BELAJAR DARI JAMBI
Sumber Gambar: www.kbr.id |
Inspeksi mendadak (sidak) Gubernur Jambi pada Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mataher menyisakan sebuah pertanyaan. Terutama pada arah
kebijakan pelayanan kesehatan masyarakat di Republik ini. Walaupun inisiatif sang
Gubernur yang juga bekas publik figur dalam dunia hiburan tidak lepas dari “desakan”
konstituen, tetap saja masalah ini erat hubungannya dengan persoalan mendasar
kesehatan masyarakat di Jambi, dan Indonesia keseluruhan.
Masyarakat Jambi menaruh harapan besar pada sang Gubernur
untuk berperan aktif dalam menyelesaikan masalah pelayanan kesehatan pada
fasilitas kesehatan milik pemerintah. Dan akhirnya terwujud. Pada Jumat tengah
malam, rumah yang sejatinya menjadi tempat untuk mendapatkan panasea berubah
menjadi sebuah tribunal tenaga kesehatan.
Sontak kejadian ini memancing reaksi, terutama dari beberapa
organisasi profesi kesehatan yang menjadi “korban” pada malam kelam itu.
Pertanyaanya, apakah tenaga kesehatan adalah satu-satunya pihak
yang bertanggung jawab terhadap segala permasalahan kesehatan masyarakat?
Tidak.
Masalah kesehatan masyarakat di Republik ini sejatinya melibatkan
semua pihak. Mulai dari pemerintah, tenaga kesehatan, hingga masyarakat itu
sendiri. Ini penting, karena buruknya pelayanan kesehatan adalah bagian dari
masalah kesehatan dan juga berhubungan kerangka sistem kesehatan yang kompleks.
Misalnya peran pemerintah. Jika kita mau jujur, penanganan masalah
kesehatan masyarakat di Republik ini masih belum dianggap prioritas. Bahkan anggaran
belanja untuk kesehatan menempati urutan kelima. Itupun, dalam pengalokasiannya
masih berorientasi pada pengobatan/rehabilitasi dibandingkan dengan promosi dan
pencegahan. Bukankah ini juga masalah.
Selain itu peran serta aktif masyarakat dalam kesehatan masyarakat
juga masih menjadi masalah dilain pihak. Masyarakat secara sadar menyerahkan sepenuhnya
penanganan masalah kesehatan hanya kepada pemerintah, dan disaat bersamaan lupa
bahwa kesehatan masyarakat bisa terwujud jika kesehatan individu mencapai titik
optimal. Tentu saja ini berhubungan dengan bagaimana pola pikir masyarakat kita
dalam melihat dan melaksanakan keempat terminologi kesehatan tadi (pengobatan,
rehabilitasi, pencegahan, dan promosi).
Jika pemerintah merasa sudah memberikan hak masyarakat
melalui alokasi anggaran kesehatan dan masyarakat menyerahkan sepenuhnya kepada
pemerintah untuk menangani masalah kesehatan masyarakat, maka sial bagi tenaga
kesehatan yang berada ditengah-tengah kedua kelompok tersebut.
Tenaga kesehatan kemudian dibebani tanggung jawab yang
sedemikian beratnya, tanpa memperhatikan sisi manusia dari masing-masing mereka.
Karena merasa sudah mengalokasikan anggaran kesehatan yang sesuai dengan amanat
undang-undang, seolah tugas pemerintah sudah selesai. Dan merasa paling berhak
untuk menjadi hakim terhadap tenaga kesehatan yang dimilikinya.
Pada titik inilah masalah kesehatan masyarakat akhirnya tidak
teratasi. Bagaimana tidak, disaat seharusnya antara ketiga kelompok itu bekerja
sama, yang terjadi justru hanya pada kelompok tertentu semua dibebankan.
Maksud tulisan ini bukan untuk membela laku mangkir pada jam
tugas tenaga kesehatan. Ini semata-mata mengajak kita untuk melihat persoalan
ini lebih jauh lagi. Terlebih lagi sebagai bagian masyarakat kita seharusnya
tidak lepas tangan terhadap masalah kesehatan masyarakat.