalam proses (pembangunan jamban umum) tersebut. sehingga ada jarak. Jangan kaget akhirnya, jika masih saja ada Kota Besar di Indonesia yang tinggi BABS masyarakatnya.

Selain prilaku berak, fasilitas juga memegang peranan penting. Dalam hal pengelolaan dan peran serta penyelenggara negara.

Contoh kasus di kota Makassar.

Dengan peluncuran program Sistem Layanan Lumpur Tinja Terjadwal (LLTT) sejak Agustus 2015, Makassar diharapkan mampu terbebas dari segala masalah kesehatan yang terkait pengelolaan lumpur tinja. Program ini berangkat dari kenyataan bahwa dari 1,3 juta jiwa penduduk Makassar, masih ada 13 % yang melakukan BABS.

Angka tadi berhubungan dengan data Kementrian Lingkungan Hidup per Desember 2013, sekitar 75% badan-badan air tercemar limbah domestik di Indonesia. Tidak terkecuali kota Makassar. Mulai dari sungai Jeneberang, Sungai Tallo, hingga kanal Jongaya. Menurut data yang sama, kandungan bakteri coliform dan fecal coliform yang terkandung dalam ketiga badan air tadi melebihi ambang batas.

Misalnya sungai Jeneberang (salah satu sumber air baku dari PDAM Kota Makassar), total pencemaran coliform mencapai 35.000/100 ml dari ambang batas maksimum 10.000/100 ml. Tidak jauh berbeda juga dengan cemaran fecal coliform mencapai 2.300/100 ml dari ambang batas maksimum 2.000/100 ml.   

Kedua jenis cemaran itu (coliform dan fecal coliform) akan menjadi parasit patogen, yang berujung munculnya E.Coli dalam sumber air baku. Walau penanganan air minum tingkat rumah tangga telah berkembang dari memasak hingga menggunakan Air RahMAT, tetap saja yang sulit dihindari adalah agen penyebaran penyakit yang melalui lalat (Diagram F).   

***

Akhirnya, soal berak yang selama ini disepelekan ternyata bisa menjadi tolak ukur kesehatan seseorang atau sebuah komunitas, sekaligus jika prilaku dan fasilitasnya tidak dikelola secara baik akan berujung pada sebuah ancaman.


Pertanyaanya, Sudahkah Anda Berak hari ini?

KAMI TAU HARUS BAGAIMANA BUNG!!!

  
   Kita bertanya :
                             Kenapa maksud baik tidak selalu berguna
          Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga
                                          Orang berkata : “Kami punya maksud baik”
                                                              Dan kita bertanya : “Maksud baik saudara untuk siapa ?”
Sajak: Pertemuan Mahasiswa- Rendra (1977)


Kami tersentak, sekaligus terhenyak, mendadak tersebar melalui viral, secarik resep obat yang sedikit aneh. Ini aneh, bukan karena jenis obat yang dituliskan merupakan varian obat palsu. Atau bukan juga karena obat tersebut sudah memakan korban jiwa. Namun, karena resep obat tersebut dikeluarkan oleh seseorang; atau sebut saja oknum yang memiliki latar belakang Sarjana Kesehatan Masyarakat. Walau bagi masyarakat awam, kata obat dianggap setali dengan kesehatan itu sendiri, jadi sekilas ini bagi mereka biasa-biasa saja.

Namun bagi kami, laku oknum tersebut bukan hal yang lumrah atau lebih tepatnya merupakan bentuk khianat tugas dari seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat. Alasannya, karena dengan adanya kata masyarakat diakhir gelar kesarjanaan itu sendiri, mengisyaratkan lingkup kerja kami adalah kumpulan individu-individu di dalam masyarakat, dan disaat bersamaan selembar resep obat hanya bekerja pada satu individu (saja). Meskipun kejadian tersebut masih perlu sebuah kajian mendalam, minimal latar belakang sehingga muncul “inisiatif” dari oknum SKM tadi.

Bahwa kemudian “inisiatif” oknum tadi merupakan sebuah bentuk kekeliruan yang fatal, kami dengan tegas menyatakan setuju, walau begitu kami juga menolak jika kemudian masalah ini membuat kalian semakin menganggap komitmen persatuan kami yang dilandasi sebuah idealisme merupakan sebuah ruang hampa tanpa penghuni. Karena bagi kami, kalian juga sebenarnya sangat membutuhkan kami, dan itu kalian malu untuk mengakuinya.

Perlu kami tegaskan disini, inisiatif oknum tadi sebenarnya tidak berdiri sendiri. Setidaknya, bisa jadi ini merupakan sebuah fenomena gunung es, yang muncul hanya satu dua kasus saja, dan sebenarnya lebih banyak kejadian di masyarakat seperti itu. Misalnya, bisa jadi oknum tadi sehingga akhirnya berinisiatif untuk menulis sebuah resep obat, sebenarnya karena diperhadapkan pada dua kondisi yang saling berhubungan, pertama, karena pengetahuan dasar yang dimiliki oleh oknum tadi sebelum menjadi SKM, bisa jadi berprofesi sebagai perawat atau bidan, dan yang kedua, karena angka kunjungan fasilitas kesehatan tempat oknum tadi bertugas mengalami jumlah kunjungan yang membludak. Tentunya kita masih ingat bagaimana jumlah pasien di Puskesmas Majalaya Baru, Kabupaten Bandung.

Mungkin kalian merasa sebagai pihak yang paling dirugikan atas inisiatif dari oknum tadi, sepertihalnya kami seringkali merasa dirugikan ketika kalian dalam kesadaran penuh berusaha dengan sungguh-sungguh membajak ruang lingkup kerja kami di lain pihak. Sehingga rasa kecewa kalian, kami bisa pahami, jadi jangan khawatir.

Terlepas dari kejadian kemarin dimana inisiatif oknum tadi yang kesannya menyandera ruang lingkup kerja kalian dan atau ruang lingkup kerja kami yang kalian juga sering bajak, setidaknya kejadian ini membuka mata masing-masing dari kita.

Misalnya, tidakkah pernah kalian bertanya kepada kami, tentang seberapa besarnya kekecewaan kami terhadap kalian yang dengan kesadaran penuh berusaha membajak ilmu kesehatan masyarakat. Dan dengan kejadian ini pun membuat kami tersadar bahwa antara kami dan kalian ternyata memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Sebagai contoh, kami yang merupakan hasil reproduksi kalian, akhirnya dari muasalnya terbuka untuk masuknya dari berbagai latar belakang keilmuan. Bukankah ini salah satu bukti bahwa jika jenis aliran darah yang mengalir dalam tubuh kami awalnya merupakan pembauran dan tidak murni. Ini kita belum berbicara antara kami dan kalian sebenarnya hanya berhubungan secara kebetulan dan bukan murni hubungan genetika.

Atau, kemudian, kami bertanya, kenapa kalian hingga saat ini belum jemu untuk terus mengurusi kami, sedangkan jika mau jujur, kami sudah bukan seperti seorang anak ingusan yang masih banyak bergantung sama orang tua yang sebenarnya berstatus orang tua angkat. Bukan maksud kami untuk durhaka dan melupakan amalan baik kalian terhadap kami, namun sekali lagi ini soalnya pada jati diri kami sesungguhnya.

Contoh lain, yang masih juga terjadi beberpa waktu lalu, ketika kalian menuduh kami memecahbelah. Bukankah ini contoh lain dari bentuk kepanikan kalian, dan secara tidak sadar menjadi seperti laku cinta monyet sepasang muda-mudi dimana cemburu menjadi menu setiap saat diantara mereka. Jadi, apa sebenarnya yang membuat kalian pantas untuk menceburui kami, wahai puan dan tuan sekalian. Entoh, kami merupakan produk kalian beberapa puluh tahun silam.

Kami juga akhirnya mampu dalam membiakkan diri dengan atau tanpa kalian sebenarnya. Ataukah kalian akhirnya sadar bahwa kami ini hanya seperti seperti bahan percobaan yang belakangan ternyata mengalami mutasi genetika. Dan itu sebenarnya diluar perkiraan kalian. Ayolah bung, nasi sudah jadi bubur, kami sudah berbiak, dan tinggal menunggu waktu kami kemudian menjadi lebih kuat dari sekarang. Maksud kami, karena nasi sudah jadi bubur, dan supaya itu bisa tetap menarik untuk dimakan, mungkin biarkan kami mencari beberapa jenis sayur dan sepotong ayam, agar nasi yang sudah berubah jadi bubur tadi bisa menjadi lebih menarik.

Akhirnya, tanpa bermaksud membenarkan laku khianat oknum diatas, kami juga ingin mempertegas dengan kalian, biarkanlah Kami Ber(l)a(n)gam dan Kalian M(e)ono(n)ton, itu saja!!! Karena pelan tapi pasti pada ujung cerita jati diri kami akan semakin kokoh dan ini bukan merupakan bentuk dari mutasi genetika. Karena KAMI TAU HARUS BAGAIMANA BUNG!!! Dan maksud baik sodara untuk siapa??



Golongan Penyusup pada RAKERNAS VI PERSAKMI

Ilustrasi


Mungkin belum terlambat untuk mengucapkan selamat ber-RAKERNAS untuk PERSAKMI. Organisasi yang berisikan para Sarjana Kesehatan Masyarakat yang tersebar diseluruh Indonesia ini melaksanakan Rapat Kerja Nasional yang ke 6 pada tahun ini. Pelaksanaannyapun mengusung tema yang serius: “ Urgensi Menyusun Road Map Pendidikan Profesi Kesehatan Masyarakat Tahun 2016”. Dari segi susunan kata dalam tema tersebut mengandung sikap optimisme akan status PERSAKMI kedepannya sebagai satu-satunya wadah yang dengan bangganya mengakui (hanya) berisi Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Kali ini, bukan susunan kata demi kata yang termaktub dalam tema Rakernas tersebut yang menarik perhatian saya, selain karena tingkat kepercayaan saya terhadap tim penyusun yang sudah melewati beberapa kali kajian yang mendalam untuk kondisi SKM hari ini, juga karena segi optimisme yang terkandung didalamnya yang bagi saya patut diapresiasi secara tulus. Namun saya tertarik dengan beberapa tagar yang tersebar di linimasa sosial media ketika dihubungkan dengan eksistensi organisatoris orang-orang yang ber-swafoto ria di depan x-banner kegiatan atau spanduk kegiatan itu.

Dari beberapa tagar yang beredar, tagar yang menarik perhatian saya adalah PersakmiRumahSKM. Tagar ini ini seakan mengisyaratkan kepada kita, khususnya pemilik gelar SKM diseluruh Indonesia, pernah (minimal merasa) tidak memiliki rumah/wadah. Nah, pertanyaannya kemudian, selama SKM belum memiliki atau minimal menyadari bahwa Persakmi adalah Rumah/wadah mereka yang sah, kemanakah selama ini SKM bernaung. Kenyataannya ada banyak jawaban untuk itu, misalnya kemudian masing-masing SKM  menjadi bagian anggota dari kelompok alumni khusus FKM untuk masing-masing kampus di Indonesia, atau paling sial akhirnya berbaur dengan organisasi  yang mengusung tema kumpulan Ahli Kesehatan Masyarakat atau yang sejenis.

Sial, karena ternyata SKM berusaha menyatu dengan siapapun dan dengan yang memiliki latar belakang keilmuan apapun dalam organisasi tadi hanya karena semuanya menganggap ikut serta dalam upaya kesehatan masyarakat, dan itu, pelan tapi pasti bisa saja menggerus eksistensi seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat, baik kemurnian ilmu kesehatan masyarakat maupun fokus dan lokus dari kesehatan masyarakat itu sendiri.

Pertanyaanya lagi, bagaimana dengan reaksi orang-orang yang baik secara sadar maupun tidak masih bergabung dalam organisasi itu terhadap realitas hari ini bahwa SKM sudah memiliki rumah yang sah bernama PERSAKMI. Bagi saya, orang-orang tadi yang baik secara sadar maupun tidak masih bergabung di organisasi tersebut dan memilih ikut serta dalam RAKERNAS PERSAKMI tahun ini dikategorikan sebagai PENYUSUP.

Jika dibayangkan PERSAKMI sebagai sebuah rumah, kiranya tidak keliru jika secara jujur kita akui rumah ini masih terlalu dini untuk dikatakan sebagai rumah yang sempurna (rumah=wadah) dalam sudut pandang apapun. Salah satunya, misalnya,  karena umur dari rumah ini sendiri yang masih terlalu muda jika dibandingan dengan rumah yang sejenis untuk kalangan tenaga profesional kesehatan lainnya. Juga karena rumah ini, sebelumnya masih sering mengalami pemugaran demi pemugaran (baca: gonta-ganti struktur, persoalan eksistensi organisasi, dll). Namun, jika kita melihat itu (pemugaran demi pemugaran) sebagai bagian dari niatan mencapai bentuk rumah yang lebih sempurna, kiranya tidak mengapa.

Kembali ke para Penyusup tadi. Sebagai sebuah rumah, wajar menurut saya jika ada saja pihak baik perseorangan maupun kelompok yang kurang berkenan dengan semakin jelasnya keberadaan PERSAKMI secara kelembagaan dari masa ke masa. Selain karena akhirnya PERSAKMI dianggap sebagai ancaman bagi organisasi tersebut yang kebetulan sejenis, juga karena semakin meningkatnya optimisme SKM terhadap PERSAKMI itu sendiri. Dan ini merupakan salah satu dari sekian banyak alasan untuk menyusup di RAKERNAS PERSAKMI, selain alasan salah dua, salah tiga, dan seterusnya tentu saja.

Secara garis besar, ada beberapa golongan Penyusup pada RAKERNAS PERSAKMI yang bisa jadi turut hadir tahun ini, diantaranya:

PENYUSUP Penggembira

Golongan pertama ini adalah golongan yang masuk kategori selemah-lemahnya Penyusup. Karena berstatus sebagai penggembira, mereka kemudian tidak punya targetan apapun yang terkait PERSAKMI kedepannya, apa lagi pada RAKERNAS-nya. Selain itu Penyusup golongan ini kebanyakan menjadi Penyusup karena terjebak. Dalam artian, ketika mereka pulang dari acara RAKERNAS, tidak ada sedikitpun yang berubah dari sudut pandangnya terhadap PERSAKMI. Karena kenyataanya, di tempat mereka berasal, PERSAKMI tidak se-eksis di tempat lain.

Atau dengan kata lain, keberadaan PERSAKMI tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap kondisi kerja mereka selama ini, dan justru organisasi lain yang berlabel kelompok ahli kesehatan masyarakat-lah atau sejenisnya yang lebih berpengaruh di tempat asal mereka. Pada kondisi inilah mereka mengalami keterjebakan, karena disatu-sisi lingkungan kerja mereka selama ini hanya mengakui organisasi tadi dan bukan PERSAKMI, akhirnya “memaksa” mereka baik individu maupun kelompok untuk bergabung didalamnya.

Sehingga ketika ada momentum RAKERNAS PERSAKMI, kalaupun dipaksakan memiliki target, bagi mereka RAKERNAS PERSAKMI hanyalah sebagai ajang kumpul-kumpul dan temu alumni SKM lainnya, baik yang berasal dari satu institusi/kampus, atau bahkan hanya dalam rangka mempererat hubungan emosional antara sesama SKM.

PENYUSUP Moderat

Berbeda dengan kelompok golongan sebelumnya, golongan ini paling tidak memiliki beberapa targetan dalam keikutsertaannya di RAKERNAS PERSAKMI. Minimal mereka yang masuk dalam golongan ini, ketika berada ditengah-tengah peserta RAKERNAS PERSAKMI, berusaha mengidentifikasi kuantitas dari anggota PERSAKMI yang tersebar di Seluruh Indonesia. Ini tentu saja masih berhubungan dengan organisasi lain yang berlabel kelompok ahli kesehatan masyarakat tadi atau yang sejenis.

Selain itu, keanggotaan kelompok Penyusup ini pada organisasi tersebut sudah masuk dalam keadaan sadar. Selain karena didorong sikap yang oportunis, juga keanggotaan mereka pada organisasi diatas lebih erat hubungannya dengan jabatan mereka hari ini di masing-masing instansi pemerintah tempat mereka berasal. Namun begitu, niatan untuk identifikasi kuantitas anggota PERSAKMI pada RAKERNAS masih ada hubungannya dengan kemungkinan golongan ini untuk beralihatau berpidah keangotaan dan lebih aktif di PERSAKMI nantinya.

Dengan kata lain, golongan ini senantiasa berparadigma abu-abu (antara hitam-putih) dalam rangka menilai organisasi apapun itu bentuknya. Salah satu penyebab dari cara pandang kelompok ini menjadi demikian ialah traumatik yang berkepanjangan ketika masih menjadi mahasiswa dan memiliki kesempatan untuk aktif dalam lembaga kemahasiswaan. Bisa jadi pengalaman traumatik ini berhubungan dengan kekecewaan yang pernah dialami dalam bentuk apapun.

PENYUSUP Garis Keras

Golongan ketiga ini adalah golongan yang paling kritis dalam melihat segala hal. Selain karena mereka-mereka ini sudah sedemikian jauhnya terlibat didalam organisasi selain PERSAKMI seperti organisasi yang berlabel kelompok ahli kesehatan masyarakat tadi atau yang sejenis, juga karena mereka ingin melihat PERSAKMI semakin jauh dari rasa optimisme dan akhirnya mati dengan sendirinya.

Berangkat dari niatan tersebutlah mereka kemudian hadir dalam RAKERNAS PERSAKMI. Dan untuk itu berbagai upaya mereka lakukan demi mendapat selembar mandat dalam rangka mewakili PERSAKMI cabang yang berasal dari daerah tempat dimana mereka berasal. Sejurus dengan itu, sambil mengasah daya kritis mereka terhadap organisasi sesungguhnya dalam rangka memberikan masukan yang bersifat membangun sehingga lebih mudah untuk “menyerang” PERSAKMI baik secara langsung maupun tidak langsung.

Karena RAKERNAS PERSAKMI kali ini juga mengagendakan pelantikan pengurus PERSAKMI yang berasal dari beberapa DPD atau DPC yang berasal dari seluruh Indonesia, bisa jadi golongan ini juga mengkondisikan masuknya mereka dalam susunan pengurus inti DPD maupun DPC PERSAKMI yang akan dilantik tersebut. Kondisi ini bisa dipahami dalam rangka turut serta berperan aktif dalam merusak organisasi PERSAKMI yang berada di masing-masing daerah di Indonesia.

PENYUSUP Pokemon-Go

Salah satu permainan online dan hanya bisa di mainkan pada perangkat seluler yang berbasis augmented-reality ini sejak peluncurannya sudah diunduh sebanyak 30 Juta kali. Dan menariknya jumlah ini jauh lebih banyak dari pengguna aktif harian untuk jenis sosial media manapun. Permainan besutan John Hanke ini akhirnya menciptkan kehebohan sendiri.

Nah, hubungannya dengan RAKERNAS PERSAKMI terletak pada niatan awal dari masing-masing peserta sebelum mengikuti kegiatan tersebut. Maksud saya, bisa jadi diantara seluruh peserta RAKERNAS PERSAKMI yang berasal dari perwakilan DPD dan atau DPC seluruh Indonesia itu, ada saja pihak atau orang-orang yang berusaha menunggangi kegiatan tersebut untuk mewujudkan keinginan melengkapi jenis pokemon yang didapatkan atau yang dikoleksi. Salah satunya mungkin karena masih berstatus trainer kelompok beginner dalam permainan Pokemon-Go.

Disinilah status Penyusup dilekatkan kepada mereka. Karena keikutsertaan mereka memiliki latarbelakang berganda dan bukannya berangkat dari tujuan utama untuk melihat PERSAKMI lebih maju kedepannya serta berangkat dari rasa optimisme yang mulai menguat antara SKM itu sendiri.
Hasilnya, bisa dibayangkan, untuk golongan Penyusup ini lebih banyak meninggalkan kegiatan-kegiatan inti dari RAKERNAS PERSAKMI demi mencari jenis-jenis pokemon untuk ditaklukkan/di-trainer. Dan dengan begitu, tanpa disadari, mereka juga memberikan kontribusi aktif terhadap kemunduran dari PERSAKMI. Makanya mereka masuk dalam kategori Penyusup.
*
Akhir kata, tentunya besar harapan kita, dari semua yang hadir dalam RAKERNAS PERSAKMI ke 6 tahun ini tidak ada satupun yang berstatus sebagai Penyusup. Jikapun ada, semoga mereka cepat atau lambat menyadari, bahwa sebuah tindakan sia-sia kiranya kemudian membendung optimisme yang terbangun dari kami para pemiliki gelar SKM itu sendiri. Apalagi jika itu kemudian berangkat dari anggapan bahwa PERSAKMI akan mati dengan sendirinya.

Karena walau umur PERSAKMI masih tergolong muda, setidaknya dengan optimisme yang terbangun hari ini melalui kegiatan demi kegiatan yang menyatukan kami akhirnya memberi gambaran seberapa kuatnya persatuan yang tercipta diatara kami. Dan bukankah hanya SKM-lah yang paling pantas berbicara tentang SKM itu sendiri, ini juga termasuk hanya SKM yang pantas menentukan nasibnya sendiri.


WAHAI SKM BERSATULAH!!!

SKM BERSATU TAK TERKALAHKAN!!!

SKM dan Pemberdayaan (?)


Pemberdayaan. Kata ini begitu menyihir, setidaknya untuk beberapa belas tahun belakangan. Sebegitu menyihirnya, sehingga kata ini sudah sangat fasih dilekatkan dengan berbagai aspek dalam kehidupan sehari-hari. Melalui kata ini pula, sebagian dari kita memberi harapan besar terhadap berbagai permasalahan yang masih menjadi bagian dalam kita berbangsa saat ini. Dan ini tidak lepas dari persoalan kemiskinan yang selalu fluktuatif, setidaknya jika mengacu pada angka-angka yang disampaikan para pengelolah negara melalui lembaga negaranya.

Jika mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, pemberdayaan itu sendiri bermakna proses, cara, perbuatan memberdayakan. Sedangkan memberdayakan disini bermakna membuat berdaya. Dan berdaya adalah berkekuatan; berkemampuan; bertenaga atau mempunyai akal/cara/dan sebagainya untuk mengatasi sesuatu. Atau jika kita merujuk pada kata dasarnya adalah daya yang bermakna kemampuan melakukan sesuatu atau bertindak.

Dari batasan pembardayaan tadi, akhirnya memberi sedikit gambaran kenapa kemudian pemberdayaan senantiasa dilekatkan pada sebuah kondisi yang disebut dengan miskin/kemiskinan itu sendiri.  Harapannya, kemiskinan dengan serta merta teratasi dengan pemberdayaan dilain pihak. Sehingga jangan kaget dengan berbagai program yang berlabel pemberdayaan untuk rakyat miskin juga senantiasa “diperkenalkan” oleh pengelolah negara hari ini. Walau bagi sebagian pihak, pemerintahan kali ini masih sulit menerima konsep pemberdayaan, karena kurang terukur untuk jangka pendek, katanya.

Disaat bersamaan akhirnya, kondisi tadi hanya membikin kita bersepakat bahwa rakyat yang menjadi miskin itu adalah karena tidak berdaya tanpa kemudian memperhatikan berbagai faktor lain yang justru hanya memperteguh rantai kemiskinan itu sendiri, misalnya akses transportasi. Semoga ingatan kita belum menghapus kosep miskin absolut.

Pemberdayaan dan Aspek Kesehatan

Bagaimana dengan aspek kesehatan?. Ini juga tidak jauh berbeda. Berbagai program pengelola negara hari ini yang baik sedang berlangsung maupun yang telah usai, selalu melekatkan kata pemberdayaan dalam program kesehatan, baik secara kasat mata maupun dalam bentuk yang nyata. Satu sisi ini merupakan sebuah kemajuan dan layak diapresiasi, walau disisi lain dengan tidak diikutkannya dengan berbagai bentuk nyata dari sebuah konsep pemberdayaan masyarakat itu sendiri untuk dibidang kesehatan adalah hal yang menyedihkan tentunya.

Salah satu contoh dari bentuk implementasi pemberdayaan masyarakat-setidaknya ini menurut mereka- dibidang kesehatan adalah program nusantara sehat. Secara garis besar program ini sendiri dilaksanakan dibawah naungan Kementrian Kesehatan. Dan, program tersebut, salah satunya berangkat dari sebuah kajian distribusi tenaga kesehatan yang dilakukan oleh Kementrian Kesehatan pada tahun 2012. Berdasarkan informasi itu akhirnya dilahirkanlah program nusantara sehat, dengan harapan persoalan distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata di Indonesia bisa diatasi, selain itu segala bentuk permasalahan kesehatan juga turut teratasi.

Adalah tahun 2014 kemudian program ini diujicobakan pada empat kabupaten di 4 Propinsi Indonesia (Prop. SUMUT, KALBAR, MALUKU, dan PAPUA). Dan keberhasilan dari program tersebut-klaim Kementrian Kesehatan juga- mampu meningkatkan angka kunjungan masyarakat di fasilitas kesehatan tingkat pertama yang dalam hal ini adalah PUSKESMAS.

Sekilas hal ini bisa menjadi sebuah angin segar, setidaknya berhasil menterjemahkan program Jokowi dalam Nawa Cita yang menginginkan pembangunan Indonesia dimulai dari pinggiran. Namun itu hanya sekilas, jika dua kilas, ada beberapa hal bisa menjadi pertanyaan serius jika kata meragukan masih terlalu kasar. Yang pertama, apakah memang persoalan kesehatan masyarakat kita dipengaruhi oleh distribusi tenaga kesehatan sajakah?

Dengan sebuah program yang mengusung konsep berbasis tim, akhirnya diharapkan distribusi tenaga kesehatan semua daerah yang berada di pinggiran Indonesia bisa teratasi. Sekali lagi, bagi saya pola pikir ini masih berparadigma sakit. Karena masalah kesehatan masyarakat, tidak semata berhubungan rendahnya angka kunjungan, apalagi jika dihubungkan dengan berbagai budaya masing-masing daerah.
Sebagai ilustrasi, dengan formasi tim program nusantara sehat untuk masing-masing puskesmas atau fasilitas kesehatan lainnya yang berjumlah lima hingga sembilan orang (syarat dan kondisi yang berlaku menurut Kementrian Kesehatan) ditempatkan selama 2 tahun. Harapannya adalah hingga daerah yang menjadi sasaran dari program tersebut mampu memenuhi kebutuhan tersebut secara mandiri.

Artinya, sejak dari awal program ini, masih terlalu malu-malu untuk secara full berjibaku meningkatkan derajat kesehatan. Karena masih menaruh harapan yang besar hanya terhadap distribusi tenaga kesehatan itu sendiri. Hal inilah yang bagi saya adalah bentuk lain dari sebuah konsep paradigma sakit. Dengan sebuah tanggung jawab tim untuk meningkatkan angka kunjungan saja hanya bagian terkecil  dari sebuah konsep meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Salah satunya, karena bisa jadi rendahnya angka kunjungan di sebuah fasilitas kesehatan tingkat pertama bukan karena terbatasnya jumlah tenaga kesehatan, namun karena berhubungan dengan aksebilitas terhadap fasilitas kesehatan itu sendiri (karena Puskesmas hanya melayani untuk ruang lingkup kecamatan).  Atau bisa juga rendahnya angka kunjungan di fasilitas kesehatan tersebut, karena sebagian tenaga kesehatan misalnya Dokter tidak terlalu lama melakukan pelayanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama.

Atau kita juga bisa berbicara kasus membludaknya jumlah kunjungan pada Puskesmas Majalaya Baru, Kabupaten Bandung. Jumlah kunjungan yang banyak itu bukan karena Puskesmas ini adalah salah satu sasaran program Nusantara Sehat, atau bukan juga karena Puskesmas ini memiliki jumlah tenaga kesehatan yang mumpuni. Satu-satunya alasan melimpahnya jumlah kunjungan tersebut adalah karena Puskesmas ini terletak sangat strategis, selain itu untuk ke fasilitas kesehatan lain, paling tidak masyarakat harus menempuh waktu selama 2 jam.

Dari dua perbandingan diatas bisa sedikit mendapat gambaran, mengapa program pengelola negara untuk bidang kesehatan masih terlalu jauh dari niatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Hal kedua yang jadi pertanyaan serius, dengan memberikan bekal seperti materi bela negara atau sebuah keahlian medis/non-medis serta harapan pelaksanan program-program pemberdayaan masyarakat, dan disatusisi mentikberatkan pada peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan untuk konteks sebuah fasilitas kesehatan tingkat pertama , laksana menggabungkan air dan minyak dalam satu wadah dengan harapan kemurnian air tetap terjaga. Kenapa, karena antara peningkatan akses dan kualiatas layanan kesehatan dalam sebuah fasilitas kesehatan dan program pemberdayaan masyarakat adalah dua bentuk yang saling bertolak belakang.

Ketika kita berbicara tentang akses dan kualitas pelayanan sebuah fasilitas kesehatan, disaat bersamaan kita juga mengakui akan tingginya angka kesakitan masyarakat dalam sebuah wilayah, setidaknya ini menurut petugas kesehatan tadi. Sedangkan, jika merujuk pada makna pemberdayaan masyarakat itu sendiri, kita akan tiba pada kenyataan bahwa persoalan kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat secara langsung wajib disadari (dengan atau tanpa petugas kesehatan tentunya). Nah, dari dua kondisi tadi, bukankah akhirnya jadi bertolak belakang, satu sisi masalah kesehatan pada suatau masyarakat dianggap hanya diketahui oleh tenaga kesehatan, dan disaat bersamaan diaharapkan masyarakat juga menyadari. Sehingga jangan heran jika dilapangan, para tenaga nusantara sehat akhirnya hanya melakukan penyuluhan/sosialisasi untuk aspek pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Atau paling jauh ikut mendampingi tenaga kesehatan yang akan menjalankan tugas harian di fasilitas kesehatan yang menjadi target dari program nusantara sehat tadi. 

Apakah ini keliru, bagi saya belum bisa dikatakan demikian. Karena sosialisasi hanya salah satu bagian dari pemberdayaan masyarakat. Sedangkan salah dua atau salah tiga dan seterusnya masih banyak lagi tahapan dari pemberdayaan masyarakat, sialnya ini tidak atau belum dimasukkan dalam tehnis kemampuan yang harus dikuasai oleh tim nusantara sehat. Disinilah menurut saya peran seorang SKM diperlukan untuk lebih maksimal.

SKM dan Pemberdayaan Masyarakat

Kenapa SKM, karena diantara jenis tenaga kesehatan, hanya SKM yang “berani” memasukkan kata masyarakat dalam gelar kesarjanaanya. Coba bandingkan dengan dengan jenis tenaga kesehatan lainnya. Karena hal tersebut, tidak berlebihan kiranya masyarakat akhirnya menaruh harapan besar pada SKM itu sendiri. Pertanyaanya seberapa siap SKM dalam menjawab harapan besar tadi.

Dari sekian banyak literatur yang menjelaskan tentang kapan pertama kali SKM lahir dan siapa yang membidani, setidaknya bisa diambil kesimpulan bahwa seorang SKM itu lahir dari FKM sebuah universitas di Indonesia adalah efektif di era 70-an. Walau proses berdirinya sebuah FKM itu sendiri sudah mulai dirancang sejak 1965. Sedangkan niatan tersebut sebenarnya berangkat dari berbagai permaslahan kesehatan masyarakat yang terjadi di Indonesia.

Dari kondisi tersebut, akhirnya SKM angkatan pertama tadi, melalui kurikulum yang disusun pada tahun 70an itu mewajibkan seorang calon sarjana kesehatan masyarakat untuk magang dilapangan selama setengah tahun hingga satu tahun dalam rangka perencanaan dan pendidikan kesehatan dalam sebuah program kesehatan pada lokasi yang menjadi tempat magang tadi.

Bagaimana dengan sekarang, jika mengacu pada hasil-hasil RAKERNAS AIPTKMI IX di Padang, dalam kurikulum FKM yang wajib diterapkan pada semua tidak terlihat secuilpun semangat untuk menitikberatkan pada skill/kompetensi seorang SKM seperti yang termaktub dalam kurikulum pertama SKM tadi. Walau kemudian acara tersebut atau saya lebih suka menyebutkan sebuah dagelan/lawakan, semangatnya ingin menciptakan delapan kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang SKM, tetap saja itu hanya kulit yang membungkus demi terwujudnya sebuah niatan untuk mewajibkan kepemilikan STR bagi calon sarjana tersebut.

Point saya bukan STR itu tidak penting, cuma masih belum dibutuhkan oleh seorang SKM saat ini. selain karena kurikulum yang wajib diterapkan di semua Universitas tadi yang masih miskin atau hampir tidak ada yang menguatkan secara tehnis kedelapan kompetensi tadi, juga karena adanya tumpang tindih antara uji kompetensi itu sendiri dengan rangkaian ujian akhir seorang calon sarjana Kesehatan Masyarakat.

Sedangkan jika mengacu pada UU No.12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, tertuang pada pasal 44 ayat 2 :” Serifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan organisasi profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi kepada lulusan yang lulus uji kompetensi ”. Pertanyaanya kemudian, organisasi manakah yang merupakan organisasi profesi dari SKM itu sendiri.  

Atau lebih jauh lagi kita bertanya, apakah pantas kemudian SKM menjadi sebuah profesi saat ini. ini dengan asumsi bahwa seorang SKM diwajibkan mempelajari hampir seluruh peminatan yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat itu sendiri. Ini menurut saya cukup penting untuk kembali dipertegas, karena ditengah arus tarik menarik dari berbagai pihak untuk mengklaim bahwa SKM itu (bisa) menjadi sebuah profesi, apakah sebagai seorang SKM atau calon sekalipun, pernah bertanya secara jujur kepada diri sendiri bahwa sudah pantaskah SKM dikatakan sebagai profesi.

Karena kata kunci dari sebuah profesi adalah keahlian ( Pasal 44 ayat 1, UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi). Sejalan dengan itu dengan masih beragamnya peminatan dan disaat bersamaan sangat terbatas jumlah peminatan yang akhirnya dengan berani mendeklarasikan dirinya untuk menjadi profesi, hanya menambah daftar panjang akan waktu yang dibutuhkan bagi seorang SKM untuk menjadi sebuah profesi tentunya.


Dus, jika SKM saja belum selesai pada perdebatan layak tidaknya disebut sebagi sebuah profesi, bagaimana mungkin kemudian kita berharap pada kemampuan seorang SKM untuk melaksanakan sebuah bentuk pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, selain hanya menitikberatkan pada penyuluhan/sosialisasi saja nantinya. Ini kita belum melihat secara detil isi kurikulum yang termaktub dalam hasil-hasil RAKERNAS AIPTKMI IX tadi, yang masih menaruh harapan besar pada pelaksanaan Praktek Belajar Lapangan untuk mengasah kemampuan/skill seorang SKM dilapangan.  

Oh iya, apa kabar dengan RAKERNAS PERSAKMI??

Surat Tertutup Untuk Anak-Cucuku Kelak



Dear anak-anakku dan cucu-cucuku kelak,

Apa kabar nak, semoga kalian senantiasa dalam keadaan sehat tidak kurang sesuatupun.

Jadi begini nak, kutuliskan surat ini dengan harapan suatu saat nanti, kalian berdua akan membaca surat ini, setidaknya memahami kondisi hari ini pada konteks kalian kedepannya.

Kalian tau Kota Makassar nak?

Iya betul, itu kota kelahiranku. Kota yang terletak di bagian tengah Indonesia ini, merupakan salah satu kota yang terkenal dengan berbagai jenis kulinernya, mulai dari coto, sop konro, sop sodara, pisang hijau hingga pisang epe.

Bukan itu saja nak, kota makassar sudah terkenal sejak abad ke 16, karena Makassar menjadi salah satu pusat perdagangan    yang dominan di Indonesia Timur, sekaligus menjadi salah satu kota terbesar di Asia Tenggara.

Selain itu nak, antara tahun 1971 hingga 1999, nama Makassar pernah diganti dengan nama Ujung Pandang oleh penguasa pada zaman itu, entah dengan pertimbangan apa.

Makassar hingga kini merupakan salah satu kota di kawasan timur Indonesia yang tersibuk dan terpadat. Salah satu buktinya adalah perkembangan jumlah penduduk di kota Makassar dari tahun ketahun sangat signifikan, tercatat tembus di angka kurang lebih 20% (BPS-2013).

Makanya nak, jangan kaget jika suatu saat nanti ketika kalian berkunjung ke kota kelahiranku, jumlah penduduknya sudah lebih banyak dari sekarang. Di tahun 2013 saja jumlah penduduk yang kota Makassar sudah mencapai angka 1,6 juta jiwa. Bisa dibayangkan 10 hingga 20 tahun kedepan.

Dengan jumlah penduduk yang cenderung bertambah dari hari kehari juga meniscayakan akhirnya sebuah perkembangan, atau meminjam terminologi para penyelenggara negara yaitu pembangunan. Kita ambil contoh infrastruktur yang berhubungan dengan ekonomi. Sekarang saja, jumlah pusat perbelanjaan yang secara arsitektur berupa bangunan tertutup dengan suhu diatur dan memiliki jalur untuk berjalan yang teratur sehingga berada diantara toko-toko kecil yang saling berhadapan (Mall) di kota Makassar sudah menyentuh angka sembilan buah. Dan sudah barang tentu, bukan tidak mungkin akan terus bertambah.

Kembali lagi nak, ini merupakan keniscayaan dari sebuah konsep modernisasi. Dan kota Makassar sudah melalui berbagai ciri pokok dari modernisasi tersebut, mulai dari: proses bertahap, homogenisasi, westernisasi, hingga perubahan progresif. Salah satu contoh modernisasi adalah keberadaan Mall di kota Makassar, sependek yang saya tahu nak, awalnya mall di makassar hanya ada 2 buah yaitu Makassar Mall  dan Maricaya Mall. Tidak cukup beberapa tahun kemudian berdiri Mall Ratu Indah, dan seterusnya.

Disatu sisi nak, keberadaan mall tadi menjadi penanda akan peningkatan daya beli masyarakat, namun disisi yang lain sebenarnya hanya memperteguh relasi kelas sosial yang ada di Kota Makassar. Yang menarik nak, ketika menurut Brundtland Report dari PBB-1987 mengatakan konsep sustainable development (Pembangunan Berkelanjutan) merupakan bagian dari modernisasi, dengan tujuan tidak mengorbankan atau mengurangi kebutuhan generasi akan datang, iya, generasi kalian nak. Namun apa yang terjadi nak, mengambil contoh pembangunan mall, justru hanya menjadikan Makassar langganan banjir dari tahun ke tahun. Disini lagi titik kontradiksinya nak!

Selain ancaman banjir tadi, modernisasi kota Makassar juga berdampak pada hilangnya ingatan kolektif kita tentang hal yang berhubungan dengan Makassar. Untuk konteks modernisasi Makassar, mungkin tidak berlebihan nak, jika ingatan kita kembali pada Teori Wacana dan Kekuasaan milik Michel Foucault. Beliau menyatakan konsep kekuasaan yang berbeda dari yang lain. Menurutnya ciri kekuasaan itu tersebar dan tidak dapat dilokalisasi. Bisa jadi inilah yang menjadi dasar dari para penyelenggara negara khususnya dari tingkat pemerintah provinsi Sulawesi Selatan hingga pemerintah kota Makassar.

Tahukah kau nak, salah satu yang menjadi daya tarik wisatawan baik domestik maupun international untuk berkunjung ke Makassar adalah keberadaan Pantai Losari dengan bermacam dagangannya dimalam hari. Saking terkenalnya, konon pantai losari pernah mendapat predikat tenda terpanjang karena sejauh 2 Km saling sambung menyambung. Dan beberapa penjual makanan dan minuman di tempat tersebut sangat terkenal, karena selain nikmat juga tentunya murah.

Walau jumlah pasti pedagang pada waktu itu tidak sempat kami hitung, namun satu hal yang pasti nak, pada waktu malam pantai losari jadi meriah layaknya pasar malam, karena selain pedagang makanan dan minuman pantai losari juga dipenuhi dengan profesi yang lain, dari pengemen hingga tukang semir sepatu. Namun kini kondisi tersebut hanya tinggal ceritaku kepadamu nak.

Belakangan, atau tepatnya tahun 2006, Pantai Losari mengalami perombakan besar-besaran. Mulai dari dalil mengembalikan fungsi ruang publik hingga penertiban dalam rangka memperindah bentuk Pantai Losari kemudian dilafazhkan  oleh para penyelenggara negara pada waktu itu. Untuk itu kemudian para pedagang yang tadinya berada di sepanjang pantai losari, berangsur-angsur dipindahkan ke bagian selatan, atau tepatnya pantai Laguna.

Oh iya nak, Pantai Laguna ini kami sebut Taman Gajah, karena disitu, dulunya terdapat taman bermain yang juga dilengkapi beberapa patung binatang yang sangat mirip dengan aslinya, baik ukuran maupun bentuk.

Pindahnya mereka (pedagang makanan dan minuman, serta para pengamen dan lain-lain) ke Pantai Laguna, hanya memperburuk keadaan mereka secara finansial. Karena bukannya jumlah pengunjung bertambah justru hanya berkurang berangsur-angsur. Dan sekali lagi nak, hal ini tidak menjadi perhatian para penyelenggara negara saat ini.  

Untuk sekedar kalian ketahui nak, pantai Losari dulu bagi kami sangat romantis. Karena walau Pantai Losari tidak seperti pantai kebanyakan yang terkenal dengan pasir putihnya, Pantai losari menawarkan bentuk romantisme yang lain, yaitu kita bisa menikmati momentum tenggelamnya matahari (Sunset) di sore hari dengan sempurna.

Namun nak, belum usai permasalahan relokasi pedagang pantai losari, para penyelenggara negara kembali lagi melakukan hal yang justru hanya berdampak pada hilangnya ingatan kolektif kita tentang pantai Losari nantinya. Pembangunan Mega Proyek Center Point Of Indonesia (CPI) di Makassar. 

Iya nak, bisa jadi ketika kau membaca surat ini CPI telah berdiri dengan megahnya. Taukah kau nak, pantai losari kembali lagi yang “korban” untuk membangun CPI. Karena untuk mendukung CPI, setidaknya total area laut yang akan direklamasi adalah 150 Ha. Luas bukan nak? Dan bayangkan nak, untuk menutupi daerah seluas itu dibutuhkan material sebanyak 5.000.000 m3!

Ini kita belum berbicara tentang ekosistem mangrove yang akan terancam hilang di enam Kecamatan, karena pembangunan CPI tadi. Atau reklamasi tadi akhirnya menggusur 45 KK yang tinggal di daerah pesisir yang mendiami lahan seluar 10 Ha. Selain itu nak, ternyata reklamasi tadi akhirnya menghilangkan mata pencaharian 456 nelayan!

Banyak hal yang kemudian sebenarnya menjadi masalah dari CPI itu sendiri nak. Secara analisis dampak lingkungan, Reklamasi tadi mempercepat proses pendangkalan daerah rawa di Kecamatan Tamalate, sehingga masyarakat sekitarnnya akan terancam dilanda banjir rob akibat proses reklamasi tadi.

Ketika para penyelenggara negara berdalih CPI didirikan, diperuntukan bagi masyarakat. Ini merupakan kebohongan nak!ingat itu!, Karena jika merujuk pada bangunan peruntukannya di CPI sendiri, akan berdiri kawasan perdagangan dan jasa, pelabuhan, industri, RTH, perkantoran, pergudangan, Energi Centre, Bisnis Global. Artinya kelompok masyarakat kelas yang mana menurut para penyelenggara negara kepadanya diperuntukkan pembangunan CPI kira-kira nak?

Jadi nak, jangan heran jika kalian nanti merasa iri dengan kami, ketika kalian menikmati keindahan proses terbenamnya matahari di Pantai Losari sudah tidak gratis seperti kami saat ini. Atau ketika kalian mendapati rusaknya ekosistem laut disekitar CPI dan berdampak pada 11 Pulau kecil yang berada dalam wilayah kota Makassar.

Selain iri kepada kami, kalian nanti nak, pasti akan miris dengan kami hari ini, dengan atau tanpa sengaja justru hanya berkonstribusi terhadap berbagai kerusakan, disatu sisi justru mengorbankan ingatan kolektif kita tentang Pantai Losari.

Namun Nak, ketika surat ini kami tulis nak, kami tengah berupaya mendesak para penyelenggara negara untuk meninjau kembali gagasan reklamasi yang include dalam megaproyek CPI di Makassar. Walaupun beberapa hari yang lalu, telah ditandatangani kontrak pembangunan CPI oleh KSO Ciputra Yasmin dan PT. Boskalis International Indonesia, tapi kami tetap semangat nak, untuk menyelamatkan pemandangan indah sore hari yang gratis di Pantai Losari.

Sedikit gambaran betapa berat gerakan kami saat ini nak, ketika para pemimpin di Sulawesi Selatan (Sulsel) hanya sibuk berbicara tentang perebutan kursi pada momentum Pilkada Gubernur Sulsel yang akan dilaksanakan tahun depan (2017) atau wacana Bupati yang ingin jadi Raja, kami tetap konsisten melakukan penolakan terhadap Reklamasi Losari Nak!. Konsistensi kami mulai berupa parade poster TOLAK REKLAMASI atau TOLAK CIPUTRA ketika momentum car free day di Sepanjang Jalan Penghibur (Jalan Penghibur berada didepan Anjungan Pantai Losari), hingga diskusi maraton dari kampus ke kampus.

Bisa dibayangkan kan nak?bagaimana kami saat ini yang hidup dizaman dimana pergeseran paradigma sudah merupakan hal yang niscaya. Ketika makna sebuah ruang spasial yang sebelumnya diukur berdasarkan takaran nilai budaya yang sakral pada gilirannya dimaknai berdasarkan nilai jual yang profan. Tapi kami tetap semangat nak, demi kalian dan cucu kami kelak!!

Akhir kata, hari ini kami cuma bisa berucap:

TOLAK REKLAMASI LOSARI!!!

TOLAK CIPUTRA!!!!

MAKASSAR TOLAK REKLAMASI!!!


Yogyakarta, 29 Maret 2016



Disclaimer gambar:
Suasana Pantai Losari tahun 2001, sumber: google.com

Lelucon (satir) dari Timur



Pernah dengar, membaca atau menonton Mob (anekdot khas)Papua?, iya, itu adalah rangkaian cerita atau adegan yang merupakan sketsa hidup yang disajikan dalam bentuk narasi, lisan maupun film. Yang menarik dalam sebuah Mob Papua ialah senantiasa menampilkan kejadian sehari-hari. Bentuknyapun beragam mulai dari sebuah percakapan, hingga sebuah kondisi yang menggilitik. Serta disetiap Mob selalu menitikberatkan pada berbagai kejutan yang senantiasa diluardugaan dari kita sebagai penikmat,  dan disitulah kelucuannya terjadi.

Selain itu, kelucuan tersebut juga memberi pesan ke kita bahwa dengan menertawakan diri sendiri bisa memberi dampak positif pada diri kita, setidaknya semakin mengenal akan kekurangan dalam diri sendiri.

By the way,  kali ini saya tidak akan bercerita Mob Papua. Selain itu sudah banyak tersaji disekitar kita, juga karena pemilik TV swasta Nasional yang lagi gencar kampanye Mars Partai sudah memberikan tempat khusus acara yang berisi tentang Mob Papua. Dan juga ketika Mob Papua berisi sketsa sehari-hari yang dianggap lucu (setidaknya bagi penikmat), diruang yang berbeda ternyata sebuah kejadian cukup menggelikan atau lebih tepatnya satir telah terjadi di Propinsi paling Timur Indonesia itu.
*
Papua, sebuah provinsi yang konon betuknya menyerupai kepala burung cendrawasih ini senantiasa selalu menarik untuk diperhatikan. Diperhatikan disini dalam arti sepenuhnya, mulai dari keadaan alamnya yang konon masih banyak yang belum tersentuh hingga potensi pariwisata yang terkandung didalamnya. Dan tak lupa juga potensi Sumber Daya Alamnya yang melimpah, sudah barang tentu menjadi “perhatian khusus” International.

Bahkan tidak berlebihan kiranya, jika kondisi diatas menjadikan salah satu alasan sehingga pertemuan antara kelompok kecil pejabat Departemen Luar Negeri dan Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat George Ball di akhir Agustus 1965 menegaskan bahwa Indonesia palng tidak sama pentingnya dengan seluruh Indocina. Walaupun konteks pernyataan tadi ada hubungannya dengan invasi Amerika ke Vietnam serta kondisi geopolitik dunia saat itu, tetap saja tidak bisa lepas dari hubungannya dengan Sumber Daya Alam yang terkandung di sebuah negara.

Asumsi ini semakin diperkuat dengan kondisi pasca transisi berdarah 65, Soeharto kemudian mengeluarkan UU Modal Asing; UU No.1 Tahun 1967. Yang isinya kurang lebih sebuah justifikasi kegiatan meneer  Langbourne Williams untuk meneruskan proyek Ertsberg. Dan kondisi tadi ditandai dengan terbentuknya Kontrak Karya Pertama (KK-1). Terlapas dari berbagai kondisi politik yang melatari dari saat itu atau bagaimana bentuk pembagian bagi negara, keberadaan KK-1 ternyata berlanjut terus.

Karena bentuknya KK-1, sekiranya banyak hal yang menajdi tanggung jawab pihak pertama dalam hal ini meneer  Langbourne Williams yang mewakili perusahaanya terhadap Pihak Kedua yang dalam hal ini Indonesia. Antara lain kewajiban untuk mengantisipasi segala bentuk ancaman yang sewaktu-waktu bisa terjadi di sekitar pelaksanaan proyek Ertsberg, yang juga sudah berganti menajdi sebuah perusahaan multiinternational.

Selain berbagai bentuk persoalan yang terjadi di Pulau paling Timur Indonesia itu beberapa belakangan, entah itu berhubungan dengan Papua yang senantasa memanas, atau intensitas perang suku yang sudah jadi hal lumrah, ada juga sebuah kejadian menarik yang terjadi baru-baru ini. Dan ini ada hubungannya dengan keberadaan aktivitas perusahaan multiinternational (yang menjadi obyek vital nasional) yang berhubungan dengan penambangan disana.

Adalah pada awal bulan April tahun ini, masyarakat kabupaten Mimika atau tepatnya yang mendiami sekitar kargo Dok Amamapare dikagetkan oleh kematian jutaan ikan yang mendadak. Akibat dari kematian ikan ini juga berdampak pada ekonomi masyarakt pesisir yang mendiami daerah tersebut. Yang mana, bangkai ikan yang merupakan varian ikan penghuni laut dalam ini memproduksi sejenis cairan menyerupai minyak yang akhirnya menutupi hampir menyeluruh pada permukaan pertemuan sungai dan laut tadi.

Sehingga akhirnya berpengaruh pada sistem ekologi di perairan kargo Dok Amamapera ini sendiri.
Awalnya ini belum menjadi masalah setidaknya bagi pemerintah setempat atau bahkan obyek vital nasional tadi, hinga kemudian masyarakat yang diwakili oleh Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro (Lemasko) melaporkan kondisi ini. Perlu diketahui bersama fungsi dari kargo Dok ini merupakan tempat penyimpanan limbah pembuangan sisa penambangan sebelum pengangkutan untuk dimusnahkan (karena limbah tambang masuk kateogri B3).

Karena ini adalah Mob Papua, dimana lucunya?

Jadi begini, bagi pihak yang berkepentingan, kematian ikan-ikan tersebut bukan masalah sampai Lemasko melaporkan ini ke mereka. Dan selang beberapa hari setelah laporan masuk baru Tim Polda Papua bersama perwakilan BLH Provinsi Papua mulai mengusut kematian jutaan ikan disekitar tanggul barat kargo Dok Amamapera. Lucu, karena pengusutan itu bukan sifatnya antisipatif tapi lebih mengarah pada sikap reaksionis belaka.

Hal yang lucu lagi, pasca pengusutan atau lebih tepatnya kunjungan yang sarat akan kesan formalitas itu akhirnya disepakati untuk mengambil sampel dan diteliti. Dan selain perwakilan dari pihak pemerintah, juga menghadirkan pihak pengelola kargo Dok yang notabene pemilik dari sedimen limbah B3 buangan penambangan tadi. Lagi-lagi hasil dari uji laboratorium dari pengelola Kargo Dok sudah bisa diramalkan akan tidak merugikan pihak mereka.

Sketsa komedi ini semakin mengocok perut sehubungan dengan pernyataan pihak terkait. Misalnya titik tekan dari perwakilan POLDA Papua yang menginginkan hasil uji laboratorium yang sama dari masing-masing instansi (lucu kan?). Alih-alih mengungkap kebenaran akan kematian ikan tadi, ternyata baik pihak pemerintah yang diwakili oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan atau pemilik  sedimen limbah B3 mempunyai hasil yang sama, yaitu kematian ikan merupakan fenomena alam.

Bagi saya yang awam akan persoalan tersebut, tetap saja merasa sebuah keanehan sekaligus sesuatu yang lucu terjadi disana. Pertama, jika betul itu merupakan bagian dari fenomena alam, kenapa jenis ikan yang mati merupakan penghuni laut dalam. Ini menarik, mengingat limbah buangan tambang yang merupakan kategori B3 akan bersedimentasi pada wadah pembuangan, dan bukan tidak mungkin kematian ikan penghuni laut dalam tersebut berhubungan erat dengan sedimentasi tadi.

Yang kedua, jika betul itu merupakan bagian dari fenomena alam, kenapa konon sejak berdirinya kargo Dok Amamapera ini tidak pernah terjadi kondisi serupa. Atau dengan kata lain, penjelasan logis dari fenomena alam jika kematian ikan  di tempat tadi adalah ketika itu sudah merupakan kejadian berulang. Selain itu, jika betul ikan ini melakukan migrasi, pertanyaan mendasarnya kenapa lokasi yang dituju merupakan pertemuan air tawar dan air laut yang notabene bukan merupakan bagian dari habitatnya?

Yang ketiga, jika maksud dari para penyelenggara negara untuk menghindari keresahan masyarakat dengan mengeluarkan pernyataan ini berhubungan dengan fenomena alam, seharusnya sebelumnya melakukan antisipatif. Langkah antisipatif ini bisa berupa lebih memaksimalkan peran dari masing-masing pihak yang terkait, yang dalam hal ini Badan Lingkungan Hidup. Karena dengan menyerahkan sepenuhnya pengolahan limbah pada si pemilik, sebenarnya masih sangat beresiko untuk terjadinya pencemaran. Dan bukankah ketika Lemasko melapor sebenarnya sudah bentuk keresahan masyarakat, jadi niatan mencegah keresahan sebenarnya untuk siapa?

Dan yang terakhir, konon kematian jutaan ikan tadi sudah lebih dulu diketahui oleh pemilik limbah penambangan. Serta secara diam-diam setelah mengetahui bahwa Lemasko melapor pada pihak terkait, mereka kemudian melakukan pembersihan terhadap bangkai ikan tersebut disekitar kargo Dok Amamapera. Sehingga tim Polda Papua dan BLH Provinsi Papua hanya mendapati sisa-sisa dari bangkai ikan tersebut.

Kalau cerita tadi betul, bertambah lagi sebuah adegan lucu dipertontonkan pada saat itu. Karena kondisi pembersihan itu, setidaknya bisa bermakna dua. Pertama, sebagai bentuk pembelaan diri dari pemilik limbah terhadap tuduhan jumlah ikan mati yang membludak. Yang kedua, memperlihatkan kepada Tim, bahwa mereka masih konsisten terhadap pelaksanaan kewajiban yang tertuang dalam Kontrak Karya.
**
Harapan Lemasko berakhir pada keberadaan lembaga Wahana Lingkungan Hidup (WALHI). Melalui Walhi, Lemasko berharap terungkap kejadian di tanggul barat Kargo Dok Amamapera merupakan akibat dampak buruk dari pengendapan Tailing buangan limbah penambangan. Walau sebenarnya mereka (Lemasko) sudah mengetahui hal tersebut, mereka tetap berharap Walhi untuk mengungkap ini berdasarkan hasil uji laboratorium yang independent

Semoga saja.


Dan ini bisa jadi merupakan dampak buruk dari sebuah bentuk upaya pembangunan yang niatan awalnya meningkatkan kesejahtraan masyarakat Indonesia khususnya yang berada di sekitar sungai Yamaima, Mimika, Papua.



Disclaimer gambar:
Ribuan ikan yang mati di Sungai Yamaima, Papua. Sumber gambar: menentukan.wordpress.com