Tampilkan postingan dengan label Kesehatan Masyarakat. Tampilkan semua postingan

BELAJAR DARI JAMBI

Sumber Gambar: www.kbr.id

Inspeksi mendadak (sidak) Gubernur Jambi pada Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mataher menyisakan sebuah pertanyaan. Terutama pada arah kebijakan pelayanan kesehatan masyarakat di Republik ini. Walaupun inisiatif sang Gubernur yang juga bekas publik figur dalam dunia hiburan tidak lepas dari “desakan” konstituen, tetap saja masalah ini erat hubungannya dengan persoalan mendasar kesehatan masyarakat di Jambi, dan Indonesia keseluruhan.

Masyarakat Jambi menaruh harapan besar pada sang Gubernur untuk berperan aktif dalam menyelesaikan masalah pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan milik pemerintah. Dan akhirnya terwujud. Pada Jumat tengah malam, rumah yang sejatinya menjadi tempat untuk mendapatkan panasea berubah menjadi sebuah tribunal tenaga kesehatan.

Sontak kejadian ini memancing reaksi, terutama dari beberapa organisasi profesi kesehatan yang menjadi “korban” pada malam kelam itu.

Pertanyaanya, apakah tenaga kesehatan adalah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap segala permasalahan kesehatan masyarakat?

Tidak.

Masalah kesehatan masyarakat di Republik ini sejatinya melibatkan semua pihak. Mulai dari pemerintah, tenaga kesehatan, hingga masyarakat itu sendiri. Ini penting, karena buruknya pelayanan kesehatan adalah bagian dari masalah kesehatan dan juga berhubungan kerangka sistem kesehatan yang kompleks.

Misalnya peran pemerintah. Jika kita mau jujur, penanganan masalah kesehatan masyarakat di Republik ini masih belum dianggap prioritas. Bahkan anggaran belanja untuk kesehatan menempati urutan kelima. Itupun, dalam pengalokasiannya masih berorientasi pada pengobatan/rehabilitasi dibandingkan dengan promosi dan pencegahan. Bukankah ini juga masalah.

Selain itu peran serta aktif masyarakat dalam kesehatan masyarakat juga masih menjadi masalah dilain pihak. Masyarakat secara sadar menyerahkan sepenuhnya penanganan masalah kesehatan hanya kepada pemerintah, dan disaat bersamaan lupa bahwa kesehatan masyarakat bisa terwujud jika kesehatan individu mencapai titik optimal. Tentu saja ini berhubungan dengan bagaimana pola pikir masyarakat kita dalam melihat dan melaksanakan keempat terminologi kesehatan tadi (pengobatan, rehabilitasi, pencegahan, dan promosi).

Jika pemerintah merasa sudah memberikan hak masyarakat melalui alokasi anggaran kesehatan dan masyarakat menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah untuk menangani masalah kesehatan masyarakat, maka sial bagi tenaga kesehatan yang berada ditengah-tengah kedua kelompok tersebut.
Tenaga kesehatan kemudian dibebani tanggung jawab yang sedemikian beratnya, tanpa memperhatikan sisi manusia dari masing-masing mereka. Karena merasa sudah mengalokasikan anggaran kesehatan yang sesuai dengan amanat undang-undang, seolah tugas pemerintah sudah selesai. Dan merasa paling berhak untuk menjadi hakim terhadap tenaga kesehatan yang dimilikinya.

Pada titik inilah masalah kesehatan masyarakat akhirnya tidak teratasi. Bagaimana tidak, disaat seharusnya antara ketiga kelompok itu bekerja sama, yang terjadi justru hanya pada kelompok tertentu semua dibebankan.


Maksud tulisan ini bukan untuk membela laku mangkir pada jam tugas tenaga kesehatan. Ini semata-mata mengajak kita untuk melihat persoalan ini lebih jauh lagi. Terlebih lagi sebagai bagian masyarakat kita seharusnya tidak lepas tangan terhadap masalah kesehatan masyarakat. 

SUDAHKAH ANDA BERAK HARI INI(?)




“BACOOO, SUDAH MOKO BERAK?” teriak Indo’ dari dapur yang tengah menyiapkan sarapan

“BLUMPI MAK, SEMENTARA PROSES INI?” teriak Baco dari Kamar Mandi.

“KENAPAKAH LAMA SKALI?, MAU KA BERAK JUGA INIEEE”

“SABAR SAI KI’, MAK, AGAK KERAS INI TAI KU” 
(suatu ketika di sudut Kota Makassar)

Sekilas, pertanyaan ini seolah menjijikkan dan jorok. Setidaknya bagi mereka yang scatophobia akut, atau tidak sadar sedang mengalami scatophobia tingkat terendah yang biasa disebut rasa jijik berlebihan. Namun siapa sangka, baik “keluaran”, “capaian”, maupun “pengaruhnya”, ternyata berdampak positif pada kesehatan. Tidak tanggung-tanggung, bahkan melalui berak, manusia bisa dikatakan sehat atau tidak.

Meminjam sudut pandang Badan Kesehatan Dunia, tentang Sehat, adalah suatu keadaan sejahtera fisik, jiwa, dan sosial yang memungkinkan hidup secara produktif sosial dan ekonomi. Maka berak dan segala hal yang berhubungan dengannya, bisa dimasukkan tiga pendekatan kondisi Sehat menurut Badan Kesehatan Dunia tadi. Misalnya, pertama, dengan berak memberi bukti manusia secara biologis-- organ pencernaannya—bekerja (fisik) .

Dan, berak juga punya aturan main sendiri. Ini hubungannya dengan sistem pencernaan dalam keadaan bermasalah atau tidak. Ketika lambung mengirim signa  ke usus akan berdampak pada bentuk dan intensitas berak akhirnya.

Kedua, hubungannya dengan sensasi (kejiwaan) pascaberak. Kenikmatan. Iya, nikmat, bukan?. Sehingga tidak berlebihan kiranya jika keadaan setelah berak akhirnya disejajarkan (hampir) sama dengan sensasi pascaorgasme saat manusia bersetubuh. Karena melalui keduanya akan menghasilkan kenikmatan meski dalam kadar yang berbeda.

Ketiga, walaupun berak secara fisik dan kejiwaan menyehatkan, ternyata juga ada hubungannya dengan (status) sosial seseorang. Sebagai contoh, jika seseorang yang cukup terpandang di sebuah kampung, namun tidak memiliki tempat untuk berak yang sehat di rumah  , akan jadi sebuah pertanda buruk. Pertanda buruk dari segi kesehatan bagi masyarakat sekitar. Apatah lagi terhadap penilaian mereka yang berasal dari luar kampung itu.

Maka, Nikmat Berak lagi manakah yang bisa kalian pungkiri?

Lebih jauh saat berbicara berak, kita tidak akan bisa lepas dari tiga komponen inti yang jalin kelindan. Pertama, aktivitas berak itu sendiri, yang kemudian kita sebut dengan prilaku berak. Kedua, keluaran dari prilaku berak tadi, atau yang kita kenal dengan sebutan tahi. Ketiga, fasilitas yang berhubungan dengan berak itu tadi.

Prilaku Berak

Sebagai sebuah aktivitas yang tergolong purba, berak sudah ada sejak manusia di ciptakan. Karena itu, berak menjadi bagian dalam keseharian kita. Menariknya, aktivitas yang tergolong purba ini, belakangan mengalami makna peyoratif. Sehingga, menjadi sedemikian risihnya untuk dibicarakan secara terbuka. Khususnya mereka pengidap scatophobia. Padahal, berak merupakan salah satu kebutuhan vital setiap manusia yang masih hidup. Atau, mungkin juga karena letak ruang untuk menuntaskan hajat purba itu selalu diletakkan di bagian belakang sebuah rumah atau tempat tinggal. Sehingga prilaku berak yang awalnya (hanya) mengalami eufemisme “ Ke belakang “, makin ke sini lebih dikaitkan dengan kajian antropologisosiologi makro dari kata “belakang” yang identik dengan ketertinggalan, akibatnya eufemisme berubah menjadi peyoratif.

Padahal, berak-tidaknya seseorang sangat berhubungan dengan status kesehatannya.

Secara garis besar, prilaku berak terbagi atas dua golongan besar. Prilaku berak secara terbuka dan prilaku berak secara tertutup. Pembagian ini, tidak berhubungan dengan tampak-tidaknya prilaku itu secara kasat mata (saja), namun ini lebih pada hubungannya dengan bentuk “intervensi” dari tahi yang keluar.

Prilaku berak terbuka, atau yang dikenal dengan istilah Buang Air Besar Sembarangan (BABS) lebih sering dijumpai pada tipe masyarakat holtikultura dan Industri awal, meskipun begitu, masih saja  ada tipe masyarakat industri yang BABS; sepuluh, atau duapuluh keluarga saja.

Pada tipe ini, kedekatan terhadap alam sekitar menjadi salah satu faktor pendorong utama melakukan BABS. Prinsipnya, dengan BABS, mereka merasa menyatu dengan alam sekitar. Syarat untuk melakukan BABS pun sederhana, misalnya, cukup “lokasinya” jauh dari rumah dan berpindah-pindah, atau merupakan tempat yang cenderung bergerak (sungai dan atau laut). Atau, bisa juga hubungannya dengan waktu BABS. BABS tidak akan mungkin dilakukan seharian dalam intensitas sering (kecuali sedang diare). Biasanya memilih waktu-waktu tertentu, misalnya subuh hari atau menjelang malam. Makanya, meskipun BABS itu kesannya dekat dengan alam, tetap saja  ada Syarat dan Kondisi berlaku.

Berbeda dengan prilaku sebelumnya, prilaku berak tertutup lebih menekankan pada kondisi terpusat. Maksudnya, jika prilaku sebelumnya cenderung berpindah-pindah, maka prilaku berak tertutup adalah kebalikannya. Dan, prilaku berak tertutup menitikberatkan pada tata kelola “keluarannya” yang terpusat karena tidak mencemari sekitarnya, misalnya; sumber air baku dan lain-lain. Karena itu, prilaku berak tertutup, lebih erat hubungannya dengan pola pikir dan sikap seseorang. Pola pikir berhubungan dengan pengetahuan terkait berbagai dampak buruk dari BABS. Dan, sikap, lebih erat kaitannya dengan nilai-nilai yang dipercaya.

Kelompok yang berprilaku berak tertutup memiliki pemahaman berbeda dengan kelompok sebelumnya terkait kedekatan dengan alam sekitar. Bagai kelompok kedua ini, kedekatan alam sekitar dibuktikan dengan tidak merusaknya melalui tahi yang tersebar. Meskipun secara jamak, tahi dipercaya mengandung senyawa yang dibutuhkan tanaman, namun jika ternyata bukan hanya tanaman yang menikmati tahi tadi (misalnya lalat), di situlah masalah kesehatan ini bermula.

Bagi mereka yang telah mengetahui hubungan prilaku berak dan sampar, mencegah adalah sebuah pilihan yang paling masuk akal.  Minimal untuk lingkup keluarga mereka, ancaman seperti diare dan “teman-temannya” bisa terhindar. Selain itu, dengan berprilaku berak tertutup juga mencegah mereka dan keluarganya untuk di cap sebagai keluarga yang berprilaku jorok (tidak sehat) secara sosial.  

Jika mengacu pada tipe masyarakat, kelompok kedua ini banyak dijumpai pada masyarakat industri dan pascaindustri, bahkan pada tipe masyarakat hyperindustri.
  
Tahi

Karena berak itu adalah sebuah proses, maka, tanpa sebuah keluaran tentu saja cacat sistem. Dan, bentuk keluaran dari berak disebut tahi. Tahi sendiri lebih sering diabaikan oleh kita. Padahal, tahi bisa menjadi alat tolak ukur keadaan sistem kesehatan kita, terutama yang berhubungan dengan pencernaan. Ini kaitannya dengan warna dan bentuk dari tahi itu sendiri.

Secara garis besar, warna tahi ada enam jenis. Warna-warna ini bukan berjalin sebab dengan warna makanan yang dikonsumsi, namun berhubungan dengan kesehatan dan keadaan pencernaan kita secara khusus.

Pertama adalah warna merah terang. Jika mengeluarkan tahi berwarna tersebut, bisa dipastikan sedang terjadi pendarahan pada saluran usus yang lebih rendah atau lebih dekat dengan anus. Ini termasuk usus besar, atau bahkan sedang mengalami wasir.

Selain warna merah terang, ada lagi tahi berwarna hitam. Jika tahi berwarna merah terang berhubungan dengan pendarahan pada usus yang lebih rendah atau dekat dengan anus, maka penyebab tahi berwarna hitam karena terjadi pendarahan pada saluran pencernaan bagian atas. Atau usus yang letaknya dekat dengan lambung.

Warna lain lagi, adalah warna kuning berminyak dan cenderung lebih busuk. Untuk tahi berwarna ini karena kelebihan lemak yang terkandung. Penyebabnya telah terjadi malabsorbsi, atau bahasa sederhana; tubuh sedang kesulitan untuk menyerap nutrisi dari makanan.

Meskipun warna kuning berminyak lebih terang dibanding warna merah, ternyata masih ada lagi warna tahi terang lain. Warna putih terang. Jika tahi anda berwarna putih, maka bisa dipastikan empedu anda sedang bermasalah. Salah satunya karena empedu tidak mampu menghasilkan cairan  yang cukup dalam perannya untuk mengurai makanan.

Warna tahi juga ada yang hijau, loh. Tahi menjadi berwarna hijau setelah melewati anus karena proses pencernaan makanan di dalam usus bisa dipastikan tidak maksimal dalam arti terlalu cepat. Atau, bisa juga ini disebabkan karena jumlah bakteri E.Coli lebih banyak dari seharusnya. Mungkin, mereka sedang demonstrasi besar karena salah seorang kandidat pemimpin mereka telah melakukan penistaan atau salah satu pasangan dari kalompoknya sedang melangsungkan pesta perkawinan, entahlah.

Pertanyaannya, bagaimanakah warna tahi yang bisa menjadi tolak ukur pencernaan kita sehat? Warna cokelat.

Selain warnanya, bentuk Tahi juga bisa jadi acuan sehat-tidaknya seseorang. Untuk masalah bentuk, secara garis besar terbagi atas dua. Pertama, encer dan kedua, tidak encer. Untuk Tahi yang berbentuk encer, penyebabnya tidak lain karena dalam pencernaan kita sedang terjadi infeksi. Karena demonstrasi besar E.Coli, eh, maksud saya, jumlah E.Coli lebih banyak.

Untuk bentuk Tahi tidak encer, terbagi lagi dalam lima jenis bentuk. Pertama, berbentuk gumpalan kecil menyerupai biji kacang. Penyebabnya makanan yang mengandung unsur serat dan cairan tidak menjadi menu harian. Misalnya, sayur-sayuran atau buah-buahan.

Kedua, tahi yang berbentuk gumpalan lebih besar dari yang pertama. Jika bentuk pertama disebabkan karena kurangnya konsumsi makanan yang berserat dan mengandung cairan, untuk jenis kedua ini tidak jauh berbeda. Perbedaannya hanya, kadar makanan yang mengandung dua hal tadi perlu ditambah sedikit untuk dikonsumsi.

Ketiga, tahi yang berbentuk lonjong lebih mirip sosis. Untuk bentuk yang terakhir ini, bisa dipastikan baik makanan yang dikonsumsi maupun sistem pencernaan kita dalam keadaan sehat dan normal.
Intinya, makanan yang mengandung serat dan cairan sangat dibutuhkan oleh tubuh, terkhusus untuk membantu kerja alat-alat pencernaan. Selain itu, pastikan tidak ada mobilisasi besar-besaran E.Coli ke dalam tubuh kita. Entah itu alasan demonstrasi susulan setelah berubah isu atau terindikasi adanya upaya makar pada sistem pencernaan kita. Untuk yang terakhir ini, tidak perlu cari di google dalangnya, cukup liat saja warna dan bentuk tahi anda.

Fasilitas Berak

Konon, sejak manusia menemukan cara membuat kumpulan tahi jadi terpusat, disaat bersamaan telah berhasil membangun sebuah sistem pengelolaannya. Yang termasuk sistem pengelolaan itu dimulai dengan bangunan tempat pembuangan tahi hingga tempat berkumpul akhir. Karena ini pula, bentuk fasilitas berak dahulu kala hanya berupa lubang kecil dengan kedalaman tertentu. Meskipun masih saja ada yang mempertahankan bentuk (cubluk) hingga kini, revolusi dalam berak dimulai ketika manusia menemukan kloset pertama kali.

Tidak tanggung-tanggung, akibat dari penemuan fenomenal ini berujung pada terciptanya dua kelompok besar. Kelompok yang mempertahankan sistem pengelolaan tahi purba dan kelompok pengusung revolusi dalam berak. Walau akhirnya perbedaan kedua kelompok ini sudah di jembatani dengan penemuan kloset jongkok, tetap saja masih terjadi perdebatan didalamnya. Karena pengusung revolusi dalam berak akhirnya memperkenalkan jenis kloset duduk. Adalah “kenyamanan” yang membuat dua kelompok tadi masih terjebak dalam perbedaan laten.

Untuk wakil kelompok pertama, yang telah menerima hadirnya kloset, meski jenis jongkok, nyaman adalah ketika membuang hajat ada jarak di antara tubuh (selain kaki tempat berpijak) dan kloset. Karena dipercaya tahi mengandung bahan yang kotor. Sedangkan untuk kelompok kedua, yang memilih pakai kloset duduk, tidak demikian. Dengan duduk ketika membuang hajat, tahi yang jatuh ke dalam terhindar dari tersebar (percikan). Sehingga kesan lebih bersih jadi menguat. Karena itu, hotel-hotel bahkan beberapa bandara lebih sering/banyak memasang jenis kloset duduk dibanding kloset jongkok.

Terlepas dari perdebatan kenyamanan, bagi saya, selama berak itu terpusat dan dikelola dengan baik tentu akan menyehatkan. Tata kelola tahi seharusnya berhubungan dengan beberapa prinsip dasar pada fasilitas berak. Mulai dari keberadaan tempat pembuangan (baik yang duduk atau jongkok) hingga tempat berkumpul akhir tahi (septic tank). Antara tempat pembuangan dan tempat berkumpul akhir tahi dihubungkan oleh saluran (pipa). Dan terakhir, pastikan septic tank tadi kedap udara dan terdapat  batu kali pada dasar sebagai pemecah tahi setelah melewati lewat pipa dari kloset. Selain itu, pastikan septic tank jauh dari sumber air baku. Kalaupun harus dekat, harus diperhitungkan khusus. 

***

Untuk konteks Indonesia, ada dua hal yang menarik terkait berak. Pertama prilaku berak dan kedua fasilitas berak.

Meskipun sudah ada program pembagian seribu kloset duduk (jamban) tiap tahunnya ketika Orde Baru, tetap saja masih ada penduduk Indonesia yang saat ini penganut berak terbuka (BABS). Ada beberapa penyebab terkait itu, salah satunya tidak diiringi pengetahuan saat jamban dibagikan. Atau, karena masyarakat tidak dilibatkan penuh dalam proses (pembangunan jamban umum) tersebut. sehingga ada jarak. Jangan kaget akhirnya, jika masih saja ada Kota Besar di Indonesia yang tinggi BABS masyarakatnya.

Selain prilaku berak, fasilitas juga memegang peranan penting. Dalam hal pengelolaan dan peran serta penyelenggara negara.

Contoh kasus di kota Makassar.

Dengan peluncuran program Sistem Layanan Lumpur Tinja Terjadwal (LLTT) sejak Agustus 2015, Makassar diharapkan mampu terbebas dari segala masalah kesehatan yang terkait pengelolaan lumpur tinja. Program ini berangkat dari kenyataan bahwa dari 1,3 juta jiwa penduduk Makassar, masih ada 13 % yang melakukan BABS.

Angka tadi berhubungan dengan data Kementrian Lingkungan Hidup per Desember 2013, sekitar 75% badan-badan air tercemar limbah domestik di Indonesia. Tidak terkecuali kota Makassar. Mulai dari sungai Jeneberang, Sungai Tallo, hingga kanal Jongaya. Menurut data yang sama, kandungan bakteri coliform dan fecal coliform yang terkandung dalam ketiga badan air tadi melebihi ambang batas.

Misalnya sungai Jeneberang (salah satu sumber air baku dari PDAM Kota Makassar), total pencemaran coliform mencapai 35.000/100 ml dari ambang batas maksimum 10.000/100 ml. Tidak jauh berbeda juga dengan cemaran fecal coliform mencapai 2.300/100 ml dari ambang batas maksimum 2.000/100 ml.   

Kedua jenis cemaran itu (coliform dan fecal coliform) akan menjadi parasit patogen, yang berujung munculnya E.Coli dalam sumber air baku. Walau penanganan air minum tingkat rumah tangga telah berkembang dari memasak hingga menggunakan Air RahMAT, tetap saja yang sulit dihindari adalah agen penyebaran penyakit yang melalui lalat (Diagram F).   

***

Akhirnya, soal berak yang selama ini disepelekan ternyata bisa menjadi tolak ukur kesehatan seseorang atau sebuah komunitas, sekaligus jika prilaku dan fasilitasnya tidak dikelola secara baik akan berujung pada sebuah ancaman.


Pertanyaanya, Sudahkah Anda Berak hari ini?

Merasionalisasi(kan) Kawasan Tanpa Rokok di Indonesia (?)






He who can, does! he who cannot, teaches! he who cannot teach, takes up Research! he who fails at all of these, write textbook!.

Membaca kalimat yang tersurat dalam kata pengantar buku An Introduction to The Economic of Education tahun 1979 dan ditulis seorang guru besar ilmu ekonomi di Universitas of London, kembali menegaskan kepada kita fungsi dari guru besar dalam dunia pendidikan. Yang sebagai penjaga nilai, juga adalah garda terakhir dari sebuah sistem besar pengelolaan pendidikan tinggi. Walau itu merupakan hasil improvisasi dari perkataan komedian satir George Bernard Shaw, tetap saja tidak mencerabut makna kunci awalnya, seputar carut marut wajah pendidikan.

Sialnya, carut marut dalam dunia pendidikan, masih terjaga hingga saat ini. Salah satu buktinya, adalah apa yang terjadi pada beberapa bahkan berpuluh perguruan tinggi di Indonesia yang hubungannya dengan pemberlakuan kawasan tanpa rokok (KTR). Berbagai dalih dikemukakan untuk menguatkan keputusan tersebut, mulai dari dalih merusak kesehatan, hingga alasan pembeli rokok hanya menjadikan segelintir pihak/orang saja menjadi kaya raya.

Sekilas, kumpulan alasan tadi masuk akal, setidaknya bagi mereka-mereka yang merasa terganggu dengan asap rokok itu sendiri. Sampai pada kondisi bahwa asap rokok itu bisa saja mengganggu bagi sebagian orang, itu tidak bisa dipungkiri. Namun begitu, terganggu karena asap rokok menjadi sebuah keanehan tersendiri ketika disaat bersamaan tidak merasa terganggu dengan keterpaparan akan berbagai bentuk gas lain - radikal bebas - yang sudah begitu mencemari lingkungan sekitar kita hingga saat ini.

Selain keanehan diatas, pemberlakuan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di beberapa perguruan tinggi, juga memiliki sisi yang berlawanan. Satu sisi, berlakunya KTR sudah barang tentu merupakan sebuah kabar yang menggembirakan, setidaknya bagi civitas akademika yang merasa terganggu dengan asap rokok ini. Dan disisi yang lain, berlakunya KTR di perguruan tinggi menyisakan sebuah pertanyaan seputar landasan ilmiah yang komprehensif sifatnya.

Salah satu bukti kurangnya landasan ilmiah yang komprehensif, bisa kita lihat pada informasi seputar rokok dan kandungannya yang berkembang di beberapa perguruan tinggi belakangan ini. Semuanya hanya berisi informasi negatif terkait rokok. Dan parahnya informasi tersebut terus menerus direproduksi dengan atau tanpa informasi tambahan diruang-ruang kuliah. Sehingga, pun akhirnya ada penelitian mandiri (skripsi, tesis, ataupun desertasi) berhubungan dengan rokok yang dilakukan oleh mahasiswa, senantiasa berangkat dari asumsi awal bahwa rokok itu berbahaya bagi kesehatan (saja). Parahnya, dari mahasiswa sendiri, hampir bisa dibilang tidak ada usaha untuk mencari alternatif informasi yang berhubungan dengan rokok selain yang direproduksi oleh perguruan tinggi melalui corongnya –dosen-  diruang-ruang kuliah.

Tentu saja sebagai sebuah alternatif informasi, apalagi yang diharapkan bisa (atau wajib) dikonsumsi sebuah almamater, nuansa ilmiahnya tetap harus dikedepankan, setidaknya ada aspek ilmiah yang menjadi fondasi bangunan dari informasi tersebut. Karena akan menjadi rancu akhirnya jika ternyata informasi yang tidak ilmiah dijadikan acuan sebagai informasi alternatif, apalagi jika dilakukan dalam lingkungan yang menjunjung tinggi nuansa ilmiah seperti perguruan tinggi.

Alternatif Informasi

Berbicara tentang alternatif informasi seputar kandungan rokok dan dampaknya terhadap manusia, setidaknya mulai tahun 1960-an hingga 2000-an awal ada sekitar kurang lebih 30 buah. Menariknya, jumlah tersebut, selain berbentuk buku, juga ada yang merupakan kumpulan penelitian yang terangkum dalam beberapa jurnal ilmiah, atau yang termasuk dalam artikel kesehatan yang memiliki landasan ilmiah.  Dan untuk dua kelompok informasi yang terakhir itu, setidaknya bisa jadi acuan alternatif informasi bagi perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi yang telah atau akan memberlakukan Kawasan Tanpa Rokok.

Ambil contoh, informasi alternatif tersebut adalah wawancara Neil Sherman kepada Dr.  David Pinsky , MD yang merupakan anggota asosiasi guru besar dari Columbia University, New York, Tahun 2001. Dalam wawancaranya, David Pinsky mengungkapkan, Carbon Monoksida (CO) pada kadar terendah  ternyata mampu membantu penderita stroke dan penderita serangan jantung. Walau dia mengakui bahwa sejatinya CO adalah racun, namun tetap saja kata kuncinya terletak pada kadar dan konsentrasinya. Sekaligus kondisi ini memberi penjelasan kepada kita  bahwa antara asap CO keluaran kendaraan bermotor atau asap pabrik dan dengan asap CO yang berasal dari rokok kretek memiliki kadar dan konsentrasi yang berbeda.

Atau informasi alternatif lain seputar pengurangan resiko Preekslamsia atau bahasa sehari-harinya pendarahan pada ibu hamil. Dalam sebuah penelitian yang menggunakan uji laboratorium pada tahun 1999, Women Research Institute  the Department of Obstetrics, Gynecology, and Reproductive Sciences, menemukan bahwa paparan tembakau mampu menurunkan resiko Preekslamsia pada ibu hamil. Menariknya informasi ini, juga dimuat dalam American Journal of Obstetrics and Gynecology.

Selain beberapa penelitian tadi, ada juga artikel kesehatan yang merupakan resensi dari beberapa penelitian berhubungan dengan rokok itu sendiri. Salah satunya seperti yang dimuat dalam www.sott.net pada 15 Maret 2012 yang ditulis  James P. Siepmann MD. Dalam artikelnya, Siepmann menekankan bahwa kita keliru jika mengatakan bahwa merokok penyebab utama kanker yang menyebabkan kematian. Berdasarkan beberapa penelitian dan tulisan para ahli yang dia kumpulkan, terungkap bahwa peyakit kanker yang kompleks bisa disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain: genetika, sistem kekebalan tubuh, paparan radiasi seluler, perubahan DNA, berbagai zat kimia yang masuk dalam tubuh. Sehingga, baginya, merokok bukanlah penyebab utama terjadinya kanker, seperti yang banyak direproduksi oleh berbagai orang atau lembaga terutama lembaga pendidikan belakangan ini.

Berangkat dari alternatif informasi seputar rokok tadi, dan hubungannya dengan ungkapan guru besar ekonomi Universitas Of London, tidak berlebihan kiranya jika civitas akademika yang berasal dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, terutama yang memberlakukan KTR, mempertanyakan kembali para Guru Besar yang dimilikinya untuk memberikan sebuah penjelasan yang bernas serta ilmiah tanpa meninggalkan obyektifitasnya sebagai guru besar dan atau peneliti terkait seputar pemberlakuan KTR di Kampus-kampus.

Sisi obyektifitas menjadi penekanan, dengan maksud mempertegas kualitas keilmuan dari posisi tertinggi dalam semesta pengetahuan. Selain itu, sebagai bahan acuan dalam mengukur kuantitas keilmuan para penyandang gelar guru besar. Bagi saya, ini penting untuk menarik garis tegas pembeda antara guru besar sebagai sebuah “ganjaran” tingkat keilmuan seseorang dan guru besar sebagai sebuah jabatan – dengan relasi kuasa didalamnya- yang diberikan oleh negara (PERMENPAN No.46 Tahun 2013).        

Belajar Pada Dik AULIYAH (?)



Ditengah gegap gempita kekaguman yang membuncah terhadap dik Nara, ternyata dik Auliyah hampir berubah wujud jadi komoditi.  Bertempat di sebuah pelayanan kesehatan tingkat lanjut, sebuah kejadian akhirnya menyadarkan kita (kembali). Ini tentang bagaimana kualitas sistem pelayanan kesehatan di negeri ini. Parahnya, kejadian ini terjadi di sebuah tempat pelayanan kesehatan yang dikelolah oleh pemerintah.

Terlepas dari berbagai pembenaran yang dikemukakan oleh tenaga kesehatan disana terkait nominal kewajiban yang dibebankan kepada orang tua dari Faradiba Auliyah Khumairah (Auliyah), keputusan mereka  untuk akhirnya menjual anak di satu sisi menarik, setidaknya ketika kita coba tinjau dari sisi psikologi.

Walau psikologi secara etimologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kejiwaan, maksud saya semata bukan untuk kemudian menyerang aspek kejiwaan dari orang tua Auliyah. Atau dengan kata lain, keputusan mereka untuk menjual anak bisa jadi tidak berangkat dari adanya bentuk patologi psikis yang dialami. Pertama, karena saya bukan seorang psikolog jadi tidak berwenang untuk melakukan penilaian ada tidaknya gangguan psikis dari mereka. Dan kedua, sebagai SKM, titik tekan saya hanya pada bentuk pelayanan kesehatan masyarakat yang diterapkan dan hubungannya dengan asing-masing individu dalam memilih dan menikmati sebuah pelayanan kesehatan masyarakat.
*
Perjalanan perkembangan psikologi dewasa ini sudah memasuk babak baru. Mulai dari yang disebut “psikologi tradisional” hingga yang saat ini biasa disebut “Psikologi Modern”. Psikologi tradisional, salah satu aras pendukungnya adalah penganut aliran Behaviorisme. Pendukungnya antara lain I.Pavlov-J.B. Watson (Teori Classical Condition), E. Thorndike (Teori Law effect), B.F Skinner (Teori Operan Condition), atau A. Bandura (Teori Modeling).

Inti dari psikologi tradisional adalah melihat manusia sebagai machluk yang terkondisikan oleh lingkungan, atau dengan kata lain, dalam rangka belajar manusia lebih banyak melibatkan apa yang disebut Stimulus dan Respon terhadap berbagai fenomena di sekeliling mereka.

Karena ilmu dan pengetahuan senantiasa berkembang, atau meminjam istilah Hegel- anti tesa- akhirnya Sigmund Freud mengajukan pembanding dari aliran behaviorisme. Namanya aliran Psikososial. Menurut Freud, Stimulus untuk Respon seseorang tidak selamanya berasal dari luar dirinya. Adalah insting tidak sadar (The Unconscius) yang berada dari dalam diri juga turut serta berpengaruh. Unsur inilah yang bagi penganut aliran behaviorisme tidak dimasukkan.

Berangkat dari aliran pembanding yang diajukan oleh Freud, akhirnya muncul aliran humanistik untuk menjembatani “kekurangan” pada aliran behaviorisme. Adalah Carl Rogers, Abraham Maslow, dan Victor Frankl, sedikit dari deretan nama yang membidani lahirnya aliran huministik dalam psikologi yang nantinya menjelma menjadi aliran Psikologi Modern saat ini.

Bagi beberapa “Bidan Psikologi Modern” tadi, baik aliran Behaviorisme atau aliran Psikologi hanya menjadikan manusia tereduksi. Dalam artian, kedua aliran psikologi tersebut mengabaikan aspek kapasitas dan potensialitas manusia yang menjadi titik tekan utama dari aliran Humanistik.

Dari aliran Humanistik inilah, akhirnya kita mengetahui bahwa manusia senantiasa menjadi dalam perkembangannya (Being and Becoming). Sehingga, keputusan apapun yang diambil seseorang, tidak bisa selalu dilepaskan dengan konsep Cinta, Tanggung Jawab, Kebutuhan dasar Manusiawi, dan atau makna hidup. Yang mana hal tersebut merupakan bahan kajian dari aliran huministik dalam psikologi.
**
Mungkin sebagian besar dari kita, ketika mendengar keputusan orang tua dik Auliyah untuk menjualnya, adalah langsung menghujat mereka. Padahal, bisa jadi, keputusan tersebut berangkat dari rasa cinta yang membuncah. Sehingga, pilihan paling rasional dan bertanggungjawab yang bisa diambil oleh kedua orang tua dik Auliyah adalah dengan merelakannya kepada orang lain. Karena, toh, sejumlah uang yang menjadi ganjaran merupakan rincian kewajiban orang tua dik Auliyah yang harus diselesaikan kepada pihak pelayanan kesehatan tingkat lanjut tersebut. Artinya, tidak sehelai rambutpun dari mereka yang berfikir untuk mengambil keutungan dari dik Auliyah.

Satu-satunya keuntungan atau benefit yang didapat orang tua dik Auliyah, adalah ketika mengetahui dik Auliyah mampu hidup dan bahagia nantinya.

Belajar dari kejadian yang hampir menimpa dik Auliyah, kita bisa melihat potret salah urus dari sebuah sistem pelayanan kesehatan di negeri ini. Sekaligus, keputusan orang tua dik Auliyah tersebut secara tidak langsung menjelaskan kepada kita semua bahwa amanat Undang-undang yang telah terurai secara detil dalam Rencana Strategis Kesehatan 2015-2019 adalah sebuah isapan jempol belaka. Ketika dalam RPJMN 2015-2019 terutama untuk cakupan poin empat dan enam yang menjadi sentral adalah hubungan sistem pelayanan kesehatan dan masyarakat.

Akhir kata, semoga kedepannya, akan ada lagi dik Auliyah – dik Auliyah yang lain. Bukan apa-apa, kejadian yang menimpanya memberikan pelajaran kepada kita bahwa negara belum mampu berfungsi secara maksimal selain menentukan RPJMN setiap lima tahun tentunya. Sehingga para penyelenggara negara hanya terjebak pada kepanikan-kepanikan saja tentunya. Artinya, disaat para penyelenggara negara atau para elit masih memakai paradigma psikologi tradisional (berdasarkan Stimulus dan Respon), masyarakat kita telah berparadigma psikologi modern.


Semoga Dik Nara lah yang membantu Dik Auliyah kemarin....loh kok?

SOEKARNO S.KM


Mumpung Agustus dengan semangat perjuangan para pejuang berpuluh dekade yang lalu belum meninggalkan kita, sehingga membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan isu tersebut tentunya belum bisa dikatakan sebagai sesuatu yang usang. Dan dari sekian banyak tokoh pejuang paling berpengaruh dalam rangka merebut kemerdekaan, yang mencapai puncak pada bulan Agustus tahun 1945, sosok Soekarno merupakan salah satu di dalamnya.

Terlepas dari segala bentuk kontroversi laku beliau, tentunya kita tidak bisa menutup mata pada berbagai peran intelektual beliau yang juga justru berpengaruh besar pada proses menuju kemerdekaan Republik ini. Taruhlah contoh, sebuah karya monumental pertama beliau; Islamisme, Nasionalisme, dan Marxisme. Melalui karya tersebut, Soekarno muda akhirnya menemukan patron sendiri untuk menuju bentuk Republik Indonesia yang masih diangan-angan sebelumnya.

Dan menariknya, beliau bukan berlatar belakang pendidikan politik atau bahkan tata negara. Dia hanya alumni pendidikan sarjana sipil, bung.

Nah, mumpung sekarang masih bulan Agustus, dan di satu sisi kita kenal Soekarno sebagai salah satu sosok yang paling berpengaruh di Republik ini, mari kita berandai-andai, jika Soekarno adalah seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM).

Merombak Naskah Proklamasi

Berhubung berlatarbelakang Kesehatan Masyarakat, tentunya beliau berkepentingan memasukkan isu kesehatan dalam naskah Proklamasi. Untuk itu tentunya beliau memerlukan energi yang tidak sedikit. Dan energi itu awalnya akan disalurkan para proses meyakinkan dua orang yang turut serta secara aktif dalam penyusunan naskah usulan proklamasi, Moh. Hatta, dan Ahmad Soebardjo. Berbeda dengan posisi sebagai alumni Sarjana Sipil, ketika beliau memiliki latar belakang sebagai SKM, setidaknya, alasan untuk memasukkan isu kesehatan dalam naskah usulan Proklamasi menjadi sangat kuat. Minimal sebuah pembenaran dari beliau ialah pembelajaran dari pola kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan Inggris pasca Perang Dunia II.

Walau perdebatan panjang diantara ketiga tokoh bangsa tadi akhirnya menjadi tidak terhindar dengan masukkan isu kesehatan dalam naskah usulan Proklamasi. Namun begitu, dengan memasukkan isu kesehatan di dalam naskah proklamasi, kita akhirnya bisa berharap banyak pada arah kebijakan pemerintahan Republik ini kedepannya.

Setelah mampu meyakinkan Moh. Hatta dan Ahmad Soebardjo untuk memasukkan isu kesehatan, tantangan selanjutnya terletak pada pengetikan naskah usulan untuk menjadi sebuah naskah jadi yang akan dibacakan dalam keesokan harinya. Tentunya, kemampuan negosiasi Bung Besar kembali diuji untuk hal yang satu ini, terutama terhadap Bung Sayoeti Melik, seperti yang kita ketahui bersama tentang sosok bung yang satu ini. Walau dalam kadar yang berbeda, tetap membutuhkan negosiasi untuk sekedar mempertahankan gagasan masuknya isu kesehatan dalam naskah monumental tersebut. Selain itu, negosiasi juga tetap dibutuhkan dalam rangka memandang sebagai seorang manusia yang utuh pada siapapun yang terlibat dalam proses peletakan fondasi awal berdirinya Republik ini.
Akhirnya naskah proklamasi akan berbunyi seperti berikut:

P R O K L A M A S I

Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia

Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoesaan, pembangoenan kesehatan masjarakat, d.l.l, diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, Hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia

Soekarno / Hatta



Merombak Pembukaan UUD 1945

Setelah berhasil memasukkan isu kesehatan masyarakat dalam naskah proklamasi, sebagai seorang SKM yang bertanggung jawab terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat pasca kemerdekaan pada Republik yang dibidaninya, tentunya tugas Bung Besar belum selesai. Lagi-lagi ini ada hubungannya dengan posisi tawar Bung Besar sebagai Presiden Pertama tentunya.

Dan momentum yang bisa digunakan adalah pada semakin alotnya perdebatan pada rapat pleno PPKI pada keesokan harinya, alih-alih menengahi pertentangan kaum nasionalis dan kaum agama, hal ihwal perubahan pembukaan UUD 1945 juga bisa digunakan untuk memasukkan isu kesehatan masyarakat. Dengan tetap tidak merubah konteks sebenarnya, dan cukup menambahkan isu kesehatan masyarakat.

Berbeda dengan kondisi ketika memasukkan isu kesehatan masyarakat dalam naskah proklamasi, Bung Besar akhirnya “terpaksa” menaikkan tingkatnya kemampuan negosiasi, dan ini jelas sekali berhubungan dengan tingkat keragaman orang-orang yang lebih kompleks pada suasana rapat pleno PPKI tanggal 18 Agustus 1945.

Setelah melalui perdebatan yang alot, dan tanpa meninggalkan usulan Ki Bagus Hadikusumo untuk menghilangkan dua kalimat “ menurut dasar”, akhirnya disepakati masuknya kalimat :” ...dalam rangka peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang berkelanjutan...” dalam pembukaan UUD 1945 yang akhirnya diberlakukan seterusnya.

Arah Kebijakan Kesehatan Masyarakat

Karena kedua dokumen penting Republik tadi sudah memasukkan isu kesehatan masyarakat, atau dengan meminjam bahasa hari ini mengarusutamakan pembangunan kesehatan masyarakat, tentunya wajib hukumnya untuk menjadikannya lebih aplikatif sifatnya dalam masa pasca proklamasi.

Bung Besar bisa mulai dengan mengatasi permasalah klasik pelayanan kesehatan masyarakat, yaitu : kualitas layanan dan pemerataan. Tidak bisa dipungkiri untuk konteks Indonesia pasca masa penjajahan, satu-satunya harapan mengatasi permasalahan kesehatan masyarakat hanya tertumpu pada keberadaan STOVIA. Untuk itu, sebagai sebuah negara yang baru merdeka, Bung Besar berkewajiban memikirkan hal tersebut, ambil contoh menasionalisasi STOVIA. Ini tentunya tetap dilakukan sambil tetap berjuang mempertahankan eksistensi sebuah negara baru merdeka yang untuk konteks saat itu, yang mana “gangguan” pihak asing baik dipengaruhi geopolitik setelah perang dunia kedua atau karena negara asing tadi masih mengalami Post Power Syndrome.

Perlu saya tambahkan, kenapa langkah untuk “mengambil alih” Stovia ini menjadi penting, ini tidak lepas dari permasalahan kesehatan masyarakat yang terjadi di Republik ini di awal abad 20, misalnya penyebaran wabah Pes, dan lain-lain. Selain itu, bisa saya bayangkan, ketika Bung Besar mengambil alih STOVIA, pendekatan pengobatan dan rehabilitatif akhirnya tidak menjadi dominan dalam mengatasi masalah kesehatan masyarakat. Dan ketika diakumulasikan, Lambat laun, ini akan berdampak dengan arah kebijakan kesehatan hari ini.

*

Namun apa daya, untung tak dapat diraih rugi tak dapat ditolak, karena Bung Besar hanya berlatar belakang Sarjana Sipil, dan sejak pra hingga pasca kemerdekaan, masalah kesehatan hanya berparadigma sakit. Makanya, jangan heran ketika membaca lembar sejarah kesehatan masyarakat, bentuk penanganan terhadap wabah Pes di sebagian besar masyarakat Jawa pada masa sebelum tahun 50-an masih lebih banyak bersifat kuratif dan sedikit (sekali bahkan) menggunakan pendekatan preventif.

Sehingga jangan heran jika hari ini, atau tepatnya ketika mendengar pembacaan nota keuangan APBN 2017, alokasi anggaran kesehatan masih jauh dari yang diharapkan, hanya 58 T atau hanya 2,5 % dari total APBN, tentunya tidak  sesuai dengan UU No.36 Tahun 2009 yang sebesar 5 % dari total APBN. Dan ini kita belum berbicara tentang efektivitas serapan alokasi anggaran kesehatan yang sudah sangat kecil itu.


Ah, ini Indonesia, Bung!!!semuanya bisa terjadi, termasuk kami masih terbiasa saling memangsa sesama!!!tidak terkecuali para rekan sejawat TENAGA KESEHATANNYA....

KAMI TAU HARUS BAGAIMANA BUNG!!!

  
   Kita bertanya :
                             Kenapa maksud baik tidak selalu berguna
          Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga
                                          Orang berkata : “Kami punya maksud baik”
                                                              Dan kita bertanya : “Maksud baik saudara untuk siapa ?”
Sajak: Pertemuan Mahasiswa- Rendra (1977)


Kami tersentak, sekaligus terhenyak, mendadak tersebar melalui viral, secarik resep obat yang sedikit aneh. Ini aneh, bukan karena jenis obat yang dituliskan merupakan varian obat palsu. Atau bukan juga karena obat tersebut sudah memakan korban jiwa. Namun, karena resep obat tersebut dikeluarkan oleh seseorang; atau sebut saja oknum yang memiliki latar belakang Sarjana Kesehatan Masyarakat. Walau bagi masyarakat awam, kata obat dianggap setali dengan kesehatan itu sendiri, jadi sekilas ini bagi mereka biasa-biasa saja.

Namun bagi kami, laku oknum tersebut bukan hal yang lumrah atau lebih tepatnya merupakan bentuk khianat tugas dari seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat. Alasannya, karena dengan adanya kata masyarakat diakhir gelar kesarjanaan itu sendiri, mengisyaratkan lingkup kerja kami adalah kumpulan individu-individu di dalam masyarakat, dan disaat bersamaan selembar resep obat hanya bekerja pada satu individu (saja). Meskipun kejadian tersebut masih perlu sebuah kajian mendalam, minimal latar belakang sehingga muncul “inisiatif” dari oknum SKM tadi.

Bahwa kemudian “inisiatif” oknum tadi merupakan sebuah bentuk kekeliruan yang fatal, kami dengan tegas menyatakan setuju, walau begitu kami juga menolak jika kemudian masalah ini membuat kalian semakin menganggap komitmen persatuan kami yang dilandasi sebuah idealisme merupakan sebuah ruang hampa tanpa penghuni. Karena bagi kami, kalian juga sebenarnya sangat membutuhkan kami, dan itu kalian malu untuk mengakuinya.

Perlu kami tegaskan disini, inisiatif oknum tadi sebenarnya tidak berdiri sendiri. Setidaknya, bisa jadi ini merupakan sebuah fenomena gunung es, yang muncul hanya satu dua kasus saja, dan sebenarnya lebih banyak kejadian di masyarakat seperti itu. Misalnya, bisa jadi oknum tadi sehingga akhirnya berinisiatif untuk menulis sebuah resep obat, sebenarnya karena diperhadapkan pada dua kondisi yang saling berhubungan, pertama, karena pengetahuan dasar yang dimiliki oleh oknum tadi sebelum menjadi SKM, bisa jadi berprofesi sebagai perawat atau bidan, dan yang kedua, karena angka kunjungan fasilitas kesehatan tempat oknum tadi bertugas mengalami jumlah kunjungan yang membludak. Tentunya kita masih ingat bagaimana jumlah pasien di Puskesmas Majalaya Baru, Kabupaten Bandung.

Mungkin kalian merasa sebagai pihak yang paling dirugikan atas inisiatif dari oknum tadi, sepertihalnya kami seringkali merasa dirugikan ketika kalian dalam kesadaran penuh berusaha dengan sungguh-sungguh membajak ruang lingkup kerja kami di lain pihak. Sehingga rasa kecewa kalian, kami bisa pahami, jadi jangan khawatir.

Terlepas dari kejadian kemarin dimana inisiatif oknum tadi yang kesannya menyandera ruang lingkup kerja kalian dan atau ruang lingkup kerja kami yang kalian juga sering bajak, setidaknya kejadian ini membuka mata masing-masing dari kita.

Misalnya, tidakkah pernah kalian bertanya kepada kami, tentang seberapa besarnya kekecewaan kami terhadap kalian yang dengan kesadaran penuh berusaha membajak ilmu kesehatan masyarakat. Dan dengan kejadian ini pun membuat kami tersadar bahwa antara kami dan kalian ternyata memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Sebagai contoh, kami yang merupakan hasil reproduksi kalian, akhirnya dari muasalnya terbuka untuk masuknya dari berbagai latar belakang keilmuan. Bukankah ini salah satu bukti bahwa jika jenis aliran darah yang mengalir dalam tubuh kami awalnya merupakan pembauran dan tidak murni. Ini kita belum berbicara antara kami dan kalian sebenarnya hanya berhubungan secara kebetulan dan bukan murni hubungan genetika.

Atau, kemudian, kami bertanya, kenapa kalian hingga saat ini belum jemu untuk terus mengurusi kami, sedangkan jika mau jujur, kami sudah bukan seperti seorang anak ingusan yang masih banyak bergantung sama orang tua yang sebenarnya berstatus orang tua angkat. Bukan maksud kami untuk durhaka dan melupakan amalan baik kalian terhadap kami, namun sekali lagi ini soalnya pada jati diri kami sesungguhnya.

Contoh lain, yang masih juga terjadi beberpa waktu lalu, ketika kalian menuduh kami memecahbelah. Bukankah ini contoh lain dari bentuk kepanikan kalian, dan secara tidak sadar menjadi seperti laku cinta monyet sepasang muda-mudi dimana cemburu menjadi menu setiap saat diantara mereka. Jadi, apa sebenarnya yang membuat kalian pantas untuk menceburui kami, wahai puan dan tuan sekalian. Entoh, kami merupakan produk kalian beberapa puluh tahun silam.

Kami juga akhirnya mampu dalam membiakkan diri dengan atau tanpa kalian sebenarnya. Ataukah kalian akhirnya sadar bahwa kami ini hanya seperti seperti bahan percobaan yang belakangan ternyata mengalami mutasi genetika. Dan itu sebenarnya diluar perkiraan kalian. Ayolah bung, nasi sudah jadi bubur, kami sudah berbiak, dan tinggal menunggu waktu kami kemudian menjadi lebih kuat dari sekarang. Maksud kami, karena nasi sudah jadi bubur, dan supaya itu bisa tetap menarik untuk dimakan, mungkin biarkan kami mencari beberapa jenis sayur dan sepotong ayam, agar nasi yang sudah berubah jadi bubur tadi bisa menjadi lebih menarik.

Akhirnya, tanpa bermaksud membenarkan laku khianat oknum diatas, kami juga ingin mempertegas dengan kalian, biarkanlah Kami Ber(l)a(n)gam dan Kalian M(e)ono(n)ton, itu saja!!! Karena pelan tapi pasti pada ujung cerita jati diri kami akan semakin kokoh dan ini bukan merupakan bentuk dari mutasi genetika. Karena KAMI TAU HARUS BAGAIMANA BUNG!!! Dan maksud baik sodara untuk siapa??



CEMBURU ITU....


Belum cukup satu purnama sejak pertemuan kala itu, ternyata api cemburu sudah begitu menggejala diantara mereka. Cemburu, bukan tanpa alasan, masing-masing dari mereka menganggap salah satu pihak sedang menghianati hubungan diantara keduanya. Walau jika ditelisik lebih jauh, kecemburuan jenis ini hanya bagian dari reaksi sayang yang sering membuncah dalam bentuk dan kadar yang berbeda. Tapi, entahlah. Namun begitu, tetap saja rasa cemburu itu begitu mengganggu, setidaknya bagi diri yang dilain pihak sudah berusaha setia dengan idealisme dan gagasan yang disepakati sebelumnya.

Ini bukan cerita tentang dinamika hubungan antara tokoh Cinta dan Rangga dalam bentuk hayalan untuk kelanjutan film Ada Apa Dengan Cinta berikutnya. Namun, sekali lagi, ini tentang PERSAKMI yang kemarin telah usai dengan kegiatan RAKERNAS-nya. Pasca RAKERNAS kemarin, ternyata PERSAKMI kembali coba sedikit “digelitik” dengan hembusan issue PERSAKMI telah memecahbelah SKM di Indonesia. inipun akhirnya memicu reaksi yang berbeda dari berbagai pihak. Bagi saya, digelitik itu merupakan kecemburan yang berbeda dalam kadar tertentu.

Jauh hari sebelum PERSAKMI melakukan RAKERNAS VI, ditempat yang berbeda telah dilaksanakan pertemuan Asosiasi Perguruan Tinggi Kesehatan Masyarakat Indonesia. Pertemuan ini sendiri membahas permasalahan yang berhubungan dengan kurikulum yang akan diberlakukan di FKM seluruh Indonesia. Walau kegiatan tersebut sendiri juga akhirnya tidak diikuti oleh PERSAKMI, namun tingkat keseriusan dari kegiatan yang dilaksanakan di Padang tersebut bisa dilihat dari beberapa hal yang dilahirkan.

Misalnya, 8 Kompetensi dasar yang diharapkan menjadi bagian dari calon SKM ketika menyelesaikan studinya. Melalui 8 kompetensi tersebut diharapkan seorang SKM mampu menjadi seorang profesional. Namun begitu, disatu sisi, bentuk seorang SKM profesional yang diharapkan masih sedemikian kaburnya- jika kata tidak ada sejatinya harus dihindari. Ada beberapa penyebab dari hal ini yang secara panjang kali lebar sudah coba saya jelaskan disini dengan segala keterbatasan saya juga tentunya.

Persoalannya kemudian adalah, setelah mereka-dalam hal ini pihak yang tidak secara pasif- terlibat dalam penentuan segi profesionalisme SKM, justru bisa jadi, mereka jugalah yang kemudian terjebak dalam kecemburuan yang membuncah tadi. Dan semoga ini hanya syak prasangka kami saja, semoga. Sebagai catatan, saya lebih menyukai menggunakan kata cemburu dibandingkan kata mengganggu jika diperhadapkan dalam kondisi dampak dari isi pernyataan yang kurang lebih berbunyi: “ PERSAKMI memecahbelah SKM”.

Karena ini adalah bentuk dari sebuah kecemburuan, bagaimana harusnya kita –SKM yang tergabung dalam PERSAKMI- menanggapi hal tersebut. Kali ini saya menawarkan beberapa pilihan untuk itu. Namun bukan bermaksud untuk mengajak mereka –pihak tadi- untuk kemudian vis a vis yang lebih cenderung kepada kekerasan. Karena kekerasan selamanya hanya berdampak buruk pada peradaban itu sendiri.

Yang pertama, kita bisa menanggapi kecemburuan tersebut dengan melakukan introspeksi terhadap PERSAKMI. Sepertihalnya  sepasang muda-mudi yang sedang dimadu kasih, ketika ada satu pihak yang sedang cemburu, bisa jadi karena dia sedang menarik perhatian pasangannya. Makanya diperlukan untuk melakukan introspeksi. Tapi untuk muda-mudi yang belum memiliki pasangan ini tidak berlaku, karena kiasan ini terlalu menyiksa, eh, maksud saya sulit dibayangkan, bukan?plis, jangan paksa diri anda untuk itu.

Lanjut, melalui instrospeksi tadi, akhirnya pasangan tersebut bisa saling berbicara dari hati ke hati. Setidaknya, baik pihak yang sedang dibakar api cemburu, maupun yang sedang dicemburui saling terbuka antara satu dengan yang lain.

Hal ini juga bisa dilakukan oleh PERSAKMI sebagai sebuah organisasi SKM. Dengan akhirnya “memaksa” diri untuk introspeksi, setidaknya gagasan PERSAKMI Rumah SKM justru semakin dipertegas. Dalam artian, untuk organisasi seperti PERSAKMI yang sebenarnya masih terbilang muda, seharusnya kembali mempertanyakan beberapa hal yang berhubungan dengan peran PERSAKMI terhadap SKM itu sendiri. misalnya, sejauh mana PERSAKMI mengambil bagian secara aktif dalam upaya meningkatkan segala hal positif/kebaikan yang berhubungan dengan SKM di masyarakat.

Atau, bisa juga, dengan dicemburui akhirnya SKM se-Indonesia menjadi terkonsolidasi sedemikian bagusnya. Ini juga sebenarnya penting, selain karena dengan pemilihan jargon RUMAH SKM, dimana terminologi Rumah adalah tempat bernaung yang memberikan perlindungan, juga akhirnya kita tidak bisa menutup mata akan kondisi beberapa daerah yang belum memiliki Pengurus Daerah PERSAKMI. Dan disinilah juga pentingnya sebuah kondisi Introspeksi yang berujung penguatan konsolidasi.

Hal kedua yang bisa dilakukan untuk menanggapi ketika dicemburui adalah mempertanyakan eksistensi hubungan tersebut. Kembali pada analogi cemburu pada sebuah hubungan muda-mudi, secara bersamaan terkadang rasa cemburu itu juga muncul pada kondisi yang tidak tepat. Sebagai contoh, seseorang yang cemburu pada orang lain yang bukan menjadi pasangannya ketika sedang menjalani proses pernikahan.

Secara umum, rasa tidak ada yang salah dengan rasa cinta walau akhirnya berakhir dengan kecemburuan. Namun letak kekeliruannya terletak pada seberapa maksimal usaha dari orang yang sedang dibakar api cemburu tersebut dalam memperjuangkan rasa cinta tadi. Dengan asumsi bahwa rasa cinta tersebut adalah sebuah hal yang suci, sori bukan maksud saya untuk membahas cinta yang bagi sebagian orang adalah hal yang remeh-temeh, namun sekali lagi ini hanya sebuah analogi.

Karena jika dihubungkan dengan PERSAKMI dicemburui aktifitas yang melibatkan SKM, bukankah ini adalah aktualisasi kepemilikan tersirat cinta?. Dalam artian, pihak yang cemburu terhadap PERSAKMI , merasa sebegitu mencintai SKM, sehingga beranggapan hanya mereka yang berhak atas SKM itu sendiri. Untuk kondisi ini, ada dua kelemahannya. Pertama, apakah SKM yang menjadi bagian dari pihak tadi sudah merasa mewakili SKM diseluruh Indonesia, sehingga kecemburuan terhadap SKM yang tergabung dalam PERSAKMI wajar adanya?.   

Kelemahan kedua, pantaskah kecemburuan terhadap PERSAKMI dilontarkan oleh pihak yang bisa jadi kebetulan ada kata-kata kesehatan masyarakatnya didalamnya, sedangkan disatusisi dari segi penamaan saja bisa jadi sangat berbeda dengan PERSAKMI, kalaupun ada kesamaan, paling tidak hanya kata kesehatan masyarakat (saja).

Kembali pada pantaskah rasa cemburu tadi,  bagi saya, PERSAKMI seharusnya mengambil sikap mendiamkan saja. Dalam artian, ketika kita (PERSAKMI) membiarkan kecemburuan tersebut secara sepihak, setidaknya PERSAKMI mendapatkan kesempatan untuk dipromosikan secara tidak langsung oleh mereka.

Dan yang terakhir, setelah melakukan introspeksi dan menakar tingkat kepantasan rasa cemburu pihak lain, PERSAKMI bisa akhirnya tertawa melihat mereka. Setidaknya ada tiga alasan, kenapa rasa cemburu pihak tadi pantas ditertawakan. Pertama, terlihat jelas kepanikan dari mereka terhadap tingkat soliditas SKM yang dari hari-kehari semakin terjaga serta menuju kearah yang positif.

Alasan kedua, pihak yang cemburu tadi, hanya memperlihatkan tingkat produktifitas yang sengat menyedihkan, karena ditengah kondisi bahwa derajat kesehatan masyarakat semakin hari semakin tidak menjadi lebih baik, justru mereka hanya sibuk mempersoalkan PERSAKMI sebagai organisasi. Sehingga mereka menjadi gamang membedakan antara, tujuan dan alat dalam rangka turut serta mengambil peran untuk mengatasi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.

Dan alasan ketiga, dengan mencemburui PERSAKMI, justru menjadikan nama PERSAKMI semakin mengambil tempat tersendiri. Setidaknya ini bisa jadi sebuah nilai tambah bagi organisasi yang memiliki jam terbang sedikit, atau dengan kata lain masih muda. Karena itulah, rasa cemburu ini menjadi sedemikian lucunya.

*

Akhir kata, tulisan ini muncul, sekali lagi tidak untuk memposisikan PERSAKMI berhadap-hadapan dengan pihak yang cemburu tadi. Tulisan ini muncul, niatannya untuk melihat dari sisi yang berbeda terhadap ocehan yang mengatakan PERSAKMI sudah memecahbelah SKM. Karena jika mau jujur, bagi saya PERSAKMI sebagai organisasi, selain tempat berkumpulnya SKM yang memiliki idealisme yang sama, juga hanya merupakan alat dan bukannya tujuan.


Karena PERSAKMI hanya adalah alat, sudah selayaknya kita mempergunakan alat masing-masing untuk turut serta mengambil peran secara aktif dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Karena saya tetap percaya, bahwa sebagai tenaga kesehatan, yang menjadi tujuan adalah peningkatan derajat kesehatan masyarakat itu sendiri.

Golongan Penyusup pada RAKERNAS VI PERSAKMI

Ilustrasi


Mungkin belum terlambat untuk mengucapkan selamat ber-RAKERNAS untuk PERSAKMI. Organisasi yang berisikan para Sarjana Kesehatan Masyarakat yang tersebar diseluruh Indonesia ini melaksanakan Rapat Kerja Nasional yang ke 6 pada tahun ini. Pelaksanaannyapun mengusung tema yang serius: “ Urgensi Menyusun Road Map Pendidikan Profesi Kesehatan Masyarakat Tahun 2016”. Dari segi susunan kata dalam tema tersebut mengandung sikap optimisme akan status PERSAKMI kedepannya sebagai satu-satunya wadah yang dengan bangganya mengakui (hanya) berisi Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Kali ini, bukan susunan kata demi kata yang termaktub dalam tema Rakernas tersebut yang menarik perhatian saya, selain karena tingkat kepercayaan saya terhadap tim penyusun yang sudah melewati beberapa kali kajian yang mendalam untuk kondisi SKM hari ini, juga karena segi optimisme yang terkandung didalamnya yang bagi saya patut diapresiasi secara tulus. Namun saya tertarik dengan beberapa tagar yang tersebar di linimasa sosial media ketika dihubungkan dengan eksistensi organisatoris orang-orang yang ber-swafoto ria di depan x-banner kegiatan atau spanduk kegiatan itu.

Dari beberapa tagar yang beredar, tagar yang menarik perhatian saya adalah PersakmiRumahSKM. Tagar ini ini seakan mengisyaratkan kepada kita, khususnya pemilik gelar SKM diseluruh Indonesia, pernah (minimal merasa) tidak memiliki rumah/wadah. Nah, pertanyaannya kemudian, selama SKM belum memiliki atau minimal menyadari bahwa Persakmi adalah Rumah/wadah mereka yang sah, kemanakah selama ini SKM bernaung. Kenyataannya ada banyak jawaban untuk itu, misalnya kemudian masing-masing SKM  menjadi bagian anggota dari kelompok alumni khusus FKM untuk masing-masing kampus di Indonesia, atau paling sial akhirnya berbaur dengan organisasi  yang mengusung tema kumpulan Ahli Kesehatan Masyarakat atau yang sejenis.

Sial, karena ternyata SKM berusaha menyatu dengan siapapun dan dengan yang memiliki latar belakang keilmuan apapun dalam organisasi tadi hanya karena semuanya menganggap ikut serta dalam upaya kesehatan masyarakat, dan itu, pelan tapi pasti bisa saja menggerus eksistensi seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat, baik kemurnian ilmu kesehatan masyarakat maupun fokus dan lokus dari kesehatan masyarakat itu sendiri.

Pertanyaanya lagi, bagaimana dengan reaksi orang-orang yang baik secara sadar maupun tidak masih bergabung dalam organisasi itu terhadap realitas hari ini bahwa SKM sudah memiliki rumah yang sah bernama PERSAKMI. Bagi saya, orang-orang tadi yang baik secara sadar maupun tidak masih bergabung di organisasi tersebut dan memilih ikut serta dalam RAKERNAS PERSAKMI tahun ini dikategorikan sebagai PENYUSUP.

Jika dibayangkan PERSAKMI sebagai sebuah rumah, kiranya tidak keliru jika secara jujur kita akui rumah ini masih terlalu dini untuk dikatakan sebagai rumah yang sempurna (rumah=wadah) dalam sudut pandang apapun. Salah satunya, misalnya,  karena umur dari rumah ini sendiri yang masih terlalu muda jika dibandingan dengan rumah yang sejenis untuk kalangan tenaga profesional kesehatan lainnya. Juga karena rumah ini, sebelumnya masih sering mengalami pemugaran demi pemugaran (baca: gonta-ganti struktur, persoalan eksistensi organisasi, dll). Namun, jika kita melihat itu (pemugaran demi pemugaran) sebagai bagian dari niatan mencapai bentuk rumah yang lebih sempurna, kiranya tidak mengapa.

Kembali ke para Penyusup tadi. Sebagai sebuah rumah, wajar menurut saya jika ada saja pihak baik perseorangan maupun kelompok yang kurang berkenan dengan semakin jelasnya keberadaan PERSAKMI secara kelembagaan dari masa ke masa. Selain karena akhirnya PERSAKMI dianggap sebagai ancaman bagi organisasi tersebut yang kebetulan sejenis, juga karena semakin meningkatnya optimisme SKM terhadap PERSAKMI itu sendiri. Dan ini merupakan salah satu dari sekian banyak alasan untuk menyusup di RAKERNAS PERSAKMI, selain alasan salah dua, salah tiga, dan seterusnya tentu saja.

Secara garis besar, ada beberapa golongan Penyusup pada RAKERNAS PERSAKMI yang bisa jadi turut hadir tahun ini, diantaranya:

PENYUSUP Penggembira

Golongan pertama ini adalah golongan yang masuk kategori selemah-lemahnya Penyusup. Karena berstatus sebagai penggembira, mereka kemudian tidak punya targetan apapun yang terkait PERSAKMI kedepannya, apa lagi pada RAKERNAS-nya. Selain itu Penyusup golongan ini kebanyakan menjadi Penyusup karena terjebak. Dalam artian, ketika mereka pulang dari acara RAKERNAS, tidak ada sedikitpun yang berubah dari sudut pandangnya terhadap PERSAKMI. Karena kenyataanya, di tempat mereka berasal, PERSAKMI tidak se-eksis di tempat lain.

Atau dengan kata lain, keberadaan PERSAKMI tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap kondisi kerja mereka selama ini, dan justru organisasi lain yang berlabel kelompok ahli kesehatan masyarakat-lah atau sejenisnya yang lebih berpengaruh di tempat asal mereka. Pada kondisi inilah mereka mengalami keterjebakan, karena disatu-sisi lingkungan kerja mereka selama ini hanya mengakui organisasi tadi dan bukan PERSAKMI, akhirnya “memaksa” mereka baik individu maupun kelompok untuk bergabung didalamnya.

Sehingga ketika ada momentum RAKERNAS PERSAKMI, kalaupun dipaksakan memiliki target, bagi mereka RAKERNAS PERSAKMI hanyalah sebagai ajang kumpul-kumpul dan temu alumni SKM lainnya, baik yang berasal dari satu institusi/kampus, atau bahkan hanya dalam rangka mempererat hubungan emosional antara sesama SKM.

PENYUSUP Moderat

Berbeda dengan kelompok golongan sebelumnya, golongan ini paling tidak memiliki beberapa targetan dalam keikutsertaannya di RAKERNAS PERSAKMI. Minimal mereka yang masuk dalam golongan ini, ketika berada ditengah-tengah peserta RAKERNAS PERSAKMI, berusaha mengidentifikasi kuantitas dari anggota PERSAKMI yang tersebar di Seluruh Indonesia. Ini tentu saja masih berhubungan dengan organisasi lain yang berlabel kelompok ahli kesehatan masyarakat tadi atau yang sejenis.

Selain itu, keanggotaan kelompok Penyusup ini pada organisasi tersebut sudah masuk dalam keadaan sadar. Selain karena didorong sikap yang oportunis, juga keanggotaan mereka pada organisasi diatas lebih erat hubungannya dengan jabatan mereka hari ini di masing-masing instansi pemerintah tempat mereka berasal. Namun begitu, niatan untuk identifikasi kuantitas anggota PERSAKMI pada RAKERNAS masih ada hubungannya dengan kemungkinan golongan ini untuk beralihatau berpidah keangotaan dan lebih aktif di PERSAKMI nantinya.

Dengan kata lain, golongan ini senantiasa berparadigma abu-abu (antara hitam-putih) dalam rangka menilai organisasi apapun itu bentuknya. Salah satu penyebab dari cara pandang kelompok ini menjadi demikian ialah traumatik yang berkepanjangan ketika masih menjadi mahasiswa dan memiliki kesempatan untuk aktif dalam lembaga kemahasiswaan. Bisa jadi pengalaman traumatik ini berhubungan dengan kekecewaan yang pernah dialami dalam bentuk apapun.

PENYUSUP Garis Keras

Golongan ketiga ini adalah golongan yang paling kritis dalam melihat segala hal. Selain karena mereka-mereka ini sudah sedemikian jauhnya terlibat didalam organisasi selain PERSAKMI seperti organisasi yang berlabel kelompok ahli kesehatan masyarakat tadi atau yang sejenis, juga karena mereka ingin melihat PERSAKMI semakin jauh dari rasa optimisme dan akhirnya mati dengan sendirinya.

Berangkat dari niatan tersebutlah mereka kemudian hadir dalam RAKERNAS PERSAKMI. Dan untuk itu berbagai upaya mereka lakukan demi mendapat selembar mandat dalam rangka mewakili PERSAKMI cabang yang berasal dari daerah tempat dimana mereka berasal. Sejurus dengan itu, sambil mengasah daya kritis mereka terhadap organisasi sesungguhnya dalam rangka memberikan masukan yang bersifat membangun sehingga lebih mudah untuk “menyerang” PERSAKMI baik secara langsung maupun tidak langsung.

Karena RAKERNAS PERSAKMI kali ini juga mengagendakan pelantikan pengurus PERSAKMI yang berasal dari beberapa DPD atau DPC yang berasal dari seluruh Indonesia, bisa jadi golongan ini juga mengkondisikan masuknya mereka dalam susunan pengurus inti DPD maupun DPC PERSAKMI yang akan dilantik tersebut. Kondisi ini bisa dipahami dalam rangka turut serta berperan aktif dalam merusak organisasi PERSAKMI yang berada di masing-masing daerah di Indonesia.

PENYUSUP Pokemon-Go

Salah satu permainan online dan hanya bisa di mainkan pada perangkat seluler yang berbasis augmented-reality ini sejak peluncurannya sudah diunduh sebanyak 30 Juta kali. Dan menariknya jumlah ini jauh lebih banyak dari pengguna aktif harian untuk jenis sosial media manapun. Permainan besutan John Hanke ini akhirnya menciptkan kehebohan sendiri.

Nah, hubungannya dengan RAKERNAS PERSAKMI terletak pada niatan awal dari masing-masing peserta sebelum mengikuti kegiatan tersebut. Maksud saya, bisa jadi diantara seluruh peserta RAKERNAS PERSAKMI yang berasal dari perwakilan DPD dan atau DPC seluruh Indonesia itu, ada saja pihak atau orang-orang yang berusaha menunggangi kegiatan tersebut untuk mewujudkan keinginan melengkapi jenis pokemon yang didapatkan atau yang dikoleksi. Salah satunya mungkin karena masih berstatus trainer kelompok beginner dalam permainan Pokemon-Go.

Disinilah status Penyusup dilekatkan kepada mereka. Karena keikutsertaan mereka memiliki latarbelakang berganda dan bukannya berangkat dari tujuan utama untuk melihat PERSAKMI lebih maju kedepannya serta berangkat dari rasa optimisme yang mulai menguat antara SKM itu sendiri.
Hasilnya, bisa dibayangkan, untuk golongan Penyusup ini lebih banyak meninggalkan kegiatan-kegiatan inti dari RAKERNAS PERSAKMI demi mencari jenis-jenis pokemon untuk ditaklukkan/di-trainer. Dan dengan begitu, tanpa disadari, mereka juga memberikan kontribusi aktif terhadap kemunduran dari PERSAKMI. Makanya mereka masuk dalam kategori Penyusup.
*
Akhir kata, tentunya besar harapan kita, dari semua yang hadir dalam RAKERNAS PERSAKMI ke 6 tahun ini tidak ada satupun yang berstatus sebagai Penyusup. Jikapun ada, semoga mereka cepat atau lambat menyadari, bahwa sebuah tindakan sia-sia kiranya kemudian membendung optimisme yang terbangun dari kami para pemiliki gelar SKM itu sendiri. Apalagi jika itu kemudian berangkat dari anggapan bahwa PERSAKMI akan mati dengan sendirinya.

Karena walau umur PERSAKMI masih tergolong muda, setidaknya dengan optimisme yang terbangun hari ini melalui kegiatan demi kegiatan yang menyatukan kami akhirnya memberi gambaran seberapa kuatnya persatuan yang tercipta diatara kami. Dan bukankah hanya SKM-lah yang paling pantas berbicara tentang SKM itu sendiri, ini juga termasuk hanya SKM yang pantas menentukan nasibnya sendiri.


WAHAI SKM BERSATULAH!!!

SKM BERSATU TAK TERKALAHKAN!!!

SKM dan Pemberdayaan (?)


Pemberdayaan. Kata ini begitu menyihir, setidaknya untuk beberapa belas tahun belakangan. Sebegitu menyihirnya, sehingga kata ini sudah sangat fasih dilekatkan dengan berbagai aspek dalam kehidupan sehari-hari. Melalui kata ini pula, sebagian dari kita memberi harapan besar terhadap berbagai permasalahan yang masih menjadi bagian dalam kita berbangsa saat ini. Dan ini tidak lepas dari persoalan kemiskinan yang selalu fluktuatif, setidaknya jika mengacu pada angka-angka yang disampaikan para pengelolah negara melalui lembaga negaranya.

Jika mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, pemberdayaan itu sendiri bermakna proses, cara, perbuatan memberdayakan. Sedangkan memberdayakan disini bermakna membuat berdaya. Dan berdaya adalah berkekuatan; berkemampuan; bertenaga atau mempunyai akal/cara/dan sebagainya untuk mengatasi sesuatu. Atau jika kita merujuk pada kata dasarnya adalah daya yang bermakna kemampuan melakukan sesuatu atau bertindak.

Dari batasan pembardayaan tadi, akhirnya memberi sedikit gambaran kenapa kemudian pemberdayaan senantiasa dilekatkan pada sebuah kondisi yang disebut dengan miskin/kemiskinan itu sendiri.  Harapannya, kemiskinan dengan serta merta teratasi dengan pemberdayaan dilain pihak. Sehingga jangan kaget dengan berbagai program yang berlabel pemberdayaan untuk rakyat miskin juga senantiasa “diperkenalkan” oleh pengelolah negara hari ini. Walau bagi sebagian pihak, pemerintahan kali ini masih sulit menerima konsep pemberdayaan, karena kurang terukur untuk jangka pendek, katanya.

Disaat bersamaan akhirnya, kondisi tadi hanya membikin kita bersepakat bahwa rakyat yang menjadi miskin itu adalah karena tidak berdaya tanpa kemudian memperhatikan berbagai faktor lain yang justru hanya memperteguh rantai kemiskinan itu sendiri, misalnya akses transportasi. Semoga ingatan kita belum menghapus kosep miskin absolut.

Pemberdayaan dan Aspek Kesehatan

Bagaimana dengan aspek kesehatan?. Ini juga tidak jauh berbeda. Berbagai program pengelola negara hari ini yang baik sedang berlangsung maupun yang telah usai, selalu melekatkan kata pemberdayaan dalam program kesehatan, baik secara kasat mata maupun dalam bentuk yang nyata. Satu sisi ini merupakan sebuah kemajuan dan layak diapresiasi, walau disisi lain dengan tidak diikutkannya dengan berbagai bentuk nyata dari sebuah konsep pemberdayaan masyarakat itu sendiri untuk dibidang kesehatan adalah hal yang menyedihkan tentunya.

Salah satu contoh dari bentuk implementasi pemberdayaan masyarakat-setidaknya ini menurut mereka- dibidang kesehatan adalah program nusantara sehat. Secara garis besar program ini sendiri dilaksanakan dibawah naungan Kementrian Kesehatan. Dan, program tersebut, salah satunya berangkat dari sebuah kajian distribusi tenaga kesehatan yang dilakukan oleh Kementrian Kesehatan pada tahun 2012. Berdasarkan informasi itu akhirnya dilahirkanlah program nusantara sehat, dengan harapan persoalan distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata di Indonesia bisa diatasi, selain itu segala bentuk permasalahan kesehatan juga turut teratasi.

Adalah tahun 2014 kemudian program ini diujicobakan pada empat kabupaten di 4 Propinsi Indonesia (Prop. SUMUT, KALBAR, MALUKU, dan PAPUA). Dan keberhasilan dari program tersebut-klaim Kementrian Kesehatan juga- mampu meningkatkan angka kunjungan masyarakat di fasilitas kesehatan tingkat pertama yang dalam hal ini adalah PUSKESMAS.

Sekilas hal ini bisa menjadi sebuah angin segar, setidaknya berhasil menterjemahkan program Jokowi dalam Nawa Cita yang menginginkan pembangunan Indonesia dimulai dari pinggiran. Namun itu hanya sekilas, jika dua kilas, ada beberapa hal bisa menjadi pertanyaan serius jika kata meragukan masih terlalu kasar. Yang pertama, apakah memang persoalan kesehatan masyarakat kita dipengaruhi oleh distribusi tenaga kesehatan sajakah?

Dengan sebuah program yang mengusung konsep berbasis tim, akhirnya diharapkan distribusi tenaga kesehatan semua daerah yang berada di pinggiran Indonesia bisa teratasi. Sekali lagi, bagi saya pola pikir ini masih berparadigma sakit. Karena masalah kesehatan masyarakat, tidak semata berhubungan rendahnya angka kunjungan, apalagi jika dihubungkan dengan berbagai budaya masing-masing daerah.
Sebagai ilustrasi, dengan formasi tim program nusantara sehat untuk masing-masing puskesmas atau fasilitas kesehatan lainnya yang berjumlah lima hingga sembilan orang (syarat dan kondisi yang berlaku menurut Kementrian Kesehatan) ditempatkan selama 2 tahun. Harapannya adalah hingga daerah yang menjadi sasaran dari program tersebut mampu memenuhi kebutuhan tersebut secara mandiri.

Artinya, sejak dari awal program ini, masih terlalu malu-malu untuk secara full berjibaku meningkatkan derajat kesehatan. Karena masih menaruh harapan yang besar hanya terhadap distribusi tenaga kesehatan itu sendiri. Hal inilah yang bagi saya adalah bentuk lain dari sebuah konsep paradigma sakit. Dengan sebuah tanggung jawab tim untuk meningkatkan angka kunjungan saja hanya bagian terkecil  dari sebuah konsep meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Salah satunya, karena bisa jadi rendahnya angka kunjungan di sebuah fasilitas kesehatan tingkat pertama bukan karena terbatasnya jumlah tenaga kesehatan, namun karena berhubungan dengan aksebilitas terhadap fasilitas kesehatan itu sendiri (karena Puskesmas hanya melayani untuk ruang lingkup kecamatan).  Atau bisa juga rendahnya angka kunjungan di fasilitas kesehatan tersebut, karena sebagian tenaga kesehatan misalnya Dokter tidak terlalu lama melakukan pelayanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama.

Atau kita juga bisa berbicara kasus membludaknya jumlah kunjungan pada Puskesmas Majalaya Baru, Kabupaten Bandung. Jumlah kunjungan yang banyak itu bukan karena Puskesmas ini adalah salah satu sasaran program Nusantara Sehat, atau bukan juga karena Puskesmas ini memiliki jumlah tenaga kesehatan yang mumpuni. Satu-satunya alasan melimpahnya jumlah kunjungan tersebut adalah karena Puskesmas ini terletak sangat strategis, selain itu untuk ke fasilitas kesehatan lain, paling tidak masyarakat harus menempuh waktu selama 2 jam.

Dari dua perbandingan diatas bisa sedikit mendapat gambaran, mengapa program pengelola negara untuk bidang kesehatan masih terlalu jauh dari niatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Hal kedua yang jadi pertanyaan serius, dengan memberikan bekal seperti materi bela negara atau sebuah keahlian medis/non-medis serta harapan pelaksanan program-program pemberdayaan masyarakat, dan disatusisi mentikberatkan pada peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan untuk konteks sebuah fasilitas kesehatan tingkat pertama , laksana menggabungkan air dan minyak dalam satu wadah dengan harapan kemurnian air tetap terjaga. Kenapa, karena antara peningkatan akses dan kualiatas layanan kesehatan dalam sebuah fasilitas kesehatan dan program pemberdayaan masyarakat adalah dua bentuk yang saling bertolak belakang.

Ketika kita berbicara tentang akses dan kualitas pelayanan sebuah fasilitas kesehatan, disaat bersamaan kita juga mengakui akan tingginya angka kesakitan masyarakat dalam sebuah wilayah, setidaknya ini menurut petugas kesehatan tadi. Sedangkan, jika merujuk pada makna pemberdayaan masyarakat itu sendiri, kita akan tiba pada kenyataan bahwa persoalan kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat secara langsung wajib disadari (dengan atau tanpa petugas kesehatan tentunya). Nah, dari dua kondisi tadi, bukankah akhirnya jadi bertolak belakang, satu sisi masalah kesehatan pada suatau masyarakat dianggap hanya diketahui oleh tenaga kesehatan, dan disaat bersamaan diaharapkan masyarakat juga menyadari. Sehingga jangan heran jika dilapangan, para tenaga nusantara sehat akhirnya hanya melakukan penyuluhan/sosialisasi untuk aspek pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Atau paling jauh ikut mendampingi tenaga kesehatan yang akan menjalankan tugas harian di fasilitas kesehatan yang menjadi target dari program nusantara sehat tadi. 

Apakah ini keliru, bagi saya belum bisa dikatakan demikian. Karena sosialisasi hanya salah satu bagian dari pemberdayaan masyarakat. Sedangkan salah dua atau salah tiga dan seterusnya masih banyak lagi tahapan dari pemberdayaan masyarakat, sialnya ini tidak atau belum dimasukkan dalam tehnis kemampuan yang harus dikuasai oleh tim nusantara sehat. Disinilah menurut saya peran seorang SKM diperlukan untuk lebih maksimal.

SKM dan Pemberdayaan Masyarakat

Kenapa SKM, karena diantara jenis tenaga kesehatan, hanya SKM yang “berani” memasukkan kata masyarakat dalam gelar kesarjanaanya. Coba bandingkan dengan dengan jenis tenaga kesehatan lainnya. Karena hal tersebut, tidak berlebihan kiranya masyarakat akhirnya menaruh harapan besar pada SKM itu sendiri. Pertanyaanya seberapa siap SKM dalam menjawab harapan besar tadi.

Dari sekian banyak literatur yang menjelaskan tentang kapan pertama kali SKM lahir dan siapa yang membidani, setidaknya bisa diambil kesimpulan bahwa seorang SKM itu lahir dari FKM sebuah universitas di Indonesia adalah efektif di era 70-an. Walau proses berdirinya sebuah FKM itu sendiri sudah mulai dirancang sejak 1965. Sedangkan niatan tersebut sebenarnya berangkat dari berbagai permaslahan kesehatan masyarakat yang terjadi di Indonesia.

Dari kondisi tersebut, akhirnya SKM angkatan pertama tadi, melalui kurikulum yang disusun pada tahun 70an itu mewajibkan seorang calon sarjana kesehatan masyarakat untuk magang dilapangan selama setengah tahun hingga satu tahun dalam rangka perencanaan dan pendidikan kesehatan dalam sebuah program kesehatan pada lokasi yang menjadi tempat magang tadi.

Bagaimana dengan sekarang, jika mengacu pada hasil-hasil RAKERNAS AIPTKMI IX di Padang, dalam kurikulum FKM yang wajib diterapkan pada semua tidak terlihat secuilpun semangat untuk menitikberatkan pada skill/kompetensi seorang SKM seperti yang termaktub dalam kurikulum pertama SKM tadi. Walau kemudian acara tersebut atau saya lebih suka menyebutkan sebuah dagelan/lawakan, semangatnya ingin menciptakan delapan kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang SKM, tetap saja itu hanya kulit yang membungkus demi terwujudnya sebuah niatan untuk mewajibkan kepemilikan STR bagi calon sarjana tersebut.

Point saya bukan STR itu tidak penting, cuma masih belum dibutuhkan oleh seorang SKM saat ini. selain karena kurikulum yang wajib diterapkan di semua Universitas tadi yang masih miskin atau hampir tidak ada yang menguatkan secara tehnis kedelapan kompetensi tadi, juga karena adanya tumpang tindih antara uji kompetensi itu sendiri dengan rangkaian ujian akhir seorang calon sarjana Kesehatan Masyarakat.

Sedangkan jika mengacu pada UU No.12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, tertuang pada pasal 44 ayat 2 :” Serifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan organisasi profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi kepada lulusan yang lulus uji kompetensi ”. Pertanyaanya kemudian, organisasi manakah yang merupakan organisasi profesi dari SKM itu sendiri.  

Atau lebih jauh lagi kita bertanya, apakah pantas kemudian SKM menjadi sebuah profesi saat ini. ini dengan asumsi bahwa seorang SKM diwajibkan mempelajari hampir seluruh peminatan yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat itu sendiri. Ini menurut saya cukup penting untuk kembali dipertegas, karena ditengah arus tarik menarik dari berbagai pihak untuk mengklaim bahwa SKM itu (bisa) menjadi sebuah profesi, apakah sebagai seorang SKM atau calon sekalipun, pernah bertanya secara jujur kepada diri sendiri bahwa sudah pantaskah SKM dikatakan sebagai profesi.

Karena kata kunci dari sebuah profesi adalah keahlian ( Pasal 44 ayat 1, UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi). Sejalan dengan itu dengan masih beragamnya peminatan dan disaat bersamaan sangat terbatas jumlah peminatan yang akhirnya dengan berani mendeklarasikan dirinya untuk menjadi profesi, hanya menambah daftar panjang akan waktu yang dibutuhkan bagi seorang SKM untuk menjadi sebuah profesi tentunya.


Dus, jika SKM saja belum selesai pada perdebatan layak tidaknya disebut sebagi sebuah profesi, bagaimana mungkin kemudian kita berharap pada kemampuan seorang SKM untuk melaksanakan sebuah bentuk pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, selain hanya menitikberatkan pada penyuluhan/sosialisasi saja nantinya. Ini kita belum melihat secara detil isi kurikulum yang termaktub dalam hasil-hasil RAKERNAS AIPTKMI IX tadi, yang masih menaruh harapan besar pada pelaksanaan Praktek Belajar Lapangan untuk mengasah kemampuan/skill seorang SKM dilapangan.  

Oh iya, apa kabar dengan RAKERNAS PERSAKMI??