Digitalisasi PBL; Lelucon Kampus 2019




Kemarin sore, menjelang malam gawaiku bergetar. Tiga kali berturut-turut. Karena letaknya dikantong celana, jadi kuabaikan saja. Paling-paling pesan, begitu aku membatin sambil melanjutkan aktifitasku. Tidak lama kemudian benda kecil berjuluk kotak Pandora tadi kembali bergetar. Dengan sedikit rasa malas tanganku, bergerak ke kantong celana dan mengeluarkannya. Kuusap layar ponsel pintar. Ternyata ada pesan masuk. Isinya berupa tautan berita terkait rencana digitalisasi PBL kampus tempatku memperoleh gelar sarjana. 

Bagi yang asing dengan istilah PBL, akan saya jelaskan.

Jadi begini, PBL adalah sebuah akronim dari Praktek Belajar Lapangan. Dalam kurikulum, spesifik untuk Fakultas Kesehatan Masyarakat(FKM), PBL adalah sebuah mata kuliah. Hukumnya Fardhu'ain bagi mahasiswa. Dari bentuknya, PBL mirip dengan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Bedanya, PBL (waktu dahulu kala) dilakukan dalam empat tahapan. Konon sekarang hanya tiga kali saja. Selain itu PBL dijalani mahasiswa sebelum mata kuliah KKN dibelanja oleh mahasiswa.

Salah satu kemiripannya dengan KKN, ialah mahasiswa harus tinggal di masyarakat dalam kurun waktu tertentu. Karena hal itu pula, pengampu mata kuliah tadi menugaskan mahasiswa untuk melakukan beberapa hal. Mulai dari identifikasi masalah hingga menentukan bentuk kegiatan. Bagian terakhir ini biasanya dikenal dengan istilah intervensi.

Akumulasi dari beberapa tahapan tersebut, harapannya ada "sumbangsih" mahasiswa FKM pada daerah yang menjadi lokasi PBL pada gilirannya. Sekali lagi, harapannya.
Kita kembali pada tautan berita yang tersebar lewat pesan berantai tadi.

Setelah mengetahui info berbentuk artikel pada media online tersebut, secara tidak sadar jempolku tertarik untuk membacanya.

Eureka!

Ternyata para pengelola PBL kampus tempatku berasal tertarik untuk melakukan digitalisasi PBL. Ini menarik!

Tapi, tunggu dulu. 

Dari semua tautan berita yang ada, saya belum temukan tafsir digitalisasi PBL secara utuh. Karena semuanya menjelaskan bahwa digitalisasi (hanya) pada kuesioner. Tidak lebih.

Lelucon apalagi ini?

Konyolnya, judul berita dengan berani menyandingkan kata Digitalisasi dan PBL. Alih-alih PBL sebagai keseluruhan rangkaian dalam mata kuliah akan terkonversi dalam digitalisasi, ternyata hanya bagian kuesioner saja.

Ah, semoga ini hanya kesalahan penulis berita saja, aku berdoa dalam hati.

Karena jika berita tersebut benar adanya, adalah kemubaziran energi jika hanya peralihan bentuk analog ke digital sebatas kuesioner. Bukankah dalam tahapannya, PBL bukan hanya identifikasi masalah --dalam bentuk kuisioner--saja.

Kalaupun para pengampu mata kuliah ini berdalih bahwa hasil PBL (berbentuk karya ilmiah) akan dipublikasikan dalam jurnal yang terindeks Scopus, pertanyaan lanjutannya atas nama apa atau siapa hasil PBL berbentuk karya ilmiah itu masuk. Jika atas nama fakultas, bagian mana dari proses ini akan meningkatkan kompetensi mahasiswa secara langsung ?

Lebih celaka lagi jika nantinya atas nama orang yang notabene adalah staf pengajar dan atau pengampu/pengelola. Sekali lagi ini bentuk baru pembodohan mahasiswa di era millenial.
Pembodohan, karena saat mahasiswa usai berpeluh keringat mengumpulkan data, melakukan prioritas masalah, melakukan urunan untuk intervensi, dan berdarah-darah saat evaluasi akhir, ujungnya si dosen mencicip pengakuan keberhasilan. Apalagi jika jurnal tersebut akan terindeks di Scopus.

Jika ini benar, kampus sepeninggal saya 12 tahun silam belum berubah ternyata. Masih doyan memposisikan mahasiswa laiknya sapi perah dengan selimut kegiatan akademis. Ini bahaya!!

Secara garis besar, saya pribadi bersepakat dengan gagasan digitalisasi PBL. Dengan catatan, peralihan analog ke digital mempertimbangkan 3 hal. Pertama, proses tersebut wajib dilakukan secara menyeluruh dalam tahapannya. Jadi, bukan hanya tahapan-tahapan tertentu saja. Terlebih jika niatan tersebut adalah selubung dari fenomena akademisi malas menulis.

Kedua, digitalisasi PBL harus diikuti dengan mematangkan konsep PBL terlebih dahulu. Misalnya, memasukkan penguatan kapasitas mahasiswa bidang pemberdayaan masyarakat lebih dulu. Untuk ini sudah saya bahas disini. Setelah itu, pelaksanaan PBL seharusnya menempatkan masyarakat sebagai subyek dan bukan obyek. Selebihnya, mahasiswa PBL hanya berperan sebagai fasilitator saja. Tidak lebih.

Ketiga,jika kita bersepakat PBL mirip dengan KKN, seturut dengan itu kita akan bersepakat pula bahwa mata kuliah ini sejatinya menuntaskan tugas Pengabdian Masyarakat dari Tridharma Perguruan Tinggi. Karena itupula agak rancu jika hasil PBL kemudian (hanya) tertuang dalam karya ilmiah semata hanya menyelesaikan penelitian (saja). Tentu saja tanpa diikuti dengan upaya advokasi hasil yang didapatkan di lapangan. Akhirnya pusaran permasalahan kesehatan masyarakat tidak akan selesai. 

                                                                         ***
Akhir kata, tulisan ini hanya bagian dari beberapa kekhawatiran semata. Tanpa bermaksud menyerang secara personal mereka yang juga dulunya adalah senior dan dosen membentuk dalam proses saya meraih gelar kesarjanaan. Satu-satunya sumber kekhawatiran ini ialah gagasan dari mereka-mereka yang terlibat dalam PBL ini.


Saleria, 13 Juni 2019



NB; Banyak yg bertanya berita terkait tulisan saya diatas. Berikut saya lampirkan tautan berita terkait;

http://www.fajarpendidikan.co.id/fkm-unhas-kembangkan-digitalisasi-pbl/

https://gadingnews.info/2019/06/12/kembangkan-digitalisasi-melalui-pbl-cara-fkm-unhas-tindak-lanjuti-kegiatan-fakultas.html

http://terkininews.com/2019/06/12/Melalui-PBL-Fkm-Unhas-Akan-Kembangkan-Digitalisasi.html



Disclaimer:
Pesan sponsor. Bagi pembaca yang sedang membaca dan dibayar, berikut ini informasi berharga. Dibawah ini urutan untuk mewujudkannya. Bahkan cukup mudah. Mengisi survei dan dibayar. Jika tertarik ikuti langkah dibawah ini;

Pertama, mendaftar lewat peramban disini

Kedua, Isi form yang ada

Ketiga pilih survei yang anda minat ikuti

Keempat, tunggu bayarannya di transfer.





Jadi Pencemar atau Pencegah



Membincang seputar sanitasi, terutama dalam lingkup rumah tangga, bagiku bukan hal baru lagi. Setidaknya, mulai dari tahun lalu sudah mulai saya coba sampaikan. Terlebih dalam laman pribadi ini. Tujuannya cuma satu, masyarakat awam jadi paham masalah mendasarnya. Teristimewa jika itu mengancam namun tidak disadari. Karena bagi saya, cepat atau lambat penanggulangan masalah sanitasi harus diutamakan.

Hari ini, kepala berita salah satu koran nasional membahas khusus soal ini. Bukan tanpa alasan, menurut saya. Untaian kata terurai jadi pokok bahasan dalam koran tersebut berhubungan dengan peringatan hari ini, Hari Toilet Sedunia. Selain itu, juga dalam rangka menarik (sedikit) perhatian kita pada masalah limbah domestic. Sialnya, hingga sekarang masih saja ini belum jadi prioritas. Setidaknya kebanyakan dari kita. Mungkin ada hubungannya dengan “letak” dalam pembagian ruang rumah kita. Dibelakang. Jadi tidak diindahkan.

Namun apakah karena letaknya di bagian belakang rumah, menjadikan bahasan sanitasi ikut-ikutan tidak penting ?Menurut saya, justru sebaliknya. Ini penting. Apalagi mencakup berbagai dampak buruk. Misalnya berpengaruh pada kualitas air.

Jika kita mengacu pada bahasan media cetak tadi, meski sudah ada provinsi dengan akses sanitasi layak diatas 80%, tidak menjadikan program 100 – 0 – 100 di tahun 2019 bisa terwujud dengan mudah. Penyebabnya, jika diakumulasi 30 provinsi dan memasukkan variable akses sanitasi layak, persentasnya hanya menyentuh angka 76%. Ini belum termasuk aspek kepemilikan sarana pengolahan limbah domestic (IPLT) pada tingkat provinsi, baik berfungsi secara optimal atau bahkan belum memiliki. Angka tersebut tentu akan semakin menurun.

Tapi tenang, pengelola negara hingga saat ini baru memasukkan kategori sanitasi layak. Jika dinaikkan statusnya jadi sanitasi aman, akumulasi persentasi akses tadi saya yakin akan turun. Perbedaan mendasar antara sanitasi layak dan aman, telah saya bahas disini.

Meskipun sampel dari media diatas adalah DKI Jakarta, tetap saja kondisi tidak jauh berbeda terjadi 
di provinsi lain. Terutama masyarakat perkotaan. Karena di kota, lahan jadi masalah pokok. Mungkin kita pernah mendengar jarak ideal penampungan tinja dan sumber air (sumur) adalah 10 meter. Dan, mungkin (lagi) jarak tersebut sudah kita (upayakan) penuhi di rumah kita. Namun bagaimana dengan tetangga ?Bagaimana jika penampungan tinja mereka bersebelahan dengan sumber air rumah kita ?Parahnya lagi, jika dari sumber tersebut digunakan untuk minum. Bukankah secara tidak langsung kita minum air tinja tetangga ?Maaf.

Masalah ini belum seberapa, jika ternyata disandingkan dengan fakta prilaku buang air besar sembarang masih jamak. Apalagi jika sumber air baku (sungai, kali, mata air, dll) sebuah sebuah kota jadi sasaran masyarakatnya. Bisa dibayangkan, bukan?

***

Gambaran diatas bukan imajinasi saya semata. Karena jika mau jujur, pernahkah kita bertanya pada keluarga dan orang sekitar, apakah penampungan tinja sehari-hari pernah disedot ?kalaupun pernah, apa penyebabnya? Jika belum pernah, kira-kira kemana tinja yang kita hasilkan setiap hari? Terserap ketanah, tentu saja. Sangat menjijikkan bukan. Apalagi jika diakumulasi dengan jumlah tahun kita hidup.

Saya ambil contoh disini.

Sejak akhir tahun 2016 saya berada di Provinsi Maluku. Tepatnya kabupaten Maluku Tengah. Jika kita mengacu pada koran milik Jakob Oetama hari ini, Provinsi Maluku masuk dalam sepuluh besar provinsi pemilik akses sanitasi layak. Tidak tanggung-tanggung, angkanya menyentuh pada titik 84,6%. Cukup menggembirakan, bukan?

Satu sisi ini cukup menggembirakan. Disisi lain, jika angka tersebut benar adanya tentu masih perlu pemeriksaan lebih jauh. Diantaranya, apa saja kategori dari sanitasi layak tadi ?Pun kita berandai-andai, kategori sanitasi layak tadi adalah penampungan tinja kedap, pertanyaan kembali muncul. Sudahkah 11 kabupaten/kota memiliki sarana pengolahan lumpur tinja ?

Kepemilikan sarana tersebut untuk saat ini tentu jadi soal terpisah pada peningkatan sarana sanitasi. Namun bukan berarti tidak penting untuk jadi perhatian 9 Bupati dan 2 Walikota di Provinsi Maluku. Karena bagaimanapun, jika kita bersepakat bahwa memiliki penampungan tinja kedap adalah sebuah keniscayaan, maka memiliki sarana pengolahan lumpur tinja tingkat kabupaten/kota tadi jadi sebuah keharusan dengan sendirinya.

Akhir kata, dalam rangka peringatan hari toilet sedunia kali ini, sebaiknya kita renungkan pertanyaan; sudah berapa kubik kita dan keluarga turut serta dalam berbagai bentuk pencemaran tanah akibat limbah sendiri ?

Tabik.

Menjadi Tetangga yang Baik

Sumber: www.plukme.com



Membahas manusia, senantiasa menyisakan banyak hal menarik. Diantaranya, terkait tema manusia sebagai salah satu makhluk social. Kenapa saya memasukkan kata “salah satu”, karena bukan hanya manusia satu-satunya makhluk di muka bumi yang mendapat gelar ini. Ambillah contoh; lebah. Mereka juga tergolong makhluk social. Tentu saja ini berhubungan dengan fakta; lebah terbiasa hidup dalam koloni. Benang merah antara masing-masing kelompok makhluk yang hidup secara social adalah altruism.

Terkait sifat altruism dan dengan menggunakan pertidaksamaan (matematika) Hamilton, sebenarnya kita bisa mendapat akar penjelasan terkait sebab manusia adalah makhluk social. Ialah, hubungannya pada kesuksesan mekanisme tubuh manusia menyalin gen altruism pada manusia lain yang memiliki ikatan karabat (darah). Disaat bersamaan gen tersebut jadi fondasi tercipta hubungan antara manusia dengan manusia yang lain.

Namun begitu, memiliki gen altruism tidak melulu berdampak baik. Salah satu dampak buruk ialah tercipta ketergantungan antar sesama manusia. Dalam artian, selama ketergantungan tadi maknanya jadi saling menguntungkan tentu tidak soal. Tapi, saat kondisi yang tercipta hanya menguntungkan sebagian manusia atas manusia lainnya, ihwali pengisapan manusia atas manusia akhirnya tidak tercegah. Inilah dampak buruk dari gen altruism.

Berbicara gen altruism, kita akan sulit melewatkan kenyataan gen itu ada hubungannya dengan kondisi terkini; manusia hidup berdampingan. Bahasa sederhananya, bertetangga. Dan ini satu fakta yang sulit dipungkiri. Meskipun Zygmunt Bauman secara metaforis menenggarai penyebab gerak perubahan sosial (manusia) karena maraknya “turisme”, “ziarah”, dan “petualangan”, tetap saja keberadaan tetangga dalam kelompok manusia tidak bisa dihilangkan begitu saja.

Sejarah manusia hidup bertetangga

Sebelum lanjut dengan metagagasan manusia hidup bertetangga dan kesehatan masyarakat, menurut hemat saya penting untuk tahu sejarah manusia hidup bertetangga terlebih dahulu.

Dari berbagai dokumen terkait sejarah perkembangan manusia dalam hidup berdampingan, faktanya; manusia mulai hidup dalam koloni-koloni di suatu tempat dan tidak berpindah-pindah (nomaden) lagi ialah sejak 10.000 tahun silam. Salah satu tanda dari kondisi ini ialah “Revolusi Neolithik”, meminjam istilah Gordon Childe (The Most Ancient East, Roudledge 1928). Revolusi ini sendiri bermakna: saat manusia menemukan cara untuk menerobos keterbatasan sosio-kultural adalah menghasilkan agricultural, system kepercayaan/ideology yang terorganisir, serta ledakan pendudukan. Sebagai penanda Revolusi Neolitik ini terjadi saat zaman Perunggu.

Salah satu hal yang mendorong revolusi perkembangan manusia ketika zaman perunggu ialah saat 12.000 tahun silam ketika zaman es berakhir. Dampaknya, banyak tercipta daratan dan oase kecil bermunculan. Dengan serta-merta “memaksa” hewan dan manusia hidup berdekatan dengan sumber air. Hal lain dari berakhirnya zaman es ialah punahnya hewan-hewan besar. Setelah sebelumnya menjadi sumber makanan manusia lewat bangkai ketika diantara hewan-hewan tadi saling memangsa. Dalam artian manusia saat itu dapat makanan lewat memulung bangkai hewan mati.   

Setelah manusia akhirnya memutuskan hidup dalam gerombolan dan menetap pada satu tempat, masalah tidak selesai. Selain akhirnya mendorong manusia untuk bercocok tanam, masalah pemenuhan kebutuhan protein hewani muncul. Disinilah, budaya domestifikasi hewan menemukan ruang untuk dimulai. Seiring berjalannya waktu, persoalan baru kemudian mengemuka, yaitu: ancaman terkait kebersihan lingkungan yang buruk dan sanitasi buruk.

Berdasarkan kenyataan tersebut, kita dapatkan fakta; permasalahan (kebersihan) lingkungan dan sanitasi buruk sudah ada sejak pertama kali manusia memutuskan untuk hidup bergerombol ketika zaman perunggu. Artinya, kebersihan lingkungan yang buruk dan sanitasi adalah masalah klasik saat manusia hidup bertetangga.

Bagaimana dengan sekarang?

Jadilah Tetangga yang Baik

Baru-baru ini, saya mengikuti sebuah bengkel kerja. Kegiatan ini sendiri pemrakarsanya adalah program terkait sanitasi dan air minum dan diadakan oleh sebuah lembaga yang dibiayai masyarakat asal negeri paman Sam. Dalam kesempatan tersebut hadir pula para undangan dari wakil kelompok masyarakat sipil, perwakilan lembaga pemerintahan bidang kesehatan (setingkat provinsi), dan juga wakil lembaga pemerintah bidang perencanaan tingkat nasional.

Dalam pertemuan tersebut, diperkenalkan jargon perubahan prilaku; “ Menjadi Tetangga yang Baik”.
Jika kita kembali pada fakta saat manusia pertama kali hidup bertetangga, maka salah satu masalah yang muncul adalah kebersihan lingkungan dan sanitasi buruk. Tiba pada keadaan tersebut, jargon “Menjadi tetangga yang baik” menurut saya jadi sangat relevan. Ada dua landasan argumen untuk mendukung tingkat relevansinya.

Pertama, aspek sejarah perkembangan manusia. Berdasarkan informasi diatas, sejak 10.000 tahun silam ketika manusia mulai hidup bertetangga masalah pertama yang muncul ialah tersangkut kebersihan lingkungan dan sanitasi, tidak berlebihan kiranya jargon ini jadi menemukan tempat untuk diterapkan. Selain itu, untuk konteks Indonesia, menjadi tetangga yang baik tentu saja jadi tantangan tersendiri. Terutama untuk masyarakat yang hidup di perkotaan (Urban).

Bukan apa-apa, saat masyarakat kota berhadap-hadapan dengan berbagai masalah terkait kemiskinan, ketimpangan ekonomi, serta ancaman bencana ekologis dalam hidup bertetangga secara tidak sadar kita sering terjebak ke kubangan individualistik nan egois akut. Jadi jangan heran jika semuanya berujung pada sikap masa bodoh dengan sekeliling kita, termasuk didalam itu para tetangga.

Landasan argumentasi kedua dari jargon diatas ialah; jawaban permasalahan masyarakat kota. Seperti yang kita ketahui bersama, beberapa waktu silam Badan Pusat Statistik telah merilis persentasi masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan. Bayangkan, sampai menyentuh angka 52 %, tidak hanya itu, bahkan ada kecendrungan bertumbuh tiap tahun. Jika sebatas angka saja tentu tidak masalah. Tapi, bagaimana jika angka tadi disandingkan dengan luas wilayah perkotaan.

Tentu saja masalah (kembali) bermula.

Dengan jumlah luas kota yang tidak bertambah, namun penghuni semakin banyak, niscaya akan bermuara pada tanggung jawab pada lingkungan. Sekali lagi tidak terkecuali saat hidup bertetangga. Soalnya bukan sebatas kemampuan tebar senyum pagi hari ke tetangga, namun pada sebarapa mengerti kita pada kewajiban bersama dalam hidup bertetangga. Salah satunya, seberapa aman dan nyaman tetangga kita terhadap segala bentuk tindak laku kita. Misalnya, apakah tangki penampungan tinja kita tidak mencemari sumber air tetangga?           

Nah, kenyataannya, dengan hamparan luas perkotaan yang tidak bertambah memaksa rumah yang dibangun tentunya akan berdekatan. Atau dengan kata lain, perumahan di perkotaan itu padat. Disaat bersamaan, jika mengacu pada PermenPUPR 33/2016 tentang jarak “ideal” antara sumber air (sumur dangkal) dan tangki penampungan tinja adalah diatas 10 meter. Bukankah ini mustahil. Pun, kita mampu membangun dengan jarak yang sesuai dengan aturan tersebut, pertanyaannya, bagaimana dengan rumah tetangga?

Disinilah jargon “Menjadi Tetangga yang Baik” menemukan tempat untuk bekerja. Bentuknya bisa dengan memastikan tangki penampungan tinja kita tidak menjadi penyebab tercemarnya sumber air tetangga. Bagaimana caranya? Tentu saja dengan membikin tangki penampungan tinja di rumah kita kedap. Ini bukan satu-satunya solusi tentu saja, minimal, satu potensi masalah antara hidup bertetangga jadi terhindar. Terutama untuk menjawab tantangan bangunan rumah yang padat di perkotaan.

Namun, apakah jargon ini selamanya bisa bekerja. Menurut saya tidak juga. Terutama bagi mereka yang mengidap ochlophobia (takut akan keramaian).

Jadi, jika anda tidak mampu menjadi tetangga yang baik, saran saya, sebaiknya periksa diri ke psikiater. Jangan-jangan anda pengidap ochlophobia.

Tabik.

FAKTA AIR MINUM DAN KERANGKA KERJA MODEL INTEGRASI PRILAKU

Sumber gambar: Beritasatu.com


Membincang perubahan prilaku, menyisakan beberapa pertanyaan. Salah satunya, bagaimana bentuk perubahan prilaku saat dihubungkan dengan kesehatan masyarakat. Salah duanya, terkait panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk terciptanya perubahan prilaku itu sendiri.  Dan masih banyak lagi.

Salah satu rujukan yang bisa digunakan dalam mendedah ihwal perubahan prilaku adalah Psikologi Komunikasi besutan Jalaludin Rakhmat. Dalam buku itu, dengan ciamik Kang Jalal (begitu orang-orang memanggilnya) menjelaskan segala hal yang berhubungan dengan komunikasi. Mulai dari aspek psikologi, hingga berbagai faktor yang mempengaruhi komunikasi yang efektif.

Berangkat dari kondisi itu, membicarakan perubahan prilaku menjadi sedemikian menariknya. Selain berhubungan dengan kesehatan masyarakat, juga karena kita sulit ingkar pada frasa “ Tidak ada yang tidak berubah di bawah matahari”. Dari sinilah saya akan memulai membahas terkait perubahan prilaku itu sendiri.

Jika titik berangkat kita pada kajian komprehensif  Kang Jalal, mendedah perubahan prilaku bisa dimulai pada faktor-faktor personal yang mempengaruhi prilaku manusia ( Hal: 32). Menurutnya ada dua hal bisa menjadi perhatian, pertama melalui pendekatan yang berpusat pada personal dan kedua melalui pendekatan yang berpusat pada situasi. Untuk yang pertama kita akan mempertimbangkan berbagai hal yang berhubungan dengan kebiasaan, sikap, motif, instink, dan lain sebagainya. Dan untuk yang kedua berhubungan dengan aturan, normal sosial, dan lain sebagainya.

FAKTA AIR MINUM

Beberapa hari yang lalu, saya berkesempatan gabung dalam sebuah kegiatan Bengkel Kerja Penyusunan Strategi Perubahan Prilaku Dan Pemasaran Sektor Air Minum, Sanitasi, Dan Prilaku Hygiene. Kegiatan ini sendiri diprakarsai oleh USAID, BAPPENAS, dan KEMENKES di Jakarta. Dalam kesempatan tersebut berbagai lembaga/organisasi mengambil bagian. Baik itu organisasi pemerintah maupun lembaga non pemerintah. Mulai dari tingkat kabupaten/kota hingga lembaga International.

Yang mencengangkan ialah paparan terkait fakta air minum, bahwa kadar E.Coli pada air minum tingkat rumah tangga adalah 67%, dan kadar E.Coli pada air minum pada sumber adalah 89% (Survei Kualitas Air; UNICEF dan BPS, 2015). Menariknya lagi, untuk pilihan teknologi pengolahan air minum jenis memasak  ternyata tidak ada pengurangan signifikan dari kadar E.Coli itu sendiri. Masih dalam survei yang sama, didapatkan fakta bahwa berkurangnya E.Coli dalam air minum tidak sampai 10%.

Terlepas dari lokasi survei tersebut adalah di Yogyakarta, tetap saja informasi diatas cukup mengganggu, bukan? Karena bisa jadi ini juga terjadi pada 99 kota dan 416 Kabupaten di Indonesia.
Selain terkait kualitas air minum, dalam kegiatan yang sama, program USAID IUWASH PLUS berkesempatan juga memaparkan hasil Study Formatif pada 9 Provinsi ( Sumatra Utara, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, dan Papua) di tahun 2017.

Fakta pertama dalam studi formatif tersebut adalah terkait akses air minum. Dari tiga tahapan (Observasi, survei rumah tangga, FGD, dan Wawancara mendalam) didapati bahwa cakupan air minum yang paling banyak adalah bersumber dari air isi ulang (39%). Bahkan air minum yang bersumber dari perpipaan (33%) masih kalah dibandingkan dengan sumur bor sebagai sumber air minum (36%).  

Fakta kedua, terkait pilihan rumah tangga dalam mengolah air sebelum diminum. Dari studi tersebut terungkap bahwa 84,4% rumah tangga memilih untuk memasak. Dan masih ada yang meminum langsung, sebesar 7%.

Jika kita hubungkan fakta kedua diatas dengan Survei Kualitas Air (SKA) yang dilakukan oleh UNICEF dan BPS, terkait kadar E.Coli pada air minum, sebenarnya tidak melulu berhubungan dengan pilihan pengolahan air saja. Hal yang patut dipertimbangkan adalah aspek wadah penyimpanan air minum dan tahapan dalam melakukan pengolahan air  sebelum diminum. Untuk itulah kita bisa lihat dari fakta berikutnya.

Fakta ketiga, 35% responden membersihkan wadah di hari yang sama ketika survei dilakukan. 34,5% responden membersihkan wadah air minum sehari sebelumnya. Dan 22,5% melakukannya kurang dari seminggu. Untuk hal yang terkait dengan tahapan dalam merebus, dari 3458 responden terungkap bahwa 57% menyatakan bahwa langsung mematikan kompor ketika air sudah mendidih.
Apakah tuan dan puan sudah bisa menghubungkan antara SKA dan Studi Formatif ?

Jadi, menurut saya, tingginya presentasi E.Coli pada air minum yang telah direbus bisa jadi berhubungan pada intensitas aktivitas membersihkan wadah penyimpanan air minum tadi. Bahkan, tidak menutup kemungkinan juga dipengaruhi kebiasaan mematikan kompor seketika air dipandang telah mendidih.

Ini jadi masalah, tentu saja. Bagaimana jika hal tersebut dihubungkan dengan perubahan prilaku?

PROGRAM PERUBAHAN PRILAKU

Pada hari kedua masih pada kegiatan bengkel kerja tersebut, kami kemudian menyusun fakta-fakta yang dipaparkan hari pertama ke dalam sebuah strategi bentuk kegiatan atau program. Alat yang digunakan adalah Kerangka kerja Model Integrasi Prilaku WASH (MIP WASH). Alat ini masih tergolong baru, setidaknya menurut saya.

Secara sederhana MIP WASH ini adalah metode berfikir sistem yang mencakup 5 tingkatan dihubungkan dengan tiga aspek. Untuk tingkatan, imulai dari tingkatan paling bawah adalah kebiasaan individu. Tingkatan selanjutnya adalah Perorangan, kemudian diikuti dengan tingkat rumah tangga, selanjutnya komunitas, dan yang tertinggi adalah sosial.

Sedangkan untuk tiga aspek yang ada antara lain: aspek kontekstual, aspek psikososial, dan terakhir dengan aspek teknologi.

Sebagai contoh tingkatan kebiasaan individu ketika dihubungkan dengan aspek teknologi, kita akan bisa melihat fakta bahwa hal ini berhubungan dengan kemudahan dalam menggunakan teknologi tersebut. Artinya, sebuah teknologi akan dengan mudah diterima jika lebih mengutamakan kemudahan dalam menggunakannya.

Atau contoh lain, saat tahapan rumah tangga ketika dihubungkan dengan aspek psikososial melulu berhubungan dengan norma sosial, rasa malu, dan aspirasi yang terakumulasi.

Dan seterusnya.

Kita kembali pada kegiatan bengkel kerja dua hari ini. Setelah memberi penjelasan singkat terkait kerangka kerja MIP WASH ini, kemudian kami peserta dibagikan beberapa informasi/fakta yang muncul ketika studi formatif dilakukan. Setelah itu dipilah dan dipasang pada kolom potongan tahapan dan aspek tadi.

Faktanya juga beragam. Mulai dari fakta yang berhubungan dengan regulasi (tahapan sosial dan aspek kontekstual), Lokasi bagunan sarana sarana air minum (tahapan komunitas dan aspek teknologi), hingga nilai diri, pengetahuan, rasa jijik (tahapan perorangan dan aspek psikososial).
Dari sini kemudian, akhirnya peserta bisa menentukan bentuk intervensi/kegiatan apa yang bisa dilakukan terkait perubahan prilaku itu sendiri.

Hasilnya beragam.

Di penghujung hari kedua, peserta bengkel kerja akhirnya tersadar bahwa kerangka kerja MIP WASH ini sejatinya bisa digunakan dalam menentukan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat. Dan tidak hanya terikat pada soal air minum dan sanitasi saja.

***

Tentu saja kegiatan ini merupakan angin segar dengan catatan peserta bengkel kerja yang juga berasal dari perwakilan sembilan provinsi mampu menerapkan kerangka kerja MIP ketika menyusun berbagai program kesehatan masyarakat. Namun akan menjadi sia-sia jika wakil dari pemerintah hanya menikmati fasilitas mewah dari tempat pelaksanaan kegiatan tersebut, dan tidak lebih.


Entahlah.  

Disclaimer:
Pesan sponsor. Bagi pembaca yang sedang membaca dan dibayar, berikut ini informasi berharga. Dibawah ini urutan untuk mewujudkannya. Bahkan cukup mudah. Mengisi survei dan dibayar. Jika tertarik ikuti langkah dibawah ini;

Pertama, mendaftar lewat peramban disini

Kedua, Isi form yang ada

Ketiga pilih survei yang anda minat ikuti

Keempat, tunggu bayarannya di transfer.